Selasa, 10 Maret 2009

Mengalir Bersama KalacakraMu


’Tuhan, aku menghadap padaMu bukan hanya di saat-saat aku cinta padaMu, tapi juga di saat-saat aku tidak cinta dan tidak mengerti tentang diriMu, di saat-saat aku seolah-olah mau memberontak terhadap kekuasaanMu. Dengan demikian Rabbi, aku mengharap cintaku padaMu kembali pulih”

AchMad Wahib

Menginjak usia ke duapuluh tujuh tahun dalam hidup, terima kasih untuk terus diberikan anugrah untuk mengalir bersama nafasMu, waktuMu. Dua puluh tujuh tahun, begitu menurut alat ukur manusia rentang usiaku hidup sampai kini. Cukup lama bila diisi dengan penderitaan, cukup singkat dan membosankan bila hanya berisi tentang kisah menyenangkan. Tapi hidupku adalah ulenan kisah warna warni yang selalu menakjubkanku.

Perjalanan jauh ke dalam diri, yang sesungguhnya tak pernah berakhir.

Sampai pada titik ini, dengan tersenyum aku ingin melihat hidupku. Hidup dalam artian eling, bukan hidup hanya artian jasmaniah saja, tapi juga menengok ruh yang ditiupkan dalam tubuhku. Eling akan hidup. Kesadaran yang berada di antara dua helaan nafas. Kesadaran akan hidup yang kadang terkikis gerusan rutinitas. Yang membuatku seakan berlari, mengejar keinginan-keinginanku, sehingga melupakan pemandangan di kanan kiriku. Apa yang diburu dari waktu?dalam putaran lingkarannya yang sama namun selalu tak pernah bisa kembali itu?

”nduk, hati-hati. Kemandirian kadang bisa menjauhkanmu dari kearifan. Merasa benar kadangpun bisa membuatmu tersesat. Eling dan teruslah eling akan hidupmu. Bukan menghilang terjebak dalam masa lalu, ataupun meloncat mereka-reka masa depan. Tapi eling dengan kekinian, karena pada saat itulah hidup benar-benar mengejawantah menjadi ”hidup””. Kali ini aku berbicara pada diriku. Membiarkan aku dan seluruh ”keakuanku” mendengarnya dengan baik.

Aku yang masih sering gagap dicintai, yang kadang memperturutkan caraku sendiri dalam mencintai. Tapi itulah perjalananku,

Aku, masih terus belajar untuk merasa nyaman dengan rumahku sendiri. Dengan jasmaniahku, ribuan untain DNA, gen, sejumlah kromosom, sel- sel dan organ-organ yang terus bergerak ritmis. Oh, rasa terimakasihku yang sering terlupa pada renik-reniknya mereka. Belajar nyaman dengan jiwa-ruhku yang terus menghidupiku dengan pertanyaan, petualangan, pengalaman, pencarian, dan penyerahan diri padaMu.

Dan kini, aku. Manunggaling kawulo lan gusti. Kucoba cerna dengan hati-hati dan bijak. Aku, dengan ”keseluruhan aku” mencoba terus mengalir dengan nafasMu, waktuMu, KalacakraMu***.

Previous Post
Next Post

1 komentar:

  1. Pertamax nih,..sangat manusiawi,rasa itu pasti menghinggapi seluruh anak adam,hanya mba siwi emang pandai menumpahkan dengan kata-kata,ehm...alur mba siwi dah benar,manusia yang hidup adalah manusia yang selalu memiliki keresahan dan kegelisahan,sebaliknya yang adem anyem asik dengan dirinya sendiri tanpa pernah rumangsa adl bukan insan sejati.terus berdjoeng mba.

    BalasHapus