Kamis, 12 Juli 2012

BEGO


Angin lewat, semilir bergulir, lalu senyap.

I just want to give the best for him” kataku singkat.
Trus kapan dong kapan kamu try to give the best for yourself ? ” tanyanya dengan nada menyudutkan,
“ When I give the best for him” jawabku yakin, dan ditutup dengan sebuah lengkung senyumku.
BEGO” timpalnya, dengan wajah masam. Lalu dia berlalu.

Dalam lalu-nya, aku mendoakannya, semoga suatu saat dia dianugerahi dan diberkahi dengan sebuah ke-bego-an oleh Tuhan.
 Yang mungkin suatu kala tak mampu lagi menghitung untung-rugi, tak peduli lagi menang atau kalah, karena dengan memberi, apapun keadaannya, kondisinya, takdirNya, seseorang akan tetap jadi pemenang. Setidaknya pemenang bagi dirimu sendiri.

BEGO.
Akan kuingat kata itu,
Dan tiba-tiba aku bersyukur menerima anugerah itu.

Salam kasih dengan terus memberi kasih dan menjadi terbaik dari diri kita sendiri.

12 July 2012


Rabu, 11 Juli 2012

Di Ujung Senja


Malang, kota ini masih saja seperti saat terakhir kali aku meninggalkannya, walau lebih ramai, dan beberapa bangunan modern mewarnai tata kotanya. Namun satu hal, kota ini terlalu penuh kenangan, hingga menjadi salah satu kota yang sangat kuhindari untuk kukunjungi, walau sejujurnya aku merinduinya setengah mati. Andini, perempuan bermata binar dan berpipi merah itu menyesaki hatiku. Sepertinya setiap jengkal dan sudut kota ini menyimpankan kenanganku bersamanya, itu terkadang yang membuat hatiku sesak.
            “Terserah mas saja, Andin akan nungguin mas pulang,” rasanya masih terngiang-ngiang kalimatnya itu. Lalu aku mengulurkan tanganku untuk menggengam tangannya, ia nampak terkesiap, namun membiarkan tangan mungilnya kugenggam lembut, hingga rasanya tak ingin pernah kulepaskan lagi. Lalu dengan jelas kulihat perubahan mukanya, semburat merah yang tiba-tiba menjalari pipinya, lalu ia memalingkan muka, berpura-pura memandangi pak kebun yang tengah merapikan taman di kejauhan. Ah, aku hapal setiap perubahan mimik mukanya itu, dan sering menduga-duga hatinya dari teorema-teorema yang kususun setelah hampir tiga tahun bersamanya.
Kala itu dengan gamang kusampaikan kabar bahwa aku berhasil menggenggam beasiswa master ke University of Maastricht di Belanda, impianku sejak dulu, akhirnya mewujud. Namun justru dengan binar dan pekik bahagia perempuan itu begitu bahagia mendengar kabar itu,
            “ Andin seneeeeng banget. Andin selalu ingin mas mendapat apa yang mas inginkan. So happy for you..really happy for you, dear.” Katanya dengan matanya yang semakin nampak berbinar-binar saat kuberitahukan kabar itu.
Tapi itu berarti harus meninggalkannya, perempuan itu, yang memberitahuku bagaimana rasanya hidup yang sedemikian berwarnanya. Meninggalkan Andini adalah perkara tersulit yang harus kulakukan.

                                                                    
                                                                                                       ***


            Belanda ternyata menghilangkanku, aku hilang tertelan dalam pesona hingar bingar tanah antah berantah yang membuatku kehilangan diriku sendiri. Impian kadang bisa meracuni bila terlalu banyak ditelan, dan aku tak sanggup menjagai diriku dari hasrat untuk menaklukkan tantangan-tantangan yang rasanya semakin kutaklukkan, semakin muncul tantangan-tantangan baru lagi. Semuanya mengaburkanku dari bayangan Andini yang menungguiku. Sampai akhirnya,
            “ Mas, Andin tak bisa menunggui Mas terus bila tak ada kata pasti. Ibu dan Bapak menanyaiku, Mas Pras melamarku. Bila mas tak juga mengambil keputusan, Andin akan patuh kata Bapak dan Ibu,” tulis Andini kala itu di emailnya. Jarak memang kadang membutakan, dan keinginan yang terlalu tinggi kadang melenakan. Bagaimana bisa waktu itu kupikir, aku bisa dengan mudah mendapatkan perempuan lain yang jauh lebih baik, lebih cantik dan lebih berpendidikan tinggi dibandingkan Andini. Aku mendiamkan email itu berkarat tanpa balasan di inbox emailku.
            Waktu berlalu, berempat musim datang silih berganti,  jadwal kuliah yang berlarian, dan gelar pendidikan tinggi yang telah tersemat, kemenangan-kemenangan hidup yang akhirnya tergenggam oleh tangan-tanganku. Namun tiba-tiba, hatiku hampa. Ada yang kurang menghiasi hari, tak ada lagi senyum sapa Andini yang manis, candaannya yang lembut, pipinya yang merona saat kugodai, atau diamnya yang justru terkadang menggemaskan. Hatiku kosong. Pulang ke tanah air, aku kembali ke Bandung, tanah kelahiranku. Sesekali terlintas untuk mengunjungi Malang, mencari Andini. Tapi, rasa bersalahku terlalu dalam pada perempuan berpipi merah itu. Aku kalah, bertahun-tahun hidup dalam sejarah bersamanya, tanpa mampu mencipta sejarah baru, mungkin itu kutukan untukku.
                                                                                                      ***
            “ Dhan, elu sudah denger kabarnya Andini belum? Kaget kayak disamber geledek aku denger info dari Mutia tadi pagi,” Ninit, sahabat karib Andini saat kuliah tiba-tiba menelponku. Deg! Hatiku bereaksi.
            “ Memang kenapa?ada apa dengan Andini?” tanyaku dengan nada memburu.
            “ Andin dan suaminya meninggal, Dhan, kecelakaan mobil tadi pagi. Aku nggak bisa layat, besok aku terbang ke Hanoi, urusan kerjaan. Kasian Galuh, Dhan, semata wayang dia sekarang. Kalau ada waktu, pergilah ke Malang,” kata-kata Ninit seperti menghantam dadaku, langitku menggelap seketika. Semuanya terlihat hitam. Kelam.
                                                                                                     ***
Galuh, gadis kecil itu menggamit lenganku, seperti tak ingin melepaskannya. Kemudian dengan muka cerianya ini mengajakku memasuki rumahnya yang tertata rapi, dengan sentuhan-sentuhan tradisional Jawa yang kental.
            “ Om mau minum apa? Nanti Galuh ambilin,” Galuh menawariku minum. Hujan di luar sudah mereda. Aku seperti memasuki dunia antah berantah, walau inilah risiko dengan memberanikan diri mencari jejak-jejak Andini di kota Apel ini.
            “ Apa saja om suka kok,” jawabku sambil tak lepas mengamati setiap sudut rumah ini. Andini, kehidupan seperti apa yang kau jalani setelah berpisah denganku? Hatiku menderu bertanya. Foto berpigura, gambar keluarga kecil itu terpampang di ruang tengah. Ah senyum itu, senyum Andini, masih saja seperti dulu. Senyum yang bahkan masih tetap manis walau telat menjemputnya karena ban sepeda motorku kempes. Lalu gambar lelaki di sebelahnya itu, hanya sekilas kutatap, karena tak kuasa hatiku menahan rasa tertohok yang dalam kala melihat lelaki itu. Dia lelaki yang sungguh sangat beruntung, kilas pikirku sejenak.
            “ Om Ardhan itu temannya Bunda pas kuliah yah?” Galuh, gadis kecil nan manis itu datang membawakan secangkir teh hangat untukku.
            “ Iya, tapi beda fakultas, “ jawabku singkat, karena tak yakin Galuh sudah mengerti apa itu istilah fakultas.
            “ Kalau beda fakultas, kok Om sama bunda bisa saling kenal?” tanya Galuh yang tiba-tiba menggamit lagi lenganku, duduk dekat-dekat denganku. Entah mengapa aku terkesiap dengan sentuhan tangan si gadis kecil  itu yang nampak begitu manja menggelayut di lenganku. Aku tergeragap, seperti hatiku yang baru saja digenggamnya.
            “ Humm..kenal pas ada acara-acara kampus gitu deh,” Hanya itu yang mampu kujelaskan pada gadis berumur tujuh tahun itu. Ada sesuatu pada gadis kecil itu yang mengingatkanku pada Andini, ya..senyum itu benar-benar menjelma ada pada putri kecilnya.
            “ Bunda cantik enggak pas kuliah Om?pinter enggak? Om nggak nakalin Bunda kan dulu pas kuliah?” Ceriwis tanya Galuh yang memberondongku dengan pertanyaan. Pertanyaan itu mau tak mau mengulik sejarah lama yang walau telah dibawa lari waktu, tapi rasanya kenangan itu tetap ada di sana, di hatiku.
            “ Manis, seperti Galuh. Dan pinter juga loh, makanya Galuh harus rajin belajarnya, biar pinter kayak bunda,” Kujawab sambil mengusap-usap lembut rambut hitam panjang si gadis kecil itu. Galuh malah makin erat menggelayut pada lenganku, dan merebahkan kepalanya di bahuku. Dan anehnya hatiku berdenyar, namun beberapa detik kemudian merasakan ketenangan luar biasa. Entah mengapa ada rasa ingin melindungi gadis kecil ini.
            “Eh Om, Galuh mau kasih makan si Mimi sama Momo di taman belakang, ikut yu Om,” Galuh tiba-tiba menarik lenganku untuk mengikuti langkahnya ke taman belakang.
Taman yang hijau dan asri, nampak damai saat kakiku melangkahkan kaki. Mataku beradu pada kandang-kandang mungil di pojok, dimana Galuh dengan sigap membuka pintu kandang lalu hap..hap..keluarlah kelinci-kelinci berbulu putih berlompatan di rumput yang basah sehabis hujan. Lalu aku jongkok, menikmati melihat betapa telatennya gadis kecil itu memberi makan, sambil sesekali mengelus-elus punggung kelinci-kelinci itu.
            “ Lucu kan Om, Bunda yang kasih hadiah Mimi dan Momo pas Galuh ulang tahum, seneng banget Om, soalnya mereka lucu-lucu,” terang Galuh dengan ceria. Aku tersenyum mendengarnya. Lalu aku menyalangkan mata mengamati taman belakang ini, lalu hatiku terkesiap, saat pandangan mataku tertumbuk pada dua buah kursi taman kayu dan sebuah meja bundar tertata di sana. Ada vas bunga dengan bunga yang telah layu terdapat di sana.
Perlahan aku bangkit dan mendekati kursi taman itu, lalu pelan-pelan duduk di kursi itu. Hatiku merasa Andini begitu dekat, ada di situ.
            “ Mas kalau nanti suatu saat kita punya rumah, mas mau rumah seperti apa?” tanya Andini dengan matanya yang berbinar-binar, hampir selalu mampu menyilaukan hatiku.
            “ Mas pengen punya taman belakang yang asri, ada kelinci-kelinci lucu, trus ada kursi taman dan meja, jadi kalau pagi-pagi kita berdua bisa minum teh bersama, sambil ngobrol-ngobrol pagi hari, pasti romantis kan?” paparku kala itu.
Seingatku dulu Andini hanya menjawab pertanyaanku dengan senyum manisnya, kemudian pipinya tiba-tiba bersemu merah, merona. Tak berkata apa-apa setelahnya, hanya memainkan bilah-bilah rambut hitam panjang dengan tangan kecilnya. Memang begitulah Andini, tak banyak bicara. Tapi sanggup membuatku melakukan apa saja untuknya, untuk menjaganya, mencintainya, menyayanginya.
            Dan rasanya ada yang menyesak dalam dadaku, menyaksi sebuah gambaran indah dulu yang pernah kuutarakan. Andini mewujudkan gambaran rumah yang dulu ingin dibangunnya bersamaku. Kelinci-kelinci lucu dan kursi taman tempat kami bicara berdua, persis seperti gambarannya. Ah, Andini..rindu mendesak-desak dadaku.
            “ Om kok ngelamun, betah ya Om duduk di sini. Ini tempat favoritnya Bunda loh, Om. Bunda tu sering bawa laptopnya ke sini, lalu menulis sambil bawa secangkir teh. Galuh sering sungkan kalo mau ngajak main Bunda kalau bunda lagi duduk lama-lama di sini, nggak tau juga kenapa Bunda betah banget di tempat ini,” Galuh tanpa diminta berbicara banyak, ah terlalu banyak tentang bundanya itu.
Mataku berembun, dadaku sesak, hatiku penuh seketika, penuh kenangan seorang perempuan yang dulu mengisi hidupku. Kupeluk tubuh gadis kecil itu erat-erat, ingin kujagai dan kulindungi gadis kecil itu, seperti dulu aku ingin menjagai ibundanya, tapi tak bisa.
Di ujung senja yang merona, seperti jiwaku yang terasa hidup kembali, hidup karena sinar dari mata gadis kecil ini, dimana aku melihat Andini dalam dirinya. Hidupku selanjutnya adalah tentang aku dengan gadis kecil ini. Kupeluk ia lebih erat lagi, kuusap rambut hitam panjangnya dengan penuh sayang. Andini, akan kujagai engkau yang kini ada dalam diri putri kecilmu ini. ***

 



Senin, 09 Juli 2012

Menyusuri Indahnya Tepian Pantai Gunung Kidul

Pantai terkadang adalah tempat rehat jiwa, membiarkan tarikan nafas senada dengan aliran debur ombak yang menemui bibir pantai, kemudian menjauh lagi, ritmis. Karena itulah aku merindu pantai, menyegarkan kembali raga yang lelah karena banyak hal yang mendera raga ini, begitu juga jiwa yang butuh jeda, pada banyak cerita yang akhir-akhir ini harus ditanggungnya. Maka, segera kuiyakan ajakan seorang sahabat baik, mba nuk, untuk refreshing di akhir pekan ini. Jalan-jalan ke pantai Gunung Kidul merupakan rayuan yang sulit untuk kutampik.
Sabtu pagi, seusai sarapan pagi, kami meluncur ke UNY untuk ketemu pak supir, karena mba nuk menyewa supir kantornya untuk mengantarkan kami ke lokasi. Yeaaah, pak supir yang bernama pak Edi itupun kaget karena ternyata yang harus dianternya cuma kami berdua ahaha dikirain rombongan hihi ;p
Lalu sekitar jam 9 pagi, kamipun meluncur menuju daerah gunung kidul. Bersama obrolan ringan, alunan lagu, dan pemandangan sepanjang jalan. Beneran piknik hihi...soalnya pemandangan sepanjang jalan juga cukup menghibur mata, yeaaah apapun tentang jogya memang menenangkan jiwa  (haiaaaah ;p).

Jalanan memang kemudian lumayan berkelok-kelok dan menyempit. Sempat pula melewati daerah bukit bintang, yang terkenal menjadi tempat populer untuk melihat jogya dari atas saat malam. Heuuuu kepengeeeeen banget kesini pas malam-malam suatu saat nanti.
Perjalanan memang cukup lama sampai ke lokasi, mulai melewati daerah-daerah tak berpenghuni, serta bukit-bukit menghijau. Gunung kidul, kujejakkan kaki ke sini entah berapa tahun lalu, lama sekali sudah. Saat dulu masih semester awal kuliah S1 di Biologi Unsoed, pas praktikum Struktur Perkembangan Hewan ke pantai Krakal dan Kukup, jaman masih muda dulu hehe.
Dan tentang Gunung Kidul, adalah tentang kisah Galaksi Kinanthi-nya Tasaro GK. Karena salah satu setting tempatnya adalah gunung kidul.



Engkau ingin tahu mana saja tempat yang kukunjungi? Garis pantai yang mengingatkanku akan tali kasih Ajuj dan Kinanthi. Doaku untuk keduanya menyaingi jumlah pasir putih yang menumpahi lidah-lidah pantai di sepanjang batas daratan gunung kidul (Tasaro GK)

Pantai-pantai di sepanjang batas daratan gunung kidul memang beraneka, kalian bisa memilih mau pergi kemana, karena sepanjang batas itu menawarkan keindahannya masing-masing walau sepintas hampir sama. Pantai pertama yang kami kunjungi adalah Pantai Indrayanti, alasannya adalah bujuk rayu promosi dunia maya. 
Ahaha iyaap, beberapa fanpagenya Jogya yang kulike di jejaring sosial facebook (pengen ngitung berapa kali aku nge-like setiap ada postingan gambar tentang Jogya hihi)sering mempromosikan tempat-tempat wisata di Jogya. Dan pantai indrayanti ini tergolong pantai “baru” karena sebelumnya yang dikenal wisatawan biasanya seperti Pantai Baron, Kukup, dan Krakal. Maka benar saja, di petunjuk jalan, pantai Indrayanti belum ada di papan, tapi jangan khawatir karena jalannya memang searah, sepanjang batas daratan itu memang menyusur pantai-pantai nan indah itu. Dan pantai indrayanti terletak di bagian timur pantai sundak. Saat mobil sudah mendekati kawasan pantai, sekilas saja juga mengundang kesan indaaaaaaah, bikin enggak sabar turun dan menyusuri bibir pantai. 


Pantai indah, bersih dan terkelola dengan baik. Yups, karena pengelolaan pantai ini kabarnya dikelola oleh swasta, dan “Indrayanti” adalah nama pemilik cafe dan restoran di tempat itu,sehingga nama pantai yang awalnya “Pulang syawal” itu lebih terkenal dengan sebutan Pantai Indrayanti.
Pasir putihnya yang bersih, debur ombak yang ritmis menemui tepian pantai, hummm..indaaah. Sayangnya karena musim liburan, banyak pengunjungnya jadi rameeeee....Coba kalau sepi, tiba di sana menjelang senja, duduk di pasir-pasir itu sambil melintas cakrawala menyaksi mentari yang menua, heuuuu...deng..deng....banguuuuun...
Karena terlampau ramai, aku sama mba nuk beralih ke pantai sebelah, cuma jalan kaki saja dan hummm lebih sepi, dan lebih nyaman untuk duduk nongkrong sambil menikmati es kelapa muda.
Rehat, ya rehat yang cukup sempurna. Melupakan sejenak riset, administrasi, urusan pribadi dan memberikan waktu untuk istirahat bagi diri sendiri. Kadang, jiwa serta raga butuh jeda.
Jeda yang istimewa, meluangkan waktu di antara deretan rutinitas adalah hadiah bagi jiwa. Terimakasih atas kebersamaan yang istimewa.


Bulir-bulir pasir putih di tepian pantai itu mengajariku,
Bagaimana belajar mencintai tanpa terlalu takut lagi akan kehilangan,
Cinta, masih bisa tetap ada di situ, seperti bulir-bulir pasir putih itu,
Baik ombak datang menghampiri atau menjauh pergi, pasir itu tetap menyimpan semua
Entah dalam kebersamaan ataupun keterpisahan
Cinta itu mungkin menanti, tapi yang jelas ia terus memberi..

“ Apa di masa depan, biarkan
 Tersenyumlah, Tuhan mencintaimu lebih dari yang kamu perlu (Galaksi Kinanthi-Tasaro GK)

Lalu biarkan tembang Kinathi mengalun..

Mangka kanthining tumuwuh
Salami nipun awas eling
Eling lukitaning alam
Dadi wiryaning dumadi
Supadi nir ing sangsaya
Yeku pangreksaning urip
(Tembang Kinanthi : yang bisa berarti bergandengan tangan)

Dan kutinggalkan pantai-pantai indah Gunung Kidul dengan harap suatu saat akan kembali lagi. Menyusuri lagi pasir putihnya, semoga bisa menangkup senja dengan mentari membulat merona, atau mentari yang merekah mengawali hari. Suatu saat nanti!!

(merampungkan tulisan ini sembari menemanimu mengisi form dari jauh, 9 July 2012. 22.47)

Jumat, 06 Juli 2012

Bila



Bila,
Masih terus bisa duduk di sampingmu, walau tanpa sepatah kata
Menikmati laju angkutan kota yang membelah kota
Sambil sesekali memainkan ujung lengan bajumu,
Sambil berdoa, pak supir salah peta
Hingga membawa kita berdua ke lain benua
Ah, langka
Berdua nyata adalah langka,
Tapi berdua jiwa adalah nyata,
Hingga kupastikan tak ada lagi bila,
Karena walau langka,
Masih ada,

( beralih ke jendela revisi : 1 Nuclease-free microcentrifuge tube is added by  2pmol of gene –specific primer, 10 pg-5µg total RNA, 1 µl 10 mM dNTP Mix and then added by sterile, distilled water to 13 µl...hoaaam...)

Masih di tempat yang sama, 6 July 2012

And then,

Saat bahagiaku, duduk berdua denganmu
Hanyalah bersamamu,
Mungkin aku terlanjur tak sangup jauh dari dirimu
Dudududu.... (Bahagiaku, Andien-Ungu)


Manis



Hanya ada kami, Mada dan aku.  Dan waktu serasa diam di situ, memacari kami berdua, dalam mesra yang sempurna.  Matanya memandang padaku, kehangatan semena mena menjalari hatiku. Tak bisa kutampik, tak bisa kuacuhkan. Lalu diam, kata yang tak biasa saat kami berdua. Biasanya celotehnya bisa A sampai Z bicara tentang apa saja, dari hal paling remeh temeh sampai tentang masalah negara sekalipun. Biasanya waktu terasa melesat-lesat bila aku bersamanya. Tapi kali ini, hanya matanya yang tak lepas dariku. Hingga waktu seakan terhenti.
            Kenapa?” tanyaku pada akhirnya, memecah keheningan.
Kudengar desah nafasnya perlahan.
            Enggak, hanya ingin memandangimu saja.” Jawabannya lugas seperti biasa, tapi tak membuatnya   mengalihkan pandangan matanya dariku. Ah Mada, bila sudah begitu aku selalu jengah dibuatnya, kikuk dan tak tahu harus bagaimana. Fiuh, tidakkah dia tahu betapa tidak mengenakkan dipandanginya lama lama begitu rupa.Tapi begitulah Mada, Madaku, lelakiku.
            Apaan sih...tuh tehnya dingin, ayo minum..minum,” kataku mencoba mengalihkan perhatiannya.
            Bukannya sudah tau, kalau aku minum teh memang nunggu agak dingin kan?”jawabnya lagi. Egh, gagal!
            Apaan sih, udah deh…” aku mencubit pinggangnya. Dia pura pura menghindar, sambil tertawa. Dia paling tau jurus andalanku bila sudah mulai kehilangan ide harus menghadapinya bagaimana.
        Kenapa hidung kecilku sayang?” tanyanya merajuk. Bila sudah begitu, rasanya ingin melakukan pencubitan berantai.
            Enggak” jawabku dengan nada tinggi dan ketus, pura-pura galak. Karena toh aku tak pernah bisa galak padanya, pada siapapun lebih tepatnya.
            Kalau udah galaknya muncul, tambah lucu deh,” godanya lagi. Dengan raut muka yang selalu sanggup menerbitkan senyumku.
            humm..dasar..serba salah semua. Diem salah, galak juga salahkataku merajuk.
            Iya, salahmu jadi manusia manis.” Katamu singkat, namun rona merah di pipiku menjalar seketika.
Lalu tiba-tiba pandanganku mengabur.
PING! Bangun tidur...cuma mimpi.....maaf sudah menganggu dengan postingan tidak jelas ini hihi. 

NB. Mada adalah nama fiktif belaka, dan apabila ada kejadian yang hampir serupa itu pasti hanya kebetulan semata. Ahaha kayak berita kriminal dan ending tulisan sinetron Indonesia ;p

-Kota Kita, 6 July 2012.

Kamis, 05 Juli 2012

Sapu Tanganmu

Sapu Tanganmu



Kau sudah hendak beranjak pergi, walau kutahu gamang dalam hatimu. Selalu begitu. Ritual meninggalkan, hanya beralih peran, aku atau kamu.
Lalu ketika tatap terakhir hampir lalu, kubilang padamu,
            “ Bawa sapu tangankah?” tanyaku spontan. Lalu sapu tangan yang biasanya kau simpan di saku celana bagian kiri kau ulurkan padaku, dengan muka sedikit bingungmu.
            “Pinjam” kataku singkat. Langsung kuambil sapu tangan itu dari tanganmu. Kupegang erat.
            “ Untuk apa? “ tanyamu bingung. Tak ada jawaban. Sepi. Hanya detik-detik menjelang kau pergi. Membalikkan punggung dan meninggalkanku.
Begitu, selalu begitu. Aku dan kamu, selalu bertukar posisi, meninggalkan atau ditinggalkan.
Sapu tangan ini ada di dekatku kini, hingga aku bisa terus menciumi keberadaanmu. Aroma jejak-jejakmu yang tertinggal di situ, sanggup membuatku bertahan sampai aku pergi nanti, tanpa bermata “ikan koi” lagi.
Atau mungkin bisa menjadi alasan “ ingin kembalikan sapu tanganmu, bisakah bertemu sebentar saja sebelum aku pergi?” agar kurekam lagi engkau terakhir kali.
Selalu begini, ritual kita..membiasakan “pergi”.
Tapi aku baik-baik saja. Selalu mencobai baik-baik saja, biar tak ada lagi “ikan koi”, seperti inginmu, maumu. Selalu, melihatku baik-baik saja.
“Baik-baik ya..” ribuan kali. Semoga akan bertambah lagi hihi...

Tetaplah menjadi bintang di langit
   Agar cinta kita akan abadi
   Biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini
   Agar menjadi saksi cinta kita
   Berdua”

(di antara deretan lagu yang kau kopikan kala itu) –di kota kita, 5 July 2012. 23.37
 
  



Minggu, 01 Juli 2012

Pecinta Opnaisel

Selera berpakaian, ternyata terkadang kita sendiri enggak sadar kalau kita menyukai memakai jenis atau model pakaian tertentu, iya enggak sih? Sadar-sadar setelah banyak melihat koleksi pakaian kita kok model-modelnya hampir sama..ehehe aku sih begitu.
Tanpa sadar eh ternyata aku menjadi pecinta opnaisel. Berawal dari keseringan beli baju kerja casual salah satu produk baju muslim, yang beraksen lipit-lipit. Jatuh cinta pada merk tersebut karena sederhana, enggak macem-macem tapi manis dengan sentuhan aksen lipit-lipitnya. Eh, ternyata jadi keterusan suka pake baju dengan aksen lipit atau sering dikenal dengan opnaisel/stuck.
Begitu pula, ketika menjahitkan baju karena biasa banyak dikasih kenang-kenangan berupa kain batik. Nah, di sinilah serunya bikin rancangan model sendiri. Dan eh, akhir-akhir ini baru sadar kalau model yang kubikin, hampir semuanya ada lipit-lipitnya...
Kenapa suka sama aksen opnaisel? Hummm entahlah. Mungkin karena manis! Seperti saya...LOL
Unik, karena lipit-lipit itu membuat baju yang biasa saja menjadi terlihat ada sentuhan yang berbeda dan makin manis bila dipakai tentu saja. Dan juga karena lipitan ini cocok untuk saya yang “dulu” selalu berbadan kurus, sehingga beberapa tumpukan lipitan itu menjadikan kesan lebih berisi. Iyah dulu...sekarang seringnya ndut ;p
Berikut pamer model desainku yang ternyata andalannya cuman pake lipitan doang..hoaaah..dan sebenarnya ditambah bordir sih. Bordir akan memberikan kesan mewah pada baju, jadi aplikasi bordir sedikit saja pada lengan atau bagian pakain lainnya, akan membuat bajumu nampak cling..cling...hoho ;p
 
 
Ini adalah gamis yang kupakai untuk launching novel “Koloni Milanisti”, modelnya sederhana saja, gamis dengan potongan detail kombinasi di bagian dada, plus opnaisel sebagai pemanis (tadinya pesennya warna opnaiselnya pakai kombinasi warna hijau agar terlihat, tapi ternyata si ibu-nya bikinnya pake warna senada kuning..jadinya kurang sip)

Nah ini, keliatan bawahnya, gamis dengan rok melebar (payung) dengan garis-garis melintang dengan kombinasi kuning, agar terlihat mengembang saat dipakai, plus tepian bawah warna kuning agar semakin padu.
 

 
Nah ini model gamis dari bahan batik banyumasan dengan motif yang sama dengan yang di atas, tapi warna dan modelnya berbeda. Ini model gamis dengan rompi, nampak tidak biasa bukan? Dan yang pasti, ada opnaisel-nya tetep enggak ketinggalan di bagian rompi. Bagian bawahnya dibuat potongan melintang miring, dipertegas dengan bordiran pinggirnya saja (jadinya manis tapi enggak kemahalan bordirnya ahaha), trus rompinya dengan model pita tali, dijamin unik deh..

 Pas nulis ini, eh ada sms dari staff kesmas : jeng, baju yang kemaren buat kondangan bener-bener bagus, pinter ya bikin desainnya...aih saya kege-er an..ahaha..




Nah kebaya yang baru jadi ini juga tetep dengan kombinasi opnaisel, sayangnya di gambar ini tidak terlalu terlihat. Kombinasi opnaisel di bagian pinggang melintang dengan tujuan agar si pemakai terlihat ramping hihi ;p
Atau model kebaya yang sekarang masih numpang simpen di Glasgow, ini menggunakan aksen opnaisel yang agak banyak di bagian dada.

  

So, hidup opnaisel!! Ahaha...

*Huaaah sebuah postingan blog aneh di awal bulan Juli ;p (gara-gara nunggu jemputan adek tak datang-datang sementara perut sudah protes dari tadi huaaaah lapaaar

Sabtu, 30 Juni 2012

Juniku

Back again after the accident
 
Dear, Gustiku
Aku sering membincangiMu, tentang cerita jalan manusiaku
Kadang dengan beribu kata, cerita bahagia, cinta atau beberapa tetes tangis
Atau kadang aku mendatangimu dengan cara begini
Duduk diam dekat-dekat denganMU
Saat aku sedang tak bisa membicangiMu apapun



Juniku yang mengharu biru, sungguh bulan ini penuh dengan jatuh bangunnya hidup, kejutan dan kejadian. Terkadang ada pada titik saat aku sungguh tak bisa bicara apa-apa lagi padaMu, hanya bisa berkata, Gustiku..aku sudah tak tahu lagi harus memohon apa padaMu, berdoa apa bunyinya, biarlah aku duduk dekat-dekat denganMu saja. Kali ini dengan tanpa bicara, tanpa suara, duduk di dekatMU saja.
Karena dengan begitu, mungkin suatu saat  aku akan mengerti mauMu, rencanaMu. Aku, hanya manusia saja, tak punya kuasa apapun saat hampir saja kau ambil nyawa yang Engkau tiupkan. Tapi Engkau juga tunjukkan bahwa dalam keadaan apapun, aku diberkahi dengan banyak cinta dari orang-orang terkasih.
Terimakasih pada keluarga, saudara, sahabat, rekan kerja, orang terkasih dan anak-anak mahasiswaku yang senantiasa memberikan support dan doa sehingga aku bisa pulih sediakala.
Semoga cerita-cerita selanjutnya adalah cerita tentang wujud syukur saya padaMu, Gustiku.

Di penghujung Juni 2012