Minggu, 27 Desember 2020

Luncurkan Website Akademis Sebagai Bentuk Kontribusi



Hi senang berjumpa lagi website ini!

Agak lama nggak posting di website ini, karena sebulanan terakhir saya sedang menggarap website baru saya. Aih, iya saya punya website baru yang lebih berisi akademis, berfokus pada artikel tentang studi lanjut ke luar negeri, beasiswa serta publikasi ilmiah. Hihi keliatannya serius banget ya! 

Sebenarnya hal ini berkaitan dengan beberapa komtemplasi saya akhir-akhir ini soal “ikigai”, seperti yang saya posting pada postingan saya sebelumnya. Saya berpikir bahwa ingin hidup saya harus mulai lebih terarah lagi, terlebih pada hal-hal yang saya senangi, dan siapa tau dapat memberikan kebermanfaatan pada banyak orang. Saya banyak berdiskusi dengan sahabat saya, dan akhirnya berkolaborasi untuk meluncurkan website official di https://siwiwijayanti.my.id/

Selama ini saya membuat dan menulis di website siwimars.com autodidak saja, dari coba sana sini jadi memang secara tampilan website dan fitur masih sederhana. Karena memang ini website personal, yang isinya gado gado segala macam rasa tulisan bisa muncul di website ini. Di website saya yang resmi yang bertajuk “Inspirator Akademia” itu, insyaAllah akan dikelola dengan lebih serius. Aih Inspirator Akademia itu tadinya semacam tajuk yang berat sekali untuk saya.

“hehe ya biar ada labelnya. Semacam personal branding gitu,” kata si sahabat yang membantu mengkonsep dan mengeksekusi tehnis website-nya. Ya sudah, saya manut saja haha.

Ternyata saya menikmati secara rutin menghidupi website baru saya itu, walaupun kalau nulis artikel baru agak lama, karena lebih pakai mikir dibanding mau ngepost di website ini. Karena di website tersebut, bahasa saya juga berbeda, topiknya juga tentu saja berbeda dengan di siwimars.com. Kalau di sini, saya bisa menulis aja saja, dengan gaya bahasa santai seperti sedang membicangi sahabat, sedangkan di https://siwiwijayanti.my.id/, saya harus menulis dengan gaya yang lebih semi-formal. Tapi saya seneng-seneng saja sih, karena membagikan beberapa informasi tentang studi lanjut di luar negeri, beasiswa serta publikasi ilmiah. Saya yakin ada banyak orang yang lebih kompeten, lebih berpengalam dan lebih-lebih lainnya, namun mungkin “tidak dituliskan”. Nah, maksud saya menghidupi website tersebut tentu mencoba share informasi-informasi yang saya ketahui atau berdasarkan pengalaman saya studi di luar negeri serta mempublikasikan jurnal ilmiah.

Sudah sekitar sebulan sejak diluncurkannya website tersebut, Alhamdulillah responnya cukup baik. Peringkat DA (domain authority) dan PA (Page authority)-nya sudah langsung 5 pada bulan pertama. Yang kata sahabat saya itu oke banget, hehe sebelumnya mana paham saya soal DA-PA begituan lah hehe. Ada pula banyak DM di IG saya yang mengucapkan terimakasih atas informasi-informasi yang saya berikan. Atapun menanyakan hal-hal yang ingin ia ketahui tentang studi lanjut. Dan itu menyelusupkan saya bahagia, bahkan terharu. Ih, saya berguna juga ya! Hahah gitu sih rasanya,

 “Ada kebahagiaan-kebahagiaan yang saya dapatkan dari menulis, dan itu tidak bisa ditukar”

Akhirnya saya sampai kembali pada pemahaman itu, bahwa panggilan hidup ada pada menulis. Doakan ya untuk terus konsisten menghidupi website saya tersebut. Silahkan mampir-mampir juga lho!

Kelak website ini juga akan dipermanis kok, biar saya tetap betah menulis di sini dan semoga kalian juga masih betah terkadang mampir ke mari. Karena website ini, tentu saja rasanya seperti rumah saya. Dimana saya saya bisa sharing perasaan, pemahamaan dan pengalaman saya. Terimakasih telah membersamai saya selama ini.

Salam cinta.

Jumat, 09 Oktober 2020

Membincangi Ego Diri


Mendung sudah mulai terlihat di luar jendela. Purwokerto hampir setiap sore kini diguyuri hujan. Sayang memang, karena itu artinya saya lagi-lagi tidak bisa jalan kaki sore di GOR, yang letaknya hanya di samping kantor kampus. Rutinitas jalan sore sudah hampir sebulanan ini merupakan kebiasaan baru yang ternyata nagih banget untuk dilakukan. Tepatnya semenjak badan saya mulai “protes” dengan terdeteksinya kadar tertentu di badan saya yang di atas normal. Fase-fase sakit kemarin cukup membuat saya down dan merasa tidak berdaya, karena selama ini saya merasa-nya sehat-sehat saja. Hanya saja, yang mungkin tidak disadari adalah saya terlalu memacu tubuh, pikiran dan energi saja di luar ambang batas keseimbangan.

“Iya sih memang sibuk banget…tapi kan sebenarnya semuanya hampir bisa dikatakan dapat terselesaikan dengan baik kan?”—dulu saya berpikir seperti itu.

Sampai akhirnya tubuh saya mengirimkan “warning” itu

Dan keadaan itu membuat saya banyak merenung dan berpikir. Sepertinya ada pola yang harus saya rubah. Yang berubah banget terutama pastilah pola makan saya agar berupaya untuk menormalkan kembali kondisi tubuh. Dan itupun ternyata tidak mudah, karena seringkali kita makan makanan tertentu sebagai “comfort food” yang setelah makan, mood kita terasa lebih baik. Mungkin itu yang sering kita dengar sebagai emotional eating, yakni dengan makan makanan tertentu untuk membuat perasaan ataupun mood kita menjadi lebih baik. Pernah nggak kalian kayak gitu?

Dulu ketika sudah seharian lelah bekerja ngerjain ini itu, pikiran pertama yang terlintas ketika hendak pulang ke rumah itu..”mau makan apa ya yang enak?” Waktu itu pembelaan yang ada di pikiran saya adalah hal itu sah dilakukan sebagai reward, kompensasi karena sudah bekerja dan berupaya keras seharian. Dan parahnya karena saking lelahnya, habis makan biasanya ketiduran. Mungkin pola ini yang lama-lama membuat tubuh saya protes. Kebanyakan kerjaan, energinya seringkali habis, bahkan mungkin sebenarnya defisit. Namun, ini tidak saya sadari.

Saya beberapa waktu lalu mendengarkan paparan Reza Gunawan, praktisi kesehatan hoslistik pendiri klinik True Nature Holistic Healing yang membahas tentang toxic success. Intinya sih “sukses beracun” itu terjadi ketika kita bisa menjadi sakit secara mental, jiwa, pikiran hingga fisik dikarenakan oleh proses perjuangan menuju sukses yang tidak sehat”.

Sepertinya itulah pesan yang tubuh saya sedang ingin sampaikan. Dulu, beberapa temen pernah mengatakan saya orangnya itu ambisius, dan selama ini saya menyangkalnya.

“Enggak ah, perasaan normal-normal saja. Saya memang orangnya high achiever, pekerja keras, kuat tekad mewujudkan apa yang ingin saya raih. Nggak salah juga kan?” itu sih dalam hati saya selalu menyangkalnya demikian.

Soalnya bagi saya ambisius itu terdengarnya negatif gitu. Hingga kemudian beberapa saat lalu saya berbincang dengan seseorang, dan iseng bertanya “memangnya aku terlihat ambisius ya?”

“Kalau aku, mengukur seseorang itu ambisius negatif atau tidak, ya pada poin keseimbangannya sih. Persepsi kebanyakan orang, ambisius itu punya keinginan sangat kuat untuk mencapai sesuatu tanpa mengindahkan prinsip-prinsip keseimbangan,”- begitu tutur seseorang itu.

Jleb nggak sih rasanya? Jawabannya itu memang tidak eksplisit bilang saya termasuk kategori ambius. Tapi kalimatnya itu membuat saya berpikir seketika bahwa kemungkinan saya memang mengindahkan prinsip prinsip keseimbangan itu. Terlalu banyak kerja, istirahatnya kurang, males olahraga, makan-nya nggak sehat.

Tapi memang susah sebenarnya ya kita mengukur keseimbangan? Selama ini saya merasanya sehat sehat saja, sampai suatu ketika tubuhnya merespon dan protes. Dan kemudian itu membuat saya berpikir.

“ Memang sih, PR terbesar orang hidup itu ya adil untuk membagi porsi pada hak dan kewajiban. Dan seringkali kita belum mengetahui berapa sebetulnya takaran porsi untuk adil itu, sebelum kita mengalami sesuatu yang nggak enak pada diri kita.” Tutur seseorang tadi itu.

Itu persis yang terjadi pada diri saya.

“ Setelah aku pelajari, ternyata dalam diri kita sendiri ada banyak entitas ego. Dimana kalau kita ngga bisa berkomunikasi baik dengan mereka, hidup kita isinya akan jadi ribet terus. Misalnya gini: ada entitas ego yang menginginkan kita sukses dalam karir. Maka dia akan memacu kita untuk terus bekerja sekeras mungkin untuk mencapai apa yang menurut kita menjadi sebuah standar sukses. Apa entitas ego ini salah? Nggak, karena memang di situlah peran dia. Tapi kelemahannya, dia nggak peduli bahwa kapasitas tubuh kita bisa mengimbangi nggak dengan ritme kerja kerasnya? Nah, sementara itu ada entitas ego yang lain yang menginginkan kita hidup seimbang, demi kesehatan tubuh. Di situlah konflik antar entitas ego bisa terjadi.”Begitu pendapat teman diskusi saya itu. Berat ya kalimatnya ya? Hehee ampun memang lah wkwk..

Tapi isinya jleb jleb..saya mungkin harus lebih banyak membicangi ego saya, untuk berupaya paling tidak agar lebih seimbang lagi memperlakukan jiwa, pikiran dan tubuh. Mungkin kalau tidak seperti ini, akan saya terus menjalani hidup dengan terus tidak mengindahkan keseimbangan. Memacu diri tanpa tahu batasannya.

Kadang-kadang hidup begitu ya, ada saatnya kita menjeda dan berpikir kembali tentang pola bagaimana kita menjalani hidup. Kalau saya pikir, hidup itu tentang terus belajar dan belajar tanpa henti. Belajar membincangi diri, termasuk ego-ego di dalam diri. Itulah yang sering saya lakukan akhir-akhir ini sembari melajukan langkah langkah kaki dalam rutinitas jalan sore. Dengan semilir angin, suara musik di earphone dan perbincangan perbincangan saya dengan diri sendiri.

Salam hangat dari sore-nya Purwokerto yang bergelayut mendung.


Selasa, 13 November 2018

Kacamata tentang Kebahagiaan




Hari ini tak sengaja mendapati postingan Mas Andi Arsana, dosen Geodesi UGM di IG story-nya, tentang perjalanannya menuju sebuah meja yang merupakan titik temu antara tiga negara Slovakia, Hongaria dan Austria setelah mengikuti lomba the Falling Walls Lab di Berlin, Jerman. Jadi kalau duduk di meja segitiga itu, kita berada di tiga negara yang berbeda. Untuk sampai di situ, dari Ig story-nya beliau bercerita harus terbang dari Berlin ke Wina, kemudian ke Bratislavia naik bus, lalu menyewa supir taksi untuk menuju ke meja segitiga itu. Sempat mereka berhenti dan kebingungan untuk mencapai tempat itu. Sepertinya lokasinya sulit dijangkau, sampai harus jalan kaki..dan sampailah ia ke meja berbentuk segitiga, dengan tiga kursi panjang yang mengelilinginya. Dengan muka penuh antusias, beliau mengucap dalam videonya,

            “ Hey akhirnya sampai juga...ini adalah meja yang menandakan tiga negara..bla bla..bla..”
Saya mengeryitkan dahi, hanya kayak gitu doang tempatnya? Heheh...namun, sedetik berikutnya saya kembali diingatkan..betapa nilai sesuatu menjadi sangat berbeda bagi setiap orang. Bagi seorang Mas Andi yang selama ini bergelut di dunia perbatasan, mungkin itu keinginan yang sudah dipendam sejak lama. Hingga bisa mencapai tempat itu merupakan pencapaian yang luar biasa.
Seperti juga saya diingatkan pada seseorang yang mengirimkan pesan via FB messenger ke saya. Si bapak yang tidak saya kenal sebelumnya itu bercerita akan ke Edinburgh, dan dia nanya apakah saya tahu dimana makamnya Adam Smith. Dia tahu kalau Adam Smith itu dimakamkan di Canongate Kirkyard Edinburgh, tapi dia nanya siapa tau saya tahu ancer-ancernya. Ya ampun, biasanya orang ke Edinburgh itu ya pengennya ke tempat seperti Kastil Edinburgh ataupun Calton Hill. Lha ini, niat banget pengen nyari kuburannya Adam Smith!
            “Saya dulu itu terinspirasi Adam Smith gara gara dosen saya banyak cerita soal Adam Smith,” si bapak itu bercerita.
Hal tersebut semakin mengingatkan saya bahwa tiap orang punya kebermaknaan hidup yang berbeda masing-masing.
Hal hal yang menurutmu luar biasa, bagi orang lain mungkin saja hanya receh. Ataupun sebaliknya, hal hal yang menurutmu biasa saja, bisa saja menjadi hal luar biasa jadi orang lain.
Ada orang yang merasa keliling ke berbagai negara itu menantang dan memuaskannya, namun ada orang yang kepuasannya ada pada membuat kreasi craft, memastikan anaknya hapal Juz sekian, atau ada pula yang menilai kebermaknaannya pada dedikasi pada pekerjaannya.
Tiap manusia rasanya punya pijar kebahagiaannya masing-masing, yang tentu saja berbeda-beda.
Namun yang saya jumpai, kadangkala orang memakai kacamatanya sendiri untuk melihat kebermaknaan orang lain. Orang memakai standarnya sendiri, untuk melihat orang lain.
Memang dalam perjalanan hidup manusia, ada hukum yang tak terucapkan bahwa ada beberapa hal yang dijadikan standar pencapaian hidup seseorang. Dimana ada alur menjalani bangku sekolah, kuliah, mencari pekerjaan, menikah, punya anak, yang rasanya ada timeline tertentu yang juga menjadi kesepakatan bersama.
Hingga orang orang yang tidak sesuai dengan timeline itu, sepertinya menjadi “orang yang berbeda”.
Saya dalam beberapa kesempatan interaksi sosial adakalanya merasa “direndahkan” hanya karena belum menikah. Bahasa-bahasa yang secara implisit, bahkan kadang eksplisit tersampaikan bahwa “saya sudah, kamu belum”. Beberapa orang merasa “lebih” karena mereka sudah, dan saya belum. Memang ada orang orang yang mengganggap menikah itu pencapaian, ada pula yang enggak lho. Jangan lupa.
Tekanan sosial juga bukan main derasnya lho bagi para barisan “belum menikah” seperti saya. Masih ditambahi judgement-judgement mereka sendiri, tanpa ingat bahwa tiap orang punya ceritanya sendiri yang tidak perlu dibagikan pada orang lain.
Sama halnya dengan pasangan yang belum punya anak misalnya. Ada sahabat saya yang mengalami tekanan baik dari sosial umum, bahkan dari keluarganya hanya karena ia belum hamil juga. Ada sahabat saya lainnya juga yang baru baru ini mengunggah tulisan di IG storynya. Ia baru saja wisuda PhDnya di salah satu universitas di UK. Sepertinya ada orang yang berkata padanya begini :
            “ Kapan nih mbak punya anak. Apa nggak pengen punya anak kayak keluarga-keluarga yang lain?”
Ya ampun basa basi-nya sadis banget sih menurut saya. Kita nggak tahu apa yang telah diupayakan sahabat saya itu selama ini untuk memiliki momongan. Ataupun kita juga nggak tahu apakah sahabat saya itu memang pengen punya anak atau tidak. Bukan hak kita untuk tahu.
Banyak orang bertanya tentang “Kapan?” yang sebetulnya tidak perlu ditanyakan.
Menilik lagi pada kisah di atas tentang Mas Andi dengan meja segitiganya atau si bapak dengan kuburan Adam Smithnya. Tiap manusia punya ceritanya masing-masing. Punya pijar bahagianya sendiri-sendiri. Punya apa-apa yang dirasa penting, berharga, bermakna dan apa yang membuat bahagia..sendiri sendiri.
Tidakkah hidup menjadi lebih tenang, ketika kita bisa saling menghargai hal-hal yang sangat pribadi itu?
            “Mesakke (kasihan banget) mbak , di rumah sendirian. Sepi banget pastinya”
Orang lupa, bahwa kalau dia merasa lebih bahagia dengan  hidup ramai, di tengah banyak orang..belum tentu orang lain. Ada orang yang lebih nyaman sendiri, walau tetap menikmati berinteraksi dengan orang lain, tapi ia butuh mencharge energinya dengan lebih banyak sendiri. Saya stress lho kalau terlalu lama harus berada dalam pertemuan banyak orang. Iya, tiap orang punya keunikannya masing-masing..hal ini yang seringkali dilupakan.
Sayangnya, beberapa orang masih memandang kebahagiaan orang lain dengan standar kacamatanya mereka sendiri. *** 


Minggu, 20 Mei 2018

Menuju Glasgow (Lagi)

I miss The Old ME



Dalam hidup, pasti kita punya suatu rentang waktu yang rasanya merupakan “the best moment in life”. Suatu waktu ketika hidup berjalan indah dan membahagiakan. Sehingga ketika suatu saat hidup terasa berat, banyak dilanda kekecewaan ataupun terasa berjalan membosankan. Ada keinginan untuk kembali “ke masa-masa indah” itu.
Kalian pernahkah merasakan seperti itu?
Bagi saya, masa-masa hidup di Glasgow adalah masa-masa yang membahagiakan, tenang dan damai sekaligus penuh kenangan indah.
Walaupun sebenarnya bila ditengok secara mendetail sebenarnya hidup saya di Glasgow termasuk masa-masa berat, harus menyelesaikan studi S3 dengan segala rintangannya, pun harus berjuang dengan beasiswa yang mepet serta sering terlambat cair. Ada banyak airmata, tapi memang lebih banyak tawa ceria.
Sometimes, I miss the old me!
Saya yang penuh senyum tawa ceria. Karena walaupun ada banyak masa-masa sulit, tapi ketika saya pulang ke tanah air, apa yang saya kenang dari kehidupan di Glasgow adalah masa-masa indah.
Kebetulan, dua tahun terakhir ini saya mengalami banyak hal-hal berat dalam hidup. Kehilangan bertubi-tubi, pekerjaan yang semakin menyita waktu dan energi, serta rangkaian peristiwa-peristiwa yang penuh tekanan bagi jiwa.
Saya sungguh butuh jeda.
Bila sudah seperti itu, ada terbersit rasa "andai bisa kembali ke Glasgow lagi, mungkin hidup akan lebih tenang.”
Memang seharusnya kebahagaian, ketenangan dan kedamaian hidup ditemukan di dalam diri. Sehingga dimanapun kita berada, tidak mengubah ketentraman di dalam diri. Iya, harusnya begitu teorinya. Tapi hidup ternyata tidak semudah itu. Lingkungan yang toksik, paparan energi negatif ada dimana-mana. Terkadang itu menjadikan upaya menjaga mood yang baik, bisa tiba-tiba terjun bebas.
Perjalanan saya kembali ke Glasgow September tahun lalu merupakan jeda yang begitu istimewa bagi saya. Dua minggu yang sangat berharga. Dua minggu yang saya habiskan untuk menikmati hidup dengan lebih tenang, dan nyaman.
Dan saya rindu untuk mengambil jeda kembali.
Tahun ini rasanya begitu berat, ada banyak kekecewaan, kehilangan harapan, kehilangan seseorang, kehilangan rencana-rencana ke depan. Hidup memang tak pernah tertebak, bisa saja kita dilemparkan dalam keadaaan, trus dibilangin kayak pas ngisi bensin,
            “Dimulai dari Nol ya” !
Adakalanya hidup bisa penuh semangat melesat lesat hingga ada banyak energi untuk mewujudkan impian impian.
Namun, adakalanya hidup meluluhlantakkan semuanya.
Hingga apa yang saya tahu hanya menjalani hidup, menghadapinya. Saya tidak tahu harus bagaimana, harus ngapain...ketika hidup kehilangan daya hidupnya.
Saya tidak baik baik saja,
Saya sungguh merindukan jeda.
Saat ini saya sedang mencoba mengajukan suatu program dari Dikti untuk kembali ke Glasgow, hanya beberapa bulan. Saya pun tidak tahu apakah nantinya akan diterima atau tidak.
Yang saya tahu, saya butuh jeda.
Dan Glasgow, adalah tempat yang pertama kali muncul dalam pikiran saya.
Doakan saya berhasil ya!
 

Jumat, 19 Januari 2018

Reunian di St Mungo, Glasgow

yeaaay ngumpul lagi



Hari ini saya sibuk berbelanja, membeli daging sapi, daging ayam dan bumbu-bumbu, juga kacang hijau. Rencananya saya akan masak soto betawi, sate ayam, dan bubur kacang hijau. Pagi-pagi dari rumah mbak isnia, saya membawa stroller belanjaannya mas basid ke KRK. KRK itu toko halal bucther langganan saya dan juga langganan banyak pula mahasiswa-mahasiswa Glasgow. Nama KRK, Chun Ying (toko cina di daerah City Centre) sangat terkenal di kalangan mahasiswa Indonesia di Glasgow, karena penyelamat perut perut asia kami. Karena kita dapat membeli bahan bahan makanan yang biasa kami konsumsi di Indo, mulai dari daging halal di toko halal bucther dan bahan makanan asia seperti kangkung, tempe, tahu di toko cina.
Saya jalan kaki dari flat Mbak Isnia di daerah Victoria Crescent Road ke KRK di daerah Great Western Road. Menyusuri jalanan-jalanan daerah itu kembali rasanya seperti mengulang kembali kenangan kenangan dulu. Saat hampir tiap hari menyusuri jalan itu, dengan pergantian musim demi musim.

Jalanan Byres road dengan deretan Tesco, Iceland, Bank TSB, Bank of Scotland,  charity shop serta kedai kedai di sepanjang jalan. Jalan itu merupakan salah satu jalan paling terkenal di area West End, karena dekat dengan kampus. Semuanya nampak masih sama. Rasanya juga masih sama. Hawa awal musim gugur juga sudah terasa. Dingin dan angin berhembus lebih kencang, membuat saya harus merapatkan coat yang dipakai. Setibanya di KRK, segera membeli bahan bahan yang diperlukan, daging sapi untuk soto betawi, daging ayam fillet untuk sate ayam plus bumbu bumbu yang diperlukan. 
Di daerah Great Western Road itu, terdapat beberapa halal butcher hingga sangat memudahkan kami untuk tetap bisa menikmati daging halal.  Sampai hapal kalau mau beli cabai yang pedes kalau nggak di KRK ya di Fresh garden, karena bisa dibeli dengan harga yang lebih murah dibandingkan di Chun Ying. Hampir 4 tahun, hidup di Glasgow membuat saya cukup banyak tahu tempat-tempat mana yang lebih murah harganya...ehehe biasa, strategi ala kantong mahasiswa!

Penampakan di Fresh Garden
 Setelah usai berbelanja saya naik bis ke arah city centre, menuju flat mas basid dan Domi. Selama di Glasgow, selain di flat mbak isnia, saya juga sering kali singgah ke sana..untuk masak atau sekedar ngeteh ngobrol ngobrol di ruang tamu. Mas Basid baru juga lulus ujian S3-nya (viva voce), dan saya berbelanja tadi untuk masak masak syukuran kelulusannya, plus reunian mengundang teman-teman yang masih saya kenal di Glasgow. Jadinya saya excited banget kumpul kumpul lagi dengan teman-teman lama saya, kangen pastinya.
Saya juga excited untuk masak besar untuk banyak orang, kegiatan yang dulu sering saya lakukan. Maka malamnya saya sudah memotong-motong dadu daging fillet ayam 2 kg untuk dibikin sate ayam. Bikin sate ayam ala Glasgow gampang saja, ayam fillet dipotong dadu lalu dimarinade dengan kecap manis dan peanut butter, kadang saya tambahkan bubuk coriander (ketumbar). Udah, biasanya saya marinade semalaman, esoknya tinggal dibakar/panggang di oven. Masak besar untuk banyak orang itu seninya berbeda dengan masak untuk sedikit/untuk diri sendiri. Pastinya karena bahan bahan yang diolah itu buanyaaaakk...jadinya ya lumayan capek. Tapi rasa puasnya pun dobel dobel ehehe..
Malamnya selain nyicil untuk marinade sate ayamnya, saya bikin ketupat, dan nggoreng emping untuk soto betawinya. Sementara mas basid dan domi asik ngobrol di ruang tamu, sambil sesekali saya bergabung. Bikin teh anget dan nyemil. Dulu, aktivitas beginipun sering banget jaman kuliah dulu. Masak, ngobrol, makan sama temen-temen, hepinya sederhana.
Esoknya baru mengeksekusi untuk soto betawinya. Dan kali ini soto betawi pertama yang saya bikin! waks, aji aji nekad aja pokoknya. Memang soto betawi udah lama banget pengen dieksekusi, belum jadi-jadi, akhirnya pas ada acara ngumpul-ngumpul, ya udah iseng nyobain bikin. Resepnya cukup ngikutin website favoritnya untuk urusan masak memasak, Just taste and Try! Sukaaa banget website-nya mbak endang ini, soalnya penjelasannya rinciiiii dan step by step banget. 
Selain masak soto betawinya, juga manggang sate ayamnya, dan bikin bubur kacang ijo. Sehariaaan pokoknya di dapur, soalnya masak sendirian. Sementara mas basid siangnya ada acara di lab, dan kemudian bantuin nyiapin untuk beli minum, dan alat alat makan seperti sendok dll. 

Kuah Soto Betawinya belum disajikan ehehe

Sekitar jam 5 temen-temen yang diundang sudah mulai berdatangan. Yang ditunggu tunggu pastinya temen-temen lama yang lama banget nggak ketemu. Ada teh siska dan kang heru, mbak arie restu, mas Asra, Lini dan keluarga..sayang ada beberapa temen lama yang nggak bisa datang. Seru dan seneng banget bisa ketemuan sama mereka lagi..cerita cerita lagi melepas kangen. 
Iyalah, dulu sering banget bersama sama mereka. Yang perempuan-perempuan, tiap bulan pasti ketemu untuk pengajian putri, belum lagi ada pengajian bulanan, plus lagi kalau pas ada persiapan kegiatan PPI. Kayak latihan nari saman di rumah teh sis, dulu tuh bisa sampai sekitar 3 kali dalam seminggu. Dibela-bela in ngebis ke city centre lalu jalan kaki ke Grafton, untuk latihan nari untuk performance in Indonesian Cultural Day. Masa-masa yang sungguh menyenangkan. 

Alhamdulillah, kami bisa berkumpul kembali, berhaha hihi, dan makan bersama lagi. Teh siska membawa bakwan jagung yang maknyus. Dan acara yang paling ditunggu tentu saja, makan-makan. Sekitar 25 orang-an bergantian mengambil soto betawi ataupun lontong sate ayam, atau dua-dua dengan bergantian. Nikmatnya masak tuh saat melihat orang yang kita masakin tuh menikmati masakan kita. Itu rasanya sudah dideskripsikan dengan kata-kata eheheh, bikin nagih banget. Seneng gitu rasanya ehehe...
        " Soto betawinya endes banget mbak," komentar beberapa anak yang datang. ehehe syukurlah mereka suka dan melahap hidangan yang tersaji.
Makan, sambil ngobrol kesana kemari terutama dengan mbak nia, teh siska, mbak arie..temen temen yang masih tersisa di Glasgow. Kebayang juga sih, kalau suatu saat ke Glasgow lagi..lalu temen temen yang dikenal sudah nggak ada. Glasgow pasti rasanya tidak sama lagi. 

Reunian kali ini sungguh bermakna rasanya. Bertemu lagi dengan teman teman lama kala dulu berjuang menyelesaikan PhD saya. Semoga di Indo, nanti ketemu lagi yaaa..
Sore itu, kenangan kembali tercipta. 
Glasgow, tanah penuh cinta.


 

Minggu, 31 Desember 2017

Catatan di Antara Sesapan Teh Tarik


Senja di Merlion Park, Singapore


            “Hidupmu enak banget ya mbak, jalan-jalan keliling dunia terus”, begitu ada DM yang masuk via instagram. Ada beberapa DM yang bernada demikian. Trus saya jawab apa?
      “ Hehe..soalnya pas lagi kerjanya nggak diupload”, simpel sih jawaban saya. Ya memang demikian.
Memang IG saya kebanyakan isinya foto jalan-jalan. Kebetulan saya suka jalan-jalan, suka fotografi, dan difoto. Well, Instagram merupakan platform sosial media yang memang isinya foto-foto plus caption kan. Dan tiap orang punya preferensi masing-masing sisi mana yang ditampilkan ke publik sih. Publik? Iyalah, sosial media itu kan bisa dilihat semua orang. Dan saya memilih untuk tidak terlalu ngepost banyak tentang personal di foto ataupun caption, tapi lebih banyak foto hasil jepretan saya ataupun foto jalan-jalan saya. Jadinya ya kesannya saya jalan-jalan mulu. Padahal ya iyaaa waks hahah!
Enggaklah, sebagian besar waktu saya tahun ini justru untuk kerja dan kerja. Tahun 2017 ini saya terlalu banyak kerja, makanya saya lebih banyak liburan hehe..

Tahun ini saya ngajar lumayan banyak, ngehandle beberapa projek penelitian, jadi ketua penyelenggara konferens internasional dan lain-lainnya. Makanya saya berpikir, I deserved more holidays! Hihih..iya dong, harus work hard, travel often!..karena hidup juga butuh keseimbangan, kerja terus juga banyak stressnya jadi perlu liburan untuk meredakan penat. Walaupun dalam beberapa kasus, liburan pun tetap saja dicolek colek kerjaan ahaha..eh tapi tetep aja mendingan yaa..
Highlight liburan tahun ini yang paling berkesan ya kembali ke Glasgow dan Malaysia-Singapura trip minggu lalu. Sayang ya, saya jarang nulis-nulis cerita perjalanannya padahal banyak bahan yang bisa ditulis hehe..*itu karena kebanyakan kerja! –nyalahin kerjaan ehehe-

Kenapa sih saya lebih memilih jalan-jalan sebagai “hadiah bagi diri sendiri”? karena aji mumpung ehehe. Mumpung masih bisa kemana-mana relatif mudah. Saya sadar banget hal tersebut, jadinya memang saya lebih memilih jalan-jalan sebagai kompensasi kerja keras saya. Mumpung belum banyak pertimbangan heheh..I mean, kalau sudah berkeluarga pertimbangan utamanya pasti bermacam-macam. Saya nggak bilang, kalau berkeluarga bakal menghambat mobilitas dan kegiatan lho, cuma kan memang normalnya ada beberapa hal yang membatasi. Contoh simpelnya, kalau liburan keluarga nggak bisa liburan versi backpackeran dengan budjet serba terbatas kan? Karena ada beberapa yang harus dipertimbangkan.

Nah kalau sekarang, asal ada duit walau terbatas, waktu dan teman jalan, bisa aja tuh random tiba-tiba jalan-jalan bahkan road trip 6 hari berturut turut kayak kemarin di Malaysia-Singapura. Masih bisa road trip hanya berbekal tas punggung, dan nginep di hotel backpacker.
Makanya saya bilang aji mumpung ehehe..lha daripada posting posting galau nggak jelas, mendingan produktif kerja dan liburan. Memaksimalkan potensi, waktu serta kesempatan yang ada..
Lha kalau dikomentari “hidupmu kok enak banget mbak, jalan-jalan terus”
Ya Alhamdulillah ehehe..
Ya kalau mau fokus pada kekurangan, misalnya saja yang selalu dilihat pada orang ada pada diri saya yakni belum berkeluarga, trus saya jadi nelongso terus ya rugi sendiri toh..
Tuhan sudah kasih banyak banget berkah, rejeki dan kemurahan di banyak sisi dalam hidup saya.


Sembari menyesap teh tarik yang saya beli di Melaka, mari menyongsong pergantian tahun dengan semangat baru, untuk banyak karya dan kerja nyata.***