Kamis, 01 Agustus 2013

Travel Writer : The Beginning




Tulisan saya di Wego Indonesia

Glasgow masih saja dibasahi gerimis rintis, saat pagi tadi saya mendapatkan email dari Clara Rondonuwu, editor Wego Indonesia yang memberitahukan bahwa tulisan yang saya submit 2 hari lalu ke meja redaksi Wego sudah dipublish. Aih, langsung saja jemari saya segera menuju link yang disebutkan di email tersebut. Tadaaaa...ada tulisan dan foto-foto saya..aih rasa seperti itu selalu saja sulit untuk digambarkan. Saya sulit menjelaskan bagaimana renjatan-renjatan rasa saat setiap tulisanku lahir. Pun bagi saya, setiap tulisan punya rasa sendiri-sendiri saat berhasil dilahirkan. Dan saya terus saja menikmati rasa antusiasme saat tulisan-tulisan tersebut lahir.
Dan saat melihat tulisan saya di Wego Indonesia publish, humm tentu saja pertamanya merasa super excited . Walaupun ada rasa rada-rada bagaimana karena banyak tulisan yg dicut dan diedit. Humm begitulah ego penulis, seringkali merasa “tidak rela” bila tulisannya banyak diubek-ubek. Karena dalam menuliskannya, setiap kata, diksi dan alurnya itu menurut saya mencerminkan style masing-masing penulis. Jadi saat tulisan tersebut sampai di tangan editor dan diubah-ubah, dicut sana-sini, jadinya feel-nya terasa lain. Tapi sekali lagi itulah dunia tulis  menulis bila sudah menyangkut publikasi, tetap saja menuntut kompromi.
            Keren, bagus. Tulisannya, foto-fotonya juga,” komentar seorang sahabat dekat saya yang dulu sesama angota organisasi pers dulu saat S1.
kok masih seperti telling, bukan showing, nggak sekeren tulisan kamu di blog, ” kata sahabat saya lainnya yang sama-sama suka menulis.
Errr, ya begitulah karena banyak deskripsi saya yang dicut editor, lalu diganti dengan memasang foto. Mungkin juga web-nya terbatas dalam panjang tulisan dan  mungkin alasan-alasan lainnya yang tak kumengerti. Yah begitulah adanya penulis dan editor sepertinya memang harus saling berkompromi.
Bila dikirimkan ke media, memang saya harus berlatih untuk menerima tulisan saya direvisi sang editor. Beda bila saya menulis di blog kemudian diposting sendiri, karena saya bisa menulis sesuka hati, tanpa batasan panjang tulisan dan tetek bengek aturan lainnya. Di blog saya bisa menjadi penulis yang egois ehehehe. Para pembaca cuma bisa membacai dan mengomentari namun tak kuasa ngubek-ngubek tulisan saya. Tentu saja beda cerita bila tulisan saya mulai dikirim dan dipublikasikan ke  media.
            Pokok’e aku emoh kalau tulisan saya dimacem-macemin nanti. Feelnya jadi beda, kayak dudu tulisanku.” Cetus seorang sahabat yang juga suka nulis dan baru saja berencana menerbitkan tulisannya tersebut. Dia lebih ekstrim daripada saya nampaknya ahaha.
Tapi saya menikmati pembelajaran ini. Saya mulai harus belajar berkompromi dengan hal-hal ini. Pula belajar bagaimana membangun hubungan dan komunikasi dengan media tempat publikasi, karena mau tidak mau di sanalah tulisan saya hidup. Di Wego Indonesia misalnya dengan ribuan followernya memberikan kesempatan untuk tulisan saya bisa dinikmati oleh lebih banyak lagi pembaca.

Iyah, ini memang semacam perjalanan awal saya sebagai seorang travel writer. Karena sejak saya menulis, belum sempat terpikir menjadi seorang travel writer. Saya memang suka jalan-jalan dan kadang menuliskan cerita jalan-jalan saya di blog disertai dengan foto-foto karena saya juga suka fotografi (narsis juga hiayahaha). Tapi menulis sebuah tulisan travelling masih merupakan pengalaman yang baru bagi saya. Ada beberapa tehnik yang membedakan jenis tulisan travelling dengan tulisan lain, yakni unsur “show, don’t tell” seperti kata Zobel di The Travel Writer’s Handbook. Ini yang rada-rada butuh ekstra usaha karena harus menggambarkan tempat yang ingin kita tulis. Itulah yang menyebabkan kenapa saya rada kecewa dengan banyak-nya cut sehingga tulisan saya terasa kurang bumbu deskripsinya. Ah, mungkin saya memang harus lebih banyak belajar lagi dengan membaca lebih banyak tulisan-tulisan travel.
Sebenarnya menjadi travel writer dengan sempurna menggabungkan beberapa passion saya dalam satu hal, yakni nulis, jalan-jalan dan foto-foto ehehe. Itulah mengapa saya  tertarik untuk menggeluti jalur ini, tapi tetap saya masih nulis tulisan yang lainnya juga. Saya menikmati menulis hal-hal yang saya sukai, dan menyertakan hati saya dalam menuliskan itu semua. Semoga ini merupakan awal perjalanan dari karir travel writer saya. Finger Crossed!
Live a life that matters to you! Cheers
CVR Church Street, di ruangan student seusai ngelab bersama sel-sel saya. 1 Agustus 2013.

Lots of Love
Siwi Mars
Previous Post
Next Post

5 komentar:

  1. waaaa...kereeeen mbak, gimana caranya biar dimuat di sono mbak? :D
    oh, maunya ada link-nya jg ditaruh di sini, biar langsung bs meluncuuur :D

    BalasHapus
  2. ehehe tengkiu kak eqi (sok akrab sekarang sy panggil Kak Eqi drpd manggil kepanjangan ehehe). saya dulu daftar jadi kontributor saat ada pendaftaran kontributor Wego Indonesia, seleksi, diterima lalu dapat akses username dan password ke meja redaksinya. Gitu ceritanya..
    **hohooo iyaaaah usul yang bagus, saya taruh link-nya di akhir tulisannya, thx :)

    BalasHapus
  3. proud to you lah...

    editing dari editor itu yang namanya 'berkah salah ketik'. hahaha kalo aku sih udah rela untuk diobok2 asal tulisan bisa majang di tempat tujuan.

    --ngarep hahaha--masih sebatas MKY--

    BalasHapus
  4. Siiiip. tengkiu mbak
    boleh juga panggil nama kecil, seperti nama kecilku :D

    BalasHapus
  5. @ibrahim : ehehe iyah begitulah masing2 punya persepsi sendiri2 ttg penulis dan editor. Good luck dengan tulisannya.
    @Kak Eqi : humm nama kecilnya siapakah? bukan -Hani-kan?#ups ehehe

    BalasHapus