Kamis, 21 November 2013

Dialogue





Kulihat  perempuan itu tengah sibuk memanaskan air, dan tangannya mencari-cari dimana kotak tempat gula dan kopi. Diambil pula sekotak susu dari dalam kulkas. Udara dingin dan secangkir minuman hangat selalu menjadi pasangan yang sempurna. Kenapa sering kali perlu kondisi tertentu untuk menjadi sempurna? Tak bisakah secangkir kopi saja sempurna? Atau udara dingin saja menjadi sempurna?
Seperti paduan gerimis dan secangkir kopi. Serupa membaca buku bagus dan secangkir kopi. Mungkin seperti juga aku dan kamu. Kita.
Kenapa butuh paduan ataupun pasangan untuk menjadi sempurna? Ah mungkin aku yang salah. Mungkin ketunggalan juga sempurna, namun berdua terasa lebih lengkap, genap. Begitukah? Entahlah.
Perempuan itu menanti air yang dijerangnya. Lalu suaranya terdengar bertanya pada seseorang di kamar mandi.
            “Sayang, I will make a cup of coffee, do you want something?” suara perempuan itu cukup keras agar bisa terdengar menembusi pintu kamar mandi.
            Yes” Suara seorang laki-laki terdengar dari arah kamar mandi.
            What?” Lanjut perempuan itu. Sembari matanya mencari-cari kotak bubuk teh, siapa tahu lelaki itu menginginkan secangkir teh hangat.
            “YOU” jawaban laki-laki terdengar jelas dari arah kamar mandi itu.
Ah, dan aku bisa merasakan degup jantung perempuan itu yang terdengar lebih cepat berpacu.
Degup jantungku.


Glasgow, 21 Glasgow 2013

Sajak Akhir Musim Gugur




Kau tahu dimana tempat saat gerimis dan matahari bersinar terjadi pada satu waktu?
Kota ini mempunyai keajaiban seperti itu
Aku pun ingin seperti itu
Menjadi gerimis yang menghujanimu dengan kasih
Dan matahari yang menyinari hatimu dengan harapan yang tak pernah habis
Kau tahu dimana tempat saat bekunya hawa dingin sekaligus hangat menjalari hatiku dalam satu waktu?
Ah, kau tahu itu.

Glasgow, 21 November 2013


Jumat, 08 November 2013

Tentang Rasa Pulang




Bulir-bulir keringat seketika terasa di tubuhku saat mengijakkan kaki di Bandara Adi Sucipto Yogyakarta. Panas. Belum lagi ruangan yang kecil dan sumpek serta berderet-deret antrian antara pemegang paspor domestik dan paspor asing. Sungguh, bandara ini seharusnya jauh lebih besar. Yogyakarta sangat potensial untuk meraup devisa dari sektor pariwisata. Namun bandara masih mungil segini rupa. Keluar dari pintu bandara, telingaku sepertinya berdesing. Noise! Oh banyak sekali orang, dan semuanya bicara. Bising. Orang-orang berseliweran, lalu tukang taksi berebut menyapa,
            “ Mau kemana mbak? Mari saya antar” kata supir taksi. Aku menggeleng pelan dan mengatakan bahwa akudijemput. Hanya selang beberapa menit datang lagi supir taksi lainnya, dan aku harus menjawab hal yang serupa. Bahkan sopir taksi yang sudah bertanya pun, kembali lagi menawarkan jasanya. Oh akhirnya aku mengambil tempat duduk di antara himpitan orang-orang yang tengah menunggu jemputan ataupun menunggu jadwal penerbangan. Mbak-mbak yang ribut menggelar isi kopernya yang kelebihan muatan, berusaha memasukkan sebanyak banyak isinya, dan kerepotan karena masih banyak barang yang masih tertinggal. Suara-suara kerumunan yang selama ini asing di telingaku.
Oh jangan mengeluh, ini negerimu. Bisik batinku.
Suara-suara klakson taksi dan mobil-mobil penjemput yang tak sabar dalam antrian kemacetan kembali menganggu telingaku.
Entah mengapa aku merasa asing. Aku asing pada negeriku sendiri. Ada rasa bersalah yang menyelinap dalam hati. Oh diriku, ini negerimu. Aku baru meninggalkan Indonesia sekitar 5 bulan yang lalu. Selama 2 tahun lebih menempuh studiku, aku sudah beberapa kali pulang, jadi seharusnya aku tidak terlalu merasa asing. Tapi rasa seperti ini sulit untuk ditampik saat kembali menjejak di tanah air. Aku merasa asing.
Panas, bising, ramai, macet. Aku manusia tropis yang dibesarkan 25 tahun lebih oleh matahari merasa asing dengan matahari. Aku merasa bising dengan teriakan-teriakan orang, dengan obrolan-obrolan dengan nada yang tinggi. Aku seperti merasa di tanah antah berantah, padahal aku menginjakkan diri di negeri sendiri.
Baru sehari, aku mengalami alergi panas, muncul gatal-gatal dengan bentol-bentol merah. Belum lagi jetlag yang menyebabkan jam tidurku bolak balik. Aayayayay, betapa anehnya kupikir. Kenapa tubuhku sudah asing dengan iklim negeriku sendiri.
Kepulanganku kemarin memang hanya beberapa hari, sebelum masa adaptasi selesai aku harus segera pergi lagi, Mungkin itulah yang menyebabkan tubuhku harus mengalami perubahan-perubahan cuaca dan suasana dengan ekstrim.
Aku tidak hendak mengeluh. Bahkan ada terselip rasa bersalah. Kenapa tak lagi merasa nyaman di negeri sendiri?
Ini negeriku, yang kucintai sedemikian rupa. Tempat dimana kontribusiku selalu tercurahkan.
            “ Semuanya begitu mba, culture shock itu kadang bukan saat kita sampai di negeri asing, namun saat kita kembali,” kata Sandy, sahabatku yang baru-baru ini juga kembali dari Itali.
            “ The real challenge-nya itu malah pas kita pulang” kata sahabat yang lain.
Ehehe seperti kata pergi, kata pulang pun mempunyai ceritanya sendiri.
Kini aku telah  kembali ke Glasgow, dengan suhu yang merayapi titik nol, kadang-kadang sudah menyentuh minus. Tapi saya merasa pulang.
Entahlah, mungkin sebaiknya kemanapun kita pergi, kita pikir saja seperti hendak pulang. Tapi sayangnya, tak semua tempat memberikan rasa “pulang”.

Glasgow,8 November 2013.

Rabu, 06 November 2013

Di Boncengan Bapak




Aku seakan membolak balik waktu, saat meletakkan badanku di boncengan sepeda motor Bapak beberapa waktu lalu. Beliau memboncengkanku lagi, mungkin setelah sekian lama. Kapan terakhir aku dibonceng Bapak? Aku tidak lagi ingat. Mungkin aku terlalu sibuk berkelana, terbang dari bandara ke bandara, dari tempat satu ke tempat yang lain.
Kali ini aku membonceng menyamping. Ah bapak, ternyata anakmu ini perempuan. Mungkin ini kali pertama kau boncengkan aku menggunakan rok panjang yang sekarang ini gemar kupakai kemana-mana. Aku membaui masa lalu tiba-tiba.
Dulu, saat sepeda motor satu-satunya keluarga kami dulu mampu dengan ajaibnya mengangkut seluruh anggota keluarga dalam satu motor. Sepeda motor berplat merah itu, jatah dari sekolah SD tempat bapak mengajar dulu. Kadang aku duduk di depan bapak, sambil mengupayakan diri tidak menyenggol setir. Atau kadang menyelempit di antara posisi bapak dan ibu.
Dulu, seperti sebuah kata yang jauh. Seperti sebuah kata yang sanggup merangkum waktu.
Dulu, pagi-pagi buta setiap hari senin saat kuliah S1 beliau mengantarkanku di jalan besar Yogyakarta-Purwokerto di boncengannya saat akan berangkat kuliah. Desaku masih jauh dari jalur yang dilalui bis umum ke arah Purwokerto. Deru motor Bapak memecah sunyi. Saat jalanan masih lengang, saat gelap masih menggenangi langit, saat rumput-rumput di pinggir jalan ini masih basah dipeluki embun. Lelaki pekerja keras itu selalu sedia mengantarkanku.
Kemarin setelah entah berapa lama, kubonceng lagi sepeda motor bapak. Aku telah banyak melihat dunia, ditempa lara, dibusungkan bahagia. Hidup memberikan banyak tawa, pula airmata. Menyeberangi samudra, menginjak benua demi benua. Tapi rasanya aku masih saja gadis kecil bapakku. Lelaki itu masih saja tak banyak bicara padaku. Bincang kami biasanya hanya tentang politik, agama, wayang, seni jawa.
Aliran DNAnya yang membanjir dalam tubuhku ini mungkin membuatku seperti beliau. Walau hidup sudah menyuguhkan berbagai macam pengalaman, tapi tatkala kembali padanya, aku tetaplah si gadis kecil itu.
Walau kini, lelaki itu tak lagi muda. Gigi palsunya sudah berderet, rambutnya penuh dengan uban dan gurat-gurat di wajahnya tak bisa menyangkal tanda-tanda ketuaan.
Tanganku memegang pinggangnya saat membonceng sepeda motornya.
Aku, perempuan ini, masih tetap gadis kecil bapakku.
Entah dulu, kini dan mungkin nanti.
Kadang, aku rindu (kembali) menjadi gadis kecil itu.

Saat cuaca Glasgow mulai merayapi angka minus. 6 November 2013.

Minggu, 03 November 2013

Thai Girl Show, Tentang Manusia dan Batas Kesenangan.



Menghadiri konferensi dua hari berturut-turut membuat saya agak bosan, apalagi sendirian saja. Memang saya bertemu dengan bapak ibu dari Kemenkes, dari dinas provinsi dan beberapa akademisi dari UGM dan UTB saat acara welcome dinner. Tapi mereka bersama rombongan masing-masing, sementara saya sesuai konferensi balik lagi ke kamar hotel. Dan entah kenapa merasa sedikit bosan. Akhirnya saya memutuskan untuk jalan. Bermodal googling dan peta saya ke MBK, sebuah pusat perbelanjaan yang terkenal di Bangkok bila ingin mencari souvenir khas Thailand dengan harga yang lumayan murah.
Usai belanja dengan mengantongi kain sarong dan kaus Thailand, saya kembali ke hotel dengan fasilitas BTS. Mode transportasi yang menurut saya sangat nyaman dan harganya cukup terjangkau. Di lobi hotel saya melihat rekan-rekan dari Kemenkes dan Dinas Provinsi yang tengah bersantai ngobrol di lobi. Lalu saya menghampiri mereka dan ikut ngobrol-ngobrol hangat,
            “ Saya dapat alamat ini nih yang pertunjukan perempuan-perempuan nari-nari lho. Katanya belum ke Bangkok kalau belum lihat ini. Coba nonton yuk” kata salah seorang dari mereka. Humm perempuan nari-nari? Pikiran saya sudah menjurus ke pertunjukan yang “serem” ahaha, iya karena Thailand memang terkenal dengan pertunjukan yang rada “serem”.
Lalu yang lain menyambutnya dengan antusias lalu melihat selembar kertas dengan diberikan petugas hotel. Di selembar kertas itu hanya tertulis huruf-huruf thailand yang antah berantah nggak ngerti artinya.
            “ Aman nggak nih?” tanya lainnya lagi. Tentu saja kami harus mengecek keamanan tempat yang akan kita datangi. Jangan-jangan serem gitu hihi.
            “ Eh ini yang banci-banci itu bukan? Opo sih namanya itu, Lady boy atau perempuan beneran” tanya seorang lagi. Saya hanya diam menyimak. Sekilas teringat tulisan Windy Ariestanty di bukunya Life Traveler tentang pertunjukan di Thailand itu. Thai Girl Show, apa ini maksudnya. Saya tidak terlalu berniat ikut, karena “ngeri” juga rasanya menonton pertunjukkan seperti itu. Apa menyenangkannnya? Begitu batin saya. Saya tipe traveller yang suka mengunjungi tempat-tempat wisata seperti tempat-tempat budaya, pantai, taman, dan bila pun nonton pertunjukkan, saya suka nonton pertunjukkan tradisional seperti tari-tarian, opera, ataupun teater. Nonton pertunjukkan semacam itu pasti jauh di luar kebiasaan saya. Dan juga duit Bath saya sudah tipis sesuai belanja di MBK.
            “Ah gampang, saya bayari dulu” kata salah seorang bapak-bapak. Heuu akhirnya saya berpikir kilat, kalau sendirian nggak mungkin berani nonton pertunjukan seperti itu. Sebetulnya anggukan saya lebih kepada mengobati rasa penasaran saya pada show tersebut, dan saya pun berkeyakinan bahwa bapak ibu yang mengajak saya tersebut juga serupa. Sederhana saja logikanya, kalau si bapak-bapak itu mau melakukan hal yang “macem-macem” ngapain juga ngajakin kita-kita berombongan. Tinggal melangkah ke sepanjang Sukhumvit Soi 22 itu sudah berderet-deret pijat yang plus-plus ditawarkan, tanpa seorangpun tahu.
Akhirnya kami berlima naik taksi di luar hotel, dan saat ditunjukkan alamat dengan bahasa Thailand itupun si bapak sopir taksi pun dengan cepat mengerti lokasinya. Bahkan dia menawarkan untuk menunggu kami dan mengantarkan kami kembali ke hotel. Dan saat ditawar ongkos taksinya 150 bath dianya mau. Kami pun sempat terheran-heran dengan ongkos semurah itu padahal tempatnya jauh. Namun baru paham sepertinya supir taksi akan mendapat jatah sendiri dari tempat show tersebut. Sama halnya dengan si abang-abang becak yang menawarkan mengantarkan ke tempat oleh-oleh bakpia di jogya dengan harga super murah.
Kami tiba di tempat setelah perjalanan naik taksi sekitar 30 menit. Tempatnya tidak istimewa, tidak ada plang-plang nama. Bahkan kami tidak tahu di daerah mana itu. Heuu agak berasa serem juga saat masuk ke tempat itu. Hanya ruangan yang menghubungkan ke ruangan berikutnya dan disitu ada bapak-bapakn seperti engkong tua dijaga oleh dua orang berbadan besar dan bertampang sangar yang menjual tiket.
            “ 800 bath per orang” kata si engkong tua itu. What? 800 bath..phewww mahal amat. Itu duit bisa untuk beli souvenir banyak. Ahaha dasar, malah bandingin sama souvenir.
Tapi akhirnya salah seorang bapak dari kami mengulurkan biaya tiket untuk kami berlima, dan segera masuk ke ruangan show. Saya memang menghindari menyebutkan nama ya, untuk menghindari hal-hal yang mungkin tidak etis. Saat masuk ruangan tersebut saya agak berasa serem juga, dan menggandeng si ibu yang memakai jilbab. Iya sih, pasti berasa aneh kan perempuan berjilbab masuk-masuk ke tempat beginian.
            “ No camera” kata si lelaki bodyguard di bagian ticketing tersebut. Tidak boleh memotret, dan kami hanya mengangguk.
Musik menghentak dan di lampu redup, hanya lampu yang berkerlap kerlip di panggung yang sudah ada seorang perempuan tengah beraksi. Kami mengambil tempat duduk di depan panggung namun tidak terlalu dekat. Saya mengamati pertujukan di panggung, dan anehnya saya merasa tidak terlalu kaget. Perempuan yang (maaf) hanya mengenakan bra dan CD tersebut berlenggak lenggok menari di atas panggung. Anehnya tak ada ekspresi apapun di muka perempuan itu, dingin dan tawar. Gerakan tariannya pun tidak ritmis, tidak menyatu dengan musik. Dan tidak ada kesan menggoda, centil ataupun aksi-aksi binal yang dulunya saya kira ada pada pertunjukan macam itu. Dan satu-satunya yang membuat saya agak kaget adalah kemampuannya yang dipertontonnya itu sungguh tak biasa. Hingga saya menilai bahwa pertunjukkan ini lebih cocok sebagai atraksi, karena perempuan yang saling bergantian naik ke atas panggung memang hanya untuk beraktraksi. Hanya saja atraksinya itu yang bikin geleng kepala. Si ibu di sebelah saja menyebut bahwa pertunjukkan itu seperti atraksi keahlian vagina. Maaf bila tulisan saya menyebut beberapa hal yang terlalu vulgar.  Iya karena atraksinya itu seperti membuka botol coca cola, menggambar, memasukkan bola ke dalam keranjang dengan vagina, lalu keluar seperti rantai rantai berwarnai warna dan beberapa hal lainnya yang membuat saya mengerutkan kening.
Apa menariknya dari pertunjukkan seperti ini? Dibilang seksi, enggak. Beneran, tubuh di perempuan itu nggak seksi-seksi amat. Ada yang terlalu gendut, ada yang terlalu tipis. Bahkan perempuan yang menampilan menggambar menggunakan vagina terlihat sudah tua. Cantik? Nggak cantik-cantik banget juga. Biasa saja, bahkan yang perempuan tua itu seharusnya sudah duduk tenang di rumah sambil bermain dengan cucu-cucunya.
Saya yang perempuan bisa menilai bahwa pertunjukkan ini nggak sensual sama sekali. Murni atraksi. Entah dari sudut pandang laki-laki. Dengan iseng saya nanya ke bapak-bapak yang serombongan dengan saya.
            “ Nggak terangsang sama sekali lah, Malah ngeri lihatnya.” begitu jawab si bapak-bapak itu. Dan saya percaya mereka bicara sebenarnya.
Interaksi dengan penonton pun  seadanya. Hanya saat si perempuan yang menunjukan kemampuannya membuka botol coca cola dengan vaginanya, dia meminta beberapa penonton mengecek tutup botolnya bahwa memang tertutup rapat. Kali ini perempuan itu meminta tolong pada seorang bapak berkacamata yang duduk dekat dengan panggung untuk memegang botol tersebut. Ah, itu bapak-bapak yang saya lihat makan di KFC kompleks MBK tadi sore. Sepertinya bapak-bapak pengusaha dari Indonesia. Bapak itu terlihat kikuk memegang botol aqua, mukanya cemas-cemas bingung, dan bluup saat tutup botol itu terlepas si bapak itu kaget bukan kepalang. Malah ekspresi bapak itu yang lebih menghibur dibanding pertunjukan di atas panggung. Tapi pintar juga si perempuan itu memilih penonton yang kira-kira tidak “nakal”. Tapi sialnya, usai perempuan itu turun panggung, dia menghampiri bapak berkacamata itu dan meminta uang. Hayaaakk ahaha.
Ada pula si perempuan yang marah-marah saat atraksi saat melihat salah seorang bule yang mengambil foto saat mereka beraktraksi. Segera ia memberi kode ke rekan-rekannya untuk memeriksa kamera dan memastikan gambar tersebut terdelete.
Hampir sekitar 1 jam pertunjukan berlangsung, dan sistemnya berputar. Jadi ternyata pertunjukkan sama saja setelah sekali putaran aktraksi. Begitu si perempuan pertama yang niak panggung dan akan menampilkan atraksi yang serupa pada awal acara, kami pun memutuskan untuk menyudahi tontonan kami. Lah bosen kan?
Kami pun keluar dengan rasa penasaran yang terjawab dan dengan muka yang biasa-biasa saja. Nggak seheboh beritanya. Hanya saya dengan melihat pertunjukkan tersebut, saya berpikir. Kenapa ya ada orang yang terpikir untuk membuat pertunjukan macam itu? Dan mau-maunya si perempuan-perempuan itu melakoni pekerjaan tersebut? Dan terpikir pula dengan batas kesenangan manusia. Sampai mana batasnya? Kadang-kadang banyak hal yang saya lihat jauh di luar akal saya. Pertunjukan Thai Girl show macam inipun menguakkan pertanyaan, bila kesenangan manusia diikuti mungkin memang tak akan ada batasnya.
Tempat pijat yang berderet-deret di Sukhumit Soi 22, perempuan-perempuan yang berjajar di jalan dengan terang terangan menggoda, pertunjukkan Thai girl Show menunjukkan sisi lain dari Bangkok. Dan mungkin juga menyadarkan tentang hal-hal yang mungkin tak pernah kita bayangkan. Manusia dan batas kesenangannya yang mungkin tak berbatas itu.
Saya sendiri tidak bisa menikmati pertunjukkan seperti itu, kesenangan bagi saya lebih pada menikmati pertunjukkan budaya, mencobai pakaian tradisional thailand, dan merasai kuliner lokal. Ah kadang dunia itu mengerikan ya, ah mari nikmati saja yang indah-indah di Bangkok seperti indahnya Grand Palace!
           
Cerita dari Bangkok. Oktober 2013.

Menemukan Tuhan di Benjasiri Park, Bangkok


Benjasiri Park

Masih di Benjasiri Park, duit abis dan penerbangan menuju indonesia masih nanti malam. Hihi perjalanan saya memang kadang penuh kejutan. Harusnya atm BNI saya bisa untuk narik uang kapan dan dimana saja, tapi setelah saya coba dan dibantu pula oleh petugas bank tetap saja tidak bisa. Hotel tempat saya menginap selama 2 hari extend dari acara konferensipun ternyata belum dibayarkan otomatis dari kartu Visa Debit Bank of Scotland saya. Sedang uang Bath di dompet hanya tersisa 500 bath plus 50 dollar ahaha. Dengan muka kecut, saya tanya ke petugas resepsionisnya apa saya bisa membayar dengan transfer via internet banking. Si mba itu nampak bingung dan menjawab tidak bisa. Sedangkan menarik uang tunai via atm tidak juga berhasil. Hadeww garuk-garuk deh. Lalu dengan iseng jurus terakhir saya keluarkan card bank of scotland saya yang biasanya tidak bisa untuk membayar di tempat. Pernah saya makan di world buffet di Glasgow bersama Mita, sahabat saya dan kartu saya nggak bisa dipakai. Heuheuu maklum bank saya di Glasgow memang rada-rada unik plus bikin latihan sabar. Makanya saat si mba-nya mencoba kartu tersebut, sebenarnya saya tengah mencari cara bagaimana bisa narik duit untuk membayar hotel. Dan eh, si mba itu dengan muka lempeng berhasil melakukan transaksi dengan kartu visa debit saya, dan pasti tidak mengira kalau bagi saya itu serupa keajaiban. Hihihi..
            “Yang di sini ikutan sport jantung juga tauuu,” komentar pasangan saya saat saya cerita kejadian tadi. Ahaha saya memang adrenalin addict, dan dia tahu sepenuhnya kalau saya selalu nggak well prepared, spontanitas, dan nekad. 
Setelah check out dari hotel pun saya nggak tau kemana. Sedangkan untuk jalan-jalan males rasanya. Saya belum sepenuhnya bisa menikmati the art of solo travelling. Selain itu duit saya sudah habis hihiiii. Mau jalan-jalan pakai apa? Duit yang ada di dompet saya kayaknya hanya cukup untuk taksi saja ke bandara. Kayaknya cukup ekekek.
            “ Trus ke indo, masih ada duit enggak?” tanyanya. Karena dari Bangkok saya masih transit selama 12 jam di Singapura sebelum melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta.
“ Masih yang 50 dollar itu, Nanti bisa disulap-sulap deh. No worries, Allisswell.” Jawab saya untuk menenangkannya. Padahal saya masih harus makan, naik taksi ke bandara dan sepertinya koper saya kelebihan bagasi, kalau suruh bayar kelebihan bagasi akan jadi masalah tersendiri. Yeaaah semesta memang penuh kejutan. Dan saya menikmatinya hihi. Menikmati cemas-cemas sedaaaap haha.
Jadilah saya sekarang menikmati Benjasiri Park, di tepian danau, sesekali melihat kura-kura yang mentas dari kolam, tupai-tupai yang berloncatan dan angin yang sepoi sepoi bikin ngantuk. Pilihan ini nampaknya lumayan karena letak tempat ini tidak jauh dari hotel tempat saya nitip koper, karena tidak perlu bayar transport lagi, cukup jalan kaki. Setidaknya lumayan daripada nunggu mati gaya di bandara. Tak apalah di Bangkok tapi jalan-jalan ke tempat wisatanya nggak khatam. Setidaknya saya bisa beralasan artinya ini memberikan kesempatan untuk bisa jalan-jalan lagi ke Thailand. Masih banyak objek-objek wisata yang belum saya kunjungi. Walaupun saya tidak terlalu excited sih.
Saya lebih pengin lekas pulang dan bertemu keluarga. Setidaknya di Park ini lumayan adem, nyaman, dan enak untuk istirahat sambil menanti jam penerbangan. Dan masih ada laptop yang tanpanya saya tidak pernah merasa sendirian.
Hihihi nggelandang :D
Begitulah saya, nggak pernah well prepared. Dan walaupun sudah well prepared sekalipun, tetap saja semesta hobi memberikan kejutan pada saya. Termasuk kabar penerbangan air asia untuk return saya ke Bangkok untuk menuju Glasgow pun berubah jadwal penerbangannya. Hihihi tuh kan, memang semesta mendukung adrenalin addict saya.
Sedangkan pasangan saya orangnya detail, well prepared dan semuanya harus berada dalam kontrolnya. Bila awal-awal kebersamaan, saya dan pasangan merasa bahwa kami banyak sekali persamaan, namun seiring waktu ternyata perbedaanlah yang membuat seru.
Saya pribadi dari dulu susah sekali toleran terhadap orang yang terlalu detail, terlalu mikir dan penuh pertimbangan, terlalu step by step dan cerewet hihihi. Sangat bertolak belakang dengan saya yang spontan, modalnya cuma intuisi, nekad dan lebih sering terabas sana terabas sini. Dan ternyata saya kena batunya, karena ternyata saya tahan-tahan saja bersamanya. Dan kadang kala cerewet dan detailnya itulah yang bikin kangen #tsaaah. Sementara dia pun mulai terbiasa ritme saya yang main terabas sana sini, dan terbiasa pula sport jantung kalau mendengar kejadian-kejadian yang menimpa saya.
Dan kontak kami saja tergantung wifi kalau saya sedang kabur kabur nggak jelas seperti sekarang ini.


Heuu di depan saya, dua tupai lagi pacaran menggodai saya. Heuu si tupai satu nampaknya malu-malu tupai  (bukan malu-malu kucing) pada di tupai satunya lagi. Jadi iri wkwkwk.
Beginilah kunikmati hari terakhir di Bangkok, dengan segala serba serbi perjalanan. Karena perjalanan memang tak selalu menyenangkan, banyak hal-hal yang di luar dugaan. Banyak hal di luar kendali, namun banyak pula hal-hal yang mengesankan.
Pada kejadian-kejadian sepertinya ini, sebenarnya ini caraku termudah menemukan Tuhan. Membiarkan diri menjejak tempat-tempat asing, orang-orang tak dikenal, mata uang yang masih saja kagok saat kubelanjakan, hal-hal di luar kendali yang terjadi, kadang kala merasa tak berdaya. Mudah sekali menemukan Tuhan di saat-saat seperti itu. Karena itulah selalu kunikmati perjalanan.
Dan sekali lagi kutemukan Tuhan di Benjasiri Park.

Bangkok, 26 Oktober 2013