Jumat, 22 Mei 2015

Karena perjuangan harus terus dilanjutkan



              “ Minggu depan si Pearce udah nggak di lab lagi. Berhenti dari PhDnya,” cerita Mas Basid beberapa hari lalu.
Saya agak kaget mendengarnya. Berhenti? Si pearce baru menginjakkan tahun pertama PhDnya. Saya agak lupa apa pernah ketemu apa enggak dengannya. Dulu saat lab saya masih di sekitar Main Building, kadangkala saya bergabung dengan group lab mas basid untuk makan siang bersama. Beberapa saya kenal dengan cukup baik. Tapi Pearce, saya tidak terlalu mengenalinya. Hanya saja, namanya sering disebut-sebut ketika Mas Basid bercerita tentang suasana labnya.
            “ Depresi katanya,” Begitu jawab mas basid ketika kutanya alasan kenapa Pearce berhenti dari studi PhDnya. Phew depresi, terdengar menyeramkan sekali. Seberat apakah depresi yang dialaminya sehingga harus berhenti dari PhDnya?
Laki-laki pula, saya masih agak aneh mendengar ada laki-laki yang depresi heheh.
Beberapa bulan lalu, seorang rekan di lab saya juga berhenti di tahun pertamanya, karena alasan apa saya kurang tahu pasti. Tapi yang jelas semenjak awal dia memang angin-anginan. Ah benarkah mahasiswa PhD rentan depresi? Ahaha.
Yang jelas bagi saya, jenjang studi doktoral ini terasa yang paling berat di antara jenjang studi saya sebelumnya yang relatif sangat mulus. Untuk jenjang PhD ini memang banyak hal yang membuatnya super berwarna. Perjalanan yang hampir self-guidance inilah yang membuat kita seperti berperang dengan diri sendiri. Kapan mulai, kapan harus berprogres, mau kemana riset kita? seberapa cepat kita berprogres? Sampai dimana batasnya? Kapan mau selesai? Hampir semua ditentukan oleh diri sendiri, hingga kadangkala seperti sebuah perjalanan panjang dan sunyi.
            “Bulan depan, kayaknya aku sekeluarga mau pulang ke Indo, duitnya sudah tidak cukup lagi,” kabar itu membuat dada saya sesak mendengarnya. Akhirnya dia memutuskan untuk pulang. Dia sahabat sekaligus rekan seperjuangan saya sesama Diktiers di UK tetapi di lain kota.  Sering kali berbagi keluh kesah bersama, yang seringnya adalah keluh kesah administrasi dan beasiswa.
Kami berdua sama-sama belum diterima aplikasi perpanjangan beasiswa tahap ke 2. Dia tinggal di UK bersama keluarganya yang membuat biaya hidup lebih berat untuk ditanggung. Iya, biaya hidup di Uk sangat mahal, memang berat bila tanpa sokongan uang beasiswa. Akhirnya dengan persetujuan supervisornya, dia akan melanjutkan writing up di Indonesia kemudian kembali ke UK saat viva (ujian akhir doktoral).
Walau begitu, saya merasa sedih juga dengan rencana kepulangan sahabat saya itu. Meskipun nasib saya sendiripun belum pasti entah sampai kapan bisa bertahan ahah.
            “Kita selesaikan apa yang telah kita mulai,” kalimat ini sering kami ucapkan satu sama lain kala seringkali beban studi meninggi.
Karena perjuangan yang terus dilanjutkan, mari tetap mengalirkan energi pada jalan-jalan usaha. Pada ikhtiar-ihktiar, pada doa-doa.
Tuhan selalu memberikan kemudahan. Setahu saya, Dia Maha Baik.



Salam.Glasgow. 22 Mei 2015
Previous Post
Next Post

4 komentar: