Selasa, 12 April 2016

Tentang Jarak dan Kamu




Bandara, terminal, stasiun seringkali menyaksi betapa terkadang aku duduk dengan cemas, sesekali memandang papan elektronik kedatangan. Menanti detik demi detik, peristiwa kedatangan. Kedatanganmu. Memangnya ada yang lebih istimewa daripada itu?
Apalagi setelah jarak dan waktu memberikan sekat pada kita. Lalu apa yang lebih membahagiakan dari pada sebuah pertemuan?

Apakah pesawatmu landing dengan selamat? Apakah bismu datang tepat waktu? Kecemasan-kecemasan semacam itu berloncatan di pikiranku.
Tapi sebenarnya ada pula hal lain yang kucemaskan. Will I still know you? Will you still know me?
Apakah aku masih “mengenali”mu? Dan begitulah, saat seperti itu akan meloncatkan sejenis perasaan yang aneh. Campuran antara rasa luar biasa bahagia ketika jarak tak lagi menjadi sekat, tapi juga ada rasa aneh yang menyelusup. Perubahan-perubahan apa saja yang terjadi kala kita tak bersama sama pada tempat yang sama?

Seperti sering kali kubilang, aku tak pernah cemas pada jarak, aku hanya cemas pada kita yang berjarak. Aku, kamu. Seperti hal sejenis hubungan lainnya, mengalami pasang surut silih berganti. Kadangkala itu tak terlalu merisaukan bila aku, kamu..hidup dalam hidup yang sama, rentang waktu yang sama. Mana lagi yang sanggup melumerkan hatiku selain kamu yang hadir mengada dalam nyata?
Tapi bagaimana ketika jarak meniadakanmu dalam nyata? Ketika kita harus terbiasa dengan texting dan videocalling, harus terbiasa dibatasi oleh layar. Kadangkala itu meredakan rindu, atau mungkin kadang malah menggandakannya.
Jarak, dulu seringkali aku membencinya. Karena ia penyebab ketiadaanmu dalam hidup yang nyata. Yang menyesakkan dari jarak adalah ia membuat dua pecinta hidup dalam hidup yang tak sama.
            “Morning,” sapamu ketika hariku sudah beringsut sore. Waktu menjadi ambigu. Aku mempunyai dua waktu, waktu milikku dan waktu milikmu. Hidupnya terasa mengganda. Hidup dimana aku berada, dan hidup tempatmu mengada.
Tapi suatu titik, aku pada akhirnya berdamai dengan jarak. Bukankah satu-satunya pilihan yang membahagiakan adalah dengan menerimanya?
Terima saja kita berjarak ribuan kilometer. Tak mengapa waktu kita tak sama. Asalkan kita tetap bersama-sama.

Lihatkan orang-orang di sekeliling kita? dekat namun bisa saja terasa berjarak. Kedekatan nampaknya memang tak bisa diukur dengan fisik yang dekat. Mungkin hati lebih tahu bahasa-bahasa tentang kedekatan. Dan sepertinya hati tahu, bagaimana caranya ia menyeberang ribuan kilometer, untuk tetap mengirimkan signal-signal pada hati lainnya yang terpaut. Tuhan sepertinya melengkapi jiwa dan raga manusia dengan kemampuan yang luar biasa seperti itu.
Dan sepertinya hati, selalu tahu dimana tempat yang paling nyaman untuk pulang
Barangkali hati, selalu sanggup merasa dimana hati lainnya yang menunggunya pulang.

Senin, 11 April 2016

Ke Belanda Tanpa Visa? Bagi si Pemegang Paspor Biru Bisa !




Visa seringkali menjadi penghalang untuk bepergian ke negara yang ingin kita tuju. Misalnya saja saya selama studi di UK yang lalu harus apply visa schengen untuk bisa melancong ke eropa daratan. Padahal juga sama-sama di eropa coba..ihiks, sedih kan. Makanya beberapa mahasiswa Indonesia di UK banyak yang mengincar negara-negara yang bebas visa seperti Maroko, Turki (hanya visa on arrival). Eh tapi bisa juga lho ke eropa daratan tanpa visa, untuk negara-negara tertentu yakni Benelux (Belgia, Netherland, Luxemburg) dan Perancis untuk pemegang paspor biru.

Humm siapa sih pemegang paspor biru? Paspor biru biasanya dipunyai oleh orang yang sedang menjalankan tugas negara-nah, saya salah satu pemegang paspor biru karena termasuk menjalankan tugas negara #eaaa yakni studi lanjut ke luar negeri. Karena itulah saya mencobainya desember lalu ke Belanda. Walaupun sudah ada informasi dan browsing sana-sini tentang free visa untuk pemegang paspor biru ke Benelux, tetep aja kok berasa “agak cemas”..ini beneran nggak sih? Atau “jangan-jangan nanti bermasalah”

Dengan budjet yang sangat minimalis, sayapun membeli tiket pesawat Glasgow-Amsterdam. Waktu itu saya berpikir, nggak tau kapan bisa ke eropa lagi..mumpung ada kesempatan, hajar aja deh nekad ke Belanda untuk mengunjungi sahabat baik saya, nuning di Wageningen sebelum saya back for good ke tanah air. Awalnya saya berniat hanya berbekal selembar surat keterangan bebas visa yang saya dapatkan hasil browsing sana sini. Namun ada blog yang menyebutkan kita harus mempunyai surat undangan dari orang yang akan kita tempati selama di Belanda. Si pemilik blog bilang, dua kali ke Belanda menggunakan paspor biru, yang pertama mulus lalu yang kedua rada ribet dengan sempat ditahan diinterogasi petugasnya karena merasa dia perlu visa schengen untuk masuk ke Belanda. Walaupun akhirnya si beliau dilepaskan dan diijinkan masuk ke Belanda. See..pengalaman administrasi di bandara memang untung-untungan bangets. Begitu-begitu yang bikin deg-degan euy..

Akhirnya untuk menambah ayem hati saya, saya meminta sahabat saya untuk membuatkan surat undangan dari gemente (kelurahan) setempat. Prosesnya sih sebentar aja jadi, seingat saya hanya sehari sahabat saya ke gemente dan langsung dikasih surat undangan *dalam bahasa londo, dan saya hanya bisa menebak-nebak apa isinya LOL.
Akhirnya saya menuju ke bandara Glasgow, berbekal tas punggung dan koper kecil yang masuk kabin. Tiket senilai 105 GBP waktu itu harga tiket tanpa bagasi, ya sudahlah yang penting sampai belanda hehe..jadi saya memutuskan untuk tidak membeli jatah bagasi.
Sehari sebelum natal, suasana sudah aura libur panjang. Orang-orang pulang ke keluarga tercinta, atau menghabiskan liburan seperti saya. Biasanya di UK, libur natal merupakan libur terpanjang dalam setahun yakni sekitar 2 minggu.

Setelah melambaikan tangan ke yang mengantarkan saya, saya menuju pemeriksaan awal. Kadang-kadang inilah proses yang melelahkan dari “terbang”, harus melewati sekian proses sebelum akhirnya terbang. Proses pemeriksaan awal dan barang-barang terlewati dengan mulus, saya memang tidak membawa banyak barang. Selain tanpa jatah bagasi, saya hanya berlibur sekitar seminggu di Belanda, cukuplah dengan bawaan minimalis. Setelah tiba di gate yang ditetapkan, saya menunggu waktu boarding. Dan setelah ada pengumuman waktunya boarding, saya ikut mengantri bersama orang-orang lainnya yang nampaknya akan “mudik” natal ke Belanda. Orang-orang di depan saya lancar-lancar saja saat tiket mereka di tap ke semacam mesin boarding. Tapi begitu giliran saja, tiba-tiba nyala merah, berbunyi dan ada tulisan “unable to board”. Glek, kecut hati saya.

Kemudian saya ditangani seorang petugas, dan si mbaknya bertanya apakah saya punya visa schengen ke Belanda.
        “ Untuk paspor biru, tidak perlu visa untuk masuk ke Belanda,” terang saya. Sambil menunjukkan selembar surat keterangan hasil browsing sana sini itu.
            “Kamu butuh visa schengen untuk bisa masuk ke Belanda,” jelas si mbaknya. Errr, masalah nih, batin saya.
            “Tidak, ada kebijakan tertentu antara Pemerintah Indonesia dan pemerintah belanda kalau untuk pemegang paspor biru, kita bisa masuk belanda tanpa visa,” kata saya kalimat mencoba meyakinkan si mbaknya tadi.
Mungkin orang sini nggak ngeh perbedaan antara paspor biasa dengan paspor biru sih.   
Saya menunggu beberapa menit. Si mbaknya masih memeriksa dokumen yang saya sodorkan.
            “Sebentar, saya cari informasinya dulu. ”kata si mbaknya tadi. Kemudian dia tampak menelpon seseorang.
Saya menunggu dengan harap harap cemas. Sekali dia tetap menggelengkan kepala, gagal sudah saya ke Belanda.
Si mbaknya nampak sudah bicara dalam telponnya, kemudian dia menurunkan gagang telponnya dan bertanya pada saya,
            “ Berapa lama akan stay di Belanda?”
            “ 6 hari saja,” jawabku singkat.
            “ Sudah punya tiket return ke Glasgow?”
            “ Iya, saya book dengan KLM juga,” jawab saya lagi. Dan  si mbaknya memeriksa dokumen saya melalui layar komputernya. Nampak dia mengangguk anguk. Dan menutup telponnya.
            “ Oke, kamu bisa terbang karena kamu boleh ke belanda untuk short visit,” begitu bilang si mbaknya yang membuat hati saya legaaaaa. Ternyata beneran itu peraturan!

Akhirnya saya menuju pesawat yang membawa saya ke amsterdam setelah menempuh perjalanan sekitar 1 jam. Dan tak dinyana, proses pemeriksaan di bandara amsterdam sangat gampang. Tadinya saya sudah menyiapkan sebendel surat undangan dari gemente yang telah diiurus nuning itu karena cemas masalah serupa seperti di Glasgow akan terjadi juga di sini. Tapi  kala saya mengulurkan paspor biru saya, si petugas imigrasi bandara Amsterdam itu dengan wajah datar segera menstempel paspor, tanda saya diijinkan untuk masuk ke wilayan negeri nan oranje itu. Sepertinya petugas di Belanda sudah familiar dengan paspor biru-nya Indonesia. Wuhuuuuu akhirnya tiba juga di Belanda. Nah, bagi pemegang paspor biru..bisa loh dimanfaatkan kesempatan untuk ke wilayah benelux tanpa visa. Nggak usah repot ngurus visa..begitu sharing-sharing info jalan-jalan saya, semoga bermanfaat yaah.
Saya sudah kangen jalan-jalan nih hihi..
 

Selasa, 05 April 2016

Expand Your Comfort Zone




Apa sih yang diinginkan manusia ini? Udah nyaman-nyaman trus disuruh berubah, katanya “kamu nggak akan berkembang atau sukses kalau terus berada dalam zona nyamanmu!”
Sering denger kalimat begitu kan?
Saya juga salah satu yang menganggukkan kepala dan mengaplikasikan kalimat tersebut dalam hidup saya. Terbukti lumayan manjur untuk tetap melekatkan semangat di dalam diri kala kesulitan dan hambatan datang menghadang saat perubahan-perubahan di saat keluar dari zona nyaman terjadi.
Berani memutuskan untuk keluar dari zona nyaman memang “nggak nyaman” karena perubahan awalnya memang membawa serta efek bawaan yang seringkali tidak menyenangkan.
Gede Prama memutuskan untuk berhenti dari kursi tertinggi dunia korporasi di usia yang masih relatif muda dan memutuskan kembali ke Bali, mengajar dan menulis buku-buku tentang spiritual. Fadh Dijbran, memilih untuk berhenti jadi PNS sebuah lembaga pemerintahan dan kemudian fokus menjadi seorang penulis dan founder inspirasi.co.
Rene Suhardono, berhenti dari bankir kemudian menjadi seorang career coach. Itu beberapa contoh orang-orang yang sukses dengan memutuskan untuk mengikuti passionnya, dan keputusan mereka tersebut tentu saja awalnya pasti harus melewati “keluar dari zona nyaman”.
Contoh kecilnya bisa jadi seperti memutuskan untuk melanjutkan studi S3, memulai berbisnis sendiri, mengambil pekerjaan baru dll. Semuanya butuh keberanian.


Lalu apa sih yang sebenarnya dicari? Sejatinya kan manusia itu secara naluriah menginginkan kenyamanan. Lalu kenapa harus repot-repot “keluar dari zona nyaman” sih?

Saya pernah membaca sebuah cerita tentang seorang lelaki nelayan, yang hanya bergi berlayar dan menangkap ikan untuk kebutuhan keluarganya hari ini dan esok. Suatu saat seorang asing datang ke pulau itu dan bertanya :
            “ Kenapa  kau tidak berlayar dan menangkap ikan lebih banyak lagi? Kau bisa menggunakan alat yang lebih baik agar hasil tangkapanmu lebih banyak,” kata si orang asing tadi.
            “ Lalu kalau hasil tangkapanku lebih banyak kenapa? Tangkapanku sehari-hari sudah cukup, dan aku punya banyak waktu luang untuk bersantai. ” tanya si nelayan.
            “ Kau bisa memperbaiki rumahmu, kau bisa menyekolahkan anak-anakmu. Mungkin kamu bisa memperkerjakan orang-orang, atau membangun sesuatu untuk masyarakat desamu.” Jelas si orang asing tadi.
            “ Lalu setelah semua itu?” si nelayan terus bertanya.
        “ Lalu kau bisa menikmati masa tuamu dengan lebih banyak waktu luang untuk beristirahat dengan nyaman,” tambah si orang asing tadi.
            “ Bukankah tanpa harus melakukan semua itu aku sudah mendapatkannya sekarang?” kata si nelayan.
Begitu sih inti ceritanya, saya lupa membaca dimana. Waktu saya membaca cerita itu pertama kali saya manggut-manggut, humm benar juga ya kata si nelayan tadi. Toh nggak usah repot-repot, dia sudah mendapatkan apa yang dikatakan orang asing tadi.

Tapi beberapa saat lalu saya berpikir, ada sesuatu yang kurang pas di sini. Mungkin dengan tetap di zona nyamannya, si nelayan masih akan tetap bisa memenuhi kebutuhan makan dirinya dan keluarganya dan tetap mempunyai banyak waktu luang untuk bersantai santai dan beristirahat.
Tapi si nelayan itu tidak pernah berkembang. Padahal dia punya kesempatan untuk memperbaiki kualitas hidupnya bahkan memungkinkan untuk berbuat banyak untuk komunitasnya.
Itu sih yang saya pikirkan mengenai cerita di atas tadi. Si nelayan itu enggan keluar dari zona nyamannya dan tidak bisa berkembang.
Dari situlah saya jadi agak mengerti untuk apa sih manusia harus repot-repot keluar dari zona nyamannya? Udah nyaman-nyaman, kok harus berubah.
Kita harus memperluas zona nyaman kita. Mungkin begini alurnya.
Pertama kita memutuskan sesuatu yang mengharusnya kita keluar dari zona nyaman. Lalu terjadilah masa transisi, kebaruan-kebaruan yang kadang tidak menyenangkan, ketidaktahuan dan ketidakpastian akan masa depan, stress, dan segala macam bawaan dari perubahan itu biasanya akan terjadi.
Lalu kemudian kita akan beradaptasi untuk menghadapi kondisi-kondisi tersebut di atas, lalu pelan-pelan kita mulai “merasa nyaman”. Kemudian siklus itu akan berulang kembali. Tapi apa yang membedakan antara si nelayan tadi dengan orang yang mau keluar dari zona nyamannya?
Orang yang berani keluar dari zona nyamannya akan bertumbuh, berkembang. Zona nyamannya meluas, terus meluas, seiring dengan perkembangan laju hidupnya. 


Ah itulah, mari terus berani memperluas zona nyaman kita. Jangan pernah putus urat perjuangan kita, tapi nikmati setiap lajunya dengan selebrasi-selebrasi penuh bahagia.
Salam bahagia.


           
 

Minggu, 13 Maret 2016

When "They" Don't Want You To Grow





Hari ini saya membaca kembali “Feel Fear and Do it Anyway”-nya Susan Jeffers, dan menemukan bab yang cocok dengan apa sedang saya alami. Ketika membaca bab “When They don’t want you to grow”, rasanya pas banget dengan apa yang tengah saya hadapi. Awal-awal kepulangan saya dari Glasgow, saya agak merasa aneh, ketika menemukan saya yang berasa nggak “pas” di lingkungan saya yang lama. Ada sesuatu yang tidak sefrekuensi. Iya, saya banyak berubah. Dan mungkin orang-orang sekeliling saya tidak siap menerima perubahan saya atau secara bawah sadar mereka bersikap “don’t want me to grow”.

Kenapa yah, kok saya tidak sefrekuensi lagi dengan sahabat-sahabat lama saya yang sudah bertahun-tahun bersahabat.
Itu yang pernah saya rasakan. Tadinya muncul rasa bersalah, ketika saya tidak seantusiasme dulu untuk bertemu, atau saya menjadi sangat pemilih untuk berbagi cerita, atau saya merasa percakapan hanya sekedar basa basi menyambung silaturahmi. Selain ada rasa bersalah, ada pula muncul rasa sedih.
Persahabatan seperti juga jenis hubungan yang lainnya, membutuhkan upaya dua pihak untuk terus berjalan dan bertahan. Tapi lama kelamaan kenapa saya mengontak mereka ataupun membalas kontak mereka hanya karena ingin tetap menjalin silaturahmi.
Disitulah, saya merasa bersalah. Tapi saya juga tidak bisa membohongi perasaan saya bahwa saya membutuhkan persahabatan yang..ah, saya sampai tak sampai hati untuk mengatakan “yang lebih dari sekedar itu”.
Saya membutuhkan percakapan yang sehat, yang suportif, positif dan sefrekuensi.

Dan kini saya memang menemukan sahabat-sahabat baru, yang saya jumpai dalam perlintasan-perlintasan hidup saya. Dan saya merasa nyaman bicara dengan sahabat baru saya, merasa sefrekuensi dan menemukan partner bicara yang pas.
Dan disitulah kadang-kadang saya merasa seperti “meninggalkan” sahabat-sahabat lama saya.  Di situlah rasa bersalah itu kadang muncul.

“ The people in your life is good indicator of where you are operating on an emotional level. Like attract like. As you begin to change, you will automatically draw and be drawn to different kind of person” (Susan Jeffers)

Tapi memang begitulah ternyata, seiring pertumbuhan diri, orang-orang yang bersama kita juga berbeda. Saya tetap berusaha untuk bersilaturahmi dan kontak dengan sahabat-sahabat lama saya, tapi saya tidak mengelak bahwa perubahan memang ada.
Semakin lama saya menyadari, kita nggak butuh punya banyak teman kok. Pada akhirnya kita hanya butuh beberapa orang terdekat yang menjadi support system kita, yang suportif pada pertumbuhan dan perkembangan kita.

Begitu pula di lingkungan-lingkungan yang lain, saya banyak menarik diri ketika kebanyakan mereka adalah “Moan and Groan Society”. Pernah nggak sih memperhatikan pembicaraan-pembicaaran di sekitarmu kebanyakan isinya apa? ngeluh, nggosipin orang, dan pembicaraan beraura negatif lainnya. Males kan. Stop feeding yourself negative thought!

Aura negatif itu menular, semacam polusi pikiran. Yang lebih berbahaya lagi, kalau lama-lama bisa ketularan untuk ikutan ngobrolin hal-hal yang negatif. Itulah kenapa disebut Moan and Groan Society, karena mereka menemukan“saling” yang pas. Dengan alasan itulah, saya menjadi selektif. Bukan saya sok pilih-pilih atau apalah, tapi saya merasa nggak “pas”  di antara mereka-mereka. Ujian saya yang masih sangat pemula soal belajar positive life ini menjadi sangat berat kalau sering-sering berada di lingkungan yang negatif hihi.

Saya tengah belajar untuk tetap mengusahakan positive thought-positive life dan  salah satu yang penting adalah bagaimana menjaga agar lingkungan sekitar pun positif. Kadang-kadang hal ini membutuhkan upaya yang ekstra, apalagi ketika ketika aura negatif itu berasal dari orang-orang yang di sekitar kita.
Nggak mudah memang. Dikira sombong, adalah reaksi yang sering kali didapat. Dan disitulah saya harus banyak lagi belajar bersikap, bagaimana tetap mengupayakan lingkungan yang positif dan tetap mempunyai relasi yang baik dengan berbagai komunitas.

Apa yang lebih penting adalah “awareness”-kesadaran bahwa saya-kita sedang belajar. Kadang-kadang hidup dengan segala rutinitas, kesibukan, crowdednya orang-orang di sekitar kita membuat kita terlupa. Upaya untuk tetap positif adalah latihan terus sepanjang hidup, kalau tidak dilatih lama-lama pendulum juga akan bergeser ke arah yang negatif. Kehidupan yang berjalan bisa membuat kita lupa. Karena itulah, membaca lagi buku-buku yang mengingatkan saya kembali tentang pertumbuhan diri, tentang seperti apa sih hidup yang saya inginkan, sangat membantu saya untuk menemukan “awareness” itu lagi.

Kita sering lupa bahwa kita mempunyai kemampuan untuk memilih seperti apa hidup, orang-orang dekat kita, lingkungan seperti apa yang menghiasi kehidupan kita.
Uhmm..lupa atau tak punya keberanian untuk memilih?
Saya tinggalkan pertanyaan ini untuk anda.         

Purwokerto, 13 Maret 2016. Sehabis hujan.