Selasa, 14 Juni 2011

Hiyaaaap…I (can) Write!!!

Mood menulis memang kadang-kadang susah ditebak kapan datangnya, ngeselin terkadang, tapi begitulah…. Jadi di tengah-tengah ke urgent-an menyiapkan rencana riset studi lanjut dan segala macam tetek bengek administrasinya, mood membuat nulis novel baru tiba-tiba “kambuh”.

Hiyaaaa…jadinya kadang saya melihat folder “my new novel” nampak lebih berbinar-binar daripada folder “my research project” (jiaaah lebay pisan ya), dan akhirnya saya tak bisa untuk tidak tergoda dan mulai “tenggelam” dalam baris-baris kalimatnya.

Gairah menulis novel baru inilah, yang salah satunya mendorongku untuk segera melahirkan novel yang sudah lama “kukandung” dan terbengkelai. Salah satunya karena sedikit “mutung” dan sedikit “tidak percaya diri” karena dulu pernah ditolak salah satu penerbit inceranku. Dalam surat penolakan “cinta” itu mereka bilang “naskah anda tidak sesuai dengan visi misi media kami”. Heuuu…kalimat itu dulu keterjemahkan ke beberapa artian,

Satu, memang benar bahwa naskahku itu tidak sesuai dengan visi misi media tersebut

Kedua, sebenarnya tulisanku itu “jelek” dan belum layak untuk diterbitkan

Dan jujur saya, penolakan tersebut cenderung membuatku berpikir, jangan-jangan emang tulisanku jelek ya..makanya ditolak. Jadilah naskah itu terbengkelai sekian lama, mati suri. Gairahku menulis novel kedua ini membuatku berpikir harus segera melahirkan novel pertamaku, bagaimanapun caranya. Akhirnya, kuluncurkan naskah itu ke salah satu penerbit..dan harus bersabar sekitar 3 bulan untuk menunggu responnya. Dan saat kemarin hadir di pesta ulang tahun Signora Laura Romano, dosen bahasa Italia saat di UGM dulu, aku menghadiahkan satu eksemplar bukuku (yang kucetak dalam jumlah terbatas ke percetakan di bandung) ke beliau.

“ wah..wah muridmu…Laura” kata sahabatnya Signora laura saat kami bersama-sama membuka kado-kado hadiah pada malam perayaan itu. Dipeluknya aku erat-erat..heuuu…terharu.

Dan beberapa hari sesudahnya, ada email dari beliau dan bilang ...May be is better if I correct some Italian words in your book before you publish it.....

Kyaaaa…senang dong, memang ada banyak teks bahasa italia agar bukuku terasa “bumbu”nya, jadi tawaran beliau untuk mengoreksi naskahku tentu saja membuatku tak berpikir dua kali untuk bilang “iya”. Beliau ini selain menjadi staf pengajar bahasa Italia di Indonesia, juga seorang penulis. Banyak buku yang telah diterbitkan di Itali sana, jadi memang beliau terkenal “detail” mengenai naskah. Dan kemarin malem, email beliau datang lagi, berisi satu attachment koreksian naskah dan komentar tentang bukuku, dan inilah beberapa penggalan kalimatnya,

And here comes an advice. I think you should publish this book before going to UK. Your book is very fresh and alive it needs to be 'eaten' now.

After UK you will be in a different mood and perhaps even with something else you will like to write about.

I also want to say that I think you are a good writer, I mean, you do definitely have a talent and also a good language.

When in UK, I suggest you take a course about "creative writing" in order to improve your skills. I also did so in the past and I have really learnt a lot.

Best wishes ...and congratulation for your wonderful book ( I still did not “really” read it....I will take it with me on the airplane and read it on my way to Italy)

Kyaaaa…mataku langsung melek saat membaca komentarnya, wuaaaah, beneran ini? Signora Laura terkenal orang yang nggak biasa basa basi, makanya membaca I think you are a good writer rasanya membuatku melambung..ahaha kepedean. Apalagi mengetahui kalo bukuku itu akan dibawa ke Itali..huaaaa…ah, lebay yah..

Terkadang, masih sering terbersit rasa “tidak percaya diri” kalo aku (bisa) menulis, bahwa tulisanku bisa dinikmati orang lain. Jadi terkadang butuh terus untuk meyakinkan diri sendiri, bahwa aku bisa menulis..yaaap..karena dengan menulislah, salah satu yang membuatku merasa “hidup”.

Hiyap, untuk berjalan pada sebuah jalur, kita terlebih dahulu harus bisa menjawab pertanyaan mengapa kita berjalan di jalur tersebut,

“untuk apa engkau menulis (atau pilihan jalur-jalur lainnya)? “

Dan aku telah mempunyai jawaban itu sejak dulu, karena itu aku akan terus berjalan di jalur ini. Dan akupun yakin kalian punya jalur-jalur berbeda yang kalian pilih, dan punya alasan yang kuat untuk melakukan itu semua. Yap, karena hidup harus mempunyai arti ***

Lelakiku, bila engkau kelak menemukanku di depan laptop dengan teh hangat di sampingku, biarkanlah. Lemparkan saja senyuman terbaikmu, mungkin akan memperlancar aliran kalimat di otakku.

Berikan aku ruang untuk bernafas, karena saat itu adalah saat aku bersama duniaku.

Tataplah aku, tapi jangan terlalu dekat, karena mungkin akan membuat kata-kata yang hampir meluncur tiba-tiba malu….

Ingatlah kata-kataku hari ini,

Karena mungkin aku lupa mengatakan hal ini padamu kelak, dan engkau akan menganggapku berputar-putar dalam duniaku sendiri, dan mengindahkanmu.

Hoaaa…lelaki yang mana hohoho ;p

Minggu, 12 Juni 2011

The Art of Doing Nothing

Tiupan angin yang agak keras membangunkanku dari tidur. Hey..ternyata aku ketiduran selama beberapa jam. Hummm rasanya dibangunkan tiupan angin dari surga (ehehe kayak pernah di surga aja ;p).

Sepertinya ini tidur ternikmat yang kurasakan selama beberapa bulan terakhir, ehehe rasanya sih gitu. Hey tebaklah aku tengah dimana? Hum si sebuah kamar hotel kelas atas? Di sebuah resort liburan?atau…dipinjemin pintunya doraemon buat mencicipi seperti apa tidur di Glasgow sebelum kesana?ahaha ngarang deh..

Dengan sebenarnya dan sejujurnya, kuberitahu kalian bahwa aku hanya sedang berada di kamar kosku. Melakukan apa yang kusebut fare niente atau the art of doing nothing alias menikmati hidup dengan tidak melakukan apa-apa. Apakah kalian pernah mencobanya? Ehehe aku..kadang menikmatinya. The art of doing nothing versiku kali ini adalah meninggalkan sejenak tumpukan jurnal yang belum kubaca untuk nyiapin riset studi lanjutku, membiarkan sebentar beberapa koreksian skripsi tergolek (jiaaah tergolek…duh diksi macam apa ini) di meja. Inti pokoknya, pengen menikmati hidup saja, bersama detik yang berlalu. Jadi, beginilah..setelah melakukan ritual pagi, beres-beres kamar yang semakin crowded dengan barang-barang..(sambil mikir, mau dikemanain ini semua barang2 kalo udah mau pergi nanti), ngechat sebentar dengan sahabatku, cu’u di Bali yang tengah menulis proposal untuk S2nya, dan diakhiri dengan kalimatnya,

“ mau masak sop dulu ya” kalimatnya yang terlihat di layar komputer..
“ yap, aku juga mau mandi” balasku, hihihi…akhirnya, “harus” mandi juga ehehe…

Mandi, beli rujak sayur di depan kos, makan dan akhirnya meletakkan bantal super gede di lantai. Pintu kamar kubiarkan terbuka, inilah enaknya punya kamar kos di lantai 2 dan tak ada penghuninya selain aku. Ah..nikmatnya hidup, menggeletakkan badan di lantai dengan bantal—sarung bantal baru berwarna ungu yang kubeli di jogya (jangan mencibirku—kagak beli bantalnya di Jogya sekalian??ehehe..), cuaca purwokerto menjelang siang yang sempurna, cerah ceria namun tak terlalu panas, jadi menempelkan badan di lantai rasanya menjadi begitu nikmat.

Angin yang bertiup sepoi sepoi terasa melewati teras dan masuk ke kamarku, langit biru plus semburat awan-awan putihnya nampak mempesona, daun-daun pohon mangga di depan rumah kos nampak lebih hijau dari biasanya (ahaha, aneh…itu karena aku jarang memperhatikannya). Kemudian siuuuttt burung kecil hinggap di dahan, dan siuuuuttt satu burung lain menghampirinya lalu mereka berdua terbang…sepertinya mereka laki-laki dan perempuan (hadoooh nggak penting juga kali) hihihi….Sementara lagu-lagu di laptopku melengkapi ritualku, hum…Bad English-dengan When I see you smile-nya..membuatku ter-smile…smile…doooh bahasa apa iniiii…

When I see you smile, I can face the world,
You know I can do anything
When I see you smile, I see a ray of light…
I see it shining right through the rain
When I see you smile, Oh yeah, baby when I see you smile at me

Ah, no comment deh…ehehe, yang jelas paduan cuaca, langit biru, angin sepoi-sepoi dan alunan musik itu membuatku berasa di surga! Paling tidak surga dunia versiku. Aih, sederhana bukan? Hanya dengan menikmati apa yang selama ini sering kulewatkan. Kadang terlalu “sibuk” hingga pulang kampus pasti menjelang maghrib, paling-paling menikmati sajian langit di teras saat malam bersama “tiang” itu ahaha..meluk tiang sambil liat bintang…ampun ampuuun, kebiasaan gila nomer tujuh! Ahihihi..

Dan ternyata suasana siang nan sempurna ini membuatku liyer-liyer (bahasa indonesiane opo yo—mengatuk kurang pas!) dan akhirnya terlelap dalam tidur paling nikmat yang kurasakan selama beberapa bulan terakhir. Bila bukan karena tiupan kencang angin, mungkin baru berapa jam lagi aku akan terbangun. Dan hey..aku harus segera mbalap pulang, setelah salat, siap-siap lalu mampir beli jilbab di toko langganan. Kebetulan bertemu dengan seorang rekanan dosen sefakultas di parkiran saat akan beranjak meninggalkan toko,

“ Borong jilbab nih bu?” sapanya sambil tersenyum

“ ehehe, mumpung masih bisa beli disini” jawabku spontan. Welaaah kok yang muncul jawabanku seperti itu ya, beberapa detik mikir sendiri kok jawabanku aneh. Aih, sudahlah paling-paling si ibu-ibu tadipun tak memperhatikan dengan baik apa yang kuucapkan. Aku tak suka jawabanku tadi, berasa akan “segera pergi”, heuu paling nggak suka membahas itu sekarang. Titik. Tidak menerima pertanyaan.

Sesi membalap terasa menyenangkan seperti biasa, sampai di rumah …sepiiii..karena ibu sedang ke jogya menengok sepupu yang lahiran anak pertama,adekku yang bungsu di jogya, adekku yang satu lagi di purwokerto, heuuu. Jadilah ritual selanjutnya adalah masak untuk makan malam, ngobrol dengan bapak sambil nonton tivi..lalu hummm waktunya reading for pleasure..leyeh-leyeh di kasur depan tivi, memulai salah satu daftar aktivitas paling menyenangkan bagiku, baca buku yang tidak ilmiah ehehe…tinggalkan dulu jurnal-jurnal tentang molecular epidemiology dengue yang memenuhi kepalaku akhir-akhir ini, dan menikmati malam minggu yang sempurna. Di ruang depan, bapak menyetel radio dan lagu-lagu jawa mulai terdengar..dan beliaupun mulai nembang jawa seperti biasanya. Aih, inilah surgaku..surga yang sederhana. Dengan seharian melakukan the art of doing nothing, mengistirahatkan sejenak jiwa dan raga, dan surgapun aku yakin bisa terasa dimana saja, dengan keadaan yang bagaimanapun adanya..

Selamat menikmati hidup bersama setiap rasa dalam detik yang berlalu, hidup milikku..hidup milikmu….***

11 June 2011

Kamis, 19 Mei 2011

Ada//Tiada (2)

Mari bicara kembali tentang ketiadaan.. yang semakin terasa tatkala ia tiada, walau sebenarnya ada. Tapi keadaan membuatnya menjadi tiada. Dan karena ketiadaannya itulah membuatku bersyukur bahwa ia pernah ada. Dengan adanya dirinya, ketiadaan menjadi rasa yang semakin menasbihkan betapa berartinya saat ia ada.

Ada dan tiada menjadi semakin tipis perbedaannya, dan yang menjadi pemenang untuk membedakannya hanyalah soal rasa. Ternyata rasa mampu mengalahkan realita, ia menjadi pemenang terhadap apapun, bahkan bila harus menghadapi ketiadaan. Tapi terkadang aku ingin bertanya, bahayakah bila membiarkan rasa menjadi raja?Karena ia bisa menyulap apapun sesuai maunya.

Lalu siapa yang bisa memberi pertimbangan pada rasa?sepertinya aku harus minta tolong pada kepala.***

17/May 2011 8.53 pm


Rabu, 11 Mei 2011

Tapak/Tapak/Mimpi


Malam beranjak naik, bersyukur karena masih diiringi kerik jangkrik—sebuah kemewahan di dunia yang makin penuh dengan kebisingan—serta kerlingan bintang salib selatan di kejauhan. Selesai membungkus kado untuk mahasiswa dengan nilai terbaik biologi kesehatan semester lalu, aku iseng membuka lagi buku 5 cm-nya Donny Dhirgantoro. Buku itulah yang kuhadiahkan padanya-mahasiswaku- karena selain bahasanya yang masih terasa “anak muda” tapi tetap sarat pesan di dalamnya. Untuk meniupkan semangat mengejar mimpi-mimpi.

Saat membolak balik halamannya dan membaca lagi, aku terkenang. Dulu aku membaca buku ini di Jogya, meminjam dari seorang teman kos, karena dulu membeli buku masih menjadi hal yang mewah untukku. Humm..isi buku ini, salah satu yang kuacungi jempol dari entah berapa buku yang pernah kubaca, dan layak memang bila menjadi bestseller..

Buku ini tentang mimpi/sesuatu yang ada dan patut untuk diperjuangkan//

Aku teringat beberapa saat lalu, saat sebuah sms yang masuk,

“ Mba..sepertinya Tuhan tidak merestuimu impianku. Rasanya kok setiap langkahku sepertinya dipersulit, rasanya ingin menyerah saja, aku lelah” begitu kira-kira sms yang kuterima.

Kupandangi layar hpku, kuruntuti tulisan itu. Padahal dalam hatiku berkata “humm..aku juga sama dalam kondisi yang agak “lelah” dengan perjuangan ini”. Kakiku ingin beristirahat sejenak, kepalaku berontak enggan memikirkan strategi apa yang harus kutempuh, dan hatiku telah penat/sebenaranya/. Tapi entah mengapa yang tertulis sebagai sms balasanku berupa kalimat :

“ Belum tentu lah..jangan salah membaca pertanda. Bukankah tidak pernah ada perjalanan meraih impian yang tidak sulit?” jawabku. Terkadang keajaiban sebuah persahabatan terletak pada bagaimana kami selalu berusaha untuk menguatkan satu sama lain.

Aku tahu begitu kuat tekadnya, begitu telah panjang perjalanannya, begitu banyak tangis, tawa, harap, doa, dan cerita yang telah dilaluinya. Tapi belum juga jalan menuju impian terasa terang untuknya.

“Lalu harus bagaimana mba?”tanyanya lagi..

“Teruslah berusaha dan berdoa. Bila belum saatnya kini, mungkin nanti. Karena perjalanan impian haruslah menyenangkan” kujawab sebisaku/dalam kondisi lelahku/sebenarnya/.

Aku sering sekali mendapati seorang manusia dalam posisi ini, dan berulang kali pula aku berada sama dalam posisi ini. Antara melepas harapan dan membelokkan arah, menyerah pada impian-impiannya, atau ada yang bernafas sejenak namun tetap memegangnya erat-erat, atau ada yang menabraknya, menerabas untuk terus melaju.

Banyak manusia yang hanya sampai pada tahap bermimpi/tapi tak pernah berani memperjuangkan mimpi-mimpi, karena berbagai macam alasan. Dan yang paling banyak sebenarnya adalah alasan yang dibuatnya oleh dirinya sendiri. Atau ada juga yang berani melangkah namun kemudian surut, karena terbentur jalanan berbatu, tak siap jatuh bangun. Beberapa kali terjatuh, kemudian ia mendapati tawaran pesona kenyamanan yang membuatnya berubah posisi dan berhenti berjalan.

Dan mungkin memang semua itu terjadi karena tak pernah ada perjalanan meraih impian yang mudah. Karena impian adalah ‘sebuah titik yang kita lempar jauh di depan kita” dan kita harus berusaha untuk meraihnya. Sama sesuai filosofi buku 5 cm yang tengah kubaca lagi kini. Kukutipkan beberapa baris kalimatnya untuk mengenang lagi semangatnya,

“ Jadi kalo kita yakin sama sesuatu, kita cuma harus percaya, terus berusaha bangkit dari kegagalan, jangan pernah menyerah dan taruh keyakinan itu di sini..” Zafran meletakkan telunjuk di depan keningnya…

Biarkan dia menggantung…mengambang…5 cm..di depan kening kamu!!!

“Jadi.. dia nggak akan pernah lepas dari mata kamu. Dan kamu bawa mimpi dan keyakinan kamu setiap hari, kamu lihat setiap hari dan percaya bahwa kamu bisa. Apapun hambatannya, bila percaya sama diri kamu sendiri, kalo kamu percaya sama keinginan itu dan kamu nggak bisa menyerah. Bahwa kamu akan berdiri lagi setiap kali kamu jatuh, bahwa kamu akan mengejarnya sampai dapat, apapun itu, segala keinginan, mimpi, cita-cita, keyakinan diri”

“Biarkan keyakinan kamu 5 sentimeter menggantung, mengambang di depan keningmu, dan sehabis itu kamu perlu..Cuma…”

“ Cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya. Lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja. Dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya..serta mulut yang akan selalu berdoa”

“Dan kamu akan selalu dikenang sebagai seorang yang masih punya mimpi dan keyakinan, bukan cuma seonggok daging yang hanya punya nama. Kamu akan dikenang sebagai seorang yang percaya pada kekuatan mimpi dan mengejarnya, bukan seorang pemimpi saja, bukan orang biasa-biasa saja tanpa tujuan, mengikuti arus dan kalah oleh keadaan”

Aku tersenyum meruntuti lagi baris-baris kalimatnya. Satu sisi menyadari sepenuhnya bahwa perjalanan meraih impian-impian memang tak pernah mudah. Aku pernah ada dalam perjalanan penuh naik turunnya hidup saat mengejar sebuah impian dulu, dan kinipun aku tengah ada dalam perjalanan yang sama, untuk sebuah titik yang berbeda. Karena aku melempar titik itu jauh ke depan lagi. Dan aku masih berada dalam langkah-langkah, tapak-tapaknya perjalanan menuju titik itu. Walau suatu saat (bila) aku sampai, akupun akan melempar titik impian itu lebih jauh lagi. Bukan untuk sebuah ambisi, tapi terlebih untuk memenuhi sebuah misi, karena anugerah berupa”hidup” ini harus kuisi dengan detik terbaik yang aku mampu. Jadi dalam perjalanan ini, aku terkadang lelah, terkadang jenuh, aku sering menabrak-nabrak dan terantuk, jatuh, tapi selalu ingat untuk bangkit lagi.

Karena aku ingin menjadi seorang manusia yang percaya dan berani mengejar impian-impianku. Bukan untuk dikenang orang lain, bukan untuk menunjukkannya pada orang lain, karena satu- satunya alasanku melakukan ini adalah untuk memberi bukti pada diriku sendiri. Bukan pada siapa-siapa/melainkan diriku sendiri//.

Tapi ada satu hal—sebenarnya ada banyak hal—tentang pembelajaran di setiap perjalanan impian. Ada yang berbeda pada perjalananku kini dengan perjalananku yang dulu. Kini, ada satu kalimat yang ingin selalu aku ingat, saat langkah mulai surut, saat semangat mulai sekarat, saat jalan kian mengabur, saat tawaran pesona-pesona zona nyaman datang mencoba menawan..

“Bahwa perjalanan meraih impian haruslah menyenangkan”

Sesederhana itu, tapi kukira dalam maknanya. Saat perjalanan dulu, aku menuruti aliran naik turun hidup, jatuh bangunnya peristiwa hingga lelah jiwa raga, berdarah-darah sampai titik yang hampir membuatku hampir menyerah. Dulu baru kusadari berwarnanya perjalanan itu setelah aku mencapai puncak, baru kutemui pembelajaran itu. Dan merasai bahwa yang paling menyenangkan, paling dahsyat rasa dirasai, paling mendekatkan diri denganNya, serta saat paling menjadi “manusia” justru ada dalam tapak-tapak perjalanan itu sendiri. Karena dalam perjalanan impian aku menemukan banyak ketidakpastian hidup, dan justru hal itulah yang membuatku menemukanNya. Ternyata bukan pada titik kemenangan itu, karena titik itu hanyalah kulminasi, garis akhir perjuangan yang akan segera digeser lagi oleh titik yang lain lagi. Simbolisasi tujuan yang akan ditempuh, yang sering mengaburkan tapak-tapak perjalanan itu sendiri.

Dan karena aku belajar/dan masih ingin terus belajar/maka aku berkata dan meyakinkan diriku sendiri, “bahwa perjalanan kali ini haruslah menyenangkan” Aku akan menjadi orang yang kalah bila mengutuk takdir bila ia belum berpihak padamu, aku juga akan menjadi orang yang kalah bila terlalu banyak mengeluhkan keadaan dan peristiwa yang belum juga seperti mauku. Jadi saat signal-signal “lampu” sudah mulai kedip-kedip pertanda kestabilan mulai goyah, kuucapkan saja mantra sakti itu “ perjalanan ini haruslah menyenangkan” dan detik itu juga aku mencoba menyadarkan diri kembali. And it’s works!! Ehehe..ajaib!

Di titik ini, aku yakin akan mencapai titik impian itu, entah kapan bukan urusanku. Kuyakin itu hanya masalah waktu. Hingga kunikmati saja setiap tapak-tapak perjalanan untuk sebuah impian itu, karena perjalanan ini harus menyenangkan. Mungkin karena itulah aku suka pada jalan—perjalanan—bahkan dalam artinya wujud fisik jalan yang sebenarnya. Entahlah, mungkin karena “jalan” membuatku membayangkan akan menuju suatu tempat ehehe…aneh, yap..that’s me ;p

Karena perjalanan meraih impian haruslah menyenangkan, maka melangkahlah dengan ringan/hadapi tantangan/anggap saja seperti sebuah permainan...
apapun yg terjadi, mari kita nikmati perjalanan ini…

**untuk semua sahabat yang selalu memberikan tangan untuk terus berjalan bergandengan, walau impian-impian kita mungkin berbeda-beda, tapi kita adalah pejalan yang sama. Terima kasih untuk setiap dukungan semangat dan kasih yang berlebih..