Rabu, 10 Juni 2015

Refleksi Garscube dan Secangkir Kopi



Tiba-tiba saja saya ingin berpindah jendela, dari jendela file thesis saya ke jendela ini. Terdistract lagi? Heheh. Enggak, saya lebih suka mengatakannya mengambil jeda sejenak, akhir-akhir ini aktivitas saya tidak jauh dari file-file thesis yang harus saya selesaikan segera. Sungguh menguras energi, maka kalau sedang tidak menulis tesis saya biasanya lebih suka istirahat, masak, makan, dan tidur. Makanya lama ya tidak menulis blog *ahah alasan lagi.
Tapi sore ini saya ingin mampir ke sini sejenak, menaruh selintasan-selintas pikir yang banyak melintas hari ini. Biasanya kalau banyak yang berseliweran di kepala, saya jadi “penuh”, maka demi kesehatan jiwa raga saya lebih suka menuangkannya dalam bentuk tulisan. Makanya menulis itu semacam kebutuhan (note : tapi bukan sejenis tulisan ilmiah seperti tesis atau paper/jurnal ilmiah ya).
Sore ini saya masih asik di depan komputer di lab saya di daerah Garscube, ditemani secangkir kopi yang sudah dingin. Saya membuatnya tadi siang kala menikmati santap makan siang menghabiskan bekal saya.
Ada suatu hal hari ini yang membuat hati saya sedikit tersentil sentil. Manusia, kadangkala memang layaknya membutuhkan penghargaan dari orang lain. Ada keinginan-keinginan normal manusia yang kadang muncul walau dalam bawah sadar kita. Manusia itu suka dipuji, dihargai, diacknowledge kehadirannya di publik dan sebagainya. Dan hari ini saya belajar,
            “ Kalaupun tidak ada orang pun yang tahu, kalaupun tak disebar di media sosial ataupun di ranah publik. Akankah kamu tetap melakukan apa yang ingin kau lakukan? Apakah tindakan-tindakanmu itu membutuhkan pengakuan?
Ah, manusia. Bukankah kamu bisa mengukur ketulusan dan keikhlasanmu saat hanya segelintir orang yang tau? Bukankah tindakan-tindakan yang kamu lakukan sejatinya itu untuk dirimu sendiri?. Melakukan yang terbaik yang bisa kamu lakukan. Setelah itu, apakah engkau masih membutuhkan pengakuan dari orang lain? Hingga jangan-jangan mungkin saja kau melakukannya demi pengakuan orang lain, demi puja puji dan sebagainya?
Kalimat di atas itu ditujukan untuk diri saya sendiri.
Ada satu detik di hari ini, pertanyaan itu datang pada saya. Dan pada akhirnya saya tersenyum, hari ini saya belajar tentang ketulusan.
Akhir-akhir ini saya juga belajar beberapa hal lainnya. Salah satunya Stop comparing yourself to others. Ini sebenarnya pelajaran sudah lama sekali. Tapi butuh latihan yang terus menerus, butuh diingatkan lagi. Hidup kita sehari hari dipenuhi polusi, seperti halnya polusi media, polusi dari ponsel kita dan sebagaimannya. Si X upload blab la, Si Y share link bla bla, ada yang media war, ah banyak sekali hal yang berseliweran dan hidup kita tiap harinya. Kita memang perlu sering rejuvenating diri, biar nggak kehabisan energi ehehe. Itulah sebabnya banyak pelajaran-pelajaran yang harus kita latih terus menerus. Salah satunya itu tadi, berhenti membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Melihat si X upload foto keluarga harmonis, foto-foto liburan bersama pasangan, si Y anaknya sudah masuk SD bla bla dan lain sebagainya. Ada satu titik yang kadang secara bawah sadar, akan membandingkan diri dengan orang lain.
Orang yang belum menikah kadang merasa terintimidasi dengan upload-an/share orang yang sudah menikah. Orang yang belum mempunyai keturunan pun bisa terintimidasi dengan postingan foto-foto anaknya sahabat atau orang lain. Orang yang ukuran kebahagiaannya diletakkan pada harta akan merasa iri kalau ada orang yang lebih kaya, lebih makmur dan sebagainya. Dan banyak lagi lainnya.
Sebenarnya jatuhnya jadi tidak baik, karena muncul iri. Namun ada sepersekian detik selintasan rasa tersebut kadang hadir. Inilah yang perlu latihan  terus menerus. Melihat perjalanan dan banyak sekali keberkahan Tuhan yang diberikan pada diri ini, dan melihat perjalanan orang lain sebagai teman seperjalanan yang beda jalur. Setiap orang ada jatahnya sendiri-sendiri. Bukan membandingkan ladang orang lain lebih “hijau”, lebih subur dan sebagainya, namun berupaya melihat betapa hijau dan suburnya ladang kita sendiri. Dan berupaya untuk membuat ladang kita lebih hijau dan lebih subur lagi hihi. Tuhan memberikan kelebihan juga pada hal-hal yang berbeda beda tiap orangnya. Memang benar sih, kuncinya itu lebih banyak bersyukur pada apa yang telah kita punyai.
"If you are content with what you have, you will have a happier life," 

(Robert Walker)
Rasanya cukup terus. Dan memang terasa lebih melegakan, membebaskan. Semoga terus menerus diingatkan untuk berlatih.
Yang kedua, saya sering kali diingatkan untuk “Don’t take everything for granted”. Apa ya enaknya dalam bahasa Indonesianya. Mungkin jangan menganggap apa yang ada padamu, apa yang kamu peroleh, apa yang Tuhan berikan padamu itu sebagai hal yang biasa saja. Ada beberapa hal yang biasanya kita anggap “biasa” saja  lama-lama akan kehilangan keistimewaannya. Apakah kamu merasa mulai biasa saja kala bersama pasangan? Tidak sadar bahwa setiap saat selalu berharga, kamu tidak tahu kan Tuhan akan kasih kamu kesempatan sampai kapan? Begitu pula kontak dengan orangtua, saudara, sahabat. Sampai kapan kamu diberi waktu bisa berupaya berbakti pada orangtua?
Ketika sahabat kamu masih setia mendengarkan cerita, masih sempat menyapa di sela-sela kesibukannya, itu istimewa. Ketika mulai menerapkan “Don’t take everything for granted”, bersyukur jadi lebih ringan dan mudah. 
Ah, manusia itu sering lupa. Maka sebenarnya kalimat-kalimat di atas seringkali sebenarnya untuk pengingat diri sendiri. Kadangkala membuka-buka tulisan lagi, lalu merasa ditampar-tampar tulisan sendiri. Tapi mungkin itulah salah satu kegunaan tulisan, sebagai pengingat.
Mari terus berjalan dengan perjalanan tiap kita masing-masing.

Glasgow hari ini cerah, langitnya biru. Memang lebih enak ke luar dan berjemur di bawah matahari, namun saya harus melanjutnya tulisan tesis saya.
Salam, Garcube 10 June 2015


Selasa, 02 Juni 2015

Yuk Intip Blog Baru Saya : Kreasi Mars

Blog baru saya, tapi pas pake template lama, sekarang udah ganti hihi yuk sila diintip



Ternyata postingan bulan Mei di blog ini cuman segelintir doang yah ehehe, padahal ada banyak yang kepengen ditulis. Mungkin gara-gara saya bikin blog baru di sebelah. Bulan Mei kemarin saya bikin blog baru loh, ehehe..saya sebenarnya nggak begitu pinter bagi bagi waktu untuk mengelola beberapa hal dalam satu waktu. Lumayan multitasking sih seperti kebanyakan perempuan *dibanding laki-laki ahaha, tapi tetep saja kadang susah bagi-bagi waktunya. Terbukti bikin blog baru di sono, eh blog yang di sini postingan menurun ahah.
Lahirnya blog baru itu sih gara-gara kalau nulis tentang masakan atau crafting di blog ini kok rasanya aneh, nggak nyambung, walaupun sebenarnya blog inipun isinya random. Tapi kebayang saja kalau lagi pengen bikin postingan resep berturut-turut trus ditaruh di blog ini kok rasanya janggal. Dan dulu juga pas kadang-kadang posting resep masakan ada yang protes, kok isinya resep masakan mulu hihih.
Berhubung hobi masak sedang meningkat serta tambah random dengan kadang suka bikin craft-craft, makanya pengen bikin blog baru. Kali ini mencoba memakai wordpress, biar ganti lah dengan blogger (baca : kayaknya wordpress lebih gampang dimasukin iklan *wink wink) ahaha. Tapi belum kesanalah, berproses. Ini juga masih belum dipindah ke domain dot com, nanti-nantilah melihat perkembangan, kira-kira rajin enggak update-nya LOL.
Tujuan bikin blog baru ini sebenarnya super sederhana, pengen mendokumentasikan hasil masakan atau kreasi craft saya. Masih jauh lah dari obsesi bikin blog masakan kesayangan saya seperti www.justandtry.com atau www.diahdidi.com, ih keren banget deh mereka. Tujuan bikin blog itu masih sesederhana pengen dokumentasikan resep-resep favorit saya aja, biar nggak usah cari-cari lagi, tinggal buka blog sendiri dan siapa tau juga bisa bermanfaat bagi pengunjung blog. As simple as that sih. Enggak muluk-muluk.
Oh iya, daritadi ceriwis tapi belum dikenalin blog baru-nya. Blognya di www.kreasimars.wordpress.com. Masih belum rapi sih rumahnya, kudu belajar banyak ngotak atik wordpress juga. Kudu bagi-bagi waktu juga dengan blog kesayangan ini biar tetap update dua-duanya. Monggo lho ya, kalau mau intip intip blog baru saya. Kalau banyak yang ngintip kan saya jadi semangat update dan semangat masak ehehe.

Salam blogger 
 

Jumat, 22 Mei 2015

Karena perjuangan harus terus dilanjutkan



              “ Minggu depan si Pearce udah nggak di lab lagi. Berhenti dari PhDnya,” cerita Mas Basid beberapa hari lalu.
Saya agak kaget mendengarnya. Berhenti? Si pearce baru menginjakkan tahun pertama PhDnya. Saya agak lupa apa pernah ketemu apa enggak dengannya. Dulu saat lab saya masih di sekitar Main Building, kadangkala saya bergabung dengan group lab mas basid untuk makan siang bersama. Beberapa saya kenal dengan cukup baik. Tapi Pearce, saya tidak terlalu mengenalinya. Hanya saja, namanya sering disebut-sebut ketika Mas Basid bercerita tentang suasana labnya.
            “ Depresi katanya,” Begitu jawab mas basid ketika kutanya alasan kenapa Pearce berhenti dari studi PhDnya. Phew depresi, terdengar menyeramkan sekali. Seberat apakah depresi yang dialaminya sehingga harus berhenti dari PhDnya?
Laki-laki pula, saya masih agak aneh mendengar ada laki-laki yang depresi heheh.
Beberapa bulan lalu, seorang rekan di lab saya juga berhenti di tahun pertamanya, karena alasan apa saya kurang tahu pasti. Tapi yang jelas semenjak awal dia memang angin-anginan. Ah benarkah mahasiswa PhD rentan depresi? Ahaha.
Yang jelas bagi saya, jenjang studi doktoral ini terasa yang paling berat di antara jenjang studi saya sebelumnya yang relatif sangat mulus. Untuk jenjang PhD ini memang banyak hal yang membuatnya super berwarna. Perjalanan yang hampir self-guidance inilah yang membuat kita seperti berperang dengan diri sendiri. Kapan mulai, kapan harus berprogres, mau kemana riset kita? seberapa cepat kita berprogres? Sampai dimana batasnya? Kapan mau selesai? Hampir semua ditentukan oleh diri sendiri, hingga kadangkala seperti sebuah perjalanan panjang dan sunyi.
            “Bulan depan, kayaknya aku sekeluarga mau pulang ke Indo, duitnya sudah tidak cukup lagi,” kabar itu membuat dada saya sesak mendengarnya. Akhirnya dia memutuskan untuk pulang. Dia sahabat sekaligus rekan seperjuangan saya sesama Diktiers di UK tetapi di lain kota.  Sering kali berbagi keluh kesah bersama, yang seringnya adalah keluh kesah administrasi dan beasiswa.
Kami berdua sama-sama belum diterima aplikasi perpanjangan beasiswa tahap ke 2. Dia tinggal di UK bersama keluarganya yang membuat biaya hidup lebih berat untuk ditanggung. Iya, biaya hidup di Uk sangat mahal, memang berat bila tanpa sokongan uang beasiswa. Akhirnya dengan persetujuan supervisornya, dia akan melanjutkan writing up di Indonesia kemudian kembali ke UK saat viva (ujian akhir doktoral).
Walau begitu, saya merasa sedih juga dengan rencana kepulangan sahabat saya itu. Meskipun nasib saya sendiripun belum pasti entah sampai kapan bisa bertahan ahah.
            “Kita selesaikan apa yang telah kita mulai,” kalimat ini sering kami ucapkan satu sama lain kala seringkali beban studi meninggi.
Karena perjuangan yang terus dilanjutkan, mari tetap mengalirkan energi pada jalan-jalan usaha. Pada ikhtiar-ihktiar, pada doa-doa.
Tuhan selalu memberikan kemudahan. Setahu saya, Dia Maha Baik.



Salam.Glasgow. 22 Mei 2015

Rabu, 20 Mei 2015

Jualan Bakso dan Sate Lilit di Pasar Hari Glasgow







Dari dulu saya berpikir kalau saya ini nggak “bakat” jualan. Aneh rasanya kalau nawarin barang atau apalah gitu namanya. Padahal orangtua saya sejak dulu berbisnis apa saja yang bisa dilakukan. Mulai bikin dan jualan telur asin, usaha ternak ayam, ternak ikan lele, usaha eternit, sablon, percetakan, rias pengantin dan lain lainnya. Di rumah sudah terbiasa dengan usaha yang dijalankan bapak ibu untuk bisa membiayai kami sekolah. Karena bila hanya mengandalkan gaji bapak saya yang PNS saja pastinya kurang untuk biaya hidup dan pendidikan kami bertiga bersaudara. Dan sungguh saya salut dengan kerja keras dan perjuangan orangtua saya demi anak-anaknya *huhuk terharu jadinya.
Akhir-akhir ini saya pengen menantangi diri sendiri untuk bisnis kecil-kecilan. Apalagi memang kepepet dana juga karena udah nggak dapat beasiswa lagi. Untuk biaya hidup di Glasgow sampai selesai studi belum kebayang dapat dari mana heheh. Dulu pernah saya jualan tempe dengan order tempe dari Manchester lalu saya jual lagi ke anak-anak di Glasgow. Tapi ini sporadis banget karena kulkas flat kecil mungil, nggak bisa nyimpen tempe banyak jadi harus habis dalam waktu cepat.
Nah kali ini ada acara Pasar Hari Glasgow, komunitas Malaysia yang menyelenggarakannya. Memang sih warga Malaysia banyak sekali yang ada di Glasgow ini. Akhirnya saya tertarik untuk ikut jualan, dan mengajak teman saya Yangie untuk share-lapak. Satu lapak terdiri dari dua meja, nah jadi kita bisa satu meja satu meja dan lebih murah untuk sewa stallnya. Saya memutuskan untuk jual sate lilit, bakso kuah, nastar, kastangel dan handmade brooch.
Saya sudah beberapa kali membuat sate lilit untuk sajian publik misalnya saja untuk acara konsumsi pengajian ataupun BBQ anak-anak PPI. So far sih komentarnya enak hihih. Kemudian untuk bakso, ini pertama kalinya saya publish bakso buatan saya untuk publik *halaah ahaha. Biasanya dimakan sendiri atau kalangan temen-temen dekat saja. Kali ini sudah pede untuk menjual karena saya rasa sudah bisa membuat bakso yang kenyal dan rasanya cukup maknyus. Kisah membuat bakso ini mengalami perjalanan trial and error serta kegagalan demi kegagalan sampai akhirnya nemu cara untuk bikin bakso kenyal. Intinya memang sih jangan berhenti belajar. Berkat banyak browsing kesana kemari karena penasaran untuk bisa bikin bakso kenyal dan enak, akhirnya jadi juga---dan berasa sebuah prestasi *ahaha halooo mahasiswa PhD :D
Untuk cookies nastar dan kastangel nekad aja sih jualnya hehe, karena sebenarnya saya belum terlalu ahli urusan per-cookies dan kue-an. Jarang saya bereksprimen karena memang tidak terlalu suka kue, lebih suka bereksperimen masakan tradisional Indonesia yang nampol di lidah.
Nah ternyata yaaa, pengalaman masak sendiri dan dijual memang seru. Karena capek dan ribetnya lumayaaan. Masak sistem kebut semalam bikin bakso dan sate lilit sekitar masing-masing 40 porsi lumayan bikin badan pegal-pegal. Dan sampai akhirnya satu tray sate lilit gosong karena saya ketiduraaaaan hihih. Sampai jam 2 pagi saya masih memanggang satu tray sate lilit terakhir plus menunggu nasi untuk bikin lontong di rice cooker. Eh sembari leyeh-leyeh, tahu-tahunya pas bangun udah jam 3 pagi. Dan ketika menengok oven, gosonglah satu tray sate lilit heheh.
Acara dimulai Sabtu, 16 Mei jam 2 siang. Dibantu sama mas basid yang dengan berbaik hati menjadi seksi angkut-angkut barang. Yang ribet tentu saja membawa microwave dan kuah bakso. Kuah bakso dimasukkan ke dalam botol-botol air minum 2 literan lalu nanti dituang ke wadah untuk dipanaskan di tempat acara, begitu rencananya.
Sampai di tempat acara jam 2 lebih ternyata venue sudah ramai orang. Ketika sampai di ruangan, orang-orang sudah ramai membeli dagangan lapak-lapak yang tersedia. Sementara saya mencari meja jatah lapak saya tidak ketemu-temu. Tidak ada tulisan atas nama saya atau Yangie. Akhirnya setelah mengontak panitia, ketemu juga meja untuk saya.
Rencana untuk mengalasi meja dengan kain cantik, menata dagangan rapi dan mengeluarkan kertas tulisan nama masakan serta harganya pun bubar. Begitupun rencana narsis di antara jualan saya gagal sudah. Karena ternyata begitu sampai, orang-orang sudah mengantri mau beli. Ahahaha jadilah hectic sendiri, untung ada mas basid untuk berubah jadi asisten yang melayani pembeli juga. Beberapa pesanan yang pre-order disimpan untuk menghindari kehabisan stok.

Suasana Pasar Hari Glasgow, foto diambil dari Fanpage-saya nggak terlihat ahaha ada di sebelah kanan :D

Dan ternyata sate lilit dalam waktu sekejab sudah ludes. Humm seharusnya bikin lebih banyak lagi. Tapi yaaa, mana tau bakalan selaris ini pembelinya. Bahkan pas masak saya kepikiran “ini masak sebanyak ini ntar ada yang beli nggak ya?”
Tapi alhamdulillah laris manis. Dan lebih senang lagi sih kalau si pembeli suka dengan makanan yang saya jual.
Ada yang menghampiri saya nanya masih ada nggak nastar (pinneaple cookies)nya, namun sayangnya stok saya cuma beberapa pack saja dan sudah habis, kebanyakan sudah diorder. Dia nyobain nastarnya dari Mbak Desita yang beli dari saya juga trus setelah nyicip, jadi pengen beli juga. Dan sayangnya nastarnya sudah habis.
Sekitar jam 4 lebih, pengunjung sudah mulai sepi karena hampir semua makanan habis. Wah ternyata ini orang Malaysia suka jajan juga. Mereka membeli banyak-banyak, ada yang makan di tempat atau pula yang dibawa pulang.
Ah alhamdulillah, ini pengalaman jualan langsung pertama saya hehe dan laris manis. Keuntungannya setelah dikalkulasi dengan bahan-bahan untuk membuatnya ternyata sangat lumayan. Bisnis makanan kalau laris memang menggiurkan ternyata ya.
Hari ini saya memutuskan untuk mendaftar book lapak di Bazar Ramadan selama 4 kali di Edinburgh. Walau jauh di luar kota, tapi mungkin inilah saatnya perjuangan harus dilebihkan. Jalani saja, nikmati saja. Mungkin suatu saat bisa dikenang dengan senyuman hehe, berjuang menyelesaikan S3 dengan jualan sate dan bakso ahaha.

Salam semangat dari Glasgow.



 


Senin, 11 Mei 2015

Ngamen Nari Saman di Buchanan Street, Glasgow

Terimakasih pada semua tim pendukung acara ini 

Kadang-kadang ada banyak hal besar yang terjadi “hanya” berawal dari iseng-iseng atau candaan belaka. Yang membedakan apakah hal tersebut bisa terwujud atau tidak hanyalah soal kemauan dan keseriusan kita. Hal ini kembali saya sadari setelah acara Saman Street performance a.k.a ngamen di Buchanan Street kemarin sabtu akhirnya terwujud dan berjalan lancar.
Tadinya cuma berawal dari candaan kami dan angan-angan kosong pas kumpul latihan nari saman untuk pentas di acara ASEAN-China Day di University of Stratclyde.
            “Eh, kapanlah kita tampil nari di Buchanan street gituu,” celetuk salah seorang dari kami. Dan kemudian disambut dengan antusias oleh anggota samaners lainnya. Tapi candaan itu kami anggap angin lalu belaka. Pengen sih, tapi sekedar becandaan iseng--begitu pikir kami tadinya.
Buchanan Street itu jalanan pusat kota yang ramai dengan lalu lalang orang-orang, kanan kirinya toko toko pusat perbelanjaan. Tempat itu relatif selalu ramai, apalagi pas weekend. Biasanya di sepanjang jalan ada yang ngamen seperti group Caledonia dengan atraksi khas ala Skotlandia dengan seragam kilt dan bag pipe mereka, ataupun juga pertunjukan lain sering saya lihat di Buchanan Street.
Ide ngaman nari saman sebetulnya seru juga, cuma gimana caranya bisa ngamen di sana kami nggak ngerti. Bagaimana perijinannnya, peraturannya, seragam samannya yang kami nggak punya, dan hal-hal lainnya.
Tapi memang benar, kadang-kadang hanya perlu kemauan dan keseriusan untuk membuat hal yang kita rencanakan terwujud.
Kemarin sabtu, 10 Mei 2015 sejarah tercetak dengan penampilan tari saman pertama kali di jalan (semacam street performance) di Glasgow. Finally We did it!
Begini ceritanya, ide tampil di Buchanan kembali muncul pas usai acara ASEAN-China Day ketika upload foto-foto trus terlontar lagi ide tampil di Buchanan. Tujuan awalnya untuk mempromosikan kegiatan Indonesian Cultural Day yang dilaksanakan Tanggal 18 Mei 2015. Alhamdulillah, Pak Nasir (salah seorang senior kami di sini) menyambut ide ini dengan kesediaan beliau untuk mencari informasi ke Glasgow city council, tanya tanya rekanannya tentang ijin street performance di Buchanan Street. Kemudian Ema, salah satu samaners-menjadi ketua acara ini-dan menindaklanjuti acara yang awalnya cuma iseng-iseng. 



Tujuan awal untuk mempromosikan ICD pun berubah ketika melihat waktu yang tidak memungkinkan untuk dilaksanakan sebelum ICD. Dan kebetulan kami juga sedang punya gawe untuk mengadakan semacam acara “kelas inspirasi” kolaborasi dengan Rumah Zakat di Indonesia. Untuk pelaksanaan acara yang rencananya akan diselenggarakan akhir Mei tersebut, kami membutuhkan sejumlah dana. Nah pas lah, kami akhirnya ngamen nari saman sekaligus penggalangan dana untuk kegiatan pendidikan tersebut
***
Penat mendera setelah sebelumnya menyibukkan diri dengan acara ICD 2015. Selain menjadi performer dengan nari saman, saya juga menjadi koordinator konsumsi yang cukup memakan energi beberapa hari sebelum acara. Koordinasi, menyiapkan menu untuk 200 orang, belanja, latihan saman, gladi resik, dan masak bagian saya yakni nasi kuning 4 kg dan 225 tusuk sate cukup melelahkan. Jadi usai acara akhirnya tepar bahagia *halaaah. Tapi keesokan harinya kami harus ngamen di Buchanan Street, tepat sehari setelah ICD. Kami memilih sabtu karena lebih ramai dan juga mumpung kostum saman belum dikembalikan. Alhamdulillah cuaca yang sebelumnya diramalkan bakal hujan ternyata benderang. Rupanya Tuhan merestui niat kami untuk ngamen sekaligus penggalangan dana tersebut.
Jam 1 siang kami kumpul dan memakai kostum di flat teh siska-markas besar tim samaners, sebelumnya saya sudah make up sendiri jadi tinggal memakai kostum saja. Dan sekitar jam 2 siang sesuai rencana kami ke Buchanan Street, dimana rekan-rekan kami yang lain terlebih dulu men-tag tempat dengan menyiapkan matras yang dialasi batik.
Acara ini banyak dibantu rekan-rekan PPI Glasgow yang lain, baik yang bantu urusan sounds system, tag tempat, MC, fotografer maupun urusan publikasi ke media. Aih, senanglah kalau semuanya dilakukan dengan kebersamaan. Lelah tapi senang.


Interaksi dengan pengunjung saat sesi workshop

Ngamennya berisi pertunjukkan tarian saman kami, kemudian diselingi workshop beberapa gerakan saman bagi para pengunjung yang ingin mencoba. Alhamdulillah para pengunjung antusias, menonton menikmati tarian kami, ada yang mencoba beberapa gerakan dan bermurah hati menyumbangkan dana. Kami memainkan tiga kali pertunjukkan full, dan pas tari yang ketiga kalinya rasanya badan sudah jompo ahaha lelah maksimalis. Ngamen yang kurang dari 2 jam tersebut berhasil mengumpulkan 155.70 pounds (sekitar Rp. 3.174.878) . Wuaaa luar biasa rasanya. Semoga dana yang terkumpul bisa dipergunakan sebaik baiknya untuk membantu pendidikan di Indonesia. Seneng sih rasanya, narinya aja seneng, dapat duit untuk tujuan pendidikan pula, untuk Indonesia pula. Jadi rasa senangnya itu berlipat-lipat, Alhamdulillah.
Selain bahagia, saya juga merasa bangga bisa menjadi bagian dari acara tersebut. Terimakasih atas kerja keras semua samaners dan tim pendukung acara ini. Kalian semua luar biasa.
Sekali lagi, saya percaya ketika ada rencana atau keinginan, cukuplah dengan bekerja lebih keras, berkemauan lebih kuat, dan konsistensi untuk bertekad mewujudkan, maka Tuhan akan mendatangkan orang-orang dari segala penjuru untuk membantu mewujudkannya.
I do believe that!

We did it, Ladies! 



Glasgow, 11 Mei 2015. 


Photo credit : Varyan Aryo

Publikasi acara di media di link ini

Kamis, 23 April 2015

Mari Menari Bersama Hadapi Ketidakpastian


Foto : Dokumentasi Pribadi

Sering kali saat makan siang di ruang makan komunal lab, bapak dari Turki yang tengah menjadi visiting researcher di department menghampiri saya. Kadang-kadang cuma bilang “ Buon Appetite” sambil tersenyum lalu berjalan kembali menuju labnya bersama secangkir kopi di tangannya. Atau seringkali pula ia tiba-tiba duduk di kursi sebelah saya, lalu mengajak ngobrol. Usianya sudah kira-kira menjelang 50, bahasa inggrisnya terkadang patah-patah. Professor dari salah satu universitas di Turki itu di awal obrolannya selalu menanyakan pertanyaaan sejenis ini,
            “ How’s today?” “ How your feeling today?” sejenis pertanyaan yang agak sulit dijawab sebenarnya.
Bagaimana hidup saya akhir-akhir ini?
Ah, tentu saja hidup selalu saja dengan perputarannya yang menakjubkan. Penuh dengan kejutan dan tentu saja, dengan ketidakpastian.
Minggu lalu pengumuman perpanjangan beasiswa dikti saya sudah dirilis di situs dikti. Begitu membuka pengumuman udah berasa deg-deg an, dengan harapan bahwa saya akan diterima perpanjangan beasiswa saya untuk April-September 2015. Karena biaya living cost di UK memang luar biasa mahal kalau dikurs dengan rupiah. Gaji dosen saya sebulan bahkan tidak cukup membayar sewa flat dan utilitiesnya per bulan.
            “ Ayo belajar mengurangi ketergantungan terhadap hasil,” ada suara begitu dalam diri saya. Dan ketika saya buka lampiran pengumuman,  nyatanya saya masuk ke Lampiran 2 yakni yang belum menerima perpanjangan Dikti. Solusi yang ditawarkan cuma satu, menunggu pengumuman dibuka lagi tahap berikutnya untuk bisa apply lagi. Kapan? Entah.
Kecewa? Iya tentu saja ada rasa itu, tapi ternyata saya baik baik saja. Belajar mengurangi ketergantungan pada hasil, membuat diri terasa lebih tenang, lebih lepas dan lebih mudah menerima apapun yang datang dalam hidup. Padahal beasiswa saya habis periodenya Maret lalu, bagaimana saya bertahan sampai September (dan masa sesudah itu untuk menunggu viva akhir)? Saya tidak tahu, tapi saya yakin saya bisa menghadapinya. Dan lagi, sedapnya tabungan saya baru saja terkuras untuk pembelian rumah..lalala..que sera seraa.
Tapi nyatanya, fokus saya justru bukan pada kenyataan bahwa saya belum diterima perpanjangan beasiswa, namun dengan kembali disadarkan bahwa senantiasa ada orang-orang tercinta yang selalu ada untuk saya,
            “ Nanti kita pikir sama-sama, kita hadapi sama-sama,” begitu kata pasangan saya kala saya kabari info pengumuman tadi.
Oh, kalimat itu sudah seperti seluruh energi sedunia tiba-tiba diserahkan ke tangan saya *halaaah. Saya serius, that’s mean a lot. Terimakasih untuk dukungan yang selalu ada untuk saya.
            “Kalau ada yang bisa dibantu, jangan sungkan kabar-kabar,” begitu teks salah seorang sahabat saya.
Sejenis kalimat-kalimat itu datang dari orang-orang di sekitar saya yang membuat saya merasa sangat beruntung dan bersyukur. 
Perjalanan studi doktoral saya pun penuh dengan ketidakpastian. Keputusan Ethic Aproval yang entah kapan keluarnya, bisa nggaknya sampel dibawa ke Glasgow, kapan sampel bisa sampai dan sebagainya. Pun kala eksprimen lab saya masih belum berhasil juga.  Sejak awal tahun 2015 hingga sekarang masih juga belum menemukan hasil yang menggembirakan. Hampir tiap kali eksperimen, saya membiasakan diri untuk siap mendapatkan hasil yang belum seperti diinginkan. Mencari cara ini itu, baca ini itu, diskusi dengan X, Y bla blaa..belum juga ada titik terang sampai sekarang.
Dan di kala jalan mulai terlihat,  tiba-tiba saja  saya dikabari kalau asuransi lab saya sudah habis masanya, sehingga sudah tidak boleh lagi mengerjakan lab work. Jreng, what? Terus saya mau nulis apa di thesis saya? ini adalah final work yang menjadi inti dari projek saya. Apa jadinya thesis saya tanpa hasil lab yang sedang saya kerjakan ini. Sedangkan deadline submit thesis september, hanya beberapa bulan lagi.
Nyes rasanya, hidup memang selalu penuh kejutan dan ketidakpastian. Tapi bacalah kata Fadh Djibran :


Mungkin itulah pentingnya belajar untuk “berada di tengah roda”—istilah Gede Prama ini selalu saya ingat.
            “Kalau kamu masih berada di pinggir roda, hidupmu akan mudah sekali terasa naik turun berputar seiring dengan berputarnya hidup. Belajarlah berada di tengah roda, kamu tidak lagi terlalu terpengaruh perputaran  naik turunnya hidup,” saya selalu mengingat kalimat beliau.
Gampang  mencapai titik itu? Enggaaaaklah pastinya ahah.
Belajar mengurangi attachment terhadap hasil ataupun hal-hal di luar kendali kita memang tidak mudah, tapi pelan-pelan bisa membuat hidup terasa lebih tenang, lebih tentram.
Dan ternyata Tuhan sudah menyiapkan orang-orang tercinta yang selalu ada untuk kita. Mungkin masa-masa sulit dihadirkan dalam hidup untuk menyadarkan kembali bahwa ada orang-orang tercinta yang selalu ada dalam hidup kita.
Saya lebih banyak bersyukur dibanding harus mengeluh pada keadaan yang saya hadapi sekarang ini. Saya baik-baik saja dan mencoba menjalani semuanya dengan upaya terbaik yang saya bisa.
Dan kali ini, ijinkan saya mengucap terimakasih pada orang tercinta saya
- - - - -
Kamu, selalu saja bisa menjadi tempat yang nyaman dan damai untuk pulang.
Kamu, selalu membuat segala kejutan hidup dan tantangan menjadi penuh kejenakaan. Hidup kadang memang perlu dijalani dengan kejenakaan, agar urat-urat hidup kita tidak tegang.
Carilah seseorang yang bisa membuatmu senantiasa tersenyum. Begitu pernah kubaca entah dimana. Dan kamu selalu bisa menerbitkan senyumku, tawaku, bahagiaku.
Terimakasih, selalu menjadi tiang tangguh yang siap menopangku bila lelah, bila resah, bila gundah.
Terimakasih, untuk kesediannya belajar bersama mengerti satu sama lainnya sepanjang  usia,
Terimakasih untuk menari bersama saya, menghadapi ketidakpastian-ketidakpastian hidup yang datang pada kita.
Anggap saja hidup memang penuh dengan kejutan, ketidakpastian, keajaiban dan kejenakaan yang terkadang kita cukup rayakan dengan tangis dan tawa.
Kala kita bersama, bukankah hidup selalu luar biasa dan penuh cinta?
Ah, semoga.
Terimakasih, telah selalu ada.