Selasa, 03 September 2013

Tentang Kopi dan Rasa Hidup




Masih tentang kopi, dan saya menulis pun ditemani secangkir kopi di sorenya Glasgow yang sudah mulai dingin. Cuaca awal September sudah serupa dengan musim gugur,  karena memang sudah waktunya. Musim kali ini sepertinya datang tepat waktu. Langit sudah sering gloomy, hujan sudah sering kali mengunjungi dan yang paling khas tentu saja anginnya Glasgow yang mantap itu. Usai dari lab tadi anginnya sudah lumayan menampar-nampar muka, memang belum iseng mengaburkan badan sih. Tunggulah menjelang pertengahan atau akhir September, anginnya Glasgow pasti bertambah iseng.
Dan teman terbaik untuk cuaca seperti ini memang secangkir kopi hangat. Iyah, seakan menemukan semacam alibi yang tepat untuk melegalkan ritual minum kopi. Minum kopi bagi beberapa orang memang merupakan ritual tersendiri. Lihatlah bagaimana Dee dengan gemilangnya membuat Filosofi Kopi yang hampir siapapun membacainya. Kopi itu minuman yang sangat berkarakter-begitu tulisnya dalam filosofi kopi. Pilihan masing-masing pribadi akan jenis kopi favoritnya kadang kala pula mencerminkan kepribadian si peminum kopi itu sendiri. Kadang ada lho artikel yang menulis tentang hubungan karakter seseorang dengan jenis kopi yang diminumnya, ada pula yang melakukan studi ilmiah tentang hal tersebut. Iseng-iseng saya juga sering membacainya. Kadang ada pula yang sesuai, seru juga.
Saya pecinta coffee latte, dan sayangnya sulit yang mampu memuaskan lidah saya akan selera kopi saya. Seriusan! Menurut saya kopi paling enak itu ramuan sendiri, seperti hidup memang paling pas bila kita tahu apa yang kita mau. Dan yang tahu apa yang kita maui tentu saja diri sendiri. Seberapa bubuk kopi yang ditambahkan, seberapa sendok gula, berapa air panas serta berapa susu ataupun cream yang ditambahkan. Bahkan kopi seperti apa, susu jenis apa pun kadang sampai sespesifik itu. Repot? Tidak, saya hanya tahu apa yang saya maui. Akhir-akhir beberapa kali mencobai kopi baru, dan lidah mulai “manja” enggak mau lagi kopi biasa yang saya biasa saya beli dengan harga relatif murah. Kopi biasa sangat terasa asamnya, kadangkala rasa asam itu menganggu rasa pahitnya.
Kadang dengan melihat perpaduan warnanya di permukaan cangkir saja yang bisa mengira apakah susu yang ditambahkan sudah cukup atau belum. Warna setelah gula, kopi dan susu itu bercampur pun harus pas untuk mencipta paduan rasa yang orgasmik! Hihi. Saya membuatnya hampir setiap hari, telah menjadi bagian dari hidup seperti saya makan nasi, jadi jangan heran saya sudah hapal benar takaran dan paduan favorit saya.
Bahkan untuk cangkir kopi sendiripun saya punya preferensi sendiri. Saya jarang sekali membuat kopi untuk saya sendiri dengan menggunakan gelas. Saya suka membuat kopi dengan cangkir berbahan keramik, dengan bentuk yang bulat atau sejenisnya (bukan bentuk seperti gelas) dan sisi dalamnya berwarna putih/terang. Entah kenapa saya menggangap pilihan cangkir juga mempengaruhi rasa. Sisi dalamnya yang putih akan memudahkan saya untuk mendeteksi apakah campuran yang saya buat sudah pas atau belum. Dengan gampang bisa tahu apakah masih kurang susu, atau kebanyakan karena pastinya rasanya akan lain nantinya. Dan satu hal lagi, saya menikmati melihat perpaduan warna itu. Saya mahluk visual yang “terpuaskan” dengan memandangi terlebih dulu kopi yang akan saya sesap. Dan begitulah minum kopi bagi saya memang serupa serangkaian teori-teori yang memang hanya cocok untuk saya sendiri. Karena bagaimana saya menentukan seperti apa kopi kesukaan saya, persis seperti bagaimana saya menentukan hidup seperti apa yang saya inginkan.
Kadang kala ada pula cerita ataupun alasan di balik preferensi orang terhadap jenis kopinya. Semalam saya nonton Rectoverso lagi (entah untuk ke berapa kali), dan pada adegan “cicak di dinding” ada dialog yang pasti sangat diingat penonton :
            “ Kenapa si suka minum kopi pahit?” tanya Laras yang diperankan Sophia Latjuba dengan gayanya yang sensual pada Taja.
            “ Biar ingat masih ada yang manis di luar sana,” jawab si Taja dengan raut mukanya yang dingin.
Atau alasan si Randy (Boy Hamzah) dalam film “Kata Hati”  yang mengubah selera kopinya menjadi kopi item setelah ditinggal pergi kekasihnya.
            “ Seperti hidupku, hitam dan pahit semenjak ditinggal Dera,” begitu dalam salah satu dialognya.

Kau lihat? Kopi itu memang ikonik ehehe. Lalu kenapa aku suka coffee latte? Humm saya suka paduan rasa pahit, manis dan gurih dan satu sesapan. Kopi bukanlah kopi kalau tidak pahit bukan? Juga hidup kadangkala bukan menghindari kepahitan, tapi menghadapinya karena masih ada rasa manis yang ditawarkan hidup.
Saya suka pahitnya kopi, pahitnya pare, pahitnya rebusan daun pepaya ataupun kadang pahitnya jamu. Pahit itu juga sama seperti katalog rasa-rasa yang lain seperti manis, asin, gurih, asam, hambar. Seperti juga hidup, kita harus siap menghadapi rasa apapun. Dan untungnya kita selalu bisa memilih bagaimana kita mensikapinya. Jadi teringat kalimat Gede Prama dalam tulisannya :
“full of attachment to pleasure, and full of rejection to the pain. As a result, life continuously swing from one extreme to the other extreme without having any rest. This is the root of many diseases such as stress and depression”
Jadi, coffee latte bagi saya itu seperti bagaimana menghadapi pahit, manis dan gurihnya hidup dengan berani #eaaa...dududu..

Glasgow, 2 Sept 2013 menjelang tengah malam.

Previous Post
Next Post

2 komentar:

  1. Kopi seperti hidup, ada pahit, manis, nikmat, hitam, putih, kumplit... :)

    Saya suka kopi, tapi tidak terlalu, karna perut sudah tidak mau diajak kompromi..

    BalasHapus
  2. ehehe seperti juga sehari itu rasanya kurang komplit bagiku tanpa secangkir kopi :)
    *hihi pilih yang kopinya jangan terlalu asam kali #sok tau :D

    BalasHapus