Sabtu, 27 Juli 2013

Rekreasi Membuat Kolak Biji Salak



Haluuww...ehehe kali ini postingan super ringan dari dapur Hillhead 21, Glasgow. Untuk takjil buka puasa hari ini, saya membuat kolak biji salak. Bila di Indonesia, pastinya dengan gampang bisa dibeli di para penjual takjil menjelang buka puasa di pinggir-pinggir jalan. Tapi bila berada di tanah rantau seperti saya, bila ingin makan dengan selera nusantara maka jalan satu-satunya adalah memasak sendiri. Dan kenapa saya kasih judul rekreasi? Ehehe karena memasak itu bagaikan rekreasi, dan kali ini cocok momennya dengan mood saya menjelang ujian tahun kedua studi doktoral saya esok senin. Otak saya butuh rekreasi.
Dan rekreasipun bisa dilakukan di dapur. Maka marilah bersama saya membuat kolak biji salak. Tentu kalian sudah tak asing dengan makanan ini bukan? Pertamanya saya mencontek resep dari Mona, teman flat saya yang membuatnya beberapa hari lalu. Tapi resep baku entah di buku menu sekalipun bebas dimodifikasi sesuai selera kita masing-masing. Jadi kolak biji salak inipun sudah modifikasi ala saya hihihi.
Pertama, mari siapkan bahan yang diperlukan :
1. Ubi Kuning
2. Tepung Tapioka
3. Gula merah
4. Santan
5. Garam
6. Daun pandan (bila ada)
7. Tepung Terigu
Bahannya sangat simpel bukan? Nah mari memasak bersama saya.
1. Pertama cuci bersih ubi kuningnya, dipotong-potong sedang lalu kukus. Jangan direbus ya, sahabat saya di Aussie saat mencoba dengan direbus, jadinya banyak airnya. Ini membuat bentuknya tidak bulat seperti biji salak nanti. Ganti nama dong ntar ehehe. Jadi ubi dikukus beberapa saat lalu tusuk dengan garpu untuk mengecek ubi tersebut sudang cukup matang


2. Lalu tiriskan, masukkan ke dalam wadah lalu buang kulit arinya. Nah baru kemudian dihaluskan, terserah dengan apa. Saya menggunakan alat penghalus kentang atau ubi seperti yang ada di gambar berikut ini. Tapi yang penting halus, pakai sendok juga bisa kok. Gampang, nggak usah dibikin ribet.


3. Lalu setelah halus, masukkan tepung tapiokanya. Nah ini dia, saya chef abal-abal yang kalau ditanya seberapa komposisinya? Ya dikira-kira saja ahaha. Percayalah pengalaman adalah segalanya #ngeles. Saya males kalau harus precise seberapa-seberapa harus masukkan ini itu, setiap orang kadang punya preferensi masing-masing dalam rasa. Jadi masukkan tepung tapioka lalu campurkan pakai sendok secara merata dengan ubi sampai kalis (hadeeew ini bahasa Indonesianya apaan yak). Intinya kalian bisa merasakan adonan tersebut tidak lagi terlalu lembek, sehingga nanti gampang dibentuk. Tepung tapioka ini fungsinya untuk mengenyalkan bulatan yang menyerupai biji salak itu. Tambahkan garam sedikit kalau mau, campurkan secara merata.


4. Selama melakukan langkah ketiga, rebus air dan gula merah. Agar nanti jeda antara langkah ketiga selesai dan airnya mendidih tidak terlalu lama. Adonan bila dibiarkan terlalu lama akan sedikit melembek jadi akan susah saat membentuk bulatannya.
5. Nah setelah air gulanya mendidih (gula merahnya juga sudah telarut dalam air). Ubah kompornya menjadi api sedang. Ini tujuannya agar bulatannya tidak ada yang akan terlalu matang nantinya, karena membentuk bulatannya satu-satu sehingga tidak bisa serempak nyemplung (duuh bahasanya!) ke air rebusan gula secara bersamaan. Lalu bentuk bulatan-bulatan kecil dari adonan tadi dan langsung dimasukkan ke dalam air gula. Setelah semuanya selesai, masak sebentar sampai bola bolanya mengambang ke permukaan. Nah bola-bola ini yang mirip biji salak, maka nama makanan ini disebut kolak biji salak. 
6. Tambahkan santan secukupnya. Lalu aduk-aduk. Masukkan garam secukupnya. (Nah ini juga suka-suka. Ada yang membuat antara bola-bola, air gula dan santannya terpisah-pisah. Baru saat mau makan dicampur dalam satu mangkuk. Sekali lagi ini preferensi masing-masing. Saya lebih suka langsung dicampur jadi satu. Kalau kamu masak banyak, bisa bola bolanya direbus dengan air saja. Lalu bola-bola dimasukkan ke dalam wadah tertutup (atau ditutup dengan plastik wrap) lalu masukkan dalam kulkas. Nah esok harinya kamu tinggal siapkan kuah kolaknya saja, lalu ambil biji salaknya dari kulkas untuk dimasak.  
7. Lalu cairkan beberapa sendok tepung terigu dalam air, sedikit saja yang tujuannya membuat air kolaknya agak mengental. Again, ini soal selera. Ada yang suka cair tanpa campuran apapun, ada yang suka agak kental sedikit, pun ada yang suka kentalnya lumayan. Ini seninya memasak, kamu adalah kamu yang mewakili rasamu sendiri. Yailaaaah..masak juga tetep diselipin filosofi!!
8. Masak sebentar sambil diaduk sampai santannya mendidih. Bila ada daun pandan, potong kecil-kecil dan masukkan untuk menambah aroma. Kali ini saya tidak punya stok daun pandan, jadi cukuplah dengan bahan standar.
 9. Dan jreng, kolak biji salak siap disajikan.


Pas untuk takjil berbuka. Atau bila sedang bukan bulan puasa bisa disajikan untuk camilan sore bersama teh manis hangat. Jangan lupa, bumbu cinta yang selalu dimasukkan dalam setiap masakanmu #lebaaaay. Eh tapi ini beneran, bumbu ini yang membuat masakanmu terasa istimewa. Apalagi bila disajikan untuk orang-orang tercinta.
Memasak adalah menghadirkan cinta dalam rasa.
Begitu resep hari ini dari dapur Hillhead, besok saya dapat pesanan 50 ayam untuk sumbangan buka puasa kelompok pengajian kami ke masjid Glasgow. Rencananya saya akan masak ayam goreng lengkuas, so nantikan resep berikutnya dari dapur Hillhead ahaha.

#kelakuan mahasiswa doktoral tahun kedua menjelang ujian. Tambah random ini isi blog. Semoga semakin semarak!

Glasgow, 21 Hillhead Street.
 

Jumat, 26 Juli 2013

Buku Cerita Anak dan Fragmen Masa Kecil


Beberapa koleksi buku cerita anakku

Kita sekarang adalah kumpulan dari pengalaman-pengalaman masa lalu. Saya lebih memaknai masa lalu sebagai pengaya, bahwa hidup telah begitu banyak menghadirkan cerita. Dulu, saya punya teman satu kos yang bila pergi makan bersamanya, dia selalu menyertakan kerupuk dalam setiap makanannya. Baik makan nasi, lauk, sayur ataupun makan seperti bakso, dan mie ayam. Saya sendiri suka kerupuk, tapi tidak terlalu maniak. Tapi bila makan bersamanya, jadi ikutan menambah dengan kerupuk. Karena sebelum makanan yang kami pesan, dia pasti sudah mengambil beberapa kerupuk duluan.
            Kerupuk itu menyimpan sejarah masa kecilku, aku masih selalu ingat itu,”paparnya suatu kali ketika saya akhirnya menanyakan padanya kenapa hobi sekali makan kerupuk.
            Dulu, pas aku kecil. Ada temenku makan kerupuk, dia punya beberapa dan dia makan di depanku. Enak sekali kelihatannya. Tapi aku tak punya uang untuk beli lalu karena kepengin, aku minta padanya” tuturnya dan membuatku terhenyak.
            Tapi dengan kasarnya dia menolak, bahkan mengejekku. Sedih banget. Sejak itu aku bertekad aku harus punya uang dan mapan agar tidak dihina dan bisa makan kerupuk tanpa mengemis ngemis” begitulah ia menuturkan ceritanya.
Wah, bila kita tidak tahu..maka tak akan ada yang tahu bahwa ada cerita yang mendalam di balik kerupuk.
Manusia sungguh uniknya dengan segala yang terpendam maupun terungkapkan. Dan saya secara tidak sadarpun mengalami hal tersebut. Mita, sahabat saya saat datang ke flat tertawa ngakak melihat koleksi buku cerita anak-anak di rak buku saya,
            Ya ampun, mba siwi beli beginian buat apaan?” tanyanya sambil nyengir nyengir menimang nimang buku cerita anak bergambar yang ada di rak bukuku.
Saya blushing-blushing dan cuma senyum-senyum doang. Saya memang hobi hunting dongeng/cerita anak di sini, terutama di charity shop karena harganya murah. Dulu sih enggak sadar, kenapa pas ke charity shop selalu saja asik mata menjelajah ke koleksi buku cerita anak-anak. Nggak sadar juga pas dilihat di rak ternyata lama-lama banyak juga yang saya sudah beli. Harganya sangat murah, berkisar 50 p (7500 rebu bayangkan!) sampai paling mahal yg saya pernah beli (Buku koleksi Winnie The Pooh hardcover sampai 2,5 pounds saja). Karena memang itu buku bekas baca, tapi kualitasnya persis dengan buku baru looh..jadinya saya selalu saja kepincut untuk beli bila mampir ke Charity Shop. Sayangnya buku itu kan berat, masih membayangkan bila nanti saya back for good nanti, pasti ribet bawa pulangnya. Bila nggak mikir itu pasti sudah lebih banyak lagi yang saya beli. Beberapa buku sudah saya bawa ke Indo saat  pulang untuk riset beberapa saat lalu. Bahkan beberapa buku cerita anak tersebut saya kasih sebagai oleh-oleh untuk sahabat saya yang punya anak kecil.
Bila ditanya alasan kenapa suka beli buku cerita anak selalu membuat saya blushing-blushing, makanya bila ditanya saya lebih sering senyum-senyum saja. Pertama, saya punya keinginan untuk mendongeng atau membacakan cerita anak pada anak saya kelak #uhuk..beneran hihiihi..karena bagi saya itu sesuatu hal yang sangat menyenangkan. Mendongeng atau membacakan cerita sebelum anak tidur, iya sungguh saya ingin melakukannya suatu saat. *kalau sekarang anak siapa yang mau saya jadikan percobaan? Wakakak ;p
Mungkin karena pengalaman kecil saya, bahwa saya tumbuh dengan dongeng. Dulu hampir menjelang tidur, saya selalu didongengi. Bahkan nggak mau tidur sebelum didongengi, tapi parahnya kadang terlelap duluan sebelum dongengnya selesai ahaha. *maksudnya itu sebenarnya membawa dongeng ke alam mimpi hihi #alesan.
Dulu saat saya kecil, mbah kakung saya (dari garis ibu) dan bapak saya yang rajin mendongeng sebelum saya tidur. Tapi tentu saja tanpa buku-buku bergambar keren seperti jaman sekarang. Dongengnya hanya dengan kata-kata, seperti bercerita, benar-benar mendongeng, story telling. Ceritanya juga sebenarnya tak banyak bervariasi, sampai hapal mendengarnya, tapi anehnya saya pengen didongengi terus sebelum saya tidur. Bapak saya ahli mendongeng, saya versi kecil selalu bisa membayangkan dan berimajinasi cerita yang didongengkan bapak. Dari cerita cindelaras, cerita perwayangan atau kancil nyolong timun dan si kura-kura yang balapan lari. Mungkin karena pengalaman kecil itu pulalah yang membuat saya ingin melakukan itu pula pada anak saya kelak.
Setelah menginjak SD, saya mulai hobi membaca. Membaca apa saja yang ada di perpus sekolah, duduk di sudut membaca sampai jam istirahat selesai. Saya berasal dari keluarga di desa yang biasa saja, hingga belum bisa membeli majalah anak-anak semacam Bobo waktu itu. Dulu saya sangat antusias bila diajak bapak berkunjung ke tempat saudara saya yang berlangganan majalah bobo. Setibanya saya di sana, pasti ke ruang tengah dan meminjam Bobo, asik duduk membaca sampai bapak saya pamitan pulang hihi. Bahkan saya menikmati, kala desa saya banjir (dulu desa saya dilanda banjir rutin hampir setiap tahun) dan harus mengungsi ke rumah budhe, karena saya bisa membaca majalah bobo puas-puas ahaha.
Setelah saya pikir, mungkin itulah yang memicu kebiasaan saya sekarang untuk mengoleksi buku cerita anak-anak. Setidaknya sekarang saya mempunyai penghasilan cukup untuk membeli buku anak-anak. Mungkin berasal dari benih ketidakmampuan keluarga saya dahulu untuk membeli buku anak-anak, maka saya menikmati mengoleksinya sekarang, bahkan masih menikmati membacainya. Sekalian belajar bahasa inggris dengan cara yang menyenangkan.
Hal sederhana ini menyadarkan saya, bahwa kita sekarang pastilah kumpulan dari fragmen-fragmen kejadian di masa lalu kita masing-masing. Kita kaya, kaya akan cerita dan kisah. Simpan sebagai kekayaan hidup, dan sebagai bekal menjalani hari ini dan menatapi esok.
Mungkin kalian juga punya atau mengalami hal seperti ini namun tak kalian sadari? Mungkin saatnya kalian sedikit mencermati.
Selamat pagi!

Glasgow seusai subuh yang masih saja basah oleh gerimis, 26 July 2013. 4.30 am.


Pengumpul Senja


Ingin kukumpulkan ribuan senja,
Bukan untuk mencari sama,
Karena senja selalu punya cerita yang berbeda
Seperti juga hidup, ada beda, ada tumbuh, ada pemakna


Saya pengumpul senja. Selain hujan, saya penggila senja. Menikmati rentang waktu yang sedikit itu, tercenung tanpa kata, hanya ingin menikmatinya. Menanti saat siang akan menggantikan dirinya dengan malam, disitulah senja ada. Senja itu semacam waktu perpaduan. Seperti siang  dan malam mencumbui bumi sekaligus, sebentar saja. Sebelum malam dan gelap benar-benar ada.
Di antara rentang waktu hari, senja hanya datang sebentar saja. Tak lama. Tapi hari selalu menunggunya tiba. Ia bergerak, mengarak awan-awan yang akan berubah warna. Semburat merah mengantung anggun di ufuk barat.
Tapi senja tak selalu seindah itu. Kadang hujan menggelapkan langitnya, ataupun saat mendung menggelayut sampai sampai malam tiba. Senja tetaplah senja.
Sebanyak apapun kukumpulkan senja selama ini, tak pernah ada senja yang sama.
Saya kadang mengunjungi pantai yang sama, untuk mengarak senja di tempat yang sama, tapi menemukan senja yang selalu berbeda. Senja yang ranum di bentangan pantai, itu senja kesukaan saya. Menggabungkan dua hal yang saya sukai, laut dan senja sekaligus. Saya sering kali mengunjungi pantai untuk menanti senja. Menanti perubahan waktu yang magis itu. Rumah saya hanya berjarak sekitar 15-20 menit dari pantai. Maka di pantai inilah saya sering mengumpulkan senja sejak kecil.

saya, pantai, dan senja yang sedang ranum ranumnya
saya, senja dan dua adik saya
tempat yang sama, senja yang selalu beda
Menanti senja meranum
Mesra kan yaaa....ahaha ini adik bungsu saya




Lalu saya juga mengumpulkan senja-senja di tanah-tanah asing yang pernah saya singgahi. Dan setiap tempat menawarkan sensasi senjanya tersendiri. Dengan keapikannya masing-masing, dengan cerita-nya sendiri.


Senja di Padang Pasir, Maroko
Senja di Pantai Dreamland-Bali
 
Sebuah senja di sudut London



senja (banyakan malamnya) ahaha di Falkirk, Scotland


Remang senja di Glasgow



Senja di Dermaga Loch Lomond, Scotland



Senja di Bath, England


Senja di Seberang Big Ben, London



Akan terus kukumpulkan senja demi senja. Dalam setiap kisahnya yang berbeda, agar hidup penuh ribuan senja dengan  makna dan cerita.
Mungkin suatu saat, kita akan melewatkan ribuan senja lainnya bersama.


Minggu, 21 Juli 2013

Bahasa Punggungmu



Awalnya sejak kala itu mungkin. Atau mungkin juga sudah jauh hari sebelumnya. Iya jauh hari sebelumnya. Tapi entah kapan tepatnya aku mulai mempunyai kebiasaan untuk memandangimu dari belakang. Memandangi punggungmu. Entah mengapa aku suka melakukannya. Memandangi punggungmu diam-diam dan merasakan ketentraman.
Orang-orang lain mungkin akan melihatmu dari depan. Maka nampaklah kamu dengan hingar bingar duniamu yang seperti magnet bagi siapa saja. Yah, seperti dulu aku pernah bilang sebelum kita benar-benar bersama. You’re type of person who can win everybody’s heart.
Semua orang tersenyum, dunia di sekitarmu tersenyum. Duniamu yang riuh rendah, sibuk mengalir hampir tak pernah henti.
Tidakkah kamu pernah sadar, bahwa mereka selalu memandangi darimu depan. Dari yang nampak. Tapi bukankah manusia selalu mempunyai dua sisi.
Dan aku mungkin terbiasa melihatmu dari punggung, dari sisimu yang tak pernah terlihat atau dilihat orang-orang di sekitarmu. Bahkan mungkin tak terlihat olehmu sendiri.
Kau tahu bahwa kadang punggung bisa berbahasa? Kadang punggungmu itu menyiratkan bahagia, kadang kesedihan yang tersembunyi, kadang sukacita. 
Tahun berganti, dan berganti lagi, dan aku terus belajar mengerti bahasa punggungmu. Mengerti sisi yang tak nampak di permukaan.
Kau tahu bahwa punggungmu itu seringkali menyiratkan kelelahan. Kamu sibuk membahagiakan orang-orang di sekitarmu. Mengiyakan apa saja, membantu siapa saja. Lalu dunia berbinar, semua orang nampak tertawa, memastikan semua orang tersenyum.
Tapi entah mengapa bahasa punggungmu itu bicara padaku. Bahwa kamu terkadang lelah.
Beristirahatlah. Jedalah sejenak. Manusia bisa penuh mencintai dan berbagi dengan orang lain jika ia mencintai dirinya sendiri terlebih dahulu.
Don’t forget to love yourself first.
Biar kuamati engkau dari punggungmu. Dan bila kau lelah, kau tahu pasti aku selalu ada untukmu bersandar sejenak.

Glasgow, 21 July. Menjelang jam 6 pagi dan mataku belum bisa terpicing sedikitpun.

Monolog




Aku masih di sini. Iyah, masih terus di sini. Dengan pintu terbuka yang biasa kau masuki. Walau kau datang dan pergi seperti angin, aku tak pernah bisa menduga kapan kau akan datang atau pun akan pergi.
Tinggallah, kataku. Kamu membisu
Mungkin nanti.
Aku masih saja menjadi manusia nomad. Dengan rumah yang aku gendong kemanapun aku pergi. Rumahku itu dimana aku tinggal. Aku bergerak, menjelajahi tempat-tempat asing. Tapi sebenarnya aku tak kemana-mana. Aku masih di sini.
Dengan pintu yang masih saja terbuka kapan saja. Aku tidak kemana-mana bukan? Seberapapun jauh aku pergi, nyatanya aku tetap saja tinggal. Membukakan pintu tiap kali hatimu ingin singgah.
Melarikan diri sungguh gagasan yang salah. Kataku lagi.
Karena bahkan jarak makin mempererat. Jadi bagaimana aku bisa pergi?
Memang aku tak mau pergi. Hatiku bergumam
Tapi suatu saat mungkin engkau yang akan pergi, atau aku yang pergi. Atau kita memilih bersama-sama untuk tinggal.
Bila engkau pergi sekalipun, bukankah engkau tetap akan membawaku seumur hidupmu?
Dan bila aku yang pergipun, kamu sebenarnya pun takkan kemana-mana. Di hidupku.
Dulu aku takut suatu saat aku akan kalah,
Tapi aku tidak sedang berperang, aku sedang mencinta.
Kadang aku juga takut akan kehilangan, tapi
No one loses anyone, because no one owns anyone. That is the true experience of freedom: having the most important thing in the world without owning it (PC)
Malam sudah menua.
Aku pun tak kemana-mana. Menjagaimu dalam keterpisahan maupun kebersamaan.
Dan aku di sini. Tetap di sini.
Di hatimu.


Aku tidak pernah datang, dan tidak akan pernah pergi. Aku telah ada dan tertulis jauh sebelum kita tahu perjalanan ini akan terjadi (dari kamera kata-Catastrova Prima)


Lewat tengah malam, Glasgow 21 July 2013.




Sabtu, 20 Juli 2013

Never Ending Learning...



Kapan sebenarnya manusia benar-benar tahu?
Mungkin memang tahu itu semacam bilangan tak terhingga yang tak ada ujungnya. Atau juga proses tahu itu seperti perjalanan hidup, bahwa proses mencari tahu adalah inti dari penge-tahu-an.
Ini bukan soal ilmu pengetahun saja. Tapi sepertinya apapun dalam hidup tak bisa terhindarkan dari proses belajar. Life is never ending learning, kupikir.
Tak usah contoh yang muluk-muluk. Tips memasak saja semakin banyak belajar semakin banyak hal yang tidak kita tahu. Misalnya saja saya baru saja mendapat tips membuat lontong dengan bantuan aluminium foil karena di sini sulit untuk membuat lontong dengan cara biasa seperti di indo, bagaimana cara biar ayam goreng tepung menjadi crispy karena di sini tepungnya berbeda. Kita membuat sesuatu yang sama tapi kondisinya berbeda pun memaksa kita belajar bagaimana cara mengakalinya.
Itu belajar memasak, lain lagi kita belajar berkomunikasi, memahami orang lain, bahkan belajar memahami maksud takdir Tuhan. Dulu saat sering mendengarkan secara rutin acaranya Ayah Edi untuk tips-tips parenting karena bila kita tidak belajar maka cara kita mendidik anak (jiaaah anak siapa emang? *ya paling enggak saya sudah punya banyak anak-anak mahasiswa-membela diri hihi) akan membawa blueprint yang sama dengan bagaimana cara orangtua kita mendidik kita. Siklus akan berulang tanpa perbaikan.
Begitu pula cara mengajar, saya sebagai pengajarpun harus banyak belajar bagaimana membuat sistem pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan menarik untuk anak-anak. Masa harus mengikuti cara dosen-dosen saya dahulu yang ada hanya membaca tulisan di kertas transparansi? Lalu kapan bisa maju negeri ini karena kita tidak belajar untuk berprogress? *berapi-api hehe
Bahkan saya sadari bahwa belajar hidup pun seperti perjalanan dari satu pelajaran ke pelajaran lain yang tiada henti. Kita banyak membaca persepsi-persepsi orang lain, orang bijak, penulis, ataupun filosofi-filosofi sebelumnya bagaimana manusia menjalani hidupnya. Misalnya saja bagaimana Socrates menemukan cara mensikapi kebahagiaan. Dimana sepertinya manusia pada dasarnya mengintikan hidupnya dalam perjalanan mencari kebahagiaan. Manusia tak hentinya menanyakan pertanyaan-pertanyaan inti yang tak pernah mati. Tentang Tuhan, tentang Cinta, tentang kematian, tentang kebahagiaan.
Dulu saya percaya bahwa hidup itu berjalan seperti roda, kadang di bawah (susah, derita, nestapa) ataupun kadang di atas (sukses, kemenangan, bahagia). Sampai saya belajar bahwa ada yang melontarkan ide tengah bagaimana hidup terpusat di tengah roda. Bagaimana mensikapi perputaran semesta dan kejadiannya sehingga daya lentur kita lebih liat.
Bukan berarti saya telah banyak tahu. Tidak, sama sekali tidak begitu. Saya mencari tahu, dan menjadi merasa banyak sekali hal yang belum saya tahu. Setidaknya Tuhan mendesain otak manusia untuk berpikir, bertanya, menganalisis, mungkin agar tidak beku. Bisa kau bayangkan bagaimana hidup yang stagnan dan penuh kemandegan?
Beberapa saat lalu, saya iseng membaca-baca ke website oprah. Banyak sekali beberapa hal yang layak untuk dipelajari tentang hidup, tentang kesehatan, mode, masakan, bahkan seks. Mungkin dunia digital telah membajiri kita dengan ribuan informasi. Tapi bukankah kita juga punya filter dan sistem seleksi? Kadang saya pikir ada yang bisa diterapkan, kadang merasa tidak sejalan. Tapi bukankah itupun menjadi salah satu dari proses pembelajaran bukan?
Manusia sepertinya didesain sebagai makhluk pembelajar. Bagaimana manusia mencipta teknologi, mencipta kebudayaan, bahasa dan peradaban pastilah tak lepas dari hasil proses pembelajaran.
Lalu dimanakah titik akhir dari pembelajaran itu sendiri? Atau mungkin kita memang tak pernah bisa benar-benar tahu? Ah, apa yang akan terjadi besok saja kita tidak tahu. Lalu mau dengan muka dan hati sombong seperti apa hingga kita mampu berkata sudah tahu banyak?
Sepertinya daripada berfokus pada pertanyaan seberapa banyak kita tahu, mungkin lebih baik menikmati perjalanan mencari tahu.
Joy! Orang yang merasa berbahagia sangat tahu bagaimana membuat hidup mereka penuh dengan kesenangan. Senang bertanya tanya, senang mencari jawab, senang dalam prosesnya. Kebanyakan orang akan mempunyai persepsi bahwa kesenangan akan didapat setelah muncul hasil. Manusia lupa bahwa kesenangan itu bisa dinikmati sepanjang perjalanan.
Selamat berjalan, selamat belajar.

Glasgow, 19 July 2013 menjelang isya dengan perut penuh dengan sup buah dan cumi asam manis untuk buka puasa hehe.

Selasa, 16 Juli 2013

Menikmati Birunya Langit Scotland di King Arthur Seat dan Calton Hill Edinburgh

Langit biru, semburat awan putih dan King Artur Seat


Udara Scotland yang hangat di awal bulan Juli terasa membuat tubuhku sedikit gerah saat tiba di Stasiun kereta Edinburgh Waverley. Matahari bersinar cerah semenjak pagi, sebuah cuaca yang mahal di Skotlandia. Perjalanan Glasgow ke Edinburgh dengan kereta hanya ditempuh dalam waktu kira-kira sejam lamanya dengan harga tiket PP sekitar 12 GBP (Great Britian Poundsterling). Tujuan jalan-jalan saya kali ini yakni King Arthur Seat yang menawarkan pemandangan kota Edinburgh dari atas bukit. Humm, pasti cantik kupikir. Dan track menuju kesana lumayan menanjak saat saat musim semi atau musim panaslah waktu yang cocok untuk pergi kesana. King Artur Seat? Humm pertama kali mendengar nama itu sepertinya membayangkan sebuah kursi singgasananya King Arthur ehehe. Tapi seperti apakah sepertinya King Arthur seat tersebut?

Berlatar perbukitan King Artur Seat
 Ternyata King Arthur seat itu adalah puncak dari gugusan perbukitan yang membentuk Holyrood Park. Bukit tersebut terletak di tengah kota Edinburgh, sekitar 1 mil di setelah timur kastil Edinburgh. Begitu sampai di wilayah perbukitannya, kami tergoda untuk menikmati es krim di tengah suasana yang panas. Rasanya milky dingin lumer di mulut, sangat cocok dengan suasana musim panas. Kemudian kami mulai berjalan dalam track pendakian menuju Arthur Seat. Tidak ada petunjuk jalan sama sekali, yang terlihat hanya beberapa lintasan jalan setapak yang cukup mendaki. Lumayan ngos-ngosan juga, dan diselingi dengan duduk santai istirahat sambil memandangi jelitanya Edinburgh dari atas bukit. Langit biru dengan semburat awan-awan putih memayungi perbukitan yang menghijau. Pemandangan yang memanjakan mata sekaligus langka. Langit biru, matahari cerah bagi kami yang hidup di Skotlandia merupakan berkah karena biasanya cuacanya tidak lebih dari dingin, hujan ataupun berangin kencang. 

Hosh Hosh..Mari Mendaki
  
Pose di lereng King Artur Seat dan lanskap kota Edinburgh
  
Pose di Track Pendakian

Tinggi King Arthur seat ini sekitar 822 feet, makanya merupakan tempat popular untuk mendaki ataupun hillwalking. Sebenarnya tak terlalu nanjak-nanjak amat kok jalanannya. Tapi ternyata jreng, setelah lama berjalan mengikuti track.. kami salah jalan!. Begitu sampai ke atas ketinggian tertentu ternyata jalanannya bukannya naik malah menurun. Kami jalan bareng dengan orangtua-nya Dean, sahabat kami yang usai wisuda masternya, jadi mempertimbangkan kondisi fisik mereka jadi kami memutuskan untuk turun saja tidak sampai puncak dan memilih leyeh-leyeh di rerumputan. 

Full team

Yeaaah Fly..Fly..melompat lebih tinggi !

Kami memandangi dari rerumputan perbukitan yang dibentuk dari sisa-sisa gunung berapi yang berumur sekitar 350 juta tahun dan terkikis oleh glacier dan berpindah dari barat ke timur. Wuih udah lama banget ya.
Ternyata tempat ini dinamai King Arthur Seat karena diperkirakan sebagai salah satu lokasi Camelot (Camelot itu kastil dan pengadilan yang berhubungan dengan sang legendaries, King Arthur). Dulu saya hobi nonton serial King Arthur, dan kini bisa menjelajahi tanah-tanah dimana legenda tersebut tercipta.

On May-day, in a fairy ring,
We've seen them round St Anthon's spring,
Frae grass the cauler dew draps wring
To weet their een,
And water clear as crystal spring
To synd them clean

Itulah puisi yang ditulis Robert Fergusson pada 1773, yang menceritakan tradisi gadis muda Edinburgh membasuh wajah mereka dengan embun saat MayDay di lereng sebelah yang menghadap Hollyrood untuk membuat wajah mereka lebih cantik. Aih jadi kepengen nyoba #uhuk.
Usai dari King Arthur seat, kami ke Calton Hill. Humm Edinburgh ini memang punya banyak sekali tempat-tempat yang harus dikunjungi. Hampir seluruh wilayahnya termasuk UNESCO World Heritage. Nah untuk Calton Hill juga harus mendaki lagi. Aih, lumayan kaki bekerja ekstra keras hari itu. Biasanya kami bergerak dari lokasi wisata ke lokasi lain juga dengan berjalan kaki. Jadi bersiap-siaplah sering-sering menggunakan kakimu bila tinggal atau jalan-jalan ke sini. Calton hill ini terletak di pusat Edinburgh, sebelah timur Princess Street dan tentu saja termasuk dalam UNESCO World Heritage site. Saat kami sampai, sudah banyak orang yang berjemur di rerumputan karena cuaca memang mendukung untuk menikmati sinar matahari. Ada pula yang memanjat ke monumennya, dan tentu saja kami tidak melewatkan untuk mencobanya. Walau untuk naiknya lumayan perjuangan tapi begitu sampai di atas. Uwiiii saat sampai ke atas, kita bisa memandangi Edinburgh dari atas dengan leluasa. 
 Tempat yang tadinya kantor pusat pemerintahan Skotlandia ini menggerombol dengan beberapa bangunan lain yang letaknya berdekatan. Ada Scottish Parliament Building, Holyrood Palace dan beberapa bangunan lainnya.
Memang di antara kedua tempat yang kami kunjungi lebih cenderung wisata pemandangan dari ketinggian. Matahari yang bersinar cerah, langit biru, dan para sahabat, tentu saja sebuha kombinasi jalan-jalan yang cukup menyenangkan. Ini dia beberapa foto kami saat berada di atas bangunan tersebut :

Calton Hill
 
Usai dari Calton Hill, perut kami sudah keroncongan dan mampir ke tempat makan all you can eat. Nah di sini tempat makan all you can eat sering ada di tiap kota. Artinya kamu tinggal membyara sejumlah uang lalu kamu bebas makan apa saja dan sebanyak apa saja yang tersedia di resto tersebut. Bagi yang jago makan, tempat seperti ini pasti favorit.
Setelah energy kembali terisi, kami jalan-jalan ke Princess Street dengan taman-tamannya yang berlatar belakang Kastil Edinburgh. Tempat ini banyak sekali ada di foto-foto para traveller, kartu pos ataupun web-web fotografi. Lihatlah lokasinya yang breath-taking ini.

Pemandangan dari Princess Street berlatar belakang Kastil Edinburgh


Hihihi saya dong ;p

Lucu yah jam-nya :)

Dan senang juga akhirnya bisa berfoto dengan latar belakang tempat ini. Uhuiii...setelah beberapa saat nongkrong-nongkrong santai, kami beranjak berjalan pulang kembali ke Glasgow naik kereta. Edinburgh, memang selalu menawan untuk dikunjungi. Lagi dan Lagi.

Glasgow, medio July 2013