Senin, 07 April 2014

Nevis Range Trip : Bad stories make good stories!




Sekitar pukul 4 pagi dengan hawa dingin yang masih menyelimuti Glasgow, kami menuju Queen Street Station, untuk berangkat jalan-jalan ke Nevis Range. Yeii impian kami berempat hari itu sama : ingin memeluk-meluk dan bermain salju puas-puas di Nevis Range!
Manusia-manusia tropis ini merindu salju. Musim dingin kali ini sangat pelit menghadiahkan salju pada kami. Salju hanya turun sejenak saja, bulir-bulir putihnya hanya sebentar saja menghiasi Glasgow kemudian menghilang. Aih, padahal kami menanti-nanti salju, membayangkan berfoto narsis dengan bulir-bulir putihnya atau siapa tahu bisa membuat boneka salju yang lucu. Memang musim dingin ini bukan pengalaman pertama bagiku, tapi tetap saja merasai salju dan melihat bulir-bulirnya jatuh dari langit merupakan pengalaman yang mengesankan. Nah karena di Glasgow saljunya turun malu-malu, maka kami berencana pergi ke Nevis Range untuk bisa bermain-main dengan salju puas-puas.
Nevis Range terletak di daerah Scotland atas, dekat dengan Fort Williams yang sayangnya pilihan transportasinya terbatas. Maka kami menggunakan kereta api Scotrail untuk menuju ke Nevis Range. Di dalam backpack kami sudah siap sarung tangan waterproof yang cocok untuk salju, pun sahabat saja sudah memakai pakaian dobel-dobel entah berapa banyaknya ehehe.
            “Jangan lupa bawa sirup, biar ntar tinggal bikin es setup,” begitu pesan teman kami yang tidak ikut dalam perjalanan ini.
Aih, bayangan bermain salju sudah di depan mata. Apalagi sepanjang perjalanan, di balik jendela kereta kami sudah disuguhi lanskap salju yang indah.
            “Lihat deh di sebelah sana, cantik banget,” teriak mas basid di sebelah, sambil menunjuk ke luar jendela. Saya mengerjapkan mata, rupanya saya tertidur di dalam kereta. Kemudian melongok ke luar jendela. Bukit-bukit yang tertutupi salju serta rumah-rumah yang tampak berundak-rundak tampak dengan susunan yang rapi di luar jendela. Ah, pemandangan highland memang tidak pernah membosankan untuk dilihat. Setiap musim menghadirkan keindahannya sendiri-sendiri. Indahnya selalu saja berbeda tiap musimnya. Bunga-bunga yang bersemi saat musim semi ataupun musim panas, salju di musim dingin ataupun daun-daun gugur kekuningan saat musim gugur.
Sekitar pukul 09.55, kereta kami sampai di Fort Williams. Hujan gerimis masih tetap saja mengguyuri langit Skotlandia. Memang sulit mengharapkan cuaca cerah di sini. Kemudian dari sana kami segera mencari bis ke arah Nevis Range. Hanya berjalan keluar dari station, kami menemukan papan-papan petunjuk bis serta jadwal keberangkatannya. Humm, nampaknya jadwal bisnya hanya 1 jam sekali, sedangkan kami hanya bepergian satu hari, akan membuang waktu kalau harus menunggu sekitar 1 jam. Maka kami memutuskan untuk naik taksi menuju ke Nevis Range. Dengan harga 15 GBP, kami berempat menuju ke Nevis Range menggunakan taksi. Kanan kiri terlihat lengang, hanya barisan pohon-pohon besar dan bukit-bukit yang memutih karena salju di kejauhan.
            “ Di sana, ada restoran di atas bukit. Tapi mungkin hari ini tutup. Ah, tapi coba saja,” demikian kata supir taksi saat kami hampir sampai ke Nevis Range. Tapi mungkin hari ini tutup ? Ew ew apa maksudnya heuheeu kami sudah menangkap gelaja yang tidak beres. Lalu setelah membayar ongkos taksi, si supir taksi tersebut memberikan kartu namanya pada kami.
            “Siapa tahu kalian butuh untuk kembali ke Fort Williams nanti,” kata si supir taksi itu dan kembali melajukan taksinya kembali ke Fort Williams.
             Kemudian kami segera melangkah, namun sekeliling nampak sepi. Hujan masih belum reda, suara angin nampak jelas terdengar dari suara-suara pepohonan yang riuh disapu angin. Humm ternyata lokasi tersebut berbeda dengan yang ada dalam bayangan saya. Sebelumnya, saya membayangkan kalau begitu sampai di Nevis Range, maka di sekelilingnya sudah penuh salju. Tapi tadaaa…ternyata untuk sampai daerah yang bersalju, kami harus naik gondola ke atas bukit. Dan berita buruknya adalah penanda CLOSED yang besar-besar tertampang di depan loket tiket. Glek, kami menelan ludah begitu mengetahui tempat tersebut tutup. Huhuhu bayangan bermain-main dengan salju perlahan semakin menghilang. Setelah mencari informasi dan bertanya kepada petugas,  maka memang dipastikan tempat itu tutup seharian karena cuaca buruk. Memang hujan masih saja turun dan angin kencang sehingga mungkin membahayakan bila tetap beroperasi. Ah, kami harus menerima kenyataan kalau seharian tempat ini bakalan tutup huhu. Kami pun mencari kemungkinan untuk mencari alternatif lain, misalnya ke Glen Finnan yang bisa ditempuh dari Fort williams, tapi lagi-lagi susahnya transportasi dan waktu tunggu yang lama membuat hal tersebut tidak memungkinkan dilakukan. Akhirnya satu-satunya pilihan adalah tetap tinggal di tempat ini, kemudian menunggu bis kembali ke Fort Williams.
            Kami akhirnya ke café yang terletak di samping loket tiket dan memesan minuman hangat. Pesanan saya jarang berubah, pastinya secangkir coffee latte regular lumayan untuk menghangatkan badan. Lalu kami ngobrol-ngobrol sambil menikmati minuman hangat.


duo caffe latte
Foto bersama di cafe ehehe
            “ Aku sering lho mbak, pergi jalan-jalan cuman duduk-duduk, minum kopi, pokoknya yang penting lepas lah dari rutinitas biar tetep waras,” begitu kata mba yayuk. Mba yayuk ini jauh-jauh datang dari Newcastle untuk bereuni dengan mas basid, sesama staff pengajar Kimia Undip. Ia sengaja berkunjung ke Glasgow sebelum pulang ke Indonesia karena studi doktoralnya sudah selesai.
Pernyataan tersebut mungkin kembali mengingatkan kembali esensi jalan-jalan. Ngapain sih kita jalan-jalan? Setiap orang punya alasannya sendiri-sendiri. Dan salah satunya untuk melepaskan diri dari rutinitas, menyegarkan kembali pikiran dan melihat-lihat tanah-tanah yang belum pernah dijejaki.
           Usai ngobrol-ngobrol dan hujan sudah mereda, kami memutuskan untuk jalan-jalan di sekitar Nevis Range. Mulai dari foto-foto gila sampai memutuskan untuk mendaki. What mendaki? hihi iyah kami memutuskan untuk mendaki ke atas. Memang salju di atas sana cuma bisa merayu-rayu dari kejauhan. Semacam pesona yang tak terjamah ahaha. Maka kami mendaki pelan-pelan saja, menikmati sekeliling dan foto-foto gokil. Ah, cuma begitu saja rasanya sudah bahagia kok. Sampai ketinggian tertentu akhirnya kami kelaparan, maka kami membuka bekal. Wah benar-benar seperti camping nih. Dengan menggelar perbekalan kami, dan tentu saja bisa tertebak, selera Indonesia. Nasi dan ayam bakar, cleguk. Dengan mencuci tangan di aliran air, kemudian melahap nasi dan ayam bakar dengan tangan. Kebayang nggak sih rencana mainan salju berubah jadi camping? Hihi. Di tengan-tengah perbukitan, dengan suara angin yang gemuruh, ada sepiring nasi dan ayam bakar ahaha sejenis jalan-jalan yang aneh tapi  menyenangkan.

Mari makaaaan
             Setelah mengecek kembali papan penunjuk jadwal keberangkatan bis, ternyata untuk kembali ke Fort Williams, ternyata jadwalnya masih cukup lama.
            “Gimana kalau jalan saja ke sana? Capek nggak?,” usul Mas Basid.
Ekeke dasar semua pelancong nekad, tanpa babibu kami jalan ke arah kami tadi dihantarkan dengan taksi. Jalan sambil ngobrol, dan setiap kali nemu spot bagus trus foto-foto hadeeeh. Tapi lihatlah, bukankah tidak rugi bila menemukan spot sebagus ini? Perbukitan yang memutih di kejauhan, pohon-pohon menghijau yang sebagian tertutupi salju. Rasanya speechless menemukan pemandangan secantik ini. Narsis dong kami langsung sambil berebut berfoto.
berlatar pegunungan yang ditutupi salju
hihi horaaay narsis
Nah gara-gara kebanyakan narsis, saat melongok jarum jam, wih jadwal bis berikut dari Nevis Range segera datang nih. Akhirnya dengan satu komando kami berbalik kembali ke Nevis Range untuk bisa naik bis menuju Fort Williams. Bis yang akan kami tumpangi sudah terlihat di kejauhan, jadi kami berlari agar bisa mengejar bis tersebut. Dengan terengah-engah akhirnya kami bisa naik juga ke bis tersebut. Huaaaaah mantap juga lari-larinya.
            “weeh ternyata jauh juga ya kalau jalan” begitu komentar Mas Basid, disambuk geli tawa kami. Dasar pelancong-pelancong nekad semua. Mungkin bisa-bisa baru sampai besok kalau jalan kaki kembali ke Fort Williams.
 Setibanya di Fort Williams kami istirahat di stasiun lalu jalan-jalan di City Center-nya Fort Williams. Tidak banyak yang bisa dilihat di kota kecil ini tapi melihat-lihat tempat yang baru lumayan juga. Yang jelas tetap foto-foto gokil membuat suasana tetap cerah ceria.


berlatar danau di dekat Fort Williams


City center-Fort Williams

Ehehe jalan-jalan santai di Fort Williams

Rencana jalan-jalan boleh saja gagal, tapi acara-acara jalan-jalan tetap cerah ceria dan menyenangkan. Itulah enaknya kalau jalan-jalan dengan teman seperjalanan yang asik asik, entah bagaimanapun kondisinya, jalan-jalan tetap asik.
Jalan-jalan nggak selalu sesuai dengan kita rencanakan, bisa saja masalah transportasi, masalah cuaca seperti yang kami alami ataupun banyak kendala-kendala lain yang membuat rencana perjalanan kita tidak sesuai dengan perkiraan semula.
Kami mungkin tidak bisa memeluki salju, tapi acara jalan-jalan kami tetapkan berkesan dengan pengalaman-pengalaman baru yang tak terduga sebelumnya.
Yeaah bad stories can make a good stories. Pokoknya, tetap jalan-jalan anti mati gaya, guys. Happy Travelling.

(Catatan Perjalanan Nevis Range-8 Maret 2014)

Selasa, 01 April 2014

Lelah Raga, Segar Jiwa



 Ehehe dari judulnya saja, ketahuan saya lagi ingin leyeh-leyeh di “rumah “ saya ini. Iyah, akhir-akhir ini memang terasa melelahkan. Raga saya seringkali tidak mendapat istirahat yang cukup. Beberapa minggu ini sibuk menyiapkan acara Indonesian Cultural Day (ICD) bersama rekan-rekan PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) Glasgow. Rapat ataupun latihan nari sampai larut malam, sedangkan seharian harus tetap dengan aktivitas studi saya. Kerjanya pun serampangan, mulai dari performer nari, panitia, bagian promosi dan publikasi tulisan ehehe. Tapi saya sangat menikmatinya, jadi walaupun raga rasanya lelah lungkrah tapi jiwa terasa segar bersinar *halaaah. Inilah salah satu kontribusi kecil saya untuk Indonesia, membantu rekan-rekan PPI sesuai dengan kemampuan saya untuk bersama-sama menyelenggarakan acara ini. Mengenalkan budaya, wisata, tarian dan lagu tradisional serta ada juga permainan tradisional. Alhamdulillah acaranya berlangsung sukses dan super meriah. Itu semua tentu saja berkat kerja keras dan kekompakan seluruh pendukung acara. Ada rasa gembira, haru, bangga yang beradu. Usai acara tersebut, saya sebagai tim redaksi PPI Glasgow harus menyiapkan tulisan untuk publikasi acara. Tulisan yang saya buat sampai hampir menjelang pagi ini bisa dibaca di sini

Saya memang bukan tipe penulis cepat yang bisa menyelesaikan tulisan yang tempo yang singkat. Humm tergantung jenis tulisannya juga sih, kalau rada serius memang butuh waktu untuk mencari detail tambahan dan agak lama editingnya. Selain itu saya banyak intermezzonya saat nulis, bisa stop nyemil makan *duuuh liat itu pipi, bisa sambil buka-buka FB ataupun ngetweet di twitter ahaha parah.  Tapi kalau jenis tulisan seperti yang sedang kalian bacai ini bisa cuman beberapa menit, jreng jadi soalnya nggak banyak mikir hihi.

Namun memang menulis tetap saja aktivitas yang tak bisa lepas dari saya. Memang kadang kala bingung mau nulis apa, tapi kadang rasanya kepala belum ringan kalau belum menuliskan apa yang ada melintas di pikiran. Dan tentu saja ada semacam inner contentment saat tulisan saya semakin dibaca banyak orang. Memang rasa “surga”nya penulis itu adalah apresiasi dari pembaca pada tulisan kita. Itulah mengapa walaupun sebenarnya raga yang lelah, waktu yang terbatas namun tetap mendorong saya untuk tetap menulis. Jiwa terasa jauh lebih segar, mungkin karena ternyata menulis mempunyai efek “rejuvenating” dengan cara melahirkan produk-produk pemikiran dan rasa, kemudian mencipta lagi karya-karya yang baru. Entahlah, saya sering merasa jiwa saya terasa segara kembali saat kembali menulis. Makanya saya nulis di sini biar jiwa makin segar bugar, walau raga sepertinya butuh tidur dan makan ekstra *eits makan ekstra? Ehehe.

Usai ICD, kembali ke aktivitas studi seperti biasa, namun tetap saja saya  masih ikut terlibat untuk persiapan seminar Islamic Finance Management (IFM) yang diadakan PPI Glasgow Tanggal 5 April sabtu depan. Rasanya memang saya terbawa semangat anak-anak muda yang aktif melakukan kegiatan-kegiatan positif. Semakin ingin memberikan banyak karya dan kontribusi sebaik yang saya bisa.

Iyah, mungkin memang raga masih akan banyak lelah dalam waktu-waktu ke depan, tapi semoga semangat yang ada akan menjadikan saya tetap cerah ceria *halaah.


Semangat berkarya ya semuaaaa


Jumat, 28 Maret 2014

About Kindness


Saya dulu pernah diperingatkan oleh sahabat saya : “ Kamu itu jangan anggap semua orang itu baik. Bahaya juga. Nggak semua orang itu baik. Tetap waspada, “ Begitu masih kuingat sekilas kalimat sahabat saya itu. Bukannya saya sok baik, atau merasa baik, tapi memang “kelemahan” saya itu kadang menjadi manusia yang polos.
Saya nggak ngerti kenapa orang melakukan sesuatu yang jahat (jahat dalam artian nyeremin kayak ngerampok, menipu etc). Nah kepolosan itu yang dianggap oleh sahabat saya itu menjadikan saya kurang waspada. Kemudian pengalaman hidup di berbagai tempat membuat saya (agak) waspada terhadap orang lain dan juga lingkungan sekitar. Walaupun tetap saja, saya nggak begitu ngerti kenapa orang-orang ada yang mempunyai kecenderungan melakukan hal-hal yang jahat.
Tapi hidup di Indonesia saja kemudian mengajarkan banyak hal. Misalnya saja saya sampai di terminal, kemudian beberapa orang menghampiri saya, “Mau kemana mbak?”, “saya bantu bawa barangnya ya mbak” bla..bla…tentu saja hal ini terasa familiar kan? Bila didengar dari kalimatnya tentu saja seperti ingin membantu atau berbuat baik pada kita. Tapi pada kenyataannya, bukankah kita malah menjadi waspada karena takut ditipu, diminta duit, atau hal-hal jahat lainnya.
Kadang-kadang mana yang benar-benar bermaksud baik dengan yang pura-pura baik menjadi rancu. Kebaikan menjadi sesuatu yang terkadang dilematis. Mungkin masih banyak kita ketemu orang-orang yang tiba-tiba menyetop kita saat berjalan dan berkata “ Tolonglah mas, mba..saya nggak punya duit untuk untuk pulang blab la blaa” dengan muka yang memelas. Lalu kemudian kita menjadi berpikir, bahwa berbuat baik menjadi rancu karena kemungkinan besar dia hanya pura-pura.
Ah, dunia sepertinya semakin banyak kepura-puraan. Tapi saya masih percaya dimana-mana masih banyak orang baik yang benar-benar baik.
Hidup di sini saya juga banyak menjumpai orang-orang baik. Malah terkadang terheran-heran dengan kebaikan orang-orang yang tidak dikenal. Bila pergi ke kota lain dan bertanya arah tempat yang masih nggak ngerti, orang-orang akan dengan baik menunjukkan tempatnya. Ada yang bukan yang mengarahkannya ke tempat yang dimaksud, malah ada yang mengantarkannya ke tempat tersebut. Orang-orang juga terasa lebih sopan, mau membantu sesuai dengan apa yang seharusnya mereka kerjakan. Secara umum, saya menilai orang-orang sini baik-baik. Walaupun tentu saja tidak semuanya baik. Ada juga kejahatan-kejahatan yang dialami teman-teman di sini seperti dijampret, ditipu agen perumahan, kecurian dan lain-lain.
Yah, kebaikan dan kejahatan memang ada di mana-mana. Jadi semoga apapun itu tidak menjadikan kita untuk tidak berbuat baik. Trus gimana dong kalau kita merasa kebaikan kita bisa dimanfaatkan? Mungkin perlu intuisi dan tetap waspada menghadapi hal-hal tersebut.
Ah entahlah, apa pendapatmu mengenai hal ini?
Ada cerita menarik dari dosen pelatihan saya yang bercerita bahwa dia ditelpon oleh seorang teman lama yang lama yang ditemuinya. Kemudian mengalirkan obrolan melalui telpon tersebut, namun dosen itu sebenarnya apa maksud si temannya itu menghubunginya. Mungkin karena banyak cerita-cerita teman lama tiba-tiba menghubungi untuk menawarkan produk, ikutan MLM, dijadikan downline dan lain-lainnya. Hal tersebut membuat kita agak “nelongso” dan berpikir bahwa oh, jadi mereka menghubungi karena ada maunya. Hal tersebut menjadi wajar sekarang. Lalu sikap waspada dosen saya itu membuat ia menanyakan langsung dengan sopan tapi teman lamanya itu, karena si teman tersebut tidak juga memberitahu apa maksud ia menelpon.
            “Lalu apa yang kira-kira bisa kubantu?” gitu tanyanya
Lalu ternyata teman lamanya menjawab :
            “ Oh enggak, ehehe saya hanya ingin bersilaturahmi saja. Minggu kemarin saya ke Malang namun maaf nggak bisa mampir karena waktunya terbatas. Jadi telpon untuk menanyakan kabar njenengan saja. Semoga njenengan sekeluarga sehat-sehat selalu”
Aih, lihatlah. Betapa memang kebaikan orang sekarang ini semakin rancu. Dunia sekarang ini menjadikan kita makin gagu bersikap. Kadang-kadang kebaikan menjadi barang langka, lalu Nampak kejahatan ada dimana-mana. Berita pembunuhan hanya karena hal sepele, korupsi, perampokan, penipuan, ataupun banyak berita-berita kriminal lainnya yang mengerikan. Kadang menjadikan diri bertanya, seperti apakah dunia yang kita tinggali kini.
Mungkin setiap diri mempunyai jawabannya tersendiri. Bagi saya, seperti apa dunia yang saya tinggali mungkin tergantung pada persepsi saya memandang dan menganggap dunia yang saya tinggali sekarang ini. Memang ada orang jahat, tapi orang-orang baik juga ada dimana-mana.
Mari menambah banyak orang-orang baik di dunia, menebar kebaikan. Membaikkan diri dan orang-orang di sekitar kita.

Glasgow, 28 March 2014. 
Musim semi dimulai, tapi dingin masih mewarnai. Tetap syukuri. 




Rabu, 26 Maret 2014

Tak perlulah aku keliling dunia




Tak perlulah aku keliling dunia

Biarkan ku disini

Tak perlulah aku keliling dunia
 
Karna ku tak mau jauh darimu

 (Tak perlu keliling dunia-Gita Gutawa)

Pagi ini di timeline jejaring sosial saya membacai status sahabat saya yang tengah galau karena jauh dari pasangannya karena harus bekerja di lain tempat. Kemudian beberapa komentar meluncur dengan poin terpenting yang saya tangkap adalah : Follow your heart, dan Choose whatever makes you happy.
Sahabat saya itu semula mengangankan bahwa pekerjaan dan kota yang saat ini iya tinggali adalah salah satu dari impiannya. Mungkin dalam fase hidupnya pernah membayangkan betapa bahagianya bila suatu saat bisa mendapat pekerjaan dan tinggal di tempat itu. Tapi rasa memang mudah saja mengalami metamorfosa. Bagaimana ia gulana ketika mendapati dirinya tidak bahagia ketika harus jauh dari orang tercintanya.
Bahagia memang ternyata bermetamorfosa. Seperti juga hidup yang hampir tak pernah diam saja, tapi mengalir berjalan seiring waktu.
Dulu, saya tidak tahu rasanya lirik lagu “ tak perlu keliling dunia”, kini saya tahu. Mungkin dunia seseorang pun berubah saat menemukan dunia baru. Konsep dan bahagia yang baru. Melenturlah, kata hidup.
Tapi saya bersyukur bisa merasai dan mengatakan dengan mantap “tak perlulah aku keliling dunia” di saat saya merasa sudah (agak) cukup keliling dunia #kabuuur.
Humm hummm, bagaimana kalau kita keliling dunia bersama?
 

Rabu, 19 Maret 2014

Selamat Menujuh Rumahku



Tanpa  sengaja saya menghitung barisan tahun arsip posting blog saya, aih ternyata sudah hampir 7 tahun nge-blog tak terasa. Blog ini rasanya sudah seperti rumah, hampir setiap hari saya kunjungi laman ini dan terus memposting tulisan-tulisan saya. Dan rasanya saya cukup teratur untuk mengupdate posting tulisan-tulisan saya, terbukti dengan angka postingan per tahunnya yang lumayan stabil. Isinya pun semakin bervariasi (biar terlihat positif, daripada saya bilang semakin random) ehehe. Tapi apapun itu, saya sangat menikmati merawati rumah blog saya ini. Di sinilah saya bisa selalu “pulang” pada dunia yang saya cintai, melahirkan tulisan-tulisan saya, dan mencipta kenangan dengan segala cerita-ceritanya.
Mungkin memang benar, menulis itu melawan lupa. Bahwa ada sejarah panjang hidup saya bisa dilihat dari tulisan-tulisan saya. Gaya menulis, sudut pandang saya pun berdinamika seiring dengan pertumbuhan diri saya. Rumah ini adalah tempat dimana saya bertumbuh. Rumah ini juga adalah penyembuh. Karena bagi saya menulis terkadang adalah proses penyembuhan, proses penghiburan dan pelepasan. Selama hampir tujuh tahun menghidupi rumah blog saya ini, motivasi saya tetap sama yakni ingin menuliskan kata-kata yang lahir dari buah pikir dan rasa saya. Itu saja, dan saya bahagia karenanya. Proses menuliskan hal-hal yang saya sukai menerbitkan kebahagiaan yang sampai sekarang sulit terjelaskan. Mungkin memang bahagia tidak perlu dijelaskan, cukup bisa saya rasakan.
Rumah ini juga tempat yang nyaman untuk terus melatih kemampuan menulis saya. Karena saya paham menulis itu hampir sama saja dengan keahlian yang lain, akan tumpul bila tidak terus diasah. Dan pada tempat inilah saya dengan leluasa untuk memposting rutin tulisan-tulisan saya.
Akhir-akhir ini saya memang harus membagi waktu dan energi saya untuk beberapa hal. Saat ini, selain rumah blog saya ini, saya juga mengurusi website PPI Glasgow di www. ppiglasgow. org sebagai dewan redaksi. Kemudian saya juga mulai aktif mengirimkan tulisan-tulisan travel saya ke rubrik-rubrik travel di media cetak. Dan otomatis tulisan tersebut tidak bisa saya post di rumah ini dulu sebelum ada kabar dari media yang saya kirimi tulisan saya. Kadang-kadang bingung juga, mau nulis apa ya di blog pribadi ini? Hihi tapi nyatanya ada saja yang bisa saya tuliskan.
Kemudian rasa terimakasih juga saya haturkan pada para pembaca blog saya ini, yang menyempatkan waktu mampir membacai tulisan-tulisan saya. Tentu saja, tulisan saya menjadi hidup karena ada yang membacainya.
Selamat Menujuh Rumahku,
Di belakang, ada barisan cerita-cerita luar biasa. Hari ini pun sejarah tercetak istimewa, lalu mari lajukan langkah untuk menuliskan terus hal-hal penuh cinta.

Salam cinta
Glasgow, 19 Maret 2014.


Kamis, 13 Maret 2014

A Joy #B-Day Celebration

 
Pertambahan usia kali ini rasanya penuh dengan banyak kegembiraan. Saya memang tidak terlalu menganggap special momen seperti ulang tahun, tapi juga bukan berarti melupakannya. Ulang tahun bagi saya lebih kepada momen bersyukur bahwa Tuhan masih memberikan saya kehidupan untuk menjalani hidup dengan segala warna warninya. Untuk tahun ini saya rasanya hanya ingin menikmati setiap detik dengan segala kondisinya, enjoying the present. Menikmati dan hidup dalam kekinian, karena hidup yang sebenar benarnya hidup adalah detik ini, ini yang masih saya pelajari terus.
Masa lalu sudah lewat, walau kita masih bisa kembali kapan saja lewat kenangan. Masa depan masih belum terjadi, berat bila kita penuhi dengan kecemasan-kecemasan. Yang ada hanya saat ini. Detik ini dan helaan nafas yang masih dikaruniai Tuhan.
Bahagia. Bukan ketiadaan masalah dan nestapa, tapi sebuah pilihan rasa yang ingin saya pelihara. Lebih menerima segala kondisi yang mampir dalam hidup dengan lebih terbuka, mengurangi penolakan-penolakan pada hal-hal yang kurang disukai. Menikmati semua dinamika yang ada dan bersyukur akannya.
 
              
B-day Card from My Labmates
                         
Saya diberkahi dengan banyak kelimpahan oleh Tuhan, untuk itu saya harus lebih banyak pula bersyukur. Terimakasih pada keluarga yang selalu ada untuk saya, untuk pasangan saya yang mendampingi dengan penuh cinta, untuk sahabat-sahabat saya yang menyemarakkan hidup hingga penuh warna warni cerita.

Saya bahagia. Dan semoga kalian juga

Salam.
Glasgow yang sudah diintip musim semi.

Sabtu, 01 Maret 2014

Grow a Day Older




If everything has been written, so why worry, we say
It's you and me with a little left of sanity
If life is ever changing, so why worry, we say

Sepertinya aku harus mengepak kecemasan-kecemasanku. Mungkin serupa kecemasan akan kehilangan, atau mungkin barisan cerita tentang perpisahan. Selama hati masih bertaut, cerita berdua masih selalu ranum untuk kita rajut.

Having you close to my heart as I say a little grace
I'm thankful for this moment cause
I know that you
Grow a day older and see how this sentimental fool can be

Terimakasih.
Pada langkah-langkah seiring yang membuat kita beriringan
Pada gaduh kata, pada riuh tawa, kadang juga pada senyap kita.  
Pada waktu. Yang menggelar kisah masa lalu kita, yang memekarkan indahnya bersama kita kini, dan yang mencipta kuncup-kuncup harapan kita nanti.
Waktu cinta kita yang kian menua, berlajur-lajur peristiwa, berbaris baris cerita, dan cinta yang beralih alih rupa penuh dinamika.

When he ache his arms to hold me tight
When he picks up lines to make me laugh
Whan he's getting lost in all his calls
When we can't wait to say : "
I love you'

Tidak, aku tidak hendak berkata cinta dua manusia beda itu mudah. Kadang salah kata, salah makna. Bila laku tak sesuai mau. Bila harap tak terucap. Kadang kesal kadang geram.
Hanya Kadang,
Karena masih terlalu banyak bahagia yang mengada. Dan baris-baris usaha untuk mengerti maksud hati, untuk meredam emosi, untuk memeluk dan menyembuhkan luka dan kecewa. Cinta itu bunga mekar yang disirami. Bukan ilalang yang dibiarkan mati suri.
Aku, masih dengan hati dan jiwa yang menggengami hatimu
Yang tak bosan mengucapkan kalimat murahan sedunia seperti : Luv you!
Dan bertumbuh bersamamu.
Grow a day older with you.

(From Grow a Day Older-Dee)

Glasgow, 1 March 2014. Dini hari yang terasa hangat di musim dingin yang belum usai.

Jumat, 21 Februari 2014

Hadapi Rasa Sakitmu



Rasa sakit, seperti juga rasa senang , suka cita, cemburu, iri, bangga, pasti pernah menghampir dalam hidup kita. Siapa manusia yang tak pernah merasakan sakit?entah itu sakit fisik ataupun juga psikis. Mungkin tidak ada. Seperti ketika kemarin sahabat saya menyapa dengan cerita rasa sakitnya, mungkin itu wajar saja. Namun hal itu kembali membuat saya tertegun akan pelajaran rasa sakit.

“Apakah rasa sakit yang masih ada ini tanda aku belum ikhlas? Apakah bisa saja aku sudah ikhlas tapi tetap merasa sakit?” Racau sahabat saya tadi.

Saya terdiam sejenak, dan kemudian menimpali dengan stok kalimat-kalimat saya yang ada. Karena saya sendiri tidak tahu, sungguh tidak tahu. Tapi saya tahu kadang-kadang seseorang bercerita tentang sesuatu hanya butuh untuk didengarkan, bukan untuk meminta solusi. Belajar mendengarkan dengan sepenuh-penuhnya mendengarkan ternyata salah satu hal yang butuh belajar. Ah, apasih yang nggak butuh belajar? Jadi seringkali saya hanya mendengarkan dan menimpali dengan kalimat sebisa saya.

Ada rasa sakit yang begitu jelas kentara kutangkap dari cerita sekilas sahabat saya tadi. Sakit yang saya bicarakan di sini tentu saja jenis rasa sakit psikis. Saya melihat tanda-tanda luka traumatis yang kembali segar menganga. Saya pernah mengalami sejenis rasa sakit itu, walaupun setiap orang mempunyai alasan ataupun penyebab rasa sakitnya sendiri-sendiri. Dan yang sering saya temukan rasa sakit terkadang adalah tentang disagreement dengan diri sendiri. Mungkin tentang harap kita terhadap perlakuan seseorang yang tidak sesuai dengan mau kita. Mungkin tentang kejadian atau takdir yang kita kira tidak memihak pada kita. Mungkin tentang asumsi-asumsi yang kita buat sendiri terhadap orang lain, lalu secara bawah sadar menghadirkan rasa sakit.

Siapa yang paling sering membuatmu merasa sakit?

Ah sungguhlah kita harus berhati-hati dengan ini. Karena justru kita “merasa” orang yang paling kita cintai, paling kita kasihilah yang “kita kira” menyebabkan rasa sakit itu. Karena pengharapan kita yang tidak selaras dengan nyata.

Memang pernah saya baca tentang wacana life without expectation, karena dengan menghilangkan harapan (atau tidak berharap tenang apapun) akan menghindari kekecewaan saat harapan kita tidak sesuai dengan kenyataan. Menghindari kekecewaan atau sama halnya dengan menghindari rasa sakit.

Tapi personally, saya sudah terbiasa dengan harapan. Hidup, usaha, harapan, doa sepertinya sudah seperti irama nafas. Bagaimana hidup berjalan tanpa harapan? Jadi alih-alih menganut paham life without expectation, saya lebih memilih untuk menerima rasa sakit bila itu datang. Sekali lagi, ini adalah soal pilihan, dan saya memilih cara demikian.

Ada rasa sakit yang memang “penting” terjadi, ada kalanya ada rasa-rasa sakit yang “tidak perlu”. Apa bedanya?

Kalau kita merasa gampang sekali tersinggung dengan perkataan ataupun perbuatan orang lain? Mungkin kita masih gampang diserang rasa sakit-sakit yang tidak perlu. Don’t take anything personally. Tidak ada yang pernah bisa menyakitimu tanpa seijinmu. Sebuah kalimat sederhana yang bagi saya dalam maknanya. Orang boleh berkata atau bertindak apapun, tapi kalau engkau bersikap Don’t take it personally, maka apapun aksi orang lain tidak akan mempengaruhimu. Namun manusia biasanya terpengaruh terhadap apapun ucapan atau tindakan orang-orang yang kita kasihi, kita cintai. Itulah mengapa orang yang paling berpotensi menyakiti kita adalah orang-orang yang dekat dengan kita. Namun paling tidak, dengan memilih sikap Don’t take anything personally terhadap paparan-paparan orang-orang lain akan mengurangi banyak rasa sakit yang tidak perlu.

Dalam menghadapi rasa sakit tersebut, manusia secara alami cenderung untuk menolak rasa sakit, dan menerima rasa sukacita. Ada satu hal yang saya pelajari dari respon manusia menghadapi rasa sakit yakni penolakan terhadap rasa sakit itu.”Denial system” dari diri yang bekerja untuk menolak rasa sakit, atau bahkan berpura-pura bahwa rasa sakit itu tidak ada dengan cara berlari atau menghindar dari rasa sakit tersebut. Saya melihat banyak manusia yang melakukan sistem ini, termasuk saya pun pernah melakukan ini kala diserang rasa sakit.

Lalu bagaimana menghadapi rasa sakit yang memang mengada? Kita sebagai manusia pastilah pernah merasakan sejenis rasa sakit itu. Seperti juga sahabat saya tadi.

Entah kebetulan atau tidak, saya tengah menghadapi rasa sakit juga. Tapi bedanya dengan sahabat saya tadi, saya merasai sakit fisik yakni kaki kanan saya sakit untuk berjalan. Sudah sekitar seminggu, telapak kaki saya terasa sakit bila menapak tegap lurus dengan tanah. Saya sendiri tidak tahu asal muasal kenapa bisa sakit seperti itu. Beberapa hari ini, karena hampir setiap hari saya harus jalan kaki kemana-mana, maka saya “menghindari” rasa sakit itu dengan memposisikan telapak kaki saya tidak benar-benar semua menapak tanah, tapi menumpu pada bagian yang bila saya memposisikan seperti itu tidak terasa sakit. Begitu terus dan terus, saya menghindari rasa sakit saat berjalan, karena di sini fungsi kaki benar-benar terasa  untuk pergi kemana-mana. Tapi ternyata hal itu hanya membuat saya tidak merasa sakit saat berjalan, tapi saat saya kembali memposisikan kaki dengan posisi normal, rasa sakit itu tetap ada. Tidak berkurang sedikitpun.

Saya menjalankan denial system untuk menghindari rasa sakit saya itu. Dan ternyata rasa sakit itu tetap ada. Hari ini saya berkata pada kaki saya, “mari kita hadapi rasa sakit ini”, kemudian berjalan dengan posisi normal. Memang masih sakit, tapi saya tetap dengan posisi itu, menerima rasa sakit. Walaupun tentu saja kecepatan jalan saya tak secepat biasanya, tapi saya belajar menerima rasa sakit tersebut. Apa yang terjadi ternyata mengejutkan, rasa sakit itu berangsur-angsur mereda walaupun masih ada. Mungkin kaki semakin terbiasa, atau entahlah apa yang terjadi tapi saat saya memutuskan untuk menerima dan menghadapi rasa sakit itu, sakit itu justru mereda.

Mungkin hal ini sama hal dengan rasa sakit psikis yang mungkin kita hadapi. Menerima rasa sakit dan menghadapinya, walau mungkin dengan perlahan-lahan. Mungkin akan meredakan rasa sakit, daripada menghindarinya namun tak disadari sakit itu berkerak dan terus berkerak. Sakit itu berkarat, terekam dalam memori yang mudah sekali menganga lagi bila ada kejadian yang memicunya kembali. Belajar menerima rasa sakit, menghadapinya atau mungkin juga kadang membutuhkan pemaafan. Maaf pada orang lain, keadaan dan pastinya maaf terhadap diri sendiri.

Rasa sakit akan hadir kapanpun, belajar merespon rasa sakit akan lebih menentramkan rasanya. Walaupun terkadang apapun pelajaran yang kita rasakan sebelumnya, saat paparan yang lebih besar dan berat datang, kita rasanya lupa seluruh pelajaran sebelumnya. Tapi saya yakin, pelajaran-pelajaran itu akan membuat kita lebih cepat meredakan rasa sakit atau rasa-rasa yang tidak mengenakkan lainnya. Semoga.

Mari terus belajar, bersama.

“Aku tak peduli atas keadaan susah atau senangku karena aku tak tahu manakah di antara keduanya yang lebih baik untukku (Ummar bin Khatab)

Kapan sampai pada rasa yang telah berhasil dirasai oleh khalifah Umar bin Khatab ini? Tidak akan sampai bila kita tidak terus berjalan ke arahnya.

Salam,

Glasgow, 21 Feb 2014.

Selasa, 11 Februari 2014

Apalagi yang Kau Cari? #Sebuah Tanya



Di tengah dunia yang riuh rendah ini, pernahkah kalian ditanya ataupun menanyakan sebuah pertanyaan pada dirimu sendiri? Apalagi yang kau cari?
Bahasan ini tiba-tiba kembali mengemuka saat saya iseng melihat video-video tayangan di Youtube, yang menampilkan talkshow bersama Gede Prama. Saat beliau ditanya oleh pembawa acaranya, dengan pertanyaan, “Apalagi sih yang dicari dari seorang Gede Prama?”
Dan  baris-baris berikutnya adalah jawaban yang begitu mencerahkan. Mungkin kurang lebihnya saya kutip demikian :
            “ Hidup saya dibagi menjadi dua tahap, pencarian ke luar dan pencarian ke dalam. Saya tidak bilang pencarian ke luar tidak bagus, bagus. Saya mencari hal-hal untuk membiayai sekolah anak saya dan lain sebagainya. Namun ada waktunya, saat turning point terjadi..ada rasa berkecukupan. Jadi pertanyaan "apalagi yang dicari" sudah tidak relevan lagi. Semuanya terasa cukup,” begitu jawab beliau dengan suaranya yang teduh.
Saya mengenal cara berpikir dan cara pandang beliau sudah cukup lama. Tepatnya saat studi S2 di Jogya saya banyak membaca dan mengoleksi buku-buku beliau. To be honest, saya bukan seorang yang terlalu religius, tapi semenjak dulu memang selalu haus dengan hal-hal pencarian spiritual. Sejak dulu saya merasa bahwa saya butuh untuk belajar untuk memahami hal-hal yang tidak nampak di permukaan. Hal-hal di samping rutinitas dan tuntutan stigma masyarakat, tentang pencarian makna hidup, tentang kebahagian, tentang nilai sukses. Bukan untuk sok-sokan, tapi lebih untuk usaha untuk mengenal diri sendiri. Setiap diri, ada raga, ada pula jiwa. Saya ingin belajar menghidupi keduanya dengan seimbang. Selain belajar dari pengalaman, tentu saja saya belajar dari buku-buku dan dari orang-orang lain. Itulah kenapa saya suka membacai karya Paulo Coelho, menyimak kalimat-kalimat pencerah Gede Prama ataupun telaah-telaah dari Bapak Quraish Shihab. Hidup ini adalah belajar dan belajar, termasuk belajar untuk mengenal dan mengerti diri sendiri.
Saat tahun demi tahun terlewat, saat kejadian demi kejadian dalam hidup berjalan, diri juga bertumbuh.
Apalagi kau cari?
Gelar, Materi, status..?  Ada banyak hal-hal yang bila kita lihat dari nilai substansi akan membawakan sudut pandang yang berbeda.
            “Pa, what do you term by happiness?” begitu tanya putri Gede Prama, saat beliau bercerita.
       “ Inner Contentment, juga pada rasa berkecukupan, saya merasa sangat berkecukupan, sehingga pertanyaan apa yang dicari sudah tidak lagi relevan. Tugas saya berikut adalah berbagi pada orang lain,” jawab beliau.
Ah, sungguh menentramkan dan mencerahkan. Rasa berkecukupan bukan berarti semuanya telah dimiliki, tapi terletak pada rasa syukur dan penerimaaan yang dalam. Sungguh saya ingin sekali belajar untuk mencapai tahapan tersebut.
Tuhan telah memberikan banyak sekali anugerah pada saya. Apalagi yang saya cari? Tanya saya pada diri saya sendiri.
Pasangan? Anak? Rumah? Materi? Karir? Kesuksesan? Apalagi..tidak pernah cukup. Dunia tidak sempurna bila harus sesuai dengan semua apa yang kita inginkan. Tapi dunia sempurna bila disertai dengan penerimaan, dengan rasa berkecukupan.
Saya dikaruniai Tuhan bertemu dengan seseorang yang penuh kasih, menemukan cinta, dan membuat saya merasa bahagia lebih dari apa yang pernah saya bayangkan sebelumnya. Saya dititipi anak-anak yang walaupun bukan lahir dari rahim saya, tapi telah dianggap ibu. Ibu yang belajar mendengarkan apa-apa yang mungkin mereka sungkan untuk berbicara pada ibu mereka, semoga memberikan pembelajaran bagi saya untuk menjadi ibu dari anak-anak saya kelak, bila diberikan titipan Tuhan. Rumah, secara fisik saya belum mempunyai rumah fisik yang tetap tapi Tuhan memberi saya rumah dimana-mana. I’m home, I’m home. Rumah hati saya. Saya diberikan keluarga yang hangat yang selalu menjadi tempat yang nyaman untuk pulang, sahabat-sahabat yang pengertian dan perhatian. Ada banyak sekali anugerah-anugerah lain dari Tuhan  yang terlalu banyak untuk saya sebutkan. Tuhan sungguh Maha Pemurah, Maha Pengasih dan Penyayang. Kalimat yang sering kita sebut-sebut dalam ayat-ayat kitab suci itu mungkin akan lebih terasa bila lebih dipahami dalam jalur-jalur pengalaman, “mengalami” dan menyadari.
Hari ini saya kembali diingatkan untuk belajar mencukupkan, belajar penerimaan, belajar untuk bersyukur. Tugas saya selanjutnya adalah membayar kasih-kasih semesta yang telah diberikan pada saya. Mengabdi pada bumi ini, pada sang Pencipta semesta ini.
Salam

Glasgow, 11 Februari 2014.

Kamis, 06 Februari 2014

Mari Mencicipi Tahu Campur



Saya penggemar berat masakan Indonesia, jadi masakan-masakan yang sering saya coba juga sebagian besar masakan Indonesia. Lidah nggak bisa bohong, mungkin kalimat itu ada benarnya. Lidah dan perut saya walaupun sudah menjelajah kemana-mana, tetap saja selera Indonesia. Seperti juga resep kali ini, super Indonesia banget. Ada yang menyebutnya tahu masak, tahu campur, atau berbagai macam nama-nama lainnya. Saya mungkin lebih ingin menamainya tahu campur, karena tahu dicampur campur ehehe.
Dulu di Indonesia juga saya sering membuatnya, dengan bahan-bahan yang sangat mudah didapat. Namun di Glasgow, kadang-kadang membeli bahan-bahannya yang tidak bisa sewaktu-waktu. Beli tahu naik bis ke city center ehehe. Sebenarnya untuk membuat tahu campur ini sangat sederhana dan simpel.
Bahan-Bahannya :
1  Tahu putih, dipotong dadu kemudian direndam dalam air garam+bawang putih sekitar 5 menit, lalu digoreng sampai kekuningan
2. Kentang dikukus, kemudian dipotong dadu
3. Telur direbus dengan dibubuhi sedikit garam, kemudian kupas kulitnya dan dipotong sesuai selera
4. Kecambah direbus sebentar saja, ditambah garam sedikit untuk perasa
5. Boleh ditambah bahan-bahan lain seperti tempe dipotong dadu, direndam bumbu garam+bawang lalu digoreng kekuningan. Bisa juga wortel, direbus dan dipotong sesuai selera. Pokoknya paduan yang pas boleh dicampurkan, namanya saja tahu campur.
Bumbu yang dihaluskan :
1. Kacang tanah yang digoreng
2. Bawang putih
3. Cabe rawit merah
4. Gula merah
5. Garam

*berapa banyaknya sesuai selera masing-masing ya ahaha *disambit yang baca
 Bumbu dihaluskan kemudian dicampur dengan air panas sampai encer.
 Cara penyajian :
Tata bahan-bahannya di piring kemudian tambahkan bumbu yang sudah diencerkan, kemudian tuangkan kecap sesuai selera. Taburi dengan bawang goreng (di fotonya bawang gorengnya kelupaan ahaha, sudah keburu lapar).
Mudah bukan? Saya sih suka membuat tahu campur ini sebagai variasi menu, maklum di Glasgow nggak ada abang-abang keliling jualan bakso, siomay, tahu campur, mie ayam dll hihi. Oh ya salah satu tips kalau ribet bikin bumbu halusnya, bisa pakai sambel pecel. Biasanya saya encerkan sambel pecel, kemudian ulek bawang putih dan cabai rawit mentah kemudian tambahkan pada bumbu pecel tersebut. Bawang putih dan cabai rawitnya mentah ya, jangan digoreng karena menurut saya rasa tahu campur yang khas adalah bumbunya yang merupakan paduan aroma cabe rawit mentah dan bawang putih tersebut.
Demikian resep sederhana dari dapur Hillhead.
Sajikan masakan istimewa penuh cinta untuk orang-orang tercinta kita.
Salam,
Glasgow, 6 Februari 2014
#Plate of Love-#Resep dari dapur  Hillhead