Jumat, 09 Desember 2011

Evolusi//Bahagiaku

Kebahagiaan, rasanya kata itu seperti harta karun yang dicari-cari banyak orang. Aku ingin bahagia, aku ingin mencari kebahagiaan, aku ingin menemukan kebagiaan, begitu banyak orang bilang. Bahagia, serasa menjadi sebuah kondisi ideal yang banyak diidamkan banyak orang. Kau ingin bahagia? Mungkin saja, sama seperti manusia lainnya. Aku masih ingat ada beberapa postingan tentang bahagia yang pernah kutulis di blog ini, “rumah”ku. Ehehe, akhir-akhir ini rasanya terasa benar betapa nyaman tinggal dan menumbuhkan baris-baris kalimat agar “rumah”ku terasa ramai. Aku dan kebahagiaan-kebahagiaanku, engkau dan kebahagiaanmu, bukankah porsi bahagia kita pun berbeda-beda? Rasanya pun berbeda-beda? Untuk alasan yang berbeda-beda pula?

Kini aku mengerti, kebahagiaan, seperti juga semua hal di dunia ini, berganti, berubah dan berevolusi.
Saat aku kecil dulu, bahagiaku itu terdefinisikan olehku seperti saat bapakku suatu hari membawakanku hadiah. Bapak jarang sekali membawakanku hadiah, karena kami keluarga sederhana saja, dan lagian sosok bapak bagiku adalah hadiah terindah..hiyaaaah ehehe. Tapi tak seperti biasanya, sore itu, bapakku, yang kala itu masih seorang guru SD membawakan hadiah, sebuah tempat pensil berwarna biru, yang di atasnya terdapat tuts tuts piano yang bisa berbunyi. Hatiku terlonjak bahagia bukan kepalang. Berhari-hari kupandangi benda-benda itu. Bahagia hatiku, mungkin memang hadiah membuat orang bahagia, bukan karena apa benda yang kita berikan, tapi kasih yang terungkapkan dalam hadiah itu sendiri. Bahagiaku saat kecil dulu, juga terdefiniskan saat dengan penuh harap menunggu baju baruku untuk lebaran dijahit oleh ibuku. Seperti biasa, bajuku biasanya adalah baju terakhir yang ibuku jahit, setelah semua pesenan orang-orang selesai. Digarapnya bajuku saat malam takbiran, dengan mesin jahit yang kala itu masih tradisional. Itu juga bahagiaku, sederhana saja.

Bahagiaku juga bisa berupa bercanda tawa dengan sahabat-sahabat kuliahku, dan mengetahui bahwa dunia begitu berwarnanya. Jalan-jalan, bercerita, berbagi hidup dengan mereka semua. Bahagiaku kemudian melibatkan banyak orang, dengan bertemu dengan banyak orang. Bahagiaku juga saat terserang gila bola, pernah menjadi perempuan paling bahagia sedunia saat MU meraih treble winner ehehe, dan pernah merasa begitu bahagia saat berhasil menjejakkan kaki di Italia, dan nonton langsung Milan di San Siro. Bahagia ketika satu demi satu, dengan perjuanganku, impian-impianku terwujud.

Tapi, kebahagiaanpun berubah, hidup, tidak statis. Dulu begitu gemar mengumpulkan pernak pernik sepakbola klub pujaan, dari poster, jam dinding, sandal dan hampir kamar penuh dengan semua tentang sepakbola. Setelah usia bertambah (tua ;p) apakah masih sama rasanya? Tidak, tidak lagi. Tapi kebahagiaan kala itu masih terekam jelas, sesuai dengan masanya. Mungkin karena semuanya mempunyai kadaluarsa, mempunyai masanya tersendiri. Apakah kini merasa begitu maniak dengan F4, boyband, sampai rela melakukan segala cara agar tak ketinggalan satu episodepun, menabung untuk membeli kasetnya, dan segala kegilaan muda lainnya? Tidak, tidak lagi.

Ternyata bahagia juga sesuai masanya. Apa yang membuat kita bahagia juga berubah, karena bahagia juga bukan sebuah kemelekatan. Cobalah kalian cari satu saja manusia yang bahagia terus menerus??bisakah kau temukan? Mungkin karena bahagia lebih terasa bila manusia pernah mengalami lara, duka. Mungkin begitulah hukum dualitas.
Di posting ini, aku ingin mengutip tulisan Dee tentang kebahagiaan,

Kebahagiaan pun sesuatu yang hidup, berubah, dan tidak statis. Kewajiban utama saya adalah menjadi manusia yang utuh agar saya bisa membagi keutuhan saya dengan orang lain. Dan keutuhan jiwa saya tidak saya letakkan pada siapa-siapa, melainkan pada diri saya sendiri. Saya hanya bisa bahagia untuk diri saya sendiri. Kalau ada yang lain merasa kecipratan, ya, syukur. Kalau tidak pun bukan urusan saya. Seseorang berbahagia karena dirinya sendiri. Kebahagiaan bukan mekanisme eksternal, tapi internal. Saya tidak bisa membuat siapa pun berbahagia, sekalipun saya ingin berpikir demikian. Kenyatannya, hanya dirinya sendirilah yang bisa. Saya hanya bisa menolong dan memberikan apa yang orang tersebut butuhkan, SEJAUH yang saya bisa. Namun saya tidak memegang kendali apa pun atas kebahagiaannya.


Jadi, temukan bahagiamu pada dirimu sendiri, walaupun itu akan terus berubah, akan kadaluarsa pada suatu masa. Tapi bukankah hidup yang sebenarnya adalah hidup pada detik ini? Jadi tak perlu merisaukan masa kadaluarsa di masa mendatang, karena bahagia masa mendatangpun juga akan tetap hadir bila kau memilihnya, walau alasannya berubah, walau bahagiamu berubah. Tapi kau tetap bisa memilih untuk bahagia. Kau, sendirilah, bukan orang lain, sumber bahagiamu.***



Badai Glasgow

Aku dikagetkan bunyi gemeretak di luar jendela, kuurungkan memakai mukena untuk shalat dhuhur hari ini, lalu kudekati jendela kamar flatku dan melihat ke luar jendela. Heuu hujan es turun lagi, butiran-butiran es sebiji jagung kecil turun deras menyebabkan bunyi gemeretak terdengar dari kamarku. Yap, hari ini terjadi badai di Glasgow. Tadinya tidak menyangka hari ini akan ada badai, maklum belum terbiasa mengecek prakiraan cuaca, terbiasa dengan cuaca di Indonesia yang paling-paling hanya hujan deras ehehe.

Tadi jam 8 pagi, masih gulita seperti jam 4 pagi waktu Indonesia, kulangkahkan kaki ke perpus karena ada janjian skype. Seperti biasa di lantai 3, dimana ada cafe dan tempat-tempat duduk sambil browsing internet, dan orang bisa ngobrol di sana. Iyap, tempat itu akhir-akhir ini menjadi tempat langganan tetap semenjak internet flatku bermasalah. Lalu kuamati lewat jendela besar perpus, kok angin bertiup sangat kencang. Kubaca account email student-ku,dan ada email dari principal Uni Glasgow, memberitahukan karena ada badai sampai sore hari, maka kelas dan exam semua dibatalkan. Heuu kaget juga, akan ada badai sampai semua kelas dan exam dibatalkan. Tapi kan aku nggak ngambil kelas, jadi mungkin nanti akan ke lab setelah makan di flat. Namun beberapa saat kemudian, ketika tengah mengobrol, tiba-tiba ada pengumuman, bahwa perpus akan segera ditutup dalam waktu 15 menit lagi. Fiuuuh perpus juga tutup, padahal biasanya perpus buka sampai jam 2 pagi, hihi soalnya pernah pengalaman di perpus sampai jam 2 pagi. Waaah jadi berpikir kayaknya badainya serius ini.

udah dulu ya, perpus udah mau tutup, kudu segera balik ke flat, menerjang badai ehehe” kataku mengakhiri perbincangan setelah ngobrol cukup lama.
iya,..disini juga sudah magrib. Baik-baik ya begitu kalimat penutupnya.

Jadi, ternyata beginilah Glasgow. Karena terletak di sebelah utara daratan Britania Raya, maka cuacanya lebih ekstrim. Salju sudah mulai turun semenjak hari minggu lalu, walau baru benar-benar terasa pada hari Senin, saat salju sudah turun dan daratan Glasgow sudah ditutupi lapisan-lapisan salju berwarna putih. Jalanan pun sudah tertutupi es, jadi bila berjalanpun harus hati-hati agar tidak terpeleset. Salju pertamaku, musim dingin pertama yang kurasai. Kurasai saja, kunikmati saja, karena inilah kebaruan-kebaruan hidupku. Termasuk badai ini pun begitu, anugerah, pengalaman yang tak semua orang bisa rasakan. Badai inipun membuatku bisa berduaan yang laptopku, menulis tulisan ini dan membagi cerita dengan kalian. Karena Massimo Palmarini, direktur CVRpun mengirimkan email tentang severe weather yang memaklumi staff dan student CVR bila tidak bisa datang ke lab. Ehehe ruangan lab-ku sedang direnovasi mejanya, dan karena adanya severe weather ini rasanya sah bila hari ini aku tidak ke lab, cukup bersama si hitam manis, laptopku, menulis dan pastinya..segera mengerjakan literature review!! Deadline-nya sebentar lagi....ayoo bersemangaaat!

Bila kalian duduk di sini bersamaku, dengarkanlah suara angin bergemuruh di luar jendela, badai angin kencang yang menggoyang-goyangkan pohon-pohon, menerbangkan daun-daun dan beberapa barang-barang, tong sampah di belakang rumah juga sudah tumbang. Kulihat tupai dengan biasa menghuni tong-tong sampah itu meloncat-loncat kebingungan, lalu meloncat ke pohon terdekat, kebingungan ia menghadapi badai. Ah, seandainya bisa bicara aku padanya, akan kubilang “Mari sini, duduk dekat-dekat denganku” ehehe. Lalu kupandangi sesekali tiang listrik dengan kabel-kabelnya yang nampak berusaha tetap tegak melawan badai. Langit makin menggelap lalu terdengar di kejauhan suara ambulans-ambulans yang bersahutan. Aku merasainya sebagai sebuah pengalaman baru.

Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan. Dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya (Ar-Rum.24)

Ow..jari-jariku tanganku sudah terasa makin dingin, padahal pemanas ruangan sudah dinyalakan. Mungkin suhu-nya sudah makin turun. Brrrr....Baiklah, kunikmati saja suara badai yang masih terus saja bergemuruh di luar jendela, dengan hati yang lega, karena badai di hatiku sudah agak reda, setelah beberapa lama berjuang menghadapi badai, hari ini hatiku lega, karena sudah kuhadapi badai itu dengan berani. Walaupun sebenarnya takut, tapi kuhadapi saja, dan kini, badai itupun agaknya telah berlalu. Seperti lagu-nya Alm. Chrisye..Badai pasti berlalu. Pasti!

Yeaap karena apapun akan berlalu, dan inipun akan berlalu, begitulah terus kehidupan, berubah, tanpa kemelekatan pada sebuah fase, bergerak dinamis, terus mengalir bersama perubahan. Jadi terkadang, bersiaplah dan belajarlah menghadapi setiap perubahan. Sulit? Mungkin, tapi bukankah semuanya bisa diupayakan?

Dan lagu peluk-nya Dee (Dewi Lestari) sayup-sayup beradu dengan suara badai,

Lepaskanku segenap jiwamu
Tanpa harus kuberdusta

Karena kaulah satu yang kusayang
dan tak layak kau didera

(Peluk-Recto Verso-Dee)

21 Hillheadstreet. 6 Dec 2011. 1.45 pm

Minggu, 04 Desember 2011

In Between

Normal 0 false false false IN X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4
Aku dan diriku, tengah bercakap-cakap, berdebat, saling keras hati dan keras kepala. Dan ternyata, bukan pada orang lain, bukan pada keadaan, tapi peperangan terdahsyat sejatinya tergelar antara aku dan aku, engkau dan engkau, kalian dan diri kalian sendiri.
Kali ini, Tuhan menyiapkan halaman-halaman penuh percakapan, antara aku dan aku, yang harus segera disepakati.
Kesepakatan, nampaknya selalu saja dipaksakan. Bahwa ada satu pihak salah satunya yang harus mengalah, ataupun kedua belah pihak, begitulah kesepakatan.
Halaman-halaman tentang kompromi. Halaman-halaman tentang inikah yang kuingini?kesepakatan..kompromi?bukan, tapi inilah pilihan yang terbaik yang bisa diambil.
Kuasa takdir bukan punyaku, bukan punyamu juga. Lalu kenapa tidak bawa saja seporsi galau kita padaNya?
Dan pada akhirnya.. setidaknya, aku beruntung alur hidup telah membawaku ke dalam tahapan ini. Hidup bukan hidup bila tidak pernah dipertanyakan, tidak pernah didebatkan, tidak pernah dimaknakan, tidak pernah dicakapkan apa yang dialami. Lalu bila menengok ke belakang, apa yang mau kau bacai? halaman-halamanmu itu?
Halaman-halaman ke belakang akan dapat kau ketahui apakah engkau seorang pengecut yang bersembunyi atau seorang pemberani?
Manusia dan perang...memang peperangan mungkin tak pernah usai, agar damai terasa indah.
Aku dan aku, manusia biasa yang ada padaku saat ini. Bercakap-cakap antara baik dan tidak baik, antara hitam dan putih, antara malaikat dan setan yang saling beralih rupa. Karena memang selalu ada zona in between—ada abu-abu, dan mungkin itulah yang memanusiakan manusia.

Perasaan dan pikiran yang sering membuat kita letih dan sedih--tetapi sekaligus penting untuk kita miliki agar kita bisa seutuhnya menjadi manusia. Seperti Adam, ayah semua manusia, setiap kita memiliki tragedi buah Khuldi: kutub-kutub berseberangan yang membuat kita terus gelisah dan bertanya-tanya (Tragedi Buah Khuldi-Fadh Djibran)

Aku dan aku, kamu dan kamu, tiap kalian dengan kalian sendiri, mempunyai peperangannya sendiri. Mari hadapi dengan berani.***

Jumat, 02 Desember 2011

Mati Kata//


Tulisan sederhana, di antara kubikel perpus lantai 11 Uni Glasgow, menjelang tengah malam. Hampir setengah jam..lebih..satu jam, lebih...jendela windows terbuka, beberapa kali ketikan, hapus, mengetik lagi, berpindah mengerjakan laporan penelitian tagihan kampus, menengok jendela ini lagi. Ah..aku kehilangan kata. Lagu-lagu di earphone sudah berkali-kali berganti, berpindah dari satu lagu ke lagu lainnya, namun aku masih saja kelu. Detik ini, kata-ku kehilangan kekuatannya. Karena, kurasa bahkan lembaran baris kalimat tak sanggup menuliskannya. Mungkin karena begitu alasannya.
---------
--------
bertambah entah berapa lama lagi, tapi kalimatpun membeku, sebeku suhu Glasgow, dan sebaiknya kuakhiri tulisan ini. Mataku sudah bertaburan kaca.
Sebenarnya hanya ingin bilang, Selamat Ulang Tahun, Mien Liebster..
--------
--------
Lalu terdengar lagu “Pulang”-nya Andien
Hari ini sayang, aku akan pulang
Berlabuh di dekap cintamu
-------
** Untuk seseorang yang suatu saat pernah bertanya, so..you will still recognize me even though in the next 40 years in Jogya and looks so old and only have 2 teeth?...