Rabu, 22 Agustus 2012

Gerimis


 
 Musim penghujan hadir tanpa pesan 
 Bawa kenangan lama t'lah menghilang
 Saat yang indah dikau di pelukan
 Setiap nafasmu adalah milikku
(Gerimis, Kla Project)


Gerimis menyapu kota ini lagi, mengusir aura musim panas pergi. Rintik-rintiknya menyapu jalanan, menciumi dedaunan, memeluk hatiku. Kota ini, menawarkan ribuan gerimis. Bukan hanya gerimis, tapi hujan lebat sampai badai bila winter tiba. Kota ini, yang sebenarnya masih saja kutanyai, kenapa Glasgow? Menjadi titik petaku selanjutnya. Aku masih mencari jawab. Bukan masih terjebak dalam ketidakterimaan, tapi hanya mencari jawab, kenapa tiba-tiba muncul kota ini di belokan dan akhirnya menjadi titik petaku berikutnya.
Mungkin karena kota ini menawarkan gerimis padaku. Barangkali.
Aku pecinta gerimis untuk alasan yang sebenarnya tak pernah kutahu. Aku kembali menatap derai-derainya di luar jendela saat ini, untuk mencari-cari alasan aku menyukainya. Apa?
Gerimis itu romantis? Romantis kenapa?
Mungkin dengan adanya gerimis kita bisa berjalan sepayung berdua seperti kala itu. Barangkali.
Mungkin aku suka suaranya. Itu makanya setengah mati aku malas memakai mantel hujan, karena akan menganggu suaranya, ada timpaan-timpaan gesekan di mantel hujan yang akan mendistorsi suaranya. Kenapa dengan suara hujan? Entahlah, aku mencandui suaranya. Suaranya itu akan bermacam-macam tergantung ia menciumi apa atau siapa. Saat ia jatuh di genteng, menimpa dedaunan, tembok, mantel hujan ataupun hatiku.
Mungkin juga suka rasanya. Barangkali.
Rasa setengah dingin derai-derai yang jatuh satu-satu menimpaku itu, sepertinya menjatuhi hatiku. Bagaimana tak merasa candu?
Mungkin juga suka baunya. Bau yang diciptakan pada tanah basah yang bisa kuhirup, seperti menghirupi setiap kenanganmu.
Mungkin juga aku suka tantangannya. Agar bagaimanapun cuaca dan keadaannya, langkah kaki masih tetep ditapakkan untuk melaju ke depan. 
Barangkali.
Atau mungkin juga aku suka gerimis agar kamu bisa cerewet lagi “ Jangan lupa pakai mantel hujan, boleh hujan-hujanan tapi besok” #sigh..
Mungkin suatu saat aku akan bilang : “ aku tak suka memakai mantel hujan agar engkau leluasa menggerimisi hatiku” 

Aku memandangimu dari jauh yang sedang membacai tulisanku sambil senyum-senyum dan bilang #dasar ratu gembel-- dalam hatimu..
Siapa suruh menggerimisi hati penulis ;p
Ini gara-gara gerimis, sungguh!!



Pertanyaan Sakral



Tak lebih dari 2 jam yg nanya udah 3 orang #pertanyaan sakral

Begitu tertulis ditwit seorang sahabatku, ahaha...langsung saja aku kutahu apa yang dimaksudnya, dan langsung reply twittnya : “siapin daftar variasi jawaban aja” .ehehe..
Pertanyaan sakral baginya yang masih belum juga menikah, pasti “kapan menikah?” 100% tebakanku pasti benar. Pasti momen lebaran dan kumpul-kumpul keluarga, ketemu teman-teman lama lagi, pertanyaan-pertanyaan sakral bakal muncul.
Yang belum lulus kuliah, akan ditanya “kapan lu lulus kuliah?”.
Yang udah lulus kuliah, akan ditanya “udah dapet kerjaan belum?”
Yang udah matang dan dan cukup umur, akan ditanya “ kapan nikahnya?” atau “mana nih undangannya?” ;p
Yang baru menikah, akan ditanya : “gimana udah jadi belum (anak-red)?”
Hiyaaaah...topik tulisan ini sounds familiar? Iyalah, kayaknya semua orang pernah paling tidak mengalami satu dari beberapa pertanyaan sakral di atas.
Ada yang menanggapinya santai, ada yang serius, ada yang kesel, ada pula yang sebel. Aku pernah tersenyum melihat aktivitas di FB saat status seorang teman dimana temen-temennya ngeledek karena dia itu belum nikah-nikah. Eits, responnya serius oey..
            Bagi elu sih biasa, tapi enggak di posisi gue”
(semoga orangnya enggak baca blog ini hihi, ini cuman contoh lho..no offense). Di kampus ada pula kawan yang langsung ngamuk-ngamuk lewat BBM kalau lagi diresein temen-temen soal nikah ahaha. Atau dulupun seoarang sahabat dekat curhat-curhat stress kalau setiap ketemu orang ditanyain udah hamil belum setelah 1 tahunan dia menikah. Humm annoying nggak sih sebenarnya? Padahal yang nanya mungkin juga niatnya cuma nanya doang yah..atau menurutku sih karena hal itu yang terlintas pertama kali saat mau memulai obrolan. Normal aja kali ya, kecuali ada orang yang rese yang terkesan ofensif..ehehe..
Aku?
Hehe, kebetulan tahun ini pertanyaan sakralnya agak berubah, dari pertanyaan “kapan nikah?” jadi “ kapan pulang?” ahaha..;p
Tentu saja pernah mengalami fase bahwa itu cukup annoying, kalau ditanya kapan menikah, yang biasa kujawab hanya dengan senyum, dengan kalimat “doain aja yah segera”, sampai pada fase sekarang ini yang santaaaiii menanggapinya. Dijawab saja dengan “ iya nih, udah pengen hamil” plus ketawa ngakak setelahnya. Pasti dikirain becanda, padahal beneran LOL. Suka banget liat perempuan hamil trus pake baju yang kerut-kerut atau lipit-lipit di bagian depan..seksi perutnya ahaha, makanya kadang  suka nyari dan beli baju di bagian Moms ehehe stttt ;p
Jadi kaget pas ada temen yang takut hamil, untungnya sekarang sudah enggak lagi ;p
 Mungkin memang kita tidak bisa mengelak dari komunitas sosial masyarakat Indonesia yang begitu “perhatian” hihi, jadi siklus pertanyaan sakral itupun agar terus bergulir mulai dari lulus kuliah, kerja, menikah, punya anak, anaknya udah sukses belum, udah punya cucu belum bla bla bla. Aku sering menganggapnya sebagai bentuk perhatian mereka. Dulu kubilang pada kawan yang ngamuk-ngamuk pas keseringan diteror pertanyaan kapan nikah?
kalau elu jadinya bete dan itu jadi energi negatif, kan elu juga yang rugi”
So, anggap saja orang memang kekurangan bahan pertanyaan jadinya mengambil template pertanyaan yang dulu-dulu orang juga tanyakan pada mereka. Mungkin begitu..So santai saja..tunjukkan betapa berwarnanya hidupmu dan isilah dengan karya, siapa tahu pertanyaan sakralnya akan berubah segera ahaha cheers..
 







Senin, 20 Agustus 2012

Ayat-Ayat itu



            Sebentar dek, kalau ada tanda Ù… bacanya berhenti dulu,” katamu di sela-sela bacaan Al Qur’anku. Aku menyimak keteranganmu, lalu membetulkan lagi bacaan-bacaanku. Malam senyap, hanya suara bacaanku yang lamat-lamat, dan waktu seakan berhenti sesaat, sementara engkau menyimak bacaanku lagi. 
            Besok ngajinya ditambah tiga halaman ya,” pintamu. Hatiku mengangguk, karena walau aku mengganggukpun kala itu engkau takkan bisa melihat. Suara angin sedikit terdengar, di ujung telpon. Bahkan anginpun ingin mencuri dengar suaramu yang berganti mengaji setelahku. Aku ingin mendengar lagi apa yang angin telah curi dengar itu. Sungguh! 
Walau selalu saja ada spasi, ada samudra, ada sebentangan jarak belahan dunia. Sungguh, ingin kudengar lagi ayat ayatNya yang kaubacai itu. Sungguh!

Lebaran dan Glasgow


Saling memaafkan takkan pernah bisa hanya selibat, tapi melibatkan dua pihak, dua pertautan hati, satu pihak bersedia memohon dan memberi maaf dan begitu pula pihak yang satunya…terlihat sederhana, tapi ada mekanisme luar biasa di baliknya. 

Huaaa...tahun depan aku lebaran disana nih,jangan ditakut2in mba.hahaha..” begitu bales inbox Mitha, calon penghuni Glasgow yang akan datang September nanti saat aku bilang lebaran di Glasgow tak berasa. Udah panik aja dia.
Tapi begitulah, lebaran jauh dari tanah air tentu saja berbeda, banyak ritual yang biasanya dilakukan menjadi tak bisa dilakukan. Dan yang pasti, aura lebaran tak terasa di sini. Sehabis kumpul bersama di rumah mba Adrianti untuk makan bareng dan bersilaturahmi, masing-masing segera pulang. Ari harus segera mengedit esainya, Rora segera berkutat lagi dengan tugas akhirnya, yang lainnya pun harus kembali dengan urusan masing-masing, hingga kami segera pulang. Lalu dari Buchanan Bus Stasion, aku memutuskan untuk tidak langsung pulang ke flat tapi jalan-jalan sebentar di City Center, muter-muter tak jelas ehehe. Orang lalu lalang, mana peduli hari ini lebaran kecuali warga muslim. Begitulah, jadi bukan menakut-nakuti suasana lebaran di sini begitu sepinya, tapi memang demikian adanya.
Tak ada suara takbir yang biasanya ramai berkumandang saat hari raya. Tapi entahlah rasanya kami semua menjalaninya biasa-biasa saja. Ada sedih, iya sedikit tapi selebihnya adalah rasa menerima bahwa beginilah memang kondisinya. Risiko dari sebuah pilihan yang telah dipilih. Kita tidak dapat mendapatkan semuanya, ada momen yang hilang, ada momen lain pula yang kita dapat.
Haru, sedikit..apalagi saat melihat ibu yang menangis sedih di malam takbiran saat ngobrol via skype. Ah ibuku, rasanya aku selalu saja membuatmu menangis. Makanya kutegarkan untuk tetap cerah ceria ngobrol seperti biasanya, untuk memastikan pada seluruh keluarga aku baik-baik saja, dan memang baik-baik saja. Hihi biarkan padamulah saja kalau aku sedang ingin mewek, walau seingatku takkan bisa mewek sepenuhnya. Diam-diam aku khawatir kalau kau suatu saat berhenti melucu, hingga tak bisa lagi kudengar komentar ajaibmu. Seperti saat aku mewek sedih karena harus pergi lagi, dan kau bilang,
            kenapa? Takut naik pesawat terbang yah?” ajaib benar komentarmu itu! Syarafku kebingungan untuk memilih melanjutkan menangis atau tertawa, dan akhirnya mereka memilih bersamaan. Alasan no 7 merindukanmu. Eh ngomongin lagi ;p
Begitulah lebaranku, biasa saja walau tak kehilangan makna. Bahwa semoga ke depan berupaya untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Lebaran yang penuh maaf, termasuk maaf pada diri sendiri. Mungkin banyak yang lupa, sudah mohon maaf pada orang tua, sanak saudara, teman-teman dan sahabat tapi diri sendiri dilupakan. Memaafkan diri sendiri, menerima apapun dan bersama-sama menjalani hidup ke depan.
Langit Glasgow sudah agak temaram, sudah jam 7. 30 sore (malem haha nggak jelas pokoknya). Agenda besok pagi adalah skypean bersama keluarga besar, menikmati suasana lebaran dengan bantuan tehnologi.
Eits, ingin iseng menunjuki foto hijaber ahaha, iseng pakai model kerudung yang tak biasa sebelum berangkat tadi.

tampak samping kanan
Tampak samping kiri
Tapi then...enggak pedeeeee...karena rasanya mukanya kelihatan isinya cuman pipiiiii ahaha so, ganti lagi model seperti biasa ;p

Kembali ke selera asal-nungguin bis di halte
Haha enggak penting juga ;p
Happy Eid Mubarak Everyone! Selamat merayakan dengan cara kalian masing-masing. Mohon maaf lahir dan Batin.
 

Jumat, 17 Agustus 2012

Menjelang Lebaran di Negeri Seberang



Lebaran 2010-Minus Si bungsu (yg motret ehehe)
Bulan ramadhan sudah menginjak hari-hari terakhir, aroma lebaran sudah mendekat. Tapi aromanya hanya tercium samar dari sini. Tak ada cerita tentang arus mudik, tak ada cerita tentang saling mengantarkan parcel hantaran lebaran ke sanak saudara, tak ada persiapan kue-kue lebaran ataupun merencanakan masak apa nanti kala Hari Raya Idul Fitri tiba. Memang tak ada. Hari ini masih masuk lab seperti sedia kala, walau otak rasanya sudah enggan bekerja, maunya menikmati libur saja. Apalagi hujan menguyur Glasgow sedari tadi malam, enaknya santai di flat sambil nulis ehehe..
Timeline di jejaring sosial facebook penuh dengan status-status tentang mudik, kemacetan, bikin ketupat dan pernak pernik menjelang lebaran lainnya. Dan kini, saya menikmati pengalaman lain yakni mengalami lebaran di negeri orang. Ada yang hilang, tapi juga ada yang kita dapatkan. Saya kehilangan momen-momen bersama keluarga seperti biasanya saat lebaran, tapi di sisi lain saya juga mendapatkan pengalaman baru yang tak semua orang bisa rasai.
            Lagi buka puasa dengan anak yatim di rumahkah?” tanyaku via BBM saat melihat update status BBM adekku. Ah, saya melewatkan ikut sibuk bersama ibu di rumah untuk menyiapkan hidangan untuk berbuka anak-anak yatim. Memang biasanya hampir rutin setiap tahunnya keluarga kami mengundang seluruh anak-anak yatim di desa kami untuk berbuka puasa di rumah.
Rindukah saya? Ehehe..saya sudah lama mengakrabi rindu. Bila sudah terlampau sering bepergian, engkau harus menempatkan rindu di dekat hatimu. Terkadang ia disana, tidak kemana-mana, meski sudah pula ada persuaan. Karena kata pergi akan segera menghampiri lagi.
            Rindunya harus ditransformasi jadi semangat loh ya,” katamu suatu kali, eh beberapa kali. Karena kamu pun tahu seberapa lama dan seberapa sering saya harus mengakrabi dan merasai kata itu.
Apa yang paling saya rindukan dari lebaran? Ketupatnya? Opor ayam dan kue-kue lebaran? Tentu bukan. Saya rindu kebersamaan saat lebaran dan juga rindu aura lebaran. Kebersamaan bersama keluarga sekarang ini menjadi sesuatu yang langka. Untuk bisa berkumpul utuh satu keluarga saja terkadang sudah sulit, dan momen lebaran merupakan saat yang pas untuk berbagi kebersamaan. Saya rindu memasak untuk hidangan di Hari Raya, rindu menyiapkan keperluan-keperluan lebaran di malam takbiran—menyetrika baju yang akan dipakai shalat ied, menata kue-kue di meja dan beres-beres--. Rindu juga suara bedug dan takbir yang membahana dari corong masjid di dekat rumah. Paduan suara bedug dan takbir itu menyelusupkan rasa yang terkadang sulit untuk dimaknai tapi menggetarkan untuk dirasai. Biasanya di malam takbiran, ada anak-anak kecil yang melakukan takbir keliling desa, berbaris beriring menambuh bedug dan mengumandangkan takbir melewati jalan-jalan berkeliling desa memeriahkan suasana, berbahagia menyambut hari raya.
Rindu berangkat untuk shalai Ied di masjid bersama-sama para warga lainnya kemudian bersalam-salam. Tak bisa pula sungkem pada bapak ibu untuk meminta maaf secara langsung, hingga lebaran kali ini nampaknya harus pake jendela ajaib Skype ehehe. Rindu repotnya membantu menyiapkan minum untuk para tamu dan saudara yang bersilaturahmi ke rumah. Warga desa saya masih memelihara tradisi “mider” yakni mengunjungi rumah satu per satu untuk meminta maaf. Jadi dipastikan hari pertama, akan sibuk dengan para tamu sampai sore. Sibuk pula cuci-cuci gelas dan piringnya ehehe ;p

Silaturahim bersama saudara-Lebaran 2010
Hayuk mari siapa mauuuu...(Lebaran 2011)
Togetherness with relatives (lebaran 2010)
Makan bersama-sama *menu gurameh dari kolam samping rumah (lebaran 2011)

Hari kedua dipastikan sibuk dengan memasak besar, karena akan ada silaturahmi keluarga besar Jayanangga yang jumlahnya akan berkali-kali lipat dari bila kegiatan kumpul biasanya tiap bulan. Karena satu keluarga biasanya sudah mengganda bila sudah mempunyai menantu ataupun cucu, dan semuanya berkumpul saat lebaran tiba. Begitulah ritual lebaran keluarga kami. Baru lebaran hari ketiga, bisa mengunjungi sahabat-sahabatku yang tingal di sekitaran kebumen. Berjumpa dengan mereka selalu saja sebuah pengalaman rasa yang menyenangkan. Dan rindu aura lebaran. Lihatlah wajah masing-masing orang, begitu antusias dengan binar menyambut lebaran. Binar-binar itu menciptakan satu frekuensi yang sama dengan jumlah yang begitu banyaknya. Sadarkah kalian akan hal itu? Cobalah perhatikan saja.
Di sini tentu saja berbeda, manusia-manusia lain masih sibuk dengan eksperimen lab, dengan rusaknya Cold Room, dengan konferensi. Tak ada lebaran bagi mereka. Hanya bisa kusaksi binar itu bila menjumpai kawan-kawan malaysia bila  berjumpa, dan teman-teman Indonesia tentu saja.
Walaupun begitu  Alhamdulillah, supervisor mengijinkan libur dua hari, senin dan selasa minggu depan..jadi lumayanlah total break 4 hari semenjak esok hari. Semoga bisa merayakannya bersama teman-teman PPI Glasgow walaupun sampai detik ini belum ada rencana kumpul-kumpul lebaran sekalipun. Setidaknya sudah ada kue kastengel, ada kacang telor dari Bali, dan masih ada emping yang besok akan kugoreng. Dan mungkin akan memasak sesuatu yang spesial saat lebaran nanti.
Menjelang lebaran kali ini, biarkan aku merasai perbedaan rasa yang mungkin jarang kurasai. Walau jauh dari keluarga, kamu dan sahabat-sahabat tercinta. Tapi bila kalian semua selalu kubawa dalam hatiku, apalah artinya jarak dan perbedaan waktu?
Selamat mudik dan berkumpul dengan keluarga, sahabat sekalian. Nikmati kebersamaan dengan orang-orang terkasih masing-masing, dan biarkan saya pula mendefinisikan arti kebersamaan menurut versi saya sendiri.
            Pasti akan berbeda, jauh dari mana-mana” kataku di chat saat terakhir kali kita sebelum lebaran.
            Siapa bilang begitu.., ada ***, ada keluarga dan sahabat-sahabat terkasih yang selalu bersamamu” ucapmu. Dan saya percaya itu.
Selamat mempersiapkan lebaran dengan “rasa” kalian masing-masing.

Rabu, 15 Agustus 2012

Sekilas Pandang, Mengundang Kenang



Aku tunggu di depan perpustakaan yah, kamu keluar sebentar.  Aku tunggu.” pesan singkatku waktu itu.
Dengan rok batik lebar berwarna coklat kutunggu engkau di depan perpustakaan di sebuah Universitas ternama di kota kita itu.
Tik tok, tik tok. Menunggu.
Tak lama engkau pun muncul dari belokan jalan itu, dengan langkah lebar-lebar itu. Bergegas menghampiriku. Tersenyum melihatku. Dan apakah kau tak sadar bahwa senyummu itu lebih terlihat berbinar kalau bertemu denganku? Tanyakan pada bangku batu di depan perpustakan yang mencuri pandang padamu itu.
Lalu segera berpindahtanganlah kunci yang ada di tanganmu, ke tanganku. Kenapa baru sekarang kau berikan kunci hatimu cuma-cuma? Setelah diam-diam kucuri. Eh hatiku dulu yang kau curi? Atau hatimu dulu yang kucuri? Atau kita sebenarnya melakukan pencurian secara bersama-sama? Mungkin kita tanya saja pada ibu kantin waktu itu, mungkin dia tahu siapa yang terlebih dahulu. Tapi pentingkah untuk kita persoalkan? Mungkin penting untuk kita “pura-pura” persoalkan, agar kita menambah lagi daftar perdebatan seru kita, yang masing-masing tak pernah mau pura-pura kalah. Agar bertambah lagi alasan untuk merindumu, itupun bila pun kata “rindu” tiba-tiba mengharuskan posisinya membutuhkan alasan. Siapa yang mengharuskan? Mungkin kamu, yang selalu pura-pura bertanya : “kenapa rindu?”
Aku kan suka bertanya, sudahlah jawab saja. Katamu suatu kali. Kujawab dengan seulas senyum, senyumku yang kuharap mampu kau terjemahi dengan cukup benar. Karena kadang kau terlalu mengeneralisasikannya dengan satu makna, manis! Katamu.
Manis banget!
Masih ada tambahan di belakangnya ternyata.
Kunci itu segera kugenggam dan kusimpan. Tapi hatimulah yang sebenarnya telah kugenggami.
            Sudah ya, aku pergi dulu.” Katamu lagi, sambil masih tetep berdiri. Ah, terkadang kita memang tak pernah punya cukup waktu untuk duduk berdua saja, memperturutkan lontaran kata yang saling kita tukar, entah kenapa tak pernah merasa bosan walau waktu sudah menua.
Aku mengangguk, walau selalu tak menyenangkan melihat punggungmu pergi. Tapi kunci di tanganku menghangat, hatimu juga pasti. Hatiku apalagi.
Lalu bergegas engkau membalikkan badan, membiarkan punggungmu kupandangi. Setapak demi setapak kuiringi dengan tatap mata yang melekat pada punggungmu. Masih tetap saja aku berdiri dengan rok batik coklat dan kuncimu di tanganku. Memandangimu pergi.
Satu..dua..tiga..engkau membalikkan badan dan menoleh padaku, padaku yang masih berdiri mematung di depan pelataran perpustakan.
Kita juga tak perlu menghitung..satu..dua..tiga, agar kita berdua serempak sama-sama tersenyum dari jauh. Kau duluan? Atau aku duluan? Kau duluan beberapa detik pasti!! Yang pasti bila kaudengar akan kau protes segera, protes yang selalu kutunggu sebenarnya.  Agar memasukkan lagi dalam daftar 77 alasan merinduimu.

Harusnya bisa kukumpulkan lebih dari itu, agar setiap kali kau tanya,
“kenapa rindu?”.
Bisa kusiapkan untuk menjawab pertanyaanmu itu, daripada engkau harus berupaya menjemahkan dalam setiap jawab senyumku.
Beberapa langkah, dengan sengajapun engkau menengok lagi. Aku masih semanis dulu, apalagi yang kau perlu kau pastikan?
Tapi kita masih serempak tersenyum, senyum malu-malu seperti pelajar SMA yang tertangkap saling mencuri pandang.
Satu..dua..tiga, kenapa engkau menengok ke belakang lagi? Dan mengapa pula aku masih melempar senyum paling manisku padamu yang hampir sampai di belokan. Sepersekian detik hilang dari pandang.
Mungkin kau hanya ingin pastikan bahwa ternyata adegan-adegan film romantis itu memang bukan khayalan. Benar!

** Glasgow, 15 August 2012. Hanya sekedar tulisan iseng sekali duduk, hasil ide dari komentar di sebuah status seorang sahabat di sebuah situs jejaring sosial. Bila ada yang merasa ada kejadian yang hampir serupa, pastilah saya sengaja. Ahaha..;p




Jumat, 10 Agustus 2012

We Grow Up and They Grow Old




Pulang dari lab kemarin, segera kulihat HP Nokiaku yang tertinggal di Flat, dan hanya BB saja yang terbawa. Ada satu pesan masuk, lalu kubuka, isinya singkat saja, hanya menanyakan “Masih di London apa sudah pulang?” sms dari bapak.
Lalu aku melihat jam di tanganku, pasti di Indo sudah hampir tengah malam, hingga kuurungkan niat membalas sms beliau, dan berniat membalasnya pada sahur nanti. Biasanya waktu Indonesia sedang bersantap sahur, sedang di Glasgow sedang berbuka puasa. Ah tumben bapak sms. Nomer simpatiku memang masih aktif selama aku di Glasgow, karena memang sengaja untuk tetap aktif. Biasanya aku ngobrol dengan keluarga saat weekend lewat skype. Minggu lalu sudah kubilang akan ke London weekend ini, mungkin bapak lupa kapan aku ke London. Atau entah kenapa..Kangen? ahhaa ;p
            mba, kemarin beli tahu petis kesukaanmu, wah seret maem-e” begitu cerita ibuku saat skype-an. Pasti bukan kalimat yang asing di telinga kalian, pastilah kalian sering mendengar kalimat sejenis ini dari orang tua kalian.
Humm, orang tua di dunia ini sepertinya semua hampir sama, menyayangi buah hatinya. Lihatlah saja, bila pasangan yang baru saja mempunyai anak, pasti profil pic di FBnya akan berganti rupa menjadi bayi, atau timeline-nya penuh dengan foto-foto buah hatinya tersebut. Tapi bayi itu, akan terus tumbuh dan suatu saat akan meninggalkan mereka.
When your kids go to university, live in a different place, you know that some day -next week, next month, wherever, sooner or later, they will COME HOME. But when they leave home to start their independent lives, you become uncertain WHEN they will see you. They will define 'home' on their own wills, not home as you belong to, not anymore (Bu Atik)
Kalimat di atas adalah status Fb bu Atik (dosen biologiku dulu), membuat aku berpikir sejenak bahwa lontaran perasaannya itu pastilah mewakili banyak perasaan para orang tua.
Semenjak kuliah, aku sudah mulai hidup terpisah dengan tinggal di kos-an, walaupun jarak kota yang kutinggali (Purwokerto) dengan rumah (Kebumen) tidak terlampau jauh. Hampir setiap minggu saat weekend, bila tak ada kegiatan laboratorium atau praktikum pasti pulang ke rumah. Sekitar 4 tahun menyelesaikan kuliah 1, dan kemudian hidup beralih ke Kota Yogyakarta selama 2 tahun. Kemudian setelah itu kembali lagi ke Purwokerto saat aku mendapat pekerjaan sebagai dosen di almamaterku. Lalu pernah terbang ke Italia selama tiga bulan, lalu kini ada di Glasgow, UK saat menempuh studi doktoralku. Semenjak kuliah, aku hampir jarang berada dalam waktu yang lama di rumah.
Pulang, kini menjadi bermakna kata tak lagi sama. They will define 'home' on their own wills, not home as you belong to, not anymore. Iyaps, dengan kondisiku yang nomaden sekarang, definisi pulang, sudah bukan “hanya”makna tunggal, yakni pulang ke rumah asal. Karena sering kali jauh dari rumah, untuk mengeliminir rasa sedih bila akan pergi, maka kata “pergi” kuubah menjadi kata “pulang” karena kata pulang lebih membawa kesan menyenangkan dan menentramkan. Jadi saya bisa pulang ke Glasgow, ke Kebumen, Ke Purwokerto atau ke Jogyakarta. Saya sudah mempunyai definisi pulang tersendiri yang mungkin tak lagi melulu pulang ke rumah orang tua tercinta.
Kita sibuk sendiri dengan urusan masing-masing, hidup terasa melesat-lesat saat tengah mengejar mimpi-mimpi. Tapi mungkin sering kali terlupa pada sosok yang senantiasa ada, mendukung dan mendoakan kita walau dari jauh sekalipun. Bahwa waktu-pun “bekerja” pada mereka, hingga merekapun beranjak menua.
We grow up, and They grow old.
Saya terus bertumbuh, pergi ke berbagai daratanNya, bertemu dengan orang-orang dengan berbagai macam latar belakang, mencintai, dicintai, dan juga mempunyai sahabat dekat yang kinipun telah terpencar-pencar oleh jarak. Kita bertumbuh dewasa, tapi seringkali tak sadar bahwa orangtua kita juga bertumbuh tua. Rambut mereka sudah mulai beruban, gigi sudah mulai tanggal dan harus memakai gigi palsu, kesehatan mereka juga tak sebaik dahulu. Bahkan cara berpikir dan bersikap mungkin juga berubah. Ah, semoga laju perubahan itu terus bisa kudeteksi. Karena waktu, kadang melena, kadang melupa.
            They will miss you” isi BBM seorang kawan saat saya akan “pulang” lagi ke Glasgow bulan lalu. Kubales dengan ikon tertawa,
            Why you laugh?” tanyanya heran (mungkin)
            Aku sudah biasa pergi” jawabku. Kata—rindu,jarak,jauh—telah menjadi akrab di telinga dan juga dirasaku.
Ah, waktu. Semoga engkau masih memberi banyak kesempatan untuk menunjukkan betapa besar cinta saya pada mereka.
Beberapa saat lalu, saya melihat di timeline FB, percakapan seorang bapak (dosen/trainer saya dulu) dengan anak-nya yang tengah berada di luar negeri untuk magang kerja.
Adik mau awan mulih jam 11, tak jemput. Tekan Gang 1 deweke omong, "aku wis kangen temen karo kakak." Tak takoni, yen ketemu kakak kowe arep ngopo? "Arep tak peluk suwiii ora tak culke, terus aku njaluk digendong.
Begitulah, keluarga selalu menjadi tempat yang hangat untuk pulang. Walau sekarang ini, falsafah “mangan ora mangan ngumpul” di masyarakat sudah banyak bergeser, dan kata “kumpul” pun bisa diciptakan dengan berbagai macam cara. Tapi setidaknya, mari luangkan waktu untuk mereka. Yang telah menyayangi kita dengan segenap jiwa.


Glasgow, 9 August 2012. 7 pm, sebelum memasak untuk buka puasa.
 





Minggu, 05 Agustus 2012

Buka Puasa Bersama PPI Glasgow



Yeaaah foto bareng sebelum pulaaaaang
Pulang dari lab hari jumat sore merupakan salah satu surga di Glasgow ehehe. Iyap, karena paling tidak dua hari free bisa digunakan untuk aktivitas lain selain riset dengan tidak merasa bersalah ehehe. Dan jumat sore ini ada acara buka puasa bersama PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) Glasgow di rumah Mas Abas dan Mba lila di Ingram Street dekat city center. Untuk berkumpul dengan anak-anak memang harus “menciptakan” momen, karena akhir-akhir ini mereka tengah sibuk-sibuknya menyiapkan tesis untuk segera disubmit. Maka acara ini merupakan kali pertamanya aku kumpul bareng dengan anak-anak lainnya semenjak pulang ke Glasgow. Maka sekitar jam 18.45, aku sama ari wijayanti (temen se-flat)berangkat menuju flat Mas Abas dengan baik subway, lalu seperti biasa...jalan kakiiii ehehee.

Tiba di tempat sudah ada beberapa anak indo yang sudah datang. Maka seperti biasa ngobrol seru dengan mereka sebelum acara pengajian dimulai. Sedang di dapur, ibu dan ibu mertuanya Mas Abas tengan sibuk menyiapkan masakan untuk berbuka puasa untuk kami semua. Humm salah sau yang menyenangkan pada saat berkumpul bersama tentu saja acara makan bersama masakan Indonesia. Nyumm nyummy deh.
Setelah banyak anak-anak berkumpul, kami memulai sesi pengajian yang seperti biasa diisi oleh Ustadz Nanung, salah seorang PhD Student di Glasgow. Bahasan kali ini adalah tentang sadar vaksinasi. Hiyaaah jadi inget bahwa aku harus menjalani Vaksinasi Hepatitis B karena akan bekerja menggunakan serum manusia. Ah lagi-lagi healty and safety di sini memang ..humm..memang apa ya, yah mereka concern dengan keselamatan manusia. Jadi minggu lalu, bagian akademik sudah menghubungi bagian occupational health section untuk menjadwalkan kapan aku harus divaksinasi Hepatitis B. Supervisorku sampai heran saat aku menyebut bahwa di Indonesia, vaksinasi seperti itu sama sekali belum menjadi perhatian untuk dilakukan. Yeah, itulah beberapa hal yang mungkin bisa dipelajari dari belajar di luar negeri.
Menyimak Bahasan Pak Ustadz 
Mari mengunyah, gals...nyumm..nyummm
Bahasan yang disampaikan oleh ustadz nanung berakhir menjelang berbuka. Ayayayyy..saat jam sudah menunjukkan pukul 9.30 magrib, kami segera berbuka dengan minum es dawet, atau ada juga es buah..huaaaah..slurrrrp. setelah ngemil camilan sedikit, kami shalat magrib bersama. Baru setelah shalat magrib kami menyerbu menu yang elah disiapkan. Nasi, Fuyunghai, balado terong dan gulai ayam yang rasanya hummmm...nyummy. Makan sambil ngobrol dengan teman-teman dalam sebuah kebersamaan yang setidaknya mampu menggantikan suasana rumah. Ramadhan jauh dari rumah tentu saja terkadang merasa sendirian. Tapi bagi kami-kami yang harus jauh dari rumah, kami harus bisa menciptakan “rumah” dimanapun kaki dijejakkan. Dan kini, merekalah rumah saya di Glasgow, keluarga yang menyenangkan dengan kebersamaannya.
Tuhan itu mencintai manusia lebih dari yang kita perlu. Dia telah menyiapkan semuanya untuk kita, termasuk orang-orang yang selalu ada untuk kita, baik itu jauh, baik itu dekat. Karena jauh dan dekat, itu terasa absurb sekarang. Jarak bisa dilipat, keterhubungan bisa dijalin dengan berupaya terus menjaga silaturahim yang baik.
Sudah ada tehnologi yang memungkinan semuanya terkoneksi. Aku bisa menghubungi keluarga atau sahabat-sahabat dengan skype yang memungkinkan untuk ngobrol saling menyapa dengan melihat satu sama lain.
Aku memang belum mempunyai “rumah” dalam artian fisik yang tetap, tapi Tuhan memberikanku “rumah” yang hangat kemanapun diri menjejakkan kaki. Terimakasih untuk kasihMu yang selalu berlebih.
 
*Glasgow menjelang sore, dengan hujan yg menderas dan ditemani radio Swaragama. 


Jumat, 03 Agustus 2012

Memeluk Waktu




Pukul 01.30 kini dan aku masih saja terjaga, menanti waktu sahur yang jaraknya berdekatan dengan buka puasa. Kami di sini memulakan puasa pada pukul 03.00 pagi dan berbuka puasa pada pukul 09.30an malam (eh magrib). Semula di tanah air, waktu sepertinya tak pernah kuindahkan, siang dan malam begitu runtut berjalan masing-masing adil 12 jam. Pergantiannya seringkali terabaikan, karena berpikir memang begitulah semestinya mereka berjalan dalam detik dan menitnya. Mereka berlalu, tanpa banyak orang tahu ataupun mau tahu.
Ah waktu, kau kini seringkali meminta perhatianku. Sejak kali pertama datang ke daratan Britania Raya ini september lalu, aku diberinya waktu malam yang lebih panjang, hingga jam 8 pagi masih serasa jam 5 pagi di Indonesia. Lalu kini saat aku datang lagi, aku diberinya waktu siang yang begitu panjang, hingga jam 9 (malam?) langit baru terlihat agak menggelap. 
Dulu, tidur malam begitu runtutnya dengan jadwal yang tertata rapi (kecuali lembur kerjaan, nonton bola ehehe, atau digangguin telpon orang ituh hihi). Seakan waktu itu membagi menjadi dua kegiatan, siang untuk beraktivitas dan malam untuk beristirahat. Teratur benar sepertinya jadwal hidup di bumi pertiwi kupikir. Tapi kini, humm...waktu seakan begitu menggemaskannya hingga ia selalu saja meminta perhatian. Waktu shalatpun harus diikuti karena ia terus bergerak-gerak, terus berbeda-beda tiap waktunya. Prayer time table untuk tiap bulannya kudownload agar aku dan waktu saling mengingatkan akan waktunya bicara padaNya.
Aku dan waktu kini terasa saling berhubungan, karena ia selalu saja menarik perhatian, meminta perhatian, mungkin karena sekian lama kuacuhkan. Dulu, mungkin aku hanya peduli pada pagi yang merekah merona, atau pada senja yang manja. Pagi atau senja yang waktunya sebentar saja tapi rentang waktu yang entah kenapa waktu yang kusuka. Kini? Pagi, siang, senja, malam? Ah...waktu kini benar-benar mempermainkanku.
Apalagi saat masih saja menengok waktu Indonesiamu, ada ngilu, ada rindu, terasa ada jeda jarak di situ.
            “ Jam berapa disitu? Kapan buka puasa?” begitu tanya yang sering menggema dari orang-orang di daratan Indonesia.
Ah waktu, bukankah kamu satu? Tapi kau bisa membelah diri, membagi kami-kami di berbagai belahan dunia dengan jatah sendiri-sendiri.
Baiklah, mungkin kini aku harus berdamai denganmu. Bukankah kau juga pernah kupersalahkan? Atau pernah juga kukejar-kejar saat rasanya engkau berlari terlalu cepat. Mari berdamai saja, biar kupeluk engkau erat-erat. Kupeluk engkau entah di daratan manapun aku bergerak, biar aku tidak terlambat, biar aku selalu memperhatikanmu, waktu.
Walaupun terkadang kau curang, kenapa engkau serasa mempercepat 1 jam menjadi hanya beberapa menit kala aku bersamanya? Mungkin engkau sejenis makhluk pencemburu ahaha.
Ah sudahlah, mari kupeluk..entah dini hari seperti kala ini, entah pagi, entah siang, senja atau malam, kau beri tahu saja, aku akan terus berjalan bersamamu.
Di sela-sela menulis tulisan ini, tiba-tiba Hpku berbunyi, sebuah sms dari bumi Indonesia : “ ayoo banguuuuun..saatnya sahuuuur, biar ada cukup energi untuk menantang hari ini, *********** (selanjutnya terkena sensor).
Ah, ternyata bukan hanya aku yang mempunyai dua waktu.
Dan kini aku menunggui datangnya subuhmu, yang pernah kuprotes : “kenapa engkau mendatangkan subuh terlampau pagi?”
Lalu waktu bilang : “Sudah, diam saja, tak usah banyak protes. Peluk saja aku.”



Glasgow, 3 August 2012 saat menanti subuhmu.

Kamis, 02 Agustus 2012

The Jilbab Traveler—Sebuah Kejutan Manis


Hari di Glasgow sudah menjelang siang, aku masih duduk di kursi post graduate student di CVR tempatku biasa bekerja. Masih menggarap file presentasi untuk 2 minggu ke depan tentang hasil first year reportku. Sementara jendela facebook-ku masih terbuka (ehehe hobi kerja disambi nyambi facebook-an terbukti kadang lebih efektif*alesaaaan hihi). Lalu setelah file power point sudah tinggal dipoles-poles, iseng membuka update status di timeline facebook, kemudian mataku tertuju pada postingan mba Asma Nadia di Group jilbab traveller tentang buku The JIlbab Traveler yang segera terbit. Ah, langsung tertarik melihatnya, dan kaget menemukan namaku ada di cover belakangnya. Lah enggak ada woro-woro kalau naskahku yang kukirimkan iseng-iseng sekitar 2 bulan lalu itu masuk terpilih untuk diterbitkan dalam buku tersebut. Ah, senangnyaaaa...ada perasaan tak tergambarkan bila karyaku diterbitkan, walaupun karya ini karya rombongan dengan beberapa penulis. Tapi tetap saja sebuah kejutan yang menyenangkan, apalagi lagi buku ini siap dipasarkan di toko-toko buku Indonesia.
Ambisi untuk punya buku tunggal yang dipasarkan di toko buku masih meletup-letup nih. Dan setidaknya dengan terbitnya karyaku ini, bisa melecut semangatku untuk kembali menghasilkan karya lagi. Menulis, merangkaikan kata-kata yang ada dalam pikir dan hati untuk disajikan agar mampu dibacai dengan baik, selalu saja menjadi aktivitas yang menyenangkan (eits kapan yah nulis report in English menjadi sesuatu yang menyenangkan? Ehehe ;p). 
Karyaku dalam buku ini berupa tulisan saat traveliing ke Edinburgh, aih Edinburgh lagi? Ahaha cinta emang tak bisa bohong. Kenapa enggak nulis Glasgow coba? Entahlah. Tapi saat ada pemberitahuan seleksi naskah travelling itu yang terpikir pengen nulis tentang Edinburgh. Naskah tersebut kukirim sekitar 2 lalu saat aku masih mengerjakan riset di Indonesia, dan nasib naskah itu baru kuketahui hari ini saat cover itu muncul di timeline facebook.
Buku ini berisi kumpulan kisah-kisah travelling di berbagai negara di dunia yang dilakukan perempuan-perempuan berjilbab. Karena toh berjilbab bukan halangan untuk bertravelling dan merasai pengalaman di berbagai negara. Buku ini juga kaya oleh tips-tips tentang travelling yang pasti sip untuk dibaca para pecinta jalan-jalan. Banyak para jilbaber yang berpikir repot untuk jalan-jalan, padahal semuanya bisa disiasati kok, so, simak pengalaman beberapa penulis termasuk akuuu di bukuku, grab this book soon!! ehehe
Berdasarkan pengalaman, terkadang kesempatan bisa datang dimana dan kapan saja, asal mau menjemputnya. Lahirnya buku ini, tak lepas dari keikutsertaanku di group facebook “jilbab traveller” sehingga akses informasi tentang proyek jilbab traveller lebih mudah didapat. Jadi mau menjemput kesempatan lain lagi dan lagi ah..ehehe..
Kejutan kali ini lebih berupa sentilan, agar mulai semangat menulis  buku lagi. Selama ini hanya menulis biasa di blog untuk tetap menjaga performa menulis. Kadang update berita tentang lomba-lomba penulisan atau sekedar give away, sebenarnya tertarik untuk ikutan, tapi kemudian lupa deadline gara-gara aktivitas riset.

Buku ini, lebih berupa sebuah lecutan untuk terus berkarya lagi. Terimakasih pada sahabat dan orang-orang terkasih yang selalu memberikan dukungan dan perhatian. Cannot do all of this without you. Millions thanks for all of you, guys..luv you all..
 Ijinkan, aku mengutip sebuah kalimat seorang sahabat:
Ada yang mengukur hidup mereka dari hari dan tahun. Yang lain dengan denyut jantung, gairah, dan air mata. Ukuran sejati di bawah mentari adalah apa yang telah dilakukan dalam hidup ini untuk orang lain..berbagi (Shanti Oktavilia)


 

Glasgow, 2 August 2012.