Kamis, 10 Januari 2013

Jogya//Cinta



Cinta selalu mempunyai bahasanya sendiri yang terkadang hanya bisa dikenali hati. Entah berapa kali kalimat ini kulontarkan. Biar saja. Toh apa salahnya?
Saya kembali menyadari hal itu ketika dalam sekejab memutuskan untuk tinggal di Jogya lebih lama lagi, sampai sebelum saya balik ke Glasgow lagi. Padahal saya baru tinggal di Jogya beberapa hari ini, dan langsung betah...pakai banget ehehe.
Hanya cukup beberapa hari untuk memutuskan terus berada di sini, selama mungkin. Kapan lagi? saya berpikir bila nanti selesai studi dan kembali bekerja, kapan ada kesempatan menjadi penghuni jogya? Paling hanya beberapa hari, dan kembali ke rutinitas lama. Jadi, kenapa tak menggengam kesempatan ini dan mewujudkannya? Hatiku langsung mantap.
Kadang sulit untuk dijelaskan mengapa, padahal aku di sini sudah tak lagi punya komunitas yang bisa diajak nongkrong bareng, jalan-jalan. Hanya beberapa sahabat saja yang sesekali bisa bisa kuajak pergi, atau sekedar makan bersama. Tapi hanya dengan makan di daerah deket kos (daerah pogung lor), saya tak pernah merasa sendirian. Aneh. Saya suka makan di tempat (tidak dibungkus/bawa pulang) walau sendirian, mendengarkan orang-orang bicara dengan dialek bahasa jawa jogya, dan berinteraksi dengan penjual makanannya. Hati saya mengenali rasa itu. Cinta. Saya cinta, itu saja. Entah kenapa kadang sulit untuk dijelaskan dengan kata. 
            “ Ayo dong ngomong ngapak-ngapak, pengen denger” beberapa orang meminta saya untuk bicara dengan logat ngapak.
Hehe saya seringkali menolak, selain susah  bicara ngapak tanpa  partner, juga saya lebih suka menggunakan bahasa jawa biasa. Bukan saya tidak suka atau malu berbahasa ngapak. Sungguh ini hanya masalah preferensi hati.
Telinga saya suka mendengar logat bahasa jawa ala jogya, mata saya suka memandangi kota yang sudah sering macet ini. Apalagi sebenarnya? Kenapa saya cinta? sebenarnya saya sambil menulis tulisan ini juga tengah kembali mengeja alasan saya mengapa cinta pada tempat ini. Tidak tahu, sungguh kadang tidak tahu.
Hanya saja hati saya sanggup merasainya. Saya cinta dan ingin tinggal lebih lama.
Saya tinggal di Ndalem Pogung, daeah Pogung Lor, tempat saya betah lama-lama ber”semedi” di sini. Semuanya serba bernuansa jawa, jadi memang aura-nya sangat cocok dengan saya hehe, betah deh pokoknya. Memang sewa kamarnya terhitung mahal, tapi memang cocok dengan fasilitas yang diberikan yakni sebuah kamar luas, big size bed, meja belajar, kursi, lemari pakaian, kamar mandi dalam dengan air hangat, kulkas, LCD TV dan AC. 
            “ Memang berapa dek sewa sebulannya?” tanyamu,
            “ hummm” aku cuma tersenyum enggan menjawab. Walau akhirnya saya menjawab biaya sewa kos-nya, dan saya merasa seperti istri yang menghabiskan belanja bulanan terlalu banyak LOL. Tapi apa yang mahal untuk cinta? tidak ada.
Maka saya tengah menikmati menjadi penghuni jogya lagi, mengerjakan riset, menulis, sambil sesekali jalan-jalan menyusuri sudut-sudut Jogya. Membiarkan hati saya merasai cinta. ***

Ndalem Pogung, 10 Januari 2013. 14.52.




Previous Post
Next Post

6 komentar:

  1. eaaaa aku dimabuk cinta jogyaaa. coba bisa tinggal di sini selamanya, sampai tua bersamanya #meracau :D

    BalasHapus
  2. Jadi inget tulisan di kaos dagadu "Bali wae ning Jogja" yang bermakna ambigu:
    1. Bali saja ada di Jogja
    2. Pulang saja ke Jogja
    Hehehe

    BalasHapus
  3. bali saja ada di jogya makanya ayok pulang saja ke jogya,ehehe :)

    BalasHapus
  4. Hahaha...jadi inget dengan jargon: "Para Pecinta Jogja" ;)

    BalasHapus
  5. "para pecinta jogya", pasti aku masuk jadi anggotanya, ngantri nomer siji deh ;p

    BalasHapus