Selasa, 22 November 2011

Air, Hujan, Mata

Sore ini, Air hujan, air mata, beradu tanpa beda

Rasanyapun sama. Hampir

Walau tak bisa kau tandai, itu hujan rinai-rinai dengan membawa bahagia

Atau hujan yang hadirkan lara,

Tak bisa kau pastikan pula, air mata itu adalah hempasan rasa sesak di dada karena luka

Atau karena terlampau bahagia

Yang kasat mata pun, terkadang tak bisa terduga
Bahkan, aku tak bisa lagi membeda

Ini lara, atau bahagia

Seharusnya**

Lab CVR 22/11/11 1.10 pm

Kamis, 17 November 2011

Mencarimu, di Sudut-Sudut Jogya

Langit jogya hari ini terlihat lebih biru dari biasanya. Nampak cerah, secerah hatiku, karena berdegup-degup rasaku akan mengunjungi Jogyaku lagi. Aspada No 15 membawaku melaju dari Pasar Gamping menuju Selokan Mataram. Dan seperti biasanya, ada rasa yang berdesir-desir itu. Aiiih, kenapa hatiku selalu berdesir bila menginjakkan kaki di Jogya, sejak lama tak bisa kujelaskan. Bahkan rasa ini sudah menggejala saat aku masih tinggal di sana, merindu saat masih tinggal di Jogya, kau bisa bayangkan betapa anehnya.

Lalu aku menyalangkan mata memandangi jalanan, deretan toko-toko, orang yang lalu lalang, lalu terdengar suara si sopir Aspada berbicara dengan kernetnya, bahasa yang juga secara ajaib menggetarkanku, sekaligus menentramkanku dalam waktu yang bersamaan.

Arep mulih jam piro mengko, dab..mampir warung Bu Sastro sik yo, dhiluk” suara si kernet setengah berteriak, mencoba mengalahkan deru suara mesin Aspada yang terdengar bergedubrakan beberapa kali bila melewati lubang. Desir itu lewat lagi, lalu hilang terbawa angin. Tapi kemudian datang lagi. Desir yang sama, membawa romansa.
nuwun”,
singkat ucapku saat aku turun dari Aspada, lalu bergegas menyeberang jalan. Kubenarkan letak tas punggung exportku, agak terasa berat namun tak menyurutkan langkahku. Mendadak aku menghentikan langkah sejenak, Wait, aku mau kemana?

Aku kini bukan seorang insider Jogya lagi, yang setiap saat bisa melajukan sepeda motorku dengan kencang ke arah Kaliurang atas, tanpa alasan. Kemudian menghentikan motorku di tepian jalan, diam sejenak di situ beberapa saat, sambil memandangi Merapi yang telah berubah bentuknya karena beberapa kali letusan. Untuk apa? Entahlah. Mungkin saja untuk menunggu engkau, yang datang ke kota ini beberapa tahun berikutnya setelahku, melintas bersama rombongan study tour yang kaukawal. Kemudian, dari balik jendela bis itu engkau melewatkan pandang padaku, sambil bertanya-tanya untuk apa berhenti dan duduk di pinggiran jalan. Bukan, aku yakin pasti bukan itu yang pertama kali terlintas pada pikiranmu,

cah manis ngono kok dhewe’an neng pinggir dalan”, aku mendengar gumammu, sepertinya. Kau melempar senyuman padaku, dan akupun tersenyum, senyuman di antara dua orang yang asing.
Apa makna di balik senyuman
antara dua orang yang asing? mungkin hanya sekedar “ Hidup ini indah, jadi kubagi satu senyuman untukmu, simpanlah. Dan tak usah kau kembalikan lagi”

Humm, lalu aku akan kemana hari ini?. Segera kulangkahkah kaki menuju halte bis Transjogya di depan Kopma UGM, sambil iseng menyalangkan mata, memandangi segala bentuk perubahan. Perubahan bersama detik-detik yang dipacu kota penuh cinta ini. Hasil persenyewaannya dengan waktu, dengan penghuni dan kebijakan pemerintahnya. Hap, aku meloncat menaiki bis Transjogya, berdiri dengan tangan memegang penyangga, penumpang penuh sesak hari, mau kemana mereka? Pulang kuliah dari kampuskah? Pulang dari pasar untuk buru-buru memasak? Atau mau ke Beringharjo untuk berburu batik murah? Mungkin di antara mereka baru kali pertama kali menginjakkan kaki di Jogya dan langsung terpesona.

Perhatianku tertuju pada Tugu Jogya, tonggak magis yang menghubungkan laut selatan, kraton Jogja dan gunung Merapi. Dulu, tengah malam bersama sahabat-sahabatku pernah narsis gila berfoto di depan Tugu itu. Jangan-jangan engkau ada di antara orang-orang mengklakson mobil saat itu karena menertawakan kekonyolan kami. Ah, mungkin saja itu hanya karena engkau ingin bergabung bersama-sama kami. Humm, aku bingung menentukan pilihan kali ini, terlalu banyak tempat yang ingin kukunjungi.

Aku ingin duduk di depan keraton, pinggir jalan sebelah kanan, mungkin saja kau sudah datang menjemputku. Atau duduk di bawah pohon rindang di depan GSP, dengan pura-pura memainkan HPku walau aku tahu sudah beberapa menit engkau datang dan memandangiku dari jauh. Atau menjelajahi lapak-lapak toko buku di Taman Pintar, mungkin saja bisa kutemui engkau di sana sedang menawar buku. Lalu engkau dan aku bersitatap, seperti pernah bertemu tapi entah dimana, saling menduga-duga. Lalu di ibu-ibu penjual buku itu bertanya padaku

“Cari apa mba?” pasti ibu itu bertanya buku apa yang tengah kucari.
“Cari mas-nya” jawabku singkat,
menunjuk ke arahmu, meninggalkan si ibu tadi yang melongo, dengan seulas senyuman.

Atau aku akan ke jalan kaliurang atas, mencari soto babi, yang menurut mitosnya, soto ayam itu rasanya enak sekali sehingga dinamai soto babi. Iya, aku setuju akan pendapat itu, tapi sebenarnya soto itu rasanya jauh lebih enak karena aku memakan semangkuk denganmu. Mangkuk soto keduamu, yang berarti mangkuk soto pertamaku yang tak jua habis.

Atau aku harus menunggu sampai hari minggu esok, untuk pergi ke pasar pagi UGM. Di dekat jalan menuju masjid UGM itu, yang kala itu, kau bilang

“ Aku ingin memandangi punggungmu pergi”
Langit mendung seketika, dengan langkah gontai kubalik
kan badan meninggalkanmu, membiarkan punggungku kau pandangi sampai menghilang di kelokan, sambil membawa serta titipanmu. Kini, aku bingung kemana harus mencarimu di sudut-sudut Jogya? Di angkringan kopi Joss kah? Atau di rumah makan Eco Sari? Atau di Pempek Bu Kamto? Bilang padaku engkau dimana?aku jauh-jauh datang karena khawatir dan cemas, sungguh-sungguh cemas. Ingin sekali kuberitahu kau satu hal, ini masalah titipanmu dulu. Dulu kau bilang, menitip sesuatu padaku untuk kusimpan, Tapi kini ada masalah, aku memang teledor. Ah, aku benar-benar khawatir, jadi harus segera memberitahukan hal ini padamu. Aku sungguh-sungguh cemas. Makanya jauh-jauh aku datang mencarimu di sudut-sudut Jogya, dan memberitahumu,

Maaf, sebenarnya kusimpan baik-baik titipanmu itu, tapi, ada sesuatu yang terjadi. Akupun tak tahu mengapa. Kini, aku sudah tak bisa membedakan lagi mana titipanmu kala itu, dan mana punyaku, jadi bagaimana bisa kukembalikan?”

Siwi, laminar hood-nya sudah selesai kupakai. Mau segera men-split selmu?” tiba-tiba rekan se-labku datang. Seketika lamunanku buyar. Mari segera mengerjakan kerja lab hari ini, semangaaaat...sel-sel lucu itu sudah tak sabar menungguku. Ahahaha makanya jangan terlalu serius membaca tulisanku, aku hanya touring mengunjungi Jogya sekejab, sekelebat. Have a Nice Day ehehehe....***

16 Nov 2011. Masih di tempat yang sama, tapi hari ini rasanya pergi kemana-mana, jogya salah satunya.


Rabu, 16 November 2011

Cinta dan Semangkuk Mie Instan

Melangkah tersuruk suruk kembali ke flat, sambil kembali merapatkan jaket tebalku, bergidik menahan dingin dan angin. Fiuuuh, cuaca Glasgow semakin mantap saja, november hampir sampai di pertengahan, artinya musim dingin sebentar lagi menjelang. Langit sudah gelap sempurna, lampu-lampu dari jendela-jendela flat terlihat berderang. Aku baru saja pulang dari Speaking Class sore ini, humm..pukul 7 pm baru pulang, untunglah sudah shalat magrib di kampus. Hingga sampai flat tinggal memikirkan urusan perut.

Entah karena dingin, atau karena doyan, kuputuskan untuk membuat mi rebus, karena padanya kutemukan kepraktisan dan kenikmatan berpadu. Kuah panas, gurih dan dingin sepertinya saling berharmoni. Maka dengan segera kusiapkan bahan-bahan untuk memasak mi rebus. Jamur dicincang, cabai diiris tipis (bagaimana cintaku pada cabai tak usah kau ragukan lagi), telur, irisan tomat dan irisan seledri. Dalam beberapa menit perpaduan indomie rasa ayam, telur, jamur, dan seledri itupun siap disantap, tinggal ditaburi bawang goreng, ditambahi kecap dan sedikit saus botolan. Entah mengapa jadi ingat, ibuku..yang kadang bilang :
Mba, makan malamnya bikin mie rebus saja ...biasanya kalau mie rebus buatan mba yayan enak” kata ibuku. Ah, pasti itu karena ibu sedang males memasak ehehe..ibuku memang tidak terlalu suka memasak. Beliau bisa memasak, tapi tak terlalu suka memasak. Orang bisa memasak sesuatu yang sama, namun mengapa rasanya berbeda? Seperti halnya ritual minum teh, kopi atau lainnya. Tidakkah kau perhatikan, berapa kau takar air untuk kuah mie rebusmu, karena bila terlalu banyak rasanya menjadi hambar, dan bila terlalu sedikit akan menjadi terlalu asin? Tidakkah juga kau perhatikan, setiap orang punya seleranya sendiri. Apakah telur itu direbus terpisah kemudian dicampur pada mie yang sudah siap, apakah telur itu dicampur dalam kuah bersama mie, apakah dibiarkan dalam utuh atau dipotong-potong dengan sendok agar gampang dimakan? Kau akan temukan untuk sekedar semangkuk mi rebus saja, akan kau temukan berbagai variasi ritualnya. Seperti cinta, yang tak pernah sama.

Kalau bapak, paling gemar dengan nasi goreng buatanku. Padahal biasanya nasi goreng minimalis, hanya nasi goreng standar berkawan telur iris saja. Walau sebenarnya pasti lebih mantap bila ditambah daging ayam suwir, irisan mentimun dan bawang merah. Bila sudah kumasakan nasi goreng, pasti dengan semangat beliau akan segera menyantapnya. Entah ada rasa apa dengan nasi goreng. Padahal kuberitahu satu hal, entah kenapa bila aku memasak nasi goreng, rasanya perutku sudah kenyang dengan hanya memakan beberapa suap saja. Itu juga tak tahu mengapa.
Lain lagi dengan simbahku, yang berkali-kali dalam skype-an berkata,
Ta dongak’e terus. Mugo-mugo pinter, sehat, trus sekolahe cepet rampung
Beliau selalu hobi perkedel buatanku, walau aku sudah hapal benar bagaimana bentuk perkedel yang beliau mau. Humm, padahal penglihatan beliau sudah samar, tapi rewel kalau bentuk perkedelnya tidak sesuai dengan selera beliau.

Aku suka memasak, terlebih lagi memasak untuk orang-orang terkasih. Karena dalam ritual memasak, ada bumbu cinta yang dimasukkan di dalamnya. Bukankah dengan memasak kita mempersembahkan sesuatu untuk seseorang? Nduk, masakan itu simbol cinta kita kepada orang yang akan menikmati masakan kita, begitu tulis seorang sahabat, Mba Suryati Arifatul Laili di salah satu cerpennya.

Malam sudah kian larut, tiba-tiba saja terdengar suara seseorang,

Sayang, pengen dong dimasakin nasi goreng tuna...biar ndut lagi
Mataku yang tadinya sudah mulai berat, terkesiap...kulihat jam dinding kamar flatku, jam 10.10 malam, dan kulihat jam di komputerku, 5.05 pagi. Hatiku terasa ngilu. Kemudian suara itu perlahan menghilang, mataku terpejam.

Glasgow yang mulai membeku. 15 Nov 2011. 10.10 pm