Sabtu, 12 November 2011

Pagi Ini

Kau sangka cahaya di luar jendela itu matahari, pendar-pendar merah merayapi langit pagi
Menyelusup di antara daun-daun maple yang menggigil sepanjang pagi
Membuka hari yang sekali lagi, harus kuarungi
Jatah waktu dari Sang Gusti, begitu kataku pagi ini
Bukan sayang, itu lampu-lampu yang menggantikan posisi

Mencoba mencerahkan gulita pagi, selalu begini
Entah matahari, atau lampu-lampu kota ini, yang berjuang cerahkan pagi
Tapi kau yang benderangkan hati

(Gambar itu diambil dari bawah jendela kamarku pagi ini..)
Glasgow, 12 Nov 2011.


Jumat, 11 November 2011

Buku Keduaku—Cinta di Antara Dua Huruf O—dalam Antologi Cerpen Banyumas “Balada Seorang Lengger”

“ Mari kita rayakan, dua huruf O yang pacaran, yang utuh bukan separuh.” ungkapnya lugas dan tandas. Mengangkat segelas jahe susu dan mengajak toast denganku. Aku tersenyum, lega.

Di lesehan angkringan itu, kami menemukan cinta di antara dua huruf O. Karena kami mencoba menjadi dua pribadi yang utuh yang saling mempertinggi energi masing-masing kami, bukan sebentuk dependensi.

Itu kalimat-kalimat terakhir cerpenku—Cinta di Antara Dua Huruf O” yang menjadi salah satu cerpen di antara 19 cerpen dalam buku Antologi Cerpen Banyumas “ Balada Seorang Lengger” yang akan diterbitkan Leutiko Prio, Yogyakarta.

Baiklah, aku nakal hari ini. Menulis di sela-sela lab work, ehehe no worries, urusan laboratorium sudah selesai, tinggal menunggu waktu pulang pukul 5 nanti. Dan sudah tak fokus lagi membacai jurnal-jurnal tentang Dengue hihi, mungkin saja karena mendapati postingan Mas Agus Pribadi di group FB Penamas (Penulis Muda Banyumas) yang meng-upload cover buku “Balada Seorang Lengger”.

Hiyaaap, kalian tau rasanya seperti apa saat tulisanmu akan diterbitkan? Ada gelenyar rasa yang terkadang tak bisa dijelaskan dengan kalimat dengan deskripsi paling detail sekalipun (haiish lebaaaay). Entahlah, aku merasai rasa seperti itu, rasanya seperti..huummm... tik tok tik tok...berpikir...kyaa cannot find the best description!!

Rasa inilah yang membuatku ketagihan menulis. Saat karyamu dinikmati oleh orang lain, dan tak hanya berbincang sendirian di sudut sepi. Karena lewat karya tulisanlah seorang penulis membincangi dirinya sendiri dan membincangi orang lain. Ada kepuasan tersendiri saat menuliskan baris-baris kalimat, memilih-milih diksi, merasai aliran pikiran, hati bersinergi dengan ketikan jari-jari tangan di keyboard. Seperti apa yang kulakukan sekarang, (dengan bebas menulis dengan layar besar kompi lab-mungkin rekan lab lain mengira aku tengah menyelesaikan literature review-ku dengan serius hihi, itulah enaknya menulis berbahasa Indonesia di sini).

Antologi Cerpen Banyumas ini merupakan proyek bersama beberapa penulis, 19 tepatnya yang menyumbangkan karya masing-masing untuk dibukukan. Latar belakang proyek ini yakni mengusung tema tentang Banyumasan, baik itu budaya, sejarah, setting tempat ataupun cerita yang berkaitan dengan Banyumas. Salah satu misinya tentu saja nguri-uri budaya Banyumasan, yang masih cenderung kurang popular dibandingkan dengan budaya kawasan lain. Satu yang mungkin akan diingat orang mengenai Banyumas yakni bahasa “ngapak-ngapak”nya yang terdengar eksotis di kuping. Eksotis?hihi...entahlah, tapi paling tidak itulah ciri khas orang Banyumas. Maka kami, yang sebagian besar adalah alumni Fakultas Biologi Unsoed, dan juga ada dosen kami, Pak Setijanto Salim, mencoba berkarya melalui buku ini.

Proses penulisan sekitar 2 bulan, kemudian melalui proses penggodokan naskah, editing, dan kemudian beberapa dari kami berkunjung dan “menodong” Budayawan Banyumas, Bapak Ahmad Tohari-Penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk- untuk menuliskan kata pengantarnya. Merupakan sebuah kehormatan untuk mendapat kata pengantar dari beliau. Berikut sedikit kutipan terakhir dari beliau :

Kepengarangan adalah sebuah proses menuju kematangan, proses yang tidak boleh selesai, jadi laksana jalan tiada ujung. Masyarakat akan setia mengikuti proses kepengarangan ke-19 cerpenis ini menuju puncak. Selamat berkarya, Indonesia menanti karya-karya kalian.

Jalan yang tiada ujung, yeaaap karena kitapun bertumbuh bersama lahirnya karya-karya kita. Karya itu terkadang merupakan cerminan dari pertumbuhan diri kita. Maka, karena pertumbuhan dan perjalanan ke dalam diripun juga laksana jalan tiada ujung, jadi kunikmati saja proses perjalanan ini.

Dalam buku ini, aku menyumbangkan satu cerpen yang berjudul “Cinta di Antara Dua huruf O”. Jujur saja, agak nggak pede, buka karena isi ataupun bahasanya, namun karena kurang mantap dengan kesesuaian temannya. Karena walaupun sudah tinggal lebih dari enam tahun di bumi Banyumas, namun masih belum merasa “menjiwai” ke “Banyumasan-nya”, sehingga terasa benar aku gagap saat harus menulis cerpen tentang Banyumas. Bingung dengan temanya, maka terciptalah sebuah cerpen dengan “aroma” dan “bumbu” Banyumas, dijamin tetap sedaaaaap ehehe..

Menurut review salah satu penulis di buku kami, dalam judul tulisannya “ Kue Lapis Balada Seorang Lengger” yang menyebut ada beberapa lapis dalam buku kami. Dan cerpenku termasuk dalam lapis pertama, seperti kata beliau :
Lapis Pertama : Emosi yang dibangun
Membaca cerpen-cerpen ini, saya “menangis”, “tertawa”, tersenyum sendiri, menyesali diri, dan perasaan-perasaan lain yang berkecamuk di hati. Penulis berhasil mengaduk-aduk perasaan pembacanya. Semua itu dituliskan dengan keindahan literasi. Yang termausk lapis pertama adalah 5 cerpen : Rawuhan, Batu Bisu, Cinta di Antara Dua Huruf O, kerinduanku terkoyak dan Makam tanpa nama.
Ehehe, paling mantap rasanya kalau tulisanku mampu menyetir perasaan pembacanya, apalagi mampu mengajak pembaca ikut larut di dalamnya. Beberapa komentar dari penulis lain saat masuk fase “penggodokan” naskah, mengatakan :
* Saya bisa merasakan indahnya jatuh cinta saat membaca Cinta di antara Dua Huruf O
* Perpaduan dua pribadi berbeda, perpaduan budaya klasik dengan diksi yang modern..
* Cerita yang bagus, romantis abis! Berharap ini true story hihi...
* Gaya bertutur yang aman, penulis mampu menciptakan suasana, overall bagus. Penggalan-penggalan cerpen ini seperti sebuah novel. It’s Ok lah..4 bintang deh!

Yuhuuiiii kalian penasaran membaca cerpennya? Semoga dalam waktu dekat akan segera terbit, karena sudah sampai proses konfirmasi desain cover. Total waktu yang dijanjikan penerbit untuk proses penerbitan selama 45 hari kerja. Hummm...sayangnya entah kapan bisa memegang buku keduaku ini...jauuuuuuh...
Tapi tetap senang rasanya bisa tetap berkarya, walaupun kali ini pun masih rombongan. Naskah novelku belum selesai kurevisi. Ah, semoga masih ada waktu dan energi untuk menggarapnya di sela-sela kesibukan studi ini. Ah...pasti bisa! Pasti..bila ada tekad, apa sih yang nggak bisa diupayakan?ehehe...so, seperti Bapak Ahmad Tohari, laksana jalan tiada ujung, mari bersemangat meneruskan perjalanan..yahuuiiii lanjutkan!

*Masih di Lab CVR, langit di luar jendela sudah mengelap, pukul 5 sore segera menjelang, waktunya pulang..


Sabtu, 05 November 2011

Alasan untuk kembali (1)


Bila dalam hitungan waktu, mungkin baru sebulan aku meninggalkan Purwokerto dengan segala rutinitas pekerjaanku sebagai pengajar. Tapi entah mengapa rasanya sudah lama sekali, saat terakhir kali berseliweran di kampus ungu itu. Terakhir kali bersama rekan-rekan sejawat yang terkadang ngobrol nggak jelas, makan bareng, dan berbagi gosip hohoho...
Lama sekali juga rasanya, saat terakhir kali bersama anak-anak, menyapa mereka, bersama-sama dalam canda, bersama dalam belajar bersama. Tiap kali skype—dan mendengarkan/mengamati/menemani/nya saat bimbingan mahasiswa (walau nggak mudeng denger materinya hehe)...selalu kurasakan lagi kerinduan itu, rindu aktivitas bersama anak-anak..baru benar-benar kurasai kini..
senyum, semangat dan spontanitas kalian, adalah energi dan inspirasi bagi saya” rasanya begitu yang kuucapkan saat makan-makan perpisahan dengan anak-anak sebelum aku pergi. Dan memanglah demikian, dan kini..benar-benar ingin kukatakan, that’s definetely right!
Saat aku ditanya, apa yang paling menarik dari pekerjaanmu? Sepertinya sudah beberapa kali, kujawab..interaksi dengan anak-anak! Yeaaap...karena kutemukan betapa menyenangkannya merasai semangat muda yang terkadang masih penuh kepolosan, spontanitas yang mengejutkan, dan keriangan yang menggembirakan. Itu yang membuatku tertular merasai segarnya jiwa-jiwa muda mereka (nah kan jadi ada alasan kenapa nggak pernah sadar umur ehehe ;p). Maka sepertinya terbalik, saat mereka mengatakan,
Ibu adalah sumber inspirasi bagi kami” *lebay yah mereka ehehe...tapi sebenarnya, mereka-mereka lah sumber semangatku. Melangkah menuju kampus tiap hari, muter-muter bolak balik dengan segala macam urusan, tapi tak lupa melemparkan senyuman pada anak-anak yang tengah berkumpul di lobi, di koridor, di tangga..Atau terkadang tiba-tiba saja, ada yang mengejutkan dengan bilang,
Ibu...ehehe mau curhaaat sebentar”lalu tiba-tiba duduk di depan meja kerjaku...hadeeew..seruuuu...
Atau suatu kali, saat baru saja sampai di kampus..ada beberapa anak yang tiba-tiba menemui, dan bilang,
ehehehe mau salim aja bu” ahaha, spontanitas mereka tanpa mereka sadari sering kali menggetarkanku.
Menemukan diri sefrekuensi dengan mereka, belajar melintasi jembatan zaman, dalam artian..sanggupkah aku, dengan umur dan pemikiranku yang sekarang memahami mereka dengan dunia dan pemikiran mereka?—bertambahnya usia bukan selalu berarti menjadi paham banyak hal..masih bisakah kita memahami dunia mereka?. Yang meletup-letup, kadang sering limbung, tapi selalu menyiratkan semangat mimpi-mimpi muda mereka. Berada dalam komunitas seperti itu pulalah yang akhirnya membuatku “betah”. Setelah menjalani fase “kompromi” yang cukup lama, akhirnyapun aku berada dalam satu titik penemuan, dimana aku—sebagai manusia, menemukan bagaimana aku berkontribusi pada dunia. Pada merekalah,-- anak-anak bangsa-- nantinya aku akan kembali. Karena disanalah aku merasa menjadi diri sendiri, merasa berkontribusi, merasa bisa berbagi, menyentuh hati hati mereka dengan hati.
Dan yang terasa lebih menyejukkan, hubunganku dengan anak-anak terkadang tidak sebatas hubungan profesional dosen-mahasiswa, pembimbing dan bimbingan, tapi sebuah persahabatan yang sederhana, seorang manusia dengan manusia lainnya. Itu saja, tapi rasanya sungguh menyejukkan hati.
wah seneng yah, punya anak-anak kayak gitu” begitu komentar sudewi, sahabatku saat bersamaku dan di”cegat” anak-anak di pinggir jalan.
Begitulah, aku menikmati hari-hari bersama mereka, dalam canda, tawa bahkan kegilaan sederhana. Mungkin karena ada rasa diterima, rasa berarti, rasa terkoneksi, yang membuatku menikmati kebersamaan dengan mereka. Bahkan kini, saat tengah menunaikan tugas belajar, senang rasanya, anak-anak yang masih terus berbagi, masih konsul baik akademis maupun pribadi hihihi...
Sebuah cuplikan email dari seorang mahasiswa tadi sore, kubuka saat menunggu si enzim Xba1 mengiris plasmid di laboratorium CVR (Center of Virus Research) Uni Glasgow, terasa menyejukkan saat membacanya :
Ibu itu menurut saya bukan seperti dosen bu, bagi saya seperti kakak..
soalnya cara ibu memberi masukan dan saran itu kaya keluarga, menurut saya,,terus terang saya nyaman bu dan mungkin itu yang dirasain ma temen2 juga..
I did it!! Yeaaap...apa yang kulakukan dengan hati semoga dapat menyentuh hati lainnya.
Selamat belajar, mengejar mimpi, dan terus bersemangat anak-anakku...
Pilihkan impian-impian besar kalian, bukan karena orang banyak menilai itulah impian yang identik dengan kesuksesan, dengan kriteria orang berhasil atau apapun,
Pilihlah impian besar kalian sendiri, karena memang impian itulah yang membuat kalian berarti bagi dirimu sendiri...karena dengan itu, impian kalian akan menerangi orang-orang di sekelilingmu...semangat...doa saya dari jauh selalu teriring
*Dan suatu saat, aku akan kembali....
Glasgow, 5/11/2011 9.45 pm