Sabtu, 10 Agustus 2013

Aku dan Saya, Suatu Kala..




Kami duduk berdua hari ini, aku dan saya. Hanya duduk diam tanpa bicara.. lama. Sepertinya bisu telah menjadi sekutu. Ada jarak yang membuat kami berdua begitu kaku. Lalu saya menoleh, memandangku tanpa bicara apapun. Matanya menatapi mataku.
Aku masih saja terdiam, tak juga tahu harus bicara apa.
            “ ada apakah?” tanya saya padaku. Walau sebenarnya aku tahu bahwa saya tahu apa yang sedang kurasakan.
Aku hanya menggeleng padanya. Tersenyum, entah senyum getir ataupun seperti senyuman  penuh penerimaan. Rasa kadang pada titik tertentu bercampur campur beraneka. Sulit kutemukan definisinya.
              I need time” kujawab begitu pada saya.
Lalu kulihat saya tersenyum. Senyumannya tak lagi sepolos dulu, tak lagi seputih dulu. Senyuman itu seperti lahir dari banyak getir, banyak liku, banyak kisah. Tapi dia masih bisa tersenyum.
            “ Maaf” hanya satu kata itu hanya bisa kukatakan pada saya.
Lalu saya kembali tersenyum, memegang tanganku perlahan. Hangat menelusur hatiku.
            “ Tidak apa.” Jawab saya padaku. Genggaman tangan saya padaku terasa semakin erat.
            “ Mungkin kau hanya butuh udara segar, jendela, secangkir kopi ataupun pantai.” Tambah saya, tanpa melepaskan genggaman tangannya pada tanganku.
            “ Maaf ya” lagi-lagi hanya kata itu yang meluncur dariku. Ada hujan yang bersiap di pelupuk mataku.
            “ kau sudah makan? Makanlah. “ saya hanya mengucapkan kalimat itu.
Dan hujan tiba-tiba menderas.

---

Selasa, 06 Agustus 2013

The Art of Accepting





Hampir tengah hari di Glasgow, buka puasa masih cukup lama. Pun belum terpikir untuk memasak apa nanti untuk berbuka puasa. Sementara kawan-kawan dan saudara-saudara di Indonesia sudah memasuki aura menjelang lebaran. Ritual mudik, antar-antar parcel, bersih-bersih, bikin kue dan segala macam persiapan selebrasi lainnya. Idul Fitri bagi muslim di Indonesia telah menjadi salah satu hari istimewa, bahkan orang non muslimnya mungkin juga terkena imbasnya (ikutan dapat libur hehe). Ah bukan satu hari, tapi beberapa hari sebelum dan setelahnya, dan itu membuktikan memang Hari Raya Idul Fitri menempati momen yang sangat istimewa di kalender Bangsa Indonesia. Bahkan orang-orang yang merantau di luar kota, di luar negeri pun menjalankan ritual “mudik” untuk kembali ke rumah berkumpul bersama keluarga tercinta.
Tapi untuk kali keduanya tahun ini saya tidak merasai itu semua. Ramadhan di luar negeri dimana islam menjadi minoritas tidak menawarkan kami semacam aura Ramadhan yang hangat. Aura tersebut harus dimunculkan sendiri di hati kami masing-masing, karena tidak muncul di iklan televisi atau spanduk-spanduk bertuliskan “Selamat Menunaikan Ibadah Puasa Ramadhan”. Pun dengan lebaran tahun ini, saya sendiri tidak tahu mau ngapain kecuali sholat Ied dan berkunjung ke tempat sahabat di Newcastle hari kedua lebaran nanti. Saya hanya tidak mau sendirian dan merasa mellow di hari yang fitri. Kebetulan teman saya bersama PPI New Castle di Newcastle akan ada acara di Alnwinck castle (tempat syutingnya film Harry Potter) hingga pas sekalian saya menonton acara tersebut.
Menjelang lebaran, sahabat dekat saya di Aussie yang tengah menempuh pendidikan masternya dan tidak bisa pulang, akhir-akhir ini sering berkata :
            Aku sedih dan mellow baca status-status temen di FB, pengen nggak baca semua itu.” Bilangnya suatu kali padaku.
Saya paham perasaannya, walaupun saya sekarang tidak terlalu merasa demikian. Bukan saya tidak “berhati”, namun ada semacam perasaan “menerima” yang saya rasakan. Menerima kondisi yang ada sekarang pada saya dan mencoba tetap bersuka cita bagaimanapun keadaannya. Menginginkan suasana  ramadhan seperti di Indonesia tentu saja hanya akan membuahkan kesedihan karena tak bisa didapatkan. Seperti juga mendambakan suasana lebaran bersama keluarga dan auranya terasa di mana-mana juga harapan yang kosong belaka.
Ada suatu titik orang-orang yang hidup di tanah rantau seperti kami untuk belajar the art of accepting. Menerima kondisi yang ada pada kami, dan berusaha bagaimana caranya agar bisa menjalani hidup dengan tetap suka cita. Menerima harus melewatkan lagi lebaran jauh dari keluarga tercinta, tanpa makanan-makanan berlimpah ruah yang biasanya disediakan di rumah. Tanpa bisa bersilaturahmi dan saling meminta maaf secara langsung dengan kerabat dekat, dan sahabat-sahabat yang pulang kampung. Biasanya ada reunian, kumpul-kumpul ataupun acara-acara silaturahmi lebaran. Tentu saja saya harus menerima bahwa lebaran kali ini, tak bisa merasai itu semua. Saya tidak mudik lebaran karena jadwalnya pas dengan rentang waktu assessment kenaikan tahun studi doktoral saya yang jadwalnya tidak pasti, menyesuaiakan waktu dua penguji saya. Sedangkan harga tiket PP Glasgow-Indonesia pun menjadi salah satu pertimbangan tersendiri. Pulang beberapa hari kemudian balik ke sini lagi sepertinya bukan pilihan yang dapat saya ambil sekarang ini.
Minggu menjelang lebaranpun saya masih masuk, bahkan piket lab yang harus membersihkan lab dan menyiapkan alat-alat sebelum yang lainnya memulai pekerjaan jam 9 pagi.  Eksperimen sayapun minggu ini tetap berjalan. Saya rencananya akan mengambil libur hari kamis dan jumat saja nanti, kemudian jumat sorenya saya pergi ke Newcastle. The art of accepting bukannya nerimo, pasrah lalu bermuram durja karena keadaan. Tapi lebih pada bagaimana saya belajar menerima kondisi saya dan berupaya menciptakan suasana “hidup” tetap dalam atmosfer yang membahagiakan.
Saya mencoba masak takjil, mencobai menu menu baru untuk mengobati kerinduan makanan-makanan khas lebaran tanah air. Buka puasa bersama teman-teman PPI Glasgow ataupun di masjid sekitar. Kemudian merencanakan jalan-jalan dan aktivitas yang membuat saya bahagia saat libur hari raya nanti. Bukankah tidak ada seorangpun yang bertanggungjawab atas kebahagiaanmu selain dirimu sendiri? Kita bisa menciptakan bahagia kita sendiri. Dengan cara kita sendiri. When you argue with the reality, you lose!
Menerima keadaan yang ada, yang membuatnya menjadi hal terbaik yang yang bisa kita ciptakan sepertinya akan membuat hidup lebih membahagiakan.

Selamat menikmati aura menjelang lebaran kita masing-masing, dan menaruh rasa syukur yang berlimpah atasnya.

Lots of Love, Glasgow 5 August 2013
SiwiMars 

Jumat, 02 Agustus 2013

Eksotisme Desa Tanah Liat Aït Benhaddou di Maroko



Panorama Menuju Kawasan Ait Benhaddou

Udara yang dingin saat mobil travel yang mengantarkan kami menuju gurun pasir Zagora, Maroko mulai berganti dengan udara yang sedikit gerah saat memasuki kawasan Souss-Massa-Drâa di pegunungan sepanjang Sungai Ounila. Perjalanan dari Marakesh menuju tempat ini ditempuh hampir selama 5 jam namun tak terasa membosankan, karena di sepanjang perjalanan kami disuguhi panorama yang memanjakan mata. Mobil kami menaiki pegunungan tinggi Atlas dengan kontur pemandangan kanan kiri yang bervariasi. Kami menggunakan jasa tour karena agak susah transportasi untuk menuju kawasan ini. Pemberhentian di Ait benhaddou ini merupakan destinasi travel yang sungguh membuat hati seketika berdegup cepat saat pertama kali sekilas menatapi area ini. Terlihat hamparan kawasan dengan bangunan berwarna merah kecoklatan dari tanah liat dengan arsitektur bertingkat-tingkat dan dikelilingi oleh tembok-tembok kuno dan dihiasi menara.
“wuih ini seperti panorama khasnya Santorini di Yunani dengan perumahan berundak undak yang didominasi warna putih dan biru, sedangkan ini warnanya merah kecoklatan dari tanah liat,” begitu pikir saya saat melempar pandang pertama kali pada kawasan eksotik ini.

Itu dia Ait Benhaddou dari kejauhan

Cantiknya memang superb! Begitu kaki-kaki hendak melangkah mendekati Kasbah (kumpulan rumah yang dikelilingi tembok tersebut) rasanya seperti hidup dilemparkan ke peradaban masa lalu, saat zaman Pre-Saharan. Seperti masuk dalam lorong waktu, berdiri di atas jejak sejarah ribuan tahun lalu. Sementara bangunan tersebut sampai saat ini nampak masih gagah di depan mata. Saya jalan-jalan bersama dua sahabat saya ikut bersama rombongan tour kecil dipandu  oleh seorang  guide yang disewa pihak travel. Dia dengan mahirnya menerangkan informasi tentang lokasi tersebut dengan berbagai bahasa. Beberapa orang di rombongan kami orang-orang Spanyol, sehingga ia bergantian menerangkan dalam bahasa Inggris dan bahasa spanyol.
Saat mulai memasuki kawasan ini, mata saya tak hentinya memandangi tembok-tembok serta rumah-rumah yang dibangun dari material tanah liat, jerami dan kayu saja. Beberapa kali kusentuhkan jemari tanganku meraba tanah liat bersejarah ini. Betapa peradaban manusia sanggup melahirkan karya yang luar biasa. Bila di Indonesia ada mahakarya Borobudur dengan punden batu berundaknya yang impresif, dan  kini mata saya dibelalakkan oleh karya luar biasa tangan-tangan manusia membangun Ksar (kastil/bangunan yang dikelilingi benteng) yang luar biasa di Aït Benhaddou .

Ini dia eksotisme Ait Benhaddou

Jendela-jendela rumahnya yang sempit, motif dari tanah liatnya yang sederhana namun apik, serta pernak pernik yang ditawarkan di sepanjang jalan sungguh menarik perhatian. Kami mulai menjelajahi setiap bagian dari kawasan ini, dengan memandangi rumah-rumah unik dari tanah liat, kemudian mendaki terus ke bagian atasnya melewati tanjakan yang semuanya  dari tanah berwarna kemerahan. Ah, saya sempat membayangkan bagaimana rasanya tinggal di dalam rumah-rumah tanah liat ini. Bangunan unik  di provinsi Quarzazate lereng selatan pegunungan tinggi Atlas ini ini kata si guide-nya merupakan contoh arsitektur Maroko Selatan dengan tehnik konstruksi pre-saharan. Kumpulan rumah-rumah ini disebut Ksar, yakni bangunan dan tanah liat yang dikelilingi oleh benteng/tembok yang tinggi, merupakan tempat tinggal tradisional pre-saharan. Rumah-rumahnya berkelompok dalam tembok pertahanan yang terbangun tinggi, diperkuat dengan menara di sudutnya dengan gerbang yang berbentuk zigzag. Humm, bisa dibayangkan bangunan yang hanya dibangun dari tanah liat, kayu dan jerami ini pastilah rentan sekali dengan kerusakan, apalagi bangunan ini dibangun sekitar sejak abad ke 17. Untunglah ada  CERKAS (Centre for the conservation and rehabilitation of the architectural heritage of atlas and sub-atlas zones) yang dengan teratur memaintain situs berharga ini.
Klimaksnya tentu saja saat berada di atas ketinggian puncak dan kita bisa melihat hamparan bangunan-banguan unik itu dari atas. Aih, sungguh terasa seperti sedang berada di peradaban masa lalu namun masih menjejak kekinian. Breath taking scenery! Pemandangan dramatis dari atas  yang akan kalian kenang seumur hidupmu. Jangan lupa ambil foto-foto dengan latar belakang yang menakjubkan ini sebagai sejarah hidupmu. Kapan lagi bisa menemukan destinasi wisata yang tak biasa seperti tempat ini coba?

Saya dan puncak tertinggi Ait Benhaddou

Cobalah rasakan pengalaman yang tak terlupakan dengan melangkah, mengamati, dan berfoto di area tempat yang menjadi setting beberapa film terkenal. Iyah di Aït Benhaddou pernah dijadikan setting berbagai film terkenal, di antaranya Sodom And Gomorrah (1963) Gladiator (2000) dan Prince of Persia (2010). Tapi sungguh ini merupakan kejutan yang menyenangkan karena saya sebelumnya tidak tahu kalau dalam perjalanan menuju gurun pasir Zagoro, Maroko akan ada pemberhentian dengan destinasi sekeren ini.  Sungguh sebuah kejutan menyenangkan, Surprisingly beautiful! Pantas saja tempat ini termasuk dalam UNESCO World Heritage Site sejak tahun 1987 dan termasuk dalam 25 tempat favorit destinasi di Afrika dalam Trallever Choice 2013.

Panorama Ait Benhaddou dari atas

Di kawasan ini, ada pula cinderamata seperti kain-kain tradisional, perhiasan-perhiasan dari batu eksotis yang ditawarkan oleh penduduk lokalnya. Sebagian bangunan ini memang sudah tidak berpenghuni namun konon masih ada 8 keluarga yang tinggal di kawasan tersebut. Mungkin sekarang memang kawasan tersebut telah khusus diperuntukkan sebagai tempat wisata dibandingkan fungsi sebelumnya sebagai desa tempat tinggal.

Souvenir dan cinderamata ala Maroko

Kami juga mampir ke lokasi bengkel seni seorang seniman yang membuat lukisan yang cara dibakar/dijilatkan pada api. Unik sekali, orang tersebut mengambar dengan cairan tertentu kemudian dijilatkan pada api kemudian cairan di atas kertas tersebut berubah warnanya dan nampaklah lukisan yang apik.

Bengkel seni tempat pembuatan lukisan teknik jilat api

Kreatifitas manusia bila dimaksimalkan memang sanggup membuat siapapun terkesima. Seperti juga tempat ini yang tak henti-hentinya membuat mata dan hati saya terkesima. Sungguh sebuah pengalaman wisata yang membekas dalam perjalanan hidup saya. Mengunjungi Ait-Ben-Haddou, desa tanah liat yang begitu eksotis dengan bangunan tanah liat yang sanggup mengombang-ambingkan rasa antara jejak sejarah masa lalu dan berkah kekinian. Siapapun yang mengunjungi Maroko, Negeri Maghribi di semenanjung Afrika Utara,  jangan lupa manjakan jiwa dan matamu dengan panorama Ait-Ben-Haddou dan rasakan sensasinya!

 


Kamis, 01 Agustus 2013

Travel Writer : The Beginning




Tulisan saya di Wego Indonesia

Glasgow masih saja dibasahi gerimis rintis, saat pagi tadi saya mendapatkan email dari Clara Rondonuwu, editor Wego Indonesia yang memberitahukan bahwa tulisan yang saya submit 2 hari lalu ke meja redaksi Wego sudah dipublish. Aih, langsung saja jemari saya segera menuju link yang disebutkan di email tersebut. Tadaaaa...ada tulisan dan foto-foto saya..aih rasa seperti itu selalu saja sulit untuk digambarkan. Saya sulit menjelaskan bagaimana renjatan-renjatan rasa saat setiap tulisanku lahir. Pun bagi saya, setiap tulisan punya rasa sendiri-sendiri saat berhasil dilahirkan. Dan saya terus saja menikmati rasa antusiasme saat tulisan-tulisan tersebut lahir.
Dan saat melihat tulisan saya di Wego Indonesia publish, humm tentu saja pertamanya merasa super excited . Walaupun ada rasa rada-rada bagaimana karena banyak tulisan yg dicut dan diedit. Humm begitulah ego penulis, seringkali merasa “tidak rela” bila tulisannya banyak diubek-ubek. Karena dalam menuliskannya, setiap kata, diksi dan alurnya itu menurut saya mencerminkan style masing-masing penulis. Jadi saat tulisan tersebut sampai di tangan editor dan diubah-ubah, dicut sana-sini, jadinya feel-nya terasa lain. Tapi sekali lagi itulah dunia tulis  menulis bila sudah menyangkut publikasi, tetap saja menuntut kompromi.
            Keren, bagus. Tulisannya, foto-fotonya juga,” komentar seorang sahabat dekat saya yang dulu sesama angota organisasi pers dulu saat S1.
kok masih seperti telling, bukan showing, nggak sekeren tulisan kamu di blog, ” kata sahabat saya lainnya yang sama-sama suka menulis.
Errr, ya begitulah karena banyak deskripsi saya yang dicut editor, lalu diganti dengan memasang foto. Mungkin juga web-nya terbatas dalam panjang tulisan dan  mungkin alasan-alasan lainnya yang tak kumengerti. Yah begitulah adanya penulis dan editor sepertinya memang harus saling berkompromi.
Bila dikirimkan ke media, memang saya harus berlatih untuk menerima tulisan saya direvisi sang editor. Beda bila saya menulis di blog kemudian diposting sendiri, karena saya bisa menulis sesuka hati, tanpa batasan panjang tulisan dan tetek bengek aturan lainnya. Di blog saya bisa menjadi penulis yang egois ehehehe. Para pembaca cuma bisa membacai dan mengomentari namun tak kuasa ngubek-ngubek tulisan saya. Tentu saja beda cerita bila tulisan saya mulai dikirim dan dipublikasikan ke  media.
            Pokok’e aku emoh kalau tulisan saya dimacem-macemin nanti. Feelnya jadi beda, kayak dudu tulisanku.” Cetus seorang sahabat yang juga suka nulis dan baru saja berencana menerbitkan tulisannya tersebut. Dia lebih ekstrim daripada saya nampaknya ahaha.
Tapi saya menikmati pembelajaran ini. Saya mulai harus belajar berkompromi dengan hal-hal ini. Pula belajar bagaimana membangun hubungan dan komunikasi dengan media tempat publikasi, karena mau tidak mau di sanalah tulisan saya hidup. Di Wego Indonesia misalnya dengan ribuan followernya memberikan kesempatan untuk tulisan saya bisa dinikmati oleh lebih banyak lagi pembaca.

Iyah, ini memang semacam perjalanan awal saya sebagai seorang travel writer. Karena sejak saya menulis, belum sempat terpikir menjadi seorang travel writer. Saya memang suka jalan-jalan dan kadang menuliskan cerita jalan-jalan saya di blog disertai dengan foto-foto karena saya juga suka fotografi (narsis juga hiayahaha). Tapi menulis sebuah tulisan travelling masih merupakan pengalaman yang baru bagi saya. Ada beberapa tehnik yang membedakan jenis tulisan travelling dengan tulisan lain, yakni unsur “show, don’t tell” seperti kata Zobel di The Travel Writer’s Handbook. Ini yang rada-rada butuh ekstra usaha karena harus menggambarkan tempat yang ingin kita tulis. Itulah yang menyebabkan kenapa saya rada kecewa dengan banyak-nya cut sehingga tulisan saya terasa kurang bumbu deskripsinya. Ah, mungkin saya memang harus lebih banyak belajar lagi dengan membaca lebih banyak tulisan-tulisan travel.
Sebenarnya menjadi travel writer dengan sempurna menggabungkan beberapa passion saya dalam satu hal, yakni nulis, jalan-jalan dan foto-foto ehehe. Itulah mengapa saya  tertarik untuk menggeluti jalur ini, tapi tetap saya masih nulis tulisan yang lainnya juga. Saya menikmati menulis hal-hal yang saya sukai, dan menyertakan hati saya dalam menuliskan itu semua. Semoga ini merupakan awal perjalanan dari karir travel writer saya. Finger Crossed!
Live a life that matters to you! Cheers
CVR Church Street, di ruangan student seusai ngelab bersama sel-sel saya. 1 Agustus 2013.

Lots of Love
Siwi Mars