Senin, 18 Maret 2013

Mempertanyakan Hidup




Mataku melihat judul buku itu di antara beribu judul buku di Gramedia Amplas Jogya, buku itu pasti memberikan signal untuk kubacai. The Celestine Vision–James Redfield, itu judul buku dan penulisnya. Celestine? Umm saya teringat The Celestine Prophecy karya Redfield juga. Lanjutannya kah? Atau buku ini berhubungan dengan The Celestine Prophecy? Iyah, ternyata benar. Buku ini semacam karya non fiksi yang berhubungan dengan The Celestine Prophecy. Sementara karya fiksi lanjutannya berjudul “wawasan ke sepuluh” melanjutkan ke-9 wawasan yang diutarakan dalam buku yang pertama.
Lalu berpindahlah akhirnya buku itu ke tanganku, Buku itu yang memilihku, atau aku yang memilih buku itu? # rumit amat sih saya ehehe..;p
Dan akhirnya malam itu, saya membeli dua buku yang telah dengan sengaja memilih saya untuk membacainya#pede. The Celestine Vision dan Dunia Sophie-nya Jonstein Gaarder, di sela-sela lagunya Taylor Swift yang diputar di Gramedia dan seketika blip, dunia berhenti beberapa menit. Lalu suaranya Taylor swift tiba-tiba berubah jadi suaranya seseorang yang pernah menyanyikan lagu ini untuk saya.
Romeo take me somewhere we can be alone
I'll be waiting all there's left to do is run
You'll be the prince and I'll be the princess
It's a love story baby just say yes
Aih lost focus! #abaikan.
The celestine Phophecy, The celestine vision, Dunia Sophie. Buku-buku aneh, mungkin itu label kebanyakan orang. Ahihihi begitulah, karena saya punya hobi mempertanyakan hidup. Dan biasanya buku-buku itu secara ajaibnya mendatangi saya. Tuhan menjawab apa yang saya tanyakan. Pertanyaan saya beberapa dijawab lewat buku, beberapa lewat orang yang hadir dalam hidup saya. Dengan begitu saya menyadari hidup saya. Sampai mana, untuk apa, dan apa selanjutnya.
Beberapa saat yang lalu, dalam perbincangan dengan seorang teman lama tapi baru (berteman lama di FB tapi baru kali ini bertemu). Dengan spontan saya lontarkan pertanyaan saat ia bercerita tentang alur pekerjaannya
            “ Nggak tau juga, alur kerjaan saya zig zag, nggak cocok sama keilmuan saya” paparnya.
            “ Trus motifmu apa melakukan kerjaan yang sekarang ini?” spontan pertanyaan itu yang terlontar dari mulut saya.
Dia sedikit terpengarah, mungkin tidak menyangka akan mendapat pertanyaan begitu rupa.
            “ Ahaha nggak tau juga” jawabnya. Saya tersenyum, karena saya tahu setelah itu, nanti atau beberapa hari kemudian dia akan memikirkan pertanyaanku tadi itu.
Bagaimana mungkin seseorang tidak tahu mengapa/motif melakukan pekerjaan/profesi tertentu? Ah, tapi itu banyak terjadi di sekeliling kita. Hey kamu pasti sudah tahu motifmu bukan? Bahkan bila kamu melakukan demi motif uang sekalipun. Kamu harus tahu. Untuk apa? Untuk memberi makna hidupmu. Seperti arah kompas yang ingin dituju, seperti tujuan dalam setiap penelitian, setiap penjelajah dan setiap peneliti harus tahu itu.
Seandainya manusia sedikit saja menyediakan waktu untuk mempertanyakan hidup, sebelum ia “berlarian” lagi.
Saya mulai mempertanyakan hidup saat mewujudkan impian saya dulu. Setelah impian saya sudah terwujud, saya diserang pertanyaan seperti, jadi untuk apa ini semua? Buat apa? Selanjutnya apa? Lalu dengan ajaibnya saya menemukan buku “The Alchemist”nya Paulo Coelho. Jadi memang buku itu sangat berpengaruh pada hidup saya, bukan karena bahasanya, ceritanya, atau lainnya. Tapi karena melalui buku itu Tuhan menjawab pertanyaan saya.
Sejak saat itu saya mempunyai kebiasaan untuk mengamati kebetulan-kebetulan yang terjadi dalam hidup, mengamati semesta merangkai kejadian demi kejadian dan membacai pertandanya (jreeng..bahasanya absurb yah). Seringkah kalian mengamati kejadian yang dilabeli orang sebagai peristiwa “kebetulan”? bila sering-sering mengamati, engkau akan menyadari hidupmu adalah susunan kejadian ajaib. Saya, dengan jujur sering “gemes” dengan Tuhan dengan “permainan” kejadian-kejadiannya.
Sebelum buku The Alchemist, saya sudah terpengaruh oleh beberapa buku-nya Gede Prama, Dee dan Covey, tapi baru saat The Alchemist datang dalam hidup saya, saya semakin sering bertanya, berbicara dan mencari tahu tentang hidup.
Setelah itu saya bertemu dengan seri-seri buku The Secret, kemudian mengenal bahasa semesta, terpesona dengan The law of atraction yang banyak mempengaruhi hidup saya. Saya merasa hidup saya semakin seperti anak tangga, seperti perjalanan. Kadang bingung mencari arah, kemudian Tuhan memberikan jawaban. Kadang setelah tahu jawabannya, saat saya meneruskan perjalanan saya bisa saja tiba-tiba melupa apa yang telah saya diketahui sebelumnya. Dalam artian lupa tidak saya jadikan sikap hidup lagi.
            “ Semesta merespon apapun yang kita pancarkan”. Secara teori saya mengerti itu, tapi dalam perjalanan, dalam bawah sadar saya sering memancarkan signal-signal negatif, sehingga semestapun merespon serupa. Hidup perlu disegarulangkan, untuk merekap lagi pelajaran-pelajaran yang lalu.
Dan akhir-akhir ini, saya banyak mengambil jeda untuk kembali me-recall pelajaran-pelajaran saya. Setiap orang mempunyai tahapan pembelajarannya sendiri-sendiri, saya percaya itu. Kadang jiwa saya memberikan signal bahwa saatnya jiwa saya disegarkan. Guru akan datang saat murid sudah siap. Dan biasanya saya ke toko buku dan membiarkan ada buku yang dengan sengaja bertemu dengan otak saya. Seperti senin minggu lalu, usai riset lapangan saya sempatkan ke Gramedia Purwokerto. Jiwa saya akhir-akhir ini lelah karena terus menerus berlarian. Niatnya ingin mencari buku “Sewindu”nya Tasaro GK tapi ternyata masih belum liris di toko buku. Dan akhirnya “The Magic”nya Ronda Bryne memilih saya untuk tahu tentang kejaiban syukur. Sekali lahap buku itu langsung bikin jiwa jadi segar. Ya ampun, selama ini sudah tahu tentang syukur, dari kecil diajari syukur, di pelajaran agama juga dikasih tahu soal bersyukur. Tapi baru sekarang ini saya “paham” ajaibnya daya syukur dan efek-efek luar biasa yang bisa diciptakannya. Aih gila, andai lebih banyak manusia yang baca buku ini dan tahu “rahasia” ini, makin banyak hidup-hidup yang tercerahkan.
Dan kemarin The Celestine vision berhasil membuat otak saya nggak mau istirahat sebelum bacaan buku itu selesai. Sudah larut hampir dini hari, mata sudah ngantuk tapi otak nggak mau istirahat saking excited-nya. Kayak nemu “rahasia” rasanya ehehe. And again, Tuhan memberikan jawaban tentang suatu hal yang sedang saya alami. Sebenarnya pembelajaran berulang, karena pelajaran yang dulu sudah saya tahu dari The Celestine Prophecy banyak saya lupakan (atau saya ingat tapi prakteknya sulit xixi). Tuhan kasih remidi sepertinyaaa ahaha..
Oh ya, tentang buku The Celestine Prophecy. Saya semakin takjub tentang bagaimana buku itu bisa ada di tangan saya. Buku itu diberikan sebagai hadiah dari Widuri, sahabat baik saya. Dan ternyata buku itu ingin saya tahu tentang ke-sembilan wawasan itu. Dan salah satu poin yang dulu saya baru belajar adalah tentang “ketergantungan energi”. Hal tersebut pernah saya baca di tulisan Dee lewat kalimatnya “kita harus menjadi utuh dulu untuk bisa mengutuhkan orang lain”. Dan hal itu menginspirasi saya membuat cerpen berjudul “Cinta di antara dua huruf O”. Saat itu saya mengalami ketergantungan energi kronis karena ujian sebenarnya mengenai “penuhnya” diri manusia teruji benar dalam suatu hubungan. Setelah saya tahu ilmu “perebutan energi” itu saya sembuh. Tapi kemudian penyakitan lagi ahaha..
Lalu The celestine vision kemarin itu datang datang dalam hidup saya untuk kasih kuliah lagi. Saya cuma senyum-senyum nyengir, walau otak saya terus berpikir. Ada banyak hal dalam buku itu yang mempesona otak dan jiwa saya. Dan makin membuat saya sadar, ternyata “kitab-kitab”nya orang-orang yang saya kagumi nilai hidupnya itu hampir semua sama bacaannya. Mereka sudah terlebih dahulu mengetahui tentang “rahasia-rahasia” itu. Hidup ternyata bisa menjadi begitu ajaibnya. Saya rasanya kayak nemu harta karun! Ehehe..lebay terus-terus ternyata nagih juga!
Kini saya mengutuh kembali, penuh kembali. Setelah tahu rahasia energi, ternyata energi itu bergender kawan, ada gender laki-laki dan perempuan, dan kamu akan mengutuh bila sudah bisa mampu mengaktifkannya. Life is Magic, Miracle bila kita menemukan rahasiaNya!
Ah baiklah, kalian sudah protes : ngomongin apa sih  ini dari tadi? Ahaha..kabur ah. Selamat sore, selamat menjalani hidup kalian yang ajaib, kawanku! Kapan-kapan saya meracau tentang hal ini lagi.

Ndalem Pogung, 18 Maret 2013.

Rabu, 13 Maret 2013

So Grateful with Life :)





Kali ini saya ingin bersahabat dengan sunyi. Mungkin sunyi dapat membantu saya lebih jernih mendengarkan kata semesta, semakin jernih pula melihat keajaiban-keajaiban semesta. Hidup ternyata telah memberikan saya banyak sekali kelimpahan, yang sering kali alpa saya lihat.
Saya semakin jarang merasa adanya udara, saya semakin sering mengindahkan ajaibnya matahari, paling-paling saya peduli soal hujan, karena pesonanya tak pernah mampu kuindahkan.
Saya terlalu sering berlarian. Mengejar apa? Untungnya saya tahu apa yang saya kejar dan ingin wujudkan. Namun kali ini saya hanya ingin mengambil jeda bersama sunyi agar saya dapat merasa, melihat, mendengar lebih banyak lagi.
Saya harus bersyukur saya tahu apa yang saya tuju, alasan-alasan saya serta kebermaknaan yang ingin saya capai dalam hidup saya. Walau akhir-akhir sering berlarian, saya agak melupa keajaiban di sepanjang “perjalanan”.
Kali ini saya ingin bersyukur dan bersyukur, Tuhan selalu Maha Baik. 
Terimakasih, terimakasih, terimakasih.
Saya ingin kembali menyadari hadir udara, angin, dan kehadiran semesta di sekeliling saya yang selama ini saya melihatnya sebagai something take it for granted. Padahal harusnya saya berterimakasih bahwa semesta telah menyediakan serangkain kosmik-nya yang teratur agar kehidupan berjalan dengan normal.
Terimakasih, terimakasih,
Bahwa saya dipertemukan dengan orang-orang yang hadir dalam hidup saya. Karena tanpa mereka semua, hidup saya akan sama saja. Bila saya sendirian saja, kemanapun saya pergi, ke pelosok negeri, menjelajahi benua biru Eropa atau ke sudut-sudut Jogya sekalipun, apa bedanya? Hidup ternyata dihidupi oleh interaksi dengan orang lain, dan saya harus bersyukur untuk itu. Tawa saya akan terasa sumir bila sendirian, senyuman saya akan menguap hampa bila tak dibagi bersama kalian semua, tangis saya akan terasa sepi bila tangis sejenis tangis tanpa alasan, basi.
Terimakasih, terimakasih,
Hidup saya ternyata kaya, karena semua katalog rasa sudah pernah saya rasai, dan hidup ke depan menawarkan lebih banyak lagi keajaiban-keajaiban dan saya tidak ingin membuta dan mati rasa. 
Tuhan Maha Baik, Selalu.
Tak cukup bila saya harus satu-satu menghitung karuniaNya, tapi saya harus terus menghitung agar percaya bahwa hidup saya penuh dengan keberlimpahan.
Terimakasih, terimakasih kamu
Yang mengajari saya rasanya dicintai, mencintai. Memahamkan pada saya bahwa kita sama sekali tidak bisa mengubah seseorang. Mengajari saya rasanya terluka dan memaafkan diri sendiri, karena tak seorangpun bisa menyakiti hati kita tanpa kita ijinkan. Terimakasih telah membuat saya menerima kesalahan-kesalahan yang telah saya buat, memaafkan diri sendiri dan berterimakasih atas kesediaannya untuk mendukung dan membahagiakan saya. 
Apapun, seberapun yang saya terima dalam hidup, mungkin bila dikonversikan sama seperti yang telah saya berikan. Apa yang ada pada saya, pastilah sebanyak rasa syukur saya. Apabila saya merasa kekurangan dalam suatu hal dalam hidup pastilah karena kurangnya rasa syukur saya disitu.
Terimakasih, terimakasih. 
Saya sudah sering mendengar, diajari tentang rasa “syukur” tapi baru kali ini memahami “rasa syukur” dengan cara yang berbeda. Hidup ternyata penuh keajaiban setiap detiknya. Tuhan telah memberikan saya banyak sekali kelimpahan.
Sekarang saya punya serbuk ajaib bernama “syukur” yang ingin saya taburkan pada apa dan siapa saja. Saya juga punya batu ajaib bernama “gratitude stone” yang akan selalu bersama saya. Yang akan saya genggam menjelang tidur untuk berterimakasih pada hidup sepanjang hari dan memilih kejadian terbaik yang harus saya syukuri. Karena dengan memilih kejadian terbaik, saya sudah mengingat kejadian-kejadian baik yang patut disyukuri sepanjang hari, dan semakin percaya hidup penuh dengan keberlimpahan. Batu itupun akan saya genggam saat Tuhan menghidupkan saya kembali pada pagi berikutnya, terimakasih telah memberikan saya satu hari lagi.
Saya bersyukur kalian mau runtut membacai tulisan saya ini, karena saya hidup karena menulis, dan kalian semua membuat hidup saya semakin hidup. Terimakasih, terimakasih.

“Siapa yang memiliki syukur akan diberi lebih banyak, dan ia akan memiliki kelimpahan. Siapa yang tidak memiliki syukur, maka bahkan apa yang dimilikinya akan diambil darinya.”

Semoga hidup kalian penuh dengan keberlimpahan.

13 Maret 2013.


Rabu, 06 Maret 2013

Me/Laju





Me/Laju

Derasi aku dengan hujanmu, maka ia akan menyuburkan semangatku
Bekukan aku dengan saljumu, maka tubuhku akan mencari cara menghangatkan dirinya sendiri
Panasi aku dengan terik mentari, akan kujadikan bahan membakar energi menantangi hari
Jatuhkan aku, maka aku akan meloncat lebih tinggi lagi
Matikan aku, maka jiwaku akan merasuk pada jiwa-jiwa ribuan anak negeri ini.
Matikan aku,  maka jejak-jejakku dalam karya akan tetap tertinggal

Me/Lajulah//lajuku


*Titik terendah terkadang amat dekat dengan puncak tertinggi, selamat pagi !
Ndalem Pogung, 6 Maret 2013

Senin, 25 Februari 2013

Let The World Surprise You




Hujan  masih menderas, perciknya hampir sampai di ujung-ujung jari kakiku. Teras rumah saudara ini sepi, hanya aku dan orkestra suara hujan. Sepi tentu saja, karena pemilik rumahnya, Budhe Mami sekeluarga tengah arisan keluarga dilanjutkan acara 40 harian almarhum simbah putri di rumahku. Tapi justru aku yang berada di sini. Karena setengah jam yang lalu, dengan tanpa pikir panjang, aku segera mengemasi sampel-sampelku (RNA dari isolasi serum pasien DBD) dari kulkas rumah dan  menempatkannya ke cooler box, lalu segera melakukan aksi penyelamatan.
Pet! Di tengah-tengah acara kumpul arisan keluarga listrik tiba-tiba mati. Ah, Tuhan mau becanda lagi, begitu pikirku. Sampel-sampel yang harus disimpan dalam kulkas dengan suhu -20 C itupun harus kuselamatkan. Dan di tengah rintik hujan saya melarikan  motor cepat-cepat ke rumah saudara. Dan Alhamdulillah listrik menyala dan sampelku kutempatkan di freezer kulkas.
Sampel itu se-nomaden saya. Asalnya dari RS Margono (Purwokerto), saya bawa ke Laboratorium Mikrobiologi UGM, Jogya dan kemarin saya bawa ke rumah di Kebumen, untuk besok pagi saya bawa ke Loka Litbang Banjarnegara. Sampel itu nampaknya sudah bisa menyesuaikan diri dengan saya, yang nomaden tak tentu. Besok saya pindah lab ke Banjarnegara, pun tak tahu akan tinggal dimana, apa akan balik ke Purwokerto atau bisa ada tempat tinggal di sana sehingga saya bisa beberapa hari mengerjakan sampel. Hidup saya memang tak tentu.
            “ Lihat nanti bagaimana” itu yang sering saya ucapkan pada hati saya.
 Saya tumbuh hampir dengan ritme hidup seperti ini. Saya sendiri heran, ada apa dengan semesta yang gemar bercanda dengan saya. Kalau saya sedang sadar, maka dengan senyum lalu dalam hati saya berkata : Humm mau mainan lagi kan? Let’s Play!!
Hidup saya sering ada dalam situasi dan kondisi ekstrim, tak tentu, tak pasti. Seperti juga katamu suatu kali :
“ Bersamamu, penuh kejutan, ketidakpastian, Hidup ke depan tak bisa tertebak akan terjadi seperti apa,”
Saya memang tipikal orang yang nabrak-nabrak, nggak well prepared, nggak well organized. Tapi saya punya keyakinan yang sulit saya jelaskan, bahwa semuanya akan baik-baik saja. Semuanya akan berakhir baik, kalau belum baik-baik saja, berarti belum berakhir. Kemarin-kemarin saya berpikir, jangan-jangan saya memang mencandui rasa kejut itu, rasa ada dalam keadaan ekstrim, rasa ketika adrenalin terpacu? Mungkinkah saya mencandui rasa itu? Entahlah, mungkin juga begitu.
Namun terkadang, saya tak tega bila harus melibatkan orang-orang tercinta saya dalam keadaan-keadaan ekstrim. Orang tua saya paham benar ritme hidup saya, sehingga lama-lama merasa agak terbiasa. Pasti dikasih susah susah dulu, trus entar di kasih jalan, kata ibuku.
 Tapi kadang, sungguh tak tega juga. Rasanya pengen bilanng “ Bolehlah becandaan sama saya, nggak papa mau main-main kayak apa juga. Tapi jangan bawa-bawa orang-orang tercinta saya, apalagi orangtua huhu”
Seperti kala dalam taksi mengejar waktu menuju bandara saat sampai kembali ke Glasgow akhir Juni tahun lalu. Waktu yang sempit sementara jalanan macet. Cemas, terburu-buru, kesal, berbagai rasa campur aduk jadi satu. Padahal sebelumnya rencana sudah tersusun manis, karena berangkat dengan mobil pribadi jadi bisa pergi lebih awal ke bandara. Namun, semesta kembali bercanda, pak supir bilang bahwa ada sesuatu di stir-nya yang harus diperbaiki, katanya sangat berbahaya bila tidak segera diperbaiki. Maka dari subuh pak supir dan adik saya sudah ke bengkel untuk mereparasinya. Sampai waktunya hendak ke bandara, posisi mobil sudah selesai diperbaiki tapi butuh waktu untuk menuju tempat saya berada. Sedangkan waktu semakin sempit. Maka dengan taksilah akhirnya saya, ibu, bapak dan paklik saya ke bandara. Dan terjebak di kemacetan jakarta saat jam pulang kerja kantor.
Saya tahu ibu saya sudah menangis di sebelah kiri saya, sementara bapak terlihat sangat cemas sambil tak berhentinya berdoa. Di titik itulah, saya merasa, “ Saya lebih memilih rela membeli tiket pesawat dengan uang saya sendiri bila memang terlambat daripada melihat ibu dan bapak saya menghadapi situasi yang semacam ini.” Saya diam saja, tak menangis, berdoa dalam hati, walau cemas tak bisa terpungkiri. Tapi dalam pikir saya, sudah berderet rencana bila akhirnya telat. Saya akan membeli tiket pesawat dengan uang sendiri dan berangkat besok. Tak apa, semuanya akan baik-baik saja.
Tapi memang semesta pintar bercanda. Supir taksi yang kami tumpangi begitu gesit menerobos kemacetan dan berhasil mencapai bandara walau waktu check-in sudah mepet. Tak sempat bicara apa–apa, saya hanya berpamitan, cium tangan dan memeluk mereka sebentar, lalu segera lari untuk check in. Jenis perpisahan apa macam begitu?
Dan candaan semesta belum berakhir. Saya penumpang terakhir yang check-in dan saat bagasi saya ditimbang, eh pake over bagasi. Saat saya menanyakan biaya kelebihan bagasi, si mas petugas KLM itu menjawab dibayar sekitar 800 ribu. Secepat kilat saya berpikir, isinya nggak sampai duit segitu, sayang kalau harus bayar sejumlah uang tersebut.
            Oke mas, saya bongkar sebentar, “ lalu saya akan menggeser posisi koper saya ke belakang untuk saya bongkar dan memilah kembali barang yang akan saya buang atau saya masukkan.
            “ di sini aja mbak, udah mepet waktunya, mba-nya penumpang terakhir yang belum masuk” kata si mas petugasnya.
Akhirnya saya membongkar koper saya di depan counter check-in KLM. Bagian permukaan kebetulan memang buku-buku dan kertas. Buku lab saya yg tebal, saya pikir akan memberatkan bagian yang masih kosongnya. Maka dengan heroik (heroik? Mungkin lebih tepatnya dengan penuh frustasi ahaha) saya sobek bagian halaman-halaman yang masih kosong dan hanya menyisakan bagian yang saya butuhkan. Si mas petugas KLM itu tiba-tiba mendekati saya :
            “ Buku ya mba? Nggak ada yang bisa ditinggal?” tanya si mas itu dengan nada empati. Dia melemparkan pandangan mengamati koper saya. Memang nampak buku dan file-file berkas penelitian.
            “ Iya mas, buku-buku untuk studi saya, “ jawabku sambil terus berpikir keras mana barang yang harus saya tinggal”
            “ Gini aja mba, bawa aja semuanya. Anggap saja saya menolong anak negeri sekolah. Beresin aja lagi. Waktunya udah mepet” kata si mas tadi itu,
Eyaaaa...semesta becanda lagi kan? Kenapa enggak dari tadi dikasih masuk aja? Pakai saya harus melakukan aksi heroik sobek menyobek segala. Dan akhirnya dua koper saya masuk dengan mulus dengan dianggap “tidak over bagasi”.
Itu cuma sedikit contoh kecil betapa semesta hobi banget becandaan dengan saya. Sampai perjalanan riset inipun, bila dituliskan pasti bisa berhalaman-halaman.
Kadang lelah, iya. Kadang mengeluh, pasti. Kadang mewek, uhmm..iyalah. Tapi saya ingin belajar menganggap itu semua sebagai anugerah. Tuhan begitu murah hati memberikan banyak sekali kejutan-kejutan dalam hidup saya. Dan saya ingin membiarkan kejutan dan keajaiban-keajaiban terjadi dalam hidup saya. Bukankah tidak ada satu hari-pun berjalan dengan ritme yang sama?
Saya kembali diingatkan akan anugerah hidup dalam kekinian. Bila terbangun di pagi hari, saat kita dihidupkan kembali. Apakah kita merasa sebuah hidup yang baru? Anugerah Tuhan berupa waktuNya. Sinar matahari pertama di pagi hari tak pernah seharipun yang sama, senyuman penjual gudeg, sapaan tukang parkir, ataupun interaksi kita dengan orang-orang yang selibat dalam hidup kita. Setiap detik hidup tak pernah berlangsung sama persis bukan?. Keajaiban terjadi dimana-mana, asal kita mau mengijinkannya terjadi. Termasuk senyummu, candaanmu, dan segala tingkah ajaibmu. Jangan-jangan kau berkonspirasi dengan semesta? Ahaha.
Dan saya kini, di tengah segala kenomaden-an, segala ketidakpastian keadaaan, tapi cukup dengan satu keyakinkan  saya. Selama saya bersama Tuhan, tak ada yang perlu terlalu dikhawatirkan dalam hidup kan?
Saya cukup melakukan yang terbaik, dan Tuhan akan menata semuanya untuk saya. Dan sampai sekarang, Tuhan tidak pernah gagal mengejutkan saya dengan semua rencana dan ketentuanNya.
Selamat merayakan hidup kawanku, Let the world surprise you!

*di akhir tulisan saya mengingat semesta dan motor saya yang berkonspirasi dengan tiba-tiba kempes ban saat itu. Sepertinya kamu harus mulai terbiasa dicandai semesta, termasuk ndorong-ndorong motor kempes saya ;p

Teras rumah saudara yang sepi, bersama sisa hujan. Masih menunggui sampel saya. 24 februari 2013. 15.11.

Kamis, 21 Februari 2013

Rectoverso- Sebuah Ramuan Lengkap Bagi Jiwa-




Membacai tulisan Dee itu membuatku sering menahan nafas, lalu disela-selanya sering ngedumel “ eghh keren banget, gilak!”. 
Lalu terburu-buru kembali menempatkan mataku untuk menelusuri barisan tulisannya lagi. Tulisan Dee selalu cerdas untuk membuat bertanya-tanya sampai akhir, walau mungkin terkadang yang tertinggal hanya pertanyaan itu sendiri. Ia tidak berjanji untuk memberikan ending dengan penyelesaian, ataupun dengan jawaban. Tapi dia dengan tidak sopannya selalu sangup membuat ending yang membuat rasa di hati saya “gleser-gleser” lalu mikir.
Membaca tulisannya seperti siap-siap dengan pijar kembang api, mengejutkan. Bukan hanya  kembang api, tapi juga bisa ledakan yang bikin kecanduan. Saya sungguh jatuh cinta dengan pilihan diksinya yang ajaib dan dalam. Seolah pilihan katanya itu sudah begitu cermat disusun, begitu cerdas mengusung makna yang hendak disampaikan. Butuh kedalaman pikir dan sederet pengalaman untuk bisa menciptakan tulisan seperti itu. Angka topi sekali lagi untuk Dee.
Kedalaman jiwanya untuk menyampaikan tema-tema universal makin ahli ia tuliskan. Kenapa hampir setiap cerita pendek dalam Rectoverso itu sangat berkesan dan langsung melekat pada pembacanya? Karena hampir semua cerita itu dialami oleh setiap manusia. Kisahnya terasa sedekat urat nadi pembacanya. Cinta terpendam pada sahabatnya sendiri mengawali buku ini dalam “ Curhat buat sahabat”. Tema universal yang banyak terjadi antar manusia. Siapapun yang membacanya, gampang sekali untuk merasuki kisah ini, karena kisah ini begitu” dekat” dalam hidup nyata. Entah itu kisah sendiri, kisah sahabat, saudara, tak pelak lagi ini cerita yang sangat universal.
Kisah seorang sahabat yang memendam rasa cinta pada sahabatnya sedemikian lama.

“Sebotol mahal anggur putih ada di depan matamu, tapi kamu tak pernah tahu. Kamu terus menanti. Segelas air putih (Curhat Buat Sahabat).

Tahap “mengalami” inilah yang menyebabkan pembaca seperti merasakan pergulatan-pergulatan batin yang disuguhkan dalam setiap ceritanya. Ada gelenyar rasa, sebentuk pertanyaan, dan jawaban yang dituliskan dengan begitu cerdas dan elegan.
Tulisannya hampir tak pernah terlalu berbunga-bunga, tapi romantisnya terkadang luar biasa.
Bagi saya, kecerdasan tulisannya menyebabkan tulisannya sangat seksi bukan kepalang. Tulisan yang masih sangat langka di antara para penulis Indonesia. Hal inilah salah satunya menyebabkan karyanya tidak pernah membosankan untuk dibaca ulang. Kebanyakan buku sekali baca nasibnya nangkring di lemari buku dan entah kapan lagi dibaca lagi. Tapi bagi saya, untuk karya Dee seperti filosofi kopi, Madre, Rectoverso sangat nikmat untuk dibaca ulang lagi.
Terkadang “rasa” dan “pemahaman” saat membacai lagi pun mempunyai tingkatan rasa yang berbeda saat membacanya saat terakhir kali. Tulisannya itu seperti bertumbuh seiring dengan pertumbuhan diri pembacanya. Itulah ajaibnya karya seorang Dee.
Terutama bila kisah yang dituliskan sedang dialami atau dihadapi, rasanya sungguh sangat tidak sopan dalam mengacak-acak rasa. Tulisannya itu candu. Yang sering membuat saya iri setengah mati, bagaimana bisa mencipta karya cerdas dan seksi seperti itu. Iri yang positif tentu saja. Sebagaimana Tasaro GK yang belajar diksi dari tulisan-tulisan Dee.
Di buku Rectoverso ini nampak Dee sudah semakin bertumbuh dengan kedewasaan dan kecerdasan jiwanya dalam mengulas kisah kisah manusia. Di banding Madre, buku ini ramuannya terasa lebih komplit. Ada pula secuplik kisah cinta ibu pada anaknya yang tanpa batas di “Malaikat Juga Tahu”, cinta yang dipisahkan oleh kematian (Aku ada), rumitnya cinta poliamori (Grow a day older), pasangan dengan kadaluarsa rasa (Peluk) dan kisah-kisah lainnya yang tal kalah mengesankannya.
Kisah favorit saya umm..  Grow a day older, curhat buat sahabat, dan aku ada. Ah, Hampir semuanya saya suka.
Dan saya menunggu untuk menonton film layar lebarnya. Dan rasa saya bersiap-siap diombang ambingkan.***

Mereka yang tak paham dahsyatnya api akan mengobarkannya dengan sembrono. Mereka yang tak paham energi cinta kan meledakkannya dengan sia-sia (Malaikat Juga Tahu).

Sahabat saya itu adalah orang yang berbahagia. Ia menikmati punggung ayam tanpa tahu ada bagian lain. Ia hanya mengetahui apa yang sanggup ia miliki. Saya adalah orang yang paling bersedih, karena saya mengetahui apa yang tak sanggup saya miliki (Hanya Isyarat)

Di pantai itu kau tampak sendiri, Tak ada jejakku di sisimu. Namun saat kau rasa. Pasir yang kau pijak pergi. Aku adalah lautan. Memeluk pantaimu erat. (Aku Ada).

 Ndalem Pogung, Jogya-21 Feb 2013. 1.21. am

Minggu, 17 Februari 2013

Untuk Lelakiku




Untuk Lelakiku,

Bila engkau berpikir aku bersamamu karena ingin berbahagia selama-lamanya, kau salah. Aku tahu bahagia itu melengkapi peran derita, senang itu sudah berkawan lama dengan susah.
Maka kau akan tahu, aku bersamamu karena ingin merasai hidup dengan utuh. Bahagia, derita, suka, senang, ambruk, bangkit, bukankah semuanya tanpa perlu ditarik ataupun dihindari, akan hadir dalam hidup kita? Aku bersamamu bukan untuk menghindari derita, nestapa, susah, air mata atau masa-masa sulit. Tapi aku bersamamu, untuk menghadapi semuanya.

Jingga di bahumu. Malam di depanmu. Dan bulan siaga sinari langkahmu. Teruslah berjalan. Teruslah melangkah. Kutahu kau tahu. Aku ada. (Aku Ada, Rectoverso).

Kalau kau mengira harus berbaik-baik terus agar aku terus bersamamu, mungkin saja kau keliru. Sampai kapan waktu akan pintar menyembunyikan masing-masing kita yang sesungguhnya? Kita membuka selapis-demi selapis diri kita seiring waktu dan kejadian, dibungkus kebersamaan. Karena bersamamu, aku menjadi diriku sendiri.

If you love someone, you have to embrace the whole package, right? Love the person as is.
For me, a perfect chocolate bar should be bitter sweet, and certainly not all bitter, for then you lose all the fun. We’re like dark chocolate bar where you can have four at once without getting jittery (Grow a day older-Rectoverso)

Aku bersamamu juga bukan karena memilih sebuah jalan yang mudah, karena jalan apapun ingin kulewati bersamamu. Entah dalam kuatmu, rapuhku, jatuhmu, tegarku, lalu mengapa gentar menghadapi setiap jalan asal kita masih bersisih-an?
Melewati fase limerence, Blending, Nesting, Self-Affirming, Collaborating, Adapting, Renewing.
Suatu saat ketika, kau bilang kau suka nasi goreng, tapi aku tak begitu suka, tapi aku tetap ingin memasak untukmu dan menemanimu makan.
Suatu ketika, saat pekerjaan mencumbumu lebih mesra dariku. Dan aku akan menyambutmu pulang tetap dengan senyum yang sama.
Suatu ketika, saat masakanku kepedesan, keasinan atau tak enak. Dan kau tak perlu lagi berpura-pura suka, tapi tetap menghabiskannya.
Suatu saat, ketika aku mungkin terlalu sibuk dengan dengan naskah-naskah tulisanku. Mungkin kau akan pura-pura marah, tapi tetap membuatkan secangkir teh manis hangat yang kau letakkan di meja.
Suatu saat, ketika masing-masing kita berdua begitu menyebalkan  dengan ego masing-masing. Mari kita berdoa pada Tuhan dan waktu, agar kita bisa bertumbuh untuk bisa saling mengkompromikan.
Dunia kita yang mungkin berbeda, tapi cinta kita sama.

Seribu jalan-pun kunanti bila berdua dengan dirimu..(Saat Bahagiaku-Ungu-Andien)

Mungkin akan ada marah, ada emosi, apalagi air mata, tapi juga ada maaf dan penerimaan. Lalu adakah yang lebih indah daripada sebuah cinta yang utuh?
Aku bersamamu karena ingin merasai cinta yang utuh. Bukankah menggelikan bila seseorang mencintai seseorang lainnya dengan berharap dibawakan hanya kebahagiaan seperti sesajen? Dilayani dan terus diberi seperti tuan putri.
Cinta mungkin memberi, walau mungkin memberi tanpa diketahui, membiarkan semesta menyimpankannya pada perputaran waktu, siang dan malam. Lalu kenapa harus gentar akan sakit dan airmata kalau engkau sudah memutuskan berani mencinta?

Bukan Cinta Jika Tak Meneteskan Airmata Karena Sedih Luar Biasa Atau Bahagia Tak Terhingga (Platic Heaven-Hilbram Dunar)

Kita kini dengan mesra, malu-malu saling bertukar tanya, Kapan kau pertama kali menyukaiku?
Ah, sepertinya cinta itu semacam konspirasi semesta. dan Tuhan sedang bercanda dengan kita.
Tapi mungkin nanti, mesra kita adalah aroma obat gosok dan pijitanku di bahumu yang renta. Lalu mengingatkanmu betapa gemas dirimu melihat rambutku diikat dua seperti ekor kuda saat remaja, saat nanti ingatmu sudah mulai melupa.

Lelakiku, aku mencintaimu, bersamamu, karena kamu itu kamu.

“Karena hati tidak perlu memilih, ia selalu tahu kemana harus berlabuh” (Perahu Kertas 2)


Ndalem Pogung, Jogya. 17 Feb 2013. 22.59 dalam dekap Jogya yang hangat.

Jumat, 15 Februari 2013

Dansa Lakrimasi




Desak rasa itu secepat kilat menusuk, menggeragap hatiku
Sedetik kemudian, pilu itu merayu-rayu mataku
Aku limbung, mataku mendung
Hatiku terhuyung-huyung
Petir menyambar-nyambar selaput precornealku, hujan lalu menderas
Aku tengadah, agar air mata tak turun ke bawah
Prolaktin, adrenokortikotropik dan leucine enchephalin berhamburan
Kelenjar lakrimasi berdansa lagi
Kita selalu begini,  berkelahi, sampai darah penghabisan,
Tinggal deru nafasku, dan air mata yang mengering
Aku ingin membanting tubuhku sendiri,
Sampai luluh lantak
Lalu perlahan-lahan aku meminta maaf
Diriku, kita impas!!


(Dansa Lakrimasi-Jogya. 15.02.2013)



Catatan :
Selaput precorneal : selaput air mata
Prolaktin, adrenokortikotropik dan leucine enchephalin adalah hormon yang keluar saat mengeluarkan air mata karena desakan emosional.

Kamis, 14 Februari 2013

Pertarungan/Diri




1.
Perempuan itu belum lama saya kenal, namun entah kenapa ia mau membagi hidupnya pada saya. Saya terhenyak mendengar runtut kisahnya di balik senyumnya yang bersahaja. Di samping hidupnya yang nampak sempurna, ada satu hal yang sangat ia inginkan dalam hidupnya. Dalam waktu ia menunggu, dan dalam usaha ia berdoa.
Sampai suatu ketika, mungkin sama yang dialami tiap manusia, tiba pada pertanyaan : sampai kapan harus menunggu? Sejauh mana harus berupaya?
Tuhan menganugerahinya ketidakpastian.
Dengan pilihan, ketidakpastian membuatnya menjauh atau mendekat padaNya. Naik turun, katanya. Kadang menjauh, kadang mendekat. Tapi saya ingin mendekat, begitu ia bilang.
Ada rasa trenyuh, haru, takjub, dan simpati padanya. Semoga malaikat semakin rajin menyampaikan doa-doanya agar mujizat Tuhan yang ia nantikan segera datang.
Semoga ia terus berani menjalani hidup dengan pertarungannya itu.

2.
Saya bertemu dengannya beberapa  bulan lalu. Masih cantik dan dinamis seperti terakhir kali saya bertemu dengannya. Hidupnya penuh warna, beberapa negara telah dijejakinya sementara karirnya tetap saja cemerlang. Hidup dalam kasih keluarga yang menyenangkan, dengan sahabat-sahabat yang membanjirinya dengan kasih dimanapun ia berada. Mungkin orang lain melihatnya sempurna, bahagia.
Senyumnya pun tak lepas dari bibirnya bila bertemu. Tapi siapa yang tahu tangis usai sujud yang ia curahkan padaNya? Harapnya dan perjuangannya selama ini, untuk sebuah keyakinan akan sebuah perwujudan.
Dia tetap yakin, walau ia berdoa dengan menengadahkan tangan sedang kekasih hatinya berdoa yang menangkupkannya.
Tuhan Maha Mampu memungkinkan hal yang tidak mungkin, dan memudahkan hal yang sulit.
Semoga tetap berani dan sabar dalam pertarunganmu.

3.
Ia masih mempersalahkan Tuhan, dulu..entah kini. Mungkin saja sudah bisa berkompromi.Semoga. Tuhan yang dulu ia kultuskan sekarang harus dia persalahkan. Tuhan yang dulu Maha Pemurah kini menurutnya jadi Maha Semena-mena. Ia masih tak terima.
Kepahitan hidup, kegetiran..kalian tak kan benar-benar paham, bila tidak mengalaminya. Bilangnya suatu saat.
Ia masih dengan pertarungannya. Semoga waktu dan Tuhan menyembuhkannya. Dan doaku tentu saja untuknya agar bisa menghadapi semuanya dengan lapang.

Baru tiga manusia, sebenarnya bisa seratus, sejuta. Setiap manusia menghadapi pertarungannya sendiri-sendiri. Tuhan tak pernah salah memberi, tak pernah salah memilih. Lalu mengapa harus gentar dan terhenti?

Saya pun dengan pertarungan saya sendiri. 
Ndalem Pogung, 14 feb 2013. 23.43
 

Senin, 04 Februari 2013

Sederhana


Sepertinya bahagia memang sederhana
Melewati lengkung sore, dan menggantung doa-doa di sana
Tak perlu risau doa itu akan sampai kemana, walau angin mengaburkannya ke penjuru dunia
Akan menuju padamu jua pada akhirnya
Sederhana, karena doaku tak perlu beraneka rupa
Tuhan paham beberapa baris kata yang kutitipkan pada malaikat seusai sujud
Walau tak pernah tahu kapan akan mewujud,
Manusia sesederhana ketidaktahuannya,
Menyulap ketidakpastian menjadi jalan menuju ketaatan padaNya
Sederhana,
Ternyata tidak tahu itu sederhana,
Seperti kata matahari dengan perputarannya, jalani saja
Jalani saja,

Ndalem Pogung, Jogya. 4 February 2013.

Meet With Tasaro GK


Poster tentang bedah buku “Kinanthi” itu hanya kulihat di laman Fbnya mas Tasaro GK, dan saat kulihat tanggal dan waktunya sepertinya memungkinkan untuk datang. Mengapa tidak? Kapan lagi? mumpung aku di Jogya dengan akses dan kesempatan untuk datang ke acara-acara macam begini yang relatif lebih banyak dibanding Purwokerto. Walau sendirian, tak ada teman, bukan alasan untuk melewatkan kesempatan.
Taufik Saptoto Rohadi, itu nama asliya. Tapi disingkat dengan Tasaro, dan GK adalah singkatan dari asal tempat lahirnya Gunung Kidul.
Belum terlalu banyak orang mengenalnya, tapi kiprahnya di dunia kepenulisan sudah cukup lama walau usianya masih muda. Awal saya membaca buku “Galaksi Kinanthi” karyanya, bukan karena saya kenal siapa itu Tasaro GK. Beda dengan pilihan saya mengambil buku “Rectoverso” di pajangan buku Togamas misalnya, saya kenal siapa dan bagaimana tulisan Dee (Dewi Lestari) yang boleh dijadikan jaminan seperti apa karya-karyanya. Saat saya memutuskan membeli buku Galaksi Kinanthi, saya hanya membaca Judul, Cover belakang dan bab awal buku itu yang kebetulan ada buku yang sudah terbuka. Membacai bab awal satu halaman saja cukup membuat saya tak pikir panjang untuk membeli buku tersebut. Dan pilihan saya jarang salah #pede. Saya langsung jatuh cinta dengan tulisan-tulisannya. Magis.
Dia sanggup mengolah kata, menempatkan diksi dengan baik, mencipta alur sedemikian rupa sehingga pembaca terbawa dalam setiap barisan tulisannya. Deskripsinya sudah kelas wahid, sedang aura romantisnya jarang sekali dibentuk dari pilihan kata yang romantis, tapi sanggup mencuri hati dengan caranya yang magis.
            “ Coba perhatikan baris puisi-nya Sapadi, “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana  dengan kata yang tak sempat diucapkan  kayu kepada api yang menjadikannya abu”.  Mana ada kata romantis dalam barisan kalimat itu? Hampir tidak ada, tapi puisi itu dikutip dan dihapal oleh ribuan orang yang tengah jatuh cinta,” begitu ujar mas Tasaro pada saat acara berlangsung.
Acara berlangsung dengan hangat di Djendelo Cafe, lantai 2 Togamas Jogya tanggal 31 Januari lalu. Mas Tasaro pembawaannya sederhana, ramah dan kocak. Dengan penampilan khasnya yang selalu memakai topi yang sedikit dimiringkan. Pemandu acara banyak menanyakan soal buku Kinanthi yang sekarang terbit lagi dengan “jiwa baru” dari Galaksi Kinanthi menjadi “Kinanthi Terlahir Kembali”. Memang berganti penerbit dari Salamadani ke Bentang Pustaka. Buku ini  merupakan modifikasi dari kisah nyata seorang TKW di amerika yang akhirnya menuai sukses di negeri paman sam itu. Kisah berbau women trafficking, kisah perjuangan TKW yang kemudian sukses setelah disekolah oleh negara, dibumbui dengan kisah romantis yang agung antara Kinanthi dan Ajuj. Beberapa orang maju sebagai volunter untuk “reading” beberapa baris kalimat di buku tersebut,
Entah mengapa saya menyukai baris-baris di bawah ini, seperti juga mas Tasaro juga memilih baris ini ketika pemandu acara memintanya untuk “reading”.
Begini cara kerja sesuatu yang engkau sebut cinta,
Engkau bertemu seseorang, lalu perlahan-lahan merasa nyaman berada di sekitarnya. Jika dia dekat, engkau akan merasa utuh, dan terbelah ketika dia menjauh. Keindahan adalah ketika engkau merasa dia memperhatikanmu tanpa engkau tahu. Sewaktu kemenyerahan itu meringkusmu, mendengar namanya disebut pun menggigilkan akalmu. Engkau mulai tersenyum dan menangis tanpa mau disebut gila.
Banyak hal yang bisa dijadikan masukan dan pelajaran tentang menulis, tentu saja karena dasar jurnalistiknya mas Tasaro mumpuni. Dia tumbuh dalam dunia jurnalistik dan kepenulisan sehingga secara teoritik dan praktik memang saling bersinergi untuk mencipta seorang karya yang berkelas.
            “ Menulis fiksi itu biasanya bersumberkan tiga hal, pengalaman, referensi dan imaginasi,” ujarnya saat menuturkan ilmu-ilmu menulis, namun tetap disisipi guyonan hangat.

Saat acara berlangsung

Saat memasuki sesi tanya jawab, entah saking semangatnya saya menjadi penanya pertama di antara beberapa penanya lainnya. Saya duduk di lesehan baris depan sehingga nyaman untuk berinteraksi langsung dengan penulis. Kesempatan langka, kupikir. Kapan lagi bisa “ngangsu kawruh”  langsung dari narasumbernya. Tiga pertanyaan saya dijawab dengan panjang lebar, disusul dengan pertanyaan-pertanyaan dari peserta berikutnya. Sampai pula pada pertanyaan tentang siapa yang menginspirasinya menulis tokoh seperti Kinanthi. Sebelum dia menjawab, terlihat ia menarik nafas panjang, lalu wajah penuh senyum dan canda kocaknya sekilas berganti. Matanya tersaput embun, lalu berkaca-kaca.
            “ Aduuuh kenapa ada yang nanya begitu. Jawabnya saya bisa nangis-nangis,” begitu katanya. Dan detik selanjutnya ia menjelaskan bahwa yang menginspirasinya menulis tokoh Kinanthi adalah ibunya yang telah meninggal karena stroke setahun yang lalu. Ibunya yang sampai meninggal masih menulis, dan telah membimbingnya menjadi seorang penulis sekaligus ayah dari Senandhika Himada.
            “ Udah-udah nggak usah diterusin, ntar bisa nangis beneran.” Katanya sambil mencoba menguasai dirinya kembali. Nampak matanya masih berkaca-kaca.
Lalu tibalah jua pada pertanyaan.
            “ Kenapa harus tema ketidakbersamaan? Kisah Kinanthi dan Ajuj, yang saling mencintai dalam ketidakbersamaan? Apakah ini adalah isu universal yang banyak sekali dialami manusia di bumi,” begitu kira-kira pertanyaannya.
Tasaro tersenyum sesaat lalu, menjawab.
            “ Suka atau tidak, manusia memuja kisah-kisah ketidakbersamaan. Romeo-Juliet. Layla-Majnun, karena justru bagian itulah yang paling emosional, menguras air mata dan membuat manusia mengerti arti mencintai. Manusia terkadang butuh kehilangan, butuh ketidakbersamaan  untuk menemukan keindahan mencintai dengan tulus. Mencintai adalah satu perkara, dan memiliki adalah suatu perkara yang lain.” Jawab Tasaro.
            “ ah salah siapa pertanyaannya dalem, jawabnya juga dalem,” lanjut Tasaro dengan setengah bercanda.
Seperti sebuah bait kalimat dalam Galaksi Kinanthi :
"Dalam kehidupan nyata, kebersatuan cinta tidak selalu berarti saling memiliki bertemu dalam satu titik. Bahkan terkadang dua orang yg saling mengasihi sepenuh hati, saling menjaga dalam keterpisahan. Ketidakbersamaan.
Lalu ada kata-katanya yang sungguh membekas di kepala saya,
            “ Cinta ya cinta. Boleh menghuni kepala, hati. Ada tempatnya sendiri. Tapi cinta tidak boleh membuat kita lemah, apapun dan bagaimanapun cinta seharusnya menguatkan, dan harus membuat kita harus bersemangat dalam berkarya,” begitu ujarnya.
Ah, seni manajemen cinta seperti itulah yang sedang saya ingin pelajari. Cinta, The Law of Levitation, not the Law of Gravitation. Menerbangkan bukan menjatuhkan.
Ah, tak terasa waktu bedah bukunya sudah hampir habis. Penulis yang juga menulis trilogi Muhammad dan Nibiru ini terasa begitu menikmati interaksinya dengan para pembacanya. Terasa dekat dan sederhana tapi sarat ilmu.
Sebelum acara usai, penyelenggara bagi-bagi doorprize buku bagi yang udah “reading”, yang ngetweet yang gokil dan dari bagi yang sudah bertanya. Dan saya cukup beruntung mendapat doorprize buku sebagai penanya pertama. Asik, saya mendapat buku “Kisah Inspiratif Kick Andy”. 

Kisah Inspiratif Kick Andy adalah hadiah bukunya, sedang Rectoverso-nya Dee dan Muhammad
Para Pengeja Hujan itu buku yang saya beli seusai acara.

Lalu terakhir, acara ditutup dengan book signing. Sayapun segera menghampiri mas Tasaro untuk memintanya membubuhkan tanda tangan pada buku saya yang sudah saya beli akhir tahun lalu. Saya antrean kedua, setelah Tasaro membubuhkan tanda tangan pada orang sebelum saya. Tiba giliran saya,
            “ Namanya Siwi yah?” tanyanya. Pasti Mas Tasaro masih mengingat nama saya saat bertanya tadi. Saya mengangguk mengiyakan. Dia melihat saya sekilas, lalu menuliskan sesuatu dan tanda tangan di buku saya. Kemudian tak lupa saya meminta foto bareng dengan beliau. Alhamdulillah dapat ilmu, dapat buku, dapat tanda tangan dan foto bareng. What a wonderful night kan?

Foto Bareng Mas Tasaro GK

Dan saat saya benar-benar melihat lagi tulisan di halaman pertama buku itu, tertulis disitu :

To Siwi : “Mencintai Seperti Kinanthi”

Ini Tulisan dan Tanda Tangannya di buku saya

Ah, saya tersenyum membacai kalimat tersebut. Tadinya saya berpikir bahwa kalimat tersebut dituliskan sama pada semua buku yang ditandatanganinya. Tapi saya keliru, setelah melihat page Tasaro GK dengan tag beberapa halaman buku yang ditandatanganinya malam itu, ada yang bertuliskan “maturnuwun” dan sebagainya.
Baiklah, semoga saja, saya bisa mencintai seperti Kinanthi, dengan ketulusan yang membuat waktupun bertekuk lutut. Masih terus mencintai, mengasihi baik dalam ketidakbersamaan maupun kebersamaan. Semoga.

Dengan jiwa yang segar saya melangkah ke parkiran, menanti jemputan adik saya. Lalu terlihat mas Tasaro bersama kru-pun meninggalkan Togamas, dan saat melihat saya di parkiran, dia kembali menyapa,
            “ Makasih ya Mba Siwi,” sapanya dengan ramah.
Pribadi yang menyenangkan. Semoga sukses dengan tulisan-tulisannya yang mendatang. Saya pasti akan menanti karya-karyamu berikutnya.
Salam Pena. Salam Kata.


Ndalem Pogung, Jogya 4 Februari 0.49 am. Tengah malam di Jogya. Jogya yang terasa begitu tenang dan hangat.