Sabtu, 21 September 2013

Tujuh




Aku mencintai angka tujuh jauh sebelum aku mencintaimu. Jauh sebelum aku bertemu denganmu, mengenalmu.
Bila kau masuk lorong waktu dan melihat hidupku dulu, engkau akan banyak menemukan angka tujuh di situ.
Ah, tapi bukankah tak perlu masuk lorong waktu. Karena Aku, kamu, angka tujuh, dalam detik ini saja sudah cukup.
            “Kenapa harus angka tujuh?” tanyamu. Tanya orang-orang lain juga terkadang. Seringkali hanya kujawab dengan senyuman. Kau selalu cukup dengan senyumku bukan? Dan lupa apapun pertanyaan yang kau ajukan sebelumnya.
Padahal kadang kala ingin kujawab, dengan berkata :
“Mungkin itu nomer punggung.”
“Mungkin juga bukan.”
Ah, iya itu sebenarnya nomor punggung. Ah, kadangkala manusia pada suatu ketika ingin menghapus kekonyolan-kekonyolan masa lalu. Merasa bahwa andai ia langsung menjadi dewasa tanpa melewati tahapan-tahapan yang menyimpan senyum  malu bila diingat.
Ah, baiklah. Bukankah aku juga harus berani untuk tetap menyimpan kekonyolan masa lalu.
Iyah, tujuh itu nomor punggung.
Sudahkah pernah kubilang padamu tentang ini?
Kau hanya tahu aku suka angka tujuh dengan alasan yang tak pasti. Dan melihat angka tujuh tersemat dimana-mana. Nama akun BB, nomer ponsel, password, angka tujuh bertebaran di mana-mana.
            “ Adek kirim semangat 7 kg ya dari siniiii,” kataku seringkali. Dan kamu senang hati tanpa banyak bertanya kenapa apa-apa harus tujuh kilo, tujuh kali, tujuh..dan tujuh.
Tapi beberapa saat lalu, aku kelu. Obrolan tek-tok dan never ending conversation yang biasa kita lakukan mendadak bisu. Aku yang bisu.
Sementara layar penuh dengan celotehanmu yang cerewet.
            “ Bingung mau ngetik apa hehe,” hanya kalimat itu yang terketik di layar ponselku.
Lalu terlihat berbaris-baris kalimatmu lagi. Cerewet!
            “ Ingin bilang sesuatu tapi tidak tahu apa,” lanjutku. Ada yang ingin kusampaikan saat itu tapi tak tahu apa.
Lalu di layar kembali muncul berbaris-baris kalimatmu lagi. Sampai pada kalimat “sehat-sehat ya, baik-baik ya, makan rutin ya. Bla bla..bla..
Dan aku membalas dengan berderet-deret ikon senyuman.
            “ Sudah dulu ya, baik-baik ya. Assalamualaikum,” pungkas kalimatmu.
            “ Walaikumsalam” jawabku mengakhiri obrolan tak jelas malam ini, waktu milikku, dini hari milikmu.
Tapi sedetik kemudian kusadari satu hal, lalu kuketik lagi
            Eh sebentar, senyumannya dikurangi satu, itu delapan. Kurangi satu biar jadi tujuh. Walaikumsalam.
            “ Hahaha hadooh,” dan ikon tepot jidat muncul di layar.
Ah kamu, pahamilah aku dan angka tujuh.
Kau tahu, kini aku tahu apa yang sebenarnya ingin kubilang padamu beberapa saat lalu itu.
            “ Tujuh itu sempurna. Dan Kamu itu..delapan! sempurna dengan segala kurangmu. Lebihmu!”


Tsaaah, abaikan tulisan ini hihiii..

Glasgow dini hari. 21 Sept 2013.
         



Previous Post
Next Post

7 komentar:

  1. eh, jangan donk, jangan diabaikan...
    7-8-9, itu angka yang...cantik. :)
    lulus sma 2007, pertama kuliah juga tahun 2007, aku anak ke-7 (lahir 9988), waktu sidang skripsi juga hanya tujuh orang (para mahasiswa yg ketinggalan,hihi), jumlah siswa pertamaku (tahun 2010) di sekolah yg ku pimpin juga tujuh siswa (tapi sekarang nambah satu, jadi 8, he), waktu kuliah kenalan dengan tujuh anak tunggal yg dari mereka aku tahu psikologis anak-anak tunggal, dan 21, adalah 3 x 7.hehe

    21 september 2013

    BalasHapus
  2. eh, ta kira sekarang tggl 21,,hihi,,lebay di 7-7-in..

    BalasHapus
  3. 7 itu istimewa, 9 ituh sempurnaaaaaaaaaaaa hahahahhaha.....

    BalasHapus
  4. @Afa : ehehe njelimet ya itung2annya :D
    @Lupi : jiaaaah..preferensi masing2 to ;p bukannya sempurna bagimu itu 20? ah itu nomer punggung. Iya. itu pasti nomer punggung #kode ahaha ;p

    BalasHapus
  5. hehe,,
    maturswun pun dikonpirm fesbuke..he :p

    BalasHapus
  6. @Afa : yupie, sami-sami :)
    @Rinimonti : wuih angka surgaa...baru tahu :)

    BalasHapus