Minggu, 24 Januari 2021

Greenwich dan Obrolan Ringan tentang Kebahagiaan



Kami berdua dengan berjalan santai menikmati siang yang cerah di Greenwich (dibacanya "Green-itch"). Entah sudah berapa kali kunjungan ke London, tapi saya belum pernah menyinggahi Greenwich. Maka, kunjungan "mudik" Tahun 2019 lalu, saya menyempatkan ke sana ditemani sahabat baik saya, Mita, yang masih menyelesaikan studi doktoralnya di Kings College. Area ini terletak di London Tenggara, sekitar 5,5 mil (8,9 km) timur-tenggara Charing Cross. 

Sebenarnya ada banyak objek wisata menarik di Greenwich, seperti Garis Meridian di Royal Observatory, Cutty Sark, National Maritime Museum, Old Royal Naval College termasuk Painted Hall yang luar biasa, kereta gantung London, Pasar Greenwich, Taman Greenwich, dan The O2 Arena. Tapi karena gaya jalan-jalan saya memang sekarang sudah lebih "selow" dan tidak ambisius seiring bertambahnya usia, ya hanya mengunjungi beberapa tempat saja. Usai menyaksi titik 0 derajat garis bujur di Royal Observatory, kami menuju ke Greenwich Park.

Hamparan luas rumput yang menghijau dengan latar belakang bangunan bersejarah, tempat yang nyaman untuk duduk-duduk santai setelah lumayan kaki lelah usai menjelajah Greenwich. Kami menggelar kain untuk duduk, lalu mengeluarkan perbekalan.


Lihatlah gambar di atas, kami manusia tropis milihnya gelar kain di tempat yang teduh, sementara orang-orang sini milihnya tempat yang bermandi matahari.
    
"Mbak, kok orang-orang di UK tuh kelihatan bahagia-bahagia yah?" lontar pertanyaan Mita mengudara. Sebuah pertanyaan yang lebih terasa seperti sebuah pernyataan.

" Hehe iya sih, Mit. Aku lihatnya juga gitu. Kayaknya orang-orang sini tuh lebih suka senyum, baik, kehidupan berasa tenang gitu. Apa karena semuanya terjamin yah?" sahutku.

Memang sih, selama saya tinggal di UK selama 4 tahun aura itu yang terasa. Ketika saya tinggal di Glasgow, beberapa hal yang saya rindui itu hal-hal yang sederhana. Sapaan manis supir bis, yang setiap kali kita naik apa di sapa
" Morning!", sapanya sambil tersenyum. Orang-orang sini juga mempunyai kebiasan-kebiasaan yang membuat hati terasa hangat. Orang-orang ketika akan turun dari bus, akan mengucapkan "Thank you" pada si supir bus. Kayak kita tuh ingin menyampaikan terimakasih sudah diantarkan sampai ke tujuan. Atau kalau kita ke kasir toko-toko makanan seperti di Tesco, Lidl, Sainsburry, sapaan kasir juga terasa menyenangkan. 

" Have a Good Day, Lovely!" duh, padahal itu sapaan dari orang-orang yang nggak dikenal. Mungkin mereka melakukan itu karena sudah semacam jadi SOP (standar operasional prosedur)-nya mereka ya, tapi entah ya, kok aku merasanya kayak tulus dan hangat. 

Kalau kita berpapasan jalan, orang-orang juga akan saling melempar senyuman. Apalagi kalau lagi jalan di taman tuh, orang-orang yang saya jumpai itu bahagianya terpancar. Seneng aja gitu liatnya. Ada lagi hal sederhana yang nampak biasa saja, yakni menahan pintu untuk mempersilahkan orang yang setelahnya untuk lewat itu jadi kebiasaan yang sampai saat ini pun masih terbawa. Hal-hal sederhana seperti itu lho yang bikin maknyes di hati.

Apa karena semua terjamin ya? lagi-lagi itu dugaan kami. Mungkin juga sih, ketika kebutuhan dasar terpenuhi, sistem kesehatan terjamin, dan aspek-aspek yang lain tercukupi, membuat orang-orang lebih merasa aman, tentram dan akhirnya menjadi lebih bahagia. Mungkin juga

Konon, Inggris merupakan negera pertama yang secara resmi mengamati tingkat kebahagiaan masyarakatnya yang dikenal dengan "indeks kebahagiaan". Nah untuk mengukur si indeks kebahagian ini ternyata meliputi beberapa aspek. Indeks Kebahagiaan mengukur kepuasan hidup, perasaan bahagia, dan kebahagiaan lainnya misalnya  domain: kesejahteraan psikologis, kesehatan, keseimbangan waktu, komunitas, dukungan sosial, pendidikan, seni. dan budaya, lingkungan, tata kelola, kesejahteraan materi, dan pekerjaan. 

Finlandia tercatat menjadi negara dengan indeks kebahagiaan tertinggi di dunia selama 3 tahun terakhir. Penasaran juga ya seperti apa suasana kehidupan di sana. Kalau dari situs world happiness report tuh, untuk menentukan ranking tersebut berdasarkan GDP per kapita, dukungan sosial, harapan kesehatan, kebebasan untuk membuat pilihan hidup, kebaikan.kemurahan hati  dan persepsi terhadap korupsi. 

Sementara, UK saya lihat ada di ranking 13. ya panteslah ya kalau masyarakatnya terlihat bahagia. Mungkin memang tidak dipungkiri ya, ketika kebutuhan-kebutuhan dasar terpenuhi, masyarakatnya menjadi lebih "tenang" dan tentram. Semoga sih Indonesia terus beranjak menuju kondisi tersebut.

Di kejauhan, kami melihat orang-orang yang sama-sama tengah menikmati suasana siang yang cerah di Greenwich Park. Ada rasa rindu untuk kembali merasakan seperti ketika saya tinggal di UK dulu, karena itulah ketika saya berkesempatan "mudik", saya selalu ingin menuntaskan rasa rindu pada daratan yang selalu saya sebut "rumah".


Salam baik,

Jumat, 30 Agustus 2019

Secangkir Kopi di Abu Dhabi




Secangkir coffee latte kupesan dari gerai kopi Costa yang kujumpai di Terminal 3 Abu Dhabi International Airport. Sembari menunggu jadwal penerbangan berikutnya menuju London yang masih beberapa jam lagi. Sayang memang, setelah kutanya pada petugas ternyata tidak memungkinkan untuk membuat visa transit untuk keluar jalan-jalan sebentar memanfaatkan fasilitas free tour airport. Harusnya memang sebelumnya diurus dulu. Ah perjalanan kali ini memang tanpa perencanaan yang jelas hehe. Himpitan jadwal kerjaan menjelang berangkat membuat persiapan ala kadarnya banget. Nggak sempet nyari oleh oleh khas Indonesia untuk supervisor saya di Glasgow nanti. Baru ngeh juga saya ternyata nggak bawa sambungan charger colokon 3. Printilan-printilan seperti itu terlewatkan karena persiapan yang ala kadarnya. Ah ya sudahlah, dinikmati saja segala keseruan keseruan yang ada.
Di tengah membalas satu-satu pesan yang masuk dari beberapa orang, ada satu pertanyaan dari sahabat saya yang menggelitik,
“Eh, kan sering pergi-pergi gini, biasanya gimana cara move on ketika masa transisi dari satu momen ke momen yang lain?” begitu tanyanya,
Ealaah, pertanyaannya berat. Tapi membuat saya berpikir juga sih. Salah satu kesulitan manusia itu memang living in the momentLiving in the now. Bagaimana untuk hidup pada saat ini, fokus pada masa sekarang yang terjadi. Selalu ada tarikan tarikan perasaan dan memang ketika dalam bepergiaan, fluktuasi perasaan perasaan seperti itu memang lebih terasa.
      Dalam perjalanan saya ke Gambir saja, masih ada beberapa telpon dan whataps-whataps urusan  pekerjaan. Dan yang tidak saya menyangka justru di situ saya merasa bahwa saya merindukan pekerjaan dan orang-orang yang biasa bekerja dengan saya. Di momen itu saya tiba tiba merasa beruntung. Mungkin saja banyak di luar sana yang menganggap pekerjaan itu beban berat atau hal yang tidak menyenangkan. Saat itu saya merasa beruntung karena walaupun sering ngeluh karena kebanyakan kerjaan, tapi saya  tetap menikmatinya. Menikmati segala lelah, rusuh, dan penatnya kerjaan yang sering kali datang bertubi menghampiri. Dan satu lagi yang membuat saya merasa beruntung, yakni pada saat itu juga saya menyadari, lebih tepatnya kembali menyadari bahwa saya punya rekan rekan kerja yang asik dan menyenangkan. Ini membuat ketika deraan pekerjaan datang, walau lelah namun tetap terasa tidak terlalu memberatkan.
        Ketika pergi, entah mengapa kita menjadi lebih jelas untuk mengerti perasaan perasaan kita sendiri. Lebih banyak mengamati orang-orang, dan mengamati diri kita sendiri. Dalam pergi ke tempat tempat yang jauh, ada jeda yang istimewa di sana. Yang sering luput kita dapat dalam rutinitas sehari-hari yang rasanya sering berlarian. Waktu cepat berlalu, namun makna sering kali terluput. Dan mungkin dengan pergi dan mengambil jeda, serupa memberikan waktu bagi jiwa untuk kembali lebih mengamati diri sendiri.
          Kembali ke pertanyaan sahabat saya, “bagaimana caranya untuk move on dari satu momen ke momen yang lain?" Apalagi ketika kita merasai momen yang istimewa, kemudian harus kembali menjalani kehidupan yang lain lagi. Iya bayangkan hanya selang beberapa jam, hidup bisa langsung berubah. Berada di tempat antah berantah, sendirian. Tentu saja hidup berubah, mengadaptasi perubahan demi perubahan. Mungkin itulah mengapa terkadang kita butuh perjalanan. Bagaimana caranya move on? Pertanyaan itu mungkin salah jika dialamatkan ke saya. Saya pun masih kesusahan menghadapi ketika kadang perasaan masih ditarik-tarik oleh momen momen di masa belakang yang tetap hadir di masa kini. Lha Glasgow aja selalu narik narik pulang..seperti saat ini. Membuat saya mengerahkan tabungan dan energi untuk mengurus perjalanan saya pulang ke Glasgow.
Ah pulang, bukankah sebuah kata yang istimewa?
Semoga saya menemukan pulang.
Perjalanan kali ini saya tidak langsung menuju Glasgow. Tapi melalui London, karena ini berjumpa dengan Mita, sahabat saya plus jalan-jalan di London. Lalu lanjut ke beberapa kota sebelum pulang pada Glasgow.
        Daripada  mempertanyakan bagaimana caranya move on dari satu momen ke momen lain yang cepat berganti, saya cenderung untuk lebih banyak belajar menerima. Termasuk menerima ketika beberapa momen enggan pergi dari hati. Biarkan..kalau memang seperti itu adanya. Mungkin memang ada momen momen istimewa yang terus terpatri dalam hati. Ah biarkan saja…
Ada sebuah kalimat yang saya lupa kubaca dimana “ketika kita menyangkal suatu perasaan tertentu, maka perasaan itu akan semakin mengekal’.
Dan ternyata, belajar menerima pun tidaklah mudah. Apalagi ketika belajar menerima hal hal yang tidak kita rencanakan, tidak kita sukai, atau yang tidak kita inginkan. Tapi kadang hidup, membuat kita harus belajar menerima hal hal tersebut. 
Coffee lattee saya sudah mulai mendingin, orang orang di depan saya berlalu lalang dengan urusan dan tujuannya masing masing. Saya masih di sini, bersama secangkir kopi dan pikiran pikiran saya sendiri. ***

Abu Dhabi International Airport, 30 Agustus 2019

Minggu, 04 November 2018

Wisata Thailand Bukan Cuma Bangkok, Coba Jelajahi Khao Yai



Angin dari jendela kereta yang dibiarkan terbuka rasanya garang menampar-nampar muka, ditambah hawa panas membuat badan rasanya lengket. Keretanya tidak ber-AC, dan tempat duduk-pun tidak bernomer, asal saja duduknya. Sementara lalu lalang pedagang yang menawarkan dagangannya terus hilir mudik. Hal ini mengingatkan saya pada kondisi kereta api tipe ekonomi di Indonesia beberapa tahun silam, sebelum era sekarang ketika kereta api merupakan moda transportasi yang paling diminati.
Kami tiba di stasiun Pak Chong sekitar pukul 15.30 setelah menempuh perjalanan sekitar 3 jam dari stasion kereta api Hua Lamphong, Bangkok. Harga tiketnya memang cukup murah, hanya 36 bath saja sampai ke Pak Chong, kota terdekat dengan tujuan wisata kami, Khao Yai. Sepertinya ada kereta express ke Pak Chong, sayangnya ketika kami sampai ke stasiun, jadwal kereta tersebut sudah lewat. Mungkin saja kondisi kondisi kereta express itu lebih beradab dibandingkan dengan kereta yang kami tumpangi. Oiya, sebenarnya dari Bangkok ke Khao Yai juga bisa menggunakan minivan, ataupun bis. Kalian bisa mencobanya juga.
Khao Yai, sudah pernah denger kota ini? Iya memang tidak terlalu terkenal, namun sekarang sedang naik daun karena menawarkan wisata alam dan juga tempat wisata dengan bangunan ala Italia. 
Ketika membaca review di link ini, kami menyadari bahwa perjalanan kami yang hari 1.5 hari di Khao Yai terasa kurang waktunya, karena banyak sekali yang bisa dijelajahi. Ada Khao Yai National Park, Primo Piazza, Kebun Bunga Matahari di Saraburi, Rumah hobitt dan banyak lagi lainnya. Kepo-in aja linknya tadi, dijamin pengen berkeliling.
Kami akhirnya sampai di hotel tempat kami menginap yakni See Sky Camp Resort, setelah balada nelpon pihak hotel meminta untuk menjemput tapi merekanya nggak bisa bahasa Inggris hehe. Iya memang tidak banyak penduduk Thailand yang bisa bahasa inggris, apalagi Pak Chong dan Khao Yai ini terbilang ada di daerah. Transportasinya masih susah karena nggak ada taxi, apalagi semacam Grab atau Uber. Adanya sewa mobil dan ojek motor yang bahkan di stasiun enggak ada. Kendala transportasi ini memang begitu terasa. Coba kalau transportasinya gampang, pasti kota ini lebih banyak lagi turis yang akan datang.
Tapi segala drama untuk sampai sini hilang ketika sampai di resortnya. Cantik banget! 
Kami memilih tempat ini karena kami lagi pengen menikmati liburan dengan suasana berbeda, soalnya hotel ini menawarkan suasana yang istimewa. Rumah-rumah pastel yang unik, dan desain exterior yang cantik. Harganya memang lumayan, sekitar 580rb-an semalam. Itupun kalau tidak salah merupakan harga kamar termurah. Setiap kamar mempunyai ciri khas desain masing-masing. Kami menyewa kamar dengan tipe “Night Sky” dengan nuansa pastel kombinasi baby blue dan kuning muda. Nyaman banget, dan desain shabby itu yang bikin liburan terasa istimewa, sesuailah dengan harganya.
Kamarnya luas dan nyaman. Desainnya pastel shabby banget
Jendela-jendela dengan kaca yang lebar langsung bisa lihat pemandangan yang hijau

Karena hari sudah petang, dan kami baru bisa menyewa sepeda motor esok harinya, kami memutuskan untuk beristirahat dan menikmati resortnya. Berkeliling resort sambil foto-foto-an karena setiap sudutnya rasanya cantik semua, maklum saya memang penggemar  shabby yang merupakan tema resort ini.
Malamnya kami ke Bunny Coffee, yang lagi lagi desainnya bikin betah banget dan foto sana sini hehe. Setiap sudutnya didesain dengan apik, apalagi sajian Tom Yum ala Thailand yang maknyus diiringi alunan musik, membuat makan malamnya terasa istimewa. Kebetulan hanya kami pengunjung The Bunny Coffee malam itu, jadinya bebas banget bisa foto-fotoan sepuasnya. 
Bunny Coffee-nya ini desainnya semua tentang si Bunny yang lucu
Lucu banget kan pernak perniknya
Apalagi Tom Yum-nya Enyaak!

With si Bunny

Esok paginya usai kembali berkeliling resort, kami menyewa sepeda motor. Untuk menyewa sepeda motor hanya membayar 300 bath per hari, dengan meninggalkan paspor. Rencananya kami ingin ke Farm Chokcai, semacam ladang peternakan gitu lalu ke Palio Village atau Primo Piazza yang kata beberapa sumber yang kami baca, tempatnya cantik karena menawarkan bangunan ala-ala Italia. Kalau mau cek-cek informasi untuk sewa motornya bisa dilihat disini : http://www.khaoyaimotorcycle.com/.
Sebelum ke sini, kami membayangkan akan berkendara di daerah yang sepi. Tapi ternyata, ya ampuuun..ternyata jalanan menuju ke tempat wisatanya kayak jalan antar propinsi. Mana mobil-mobilnya ngebut-ngebut ampun, akhirnya saya menyetir pelan-pelan di pinggiran. Serem juga euy. Dengan berbekal google maps, dan sekali salah jalur kami sampai di Farm Chokcai. Hadeew ternyata jauh juga, hampir 45 menit perjalanan. Tapi seru juga sih tempat ini, bisa kasih makan domba domba yang lucu lucu. Lanskapnya juga hijau membentang. Sayangnya cuacanya panas teriknya kebangetan, bikin cepet haus hehe.
Farm Chockcai
Si domba domba
Sebetulnya ada tour keliling farm setiap 20 menit sekali dengan membayar 300 bath. Tapi kami memutuskan untuk berkeliling saja, menikmati farm, memberi makan domba domba serta mampir makan karena sedari pagi perut belum diisi.
Jadwal Tour Chokchai Farm
Senin – Jumat: Jadwal tetap 10.00 dan 14.00 (Jika pengunjung ramai, tour juga akan diadakan antara 09:00-11:40 dan 13:00-15:40)
Sabtu, Minggu dan hari libur: 09:00-11:40 dan 13:00-15:40 (Tiap 20 menit)
Hari Senin tidak ada tour, kecuali jika hari libur
Harga tiket: 300 baht (dewasa) dan 150 baht (anak-anak)
Alamat: K.M. 159-160 Moo 2 Friendship Highway, Nongnamdang
Pak Chong, Nakhon Ratchasima, Thailand 30130
Tel: +66 44 328 485
Email: info[@]farmchokchai.com
Website: farmchokchai.com
Setelah kembali ke hotel, check out dan menitipkan barang ke resepsionis. Kami motoran lagi ke Palio Village. Tenyata jaraknya juga jauuuuh, sekitar 1 jam-an euy. Tapi enaknya menggunakan motor, kami bisa mampir-mampir sepanjang jalan. Kami lihat ada tempat menarik terus mampir hehe. Bisa mampir beli buah, bisa mampir numpang foto sejenak, atau masuk objek wisata di depannya, nongkrong sebentar lalu melanjutkan perjalanan lagi. Di sepanjang jalan, ada banyak resort-resort cantik dan juga tempat makan dengan tema-tema khusus.
            “ Ini kalau kita mampir di depannya, trus kita foto..keliatannya kita ke banyak tempat yaa, “ ujar saya haha.
Nemu tempat menarik trus berhenti, foto foto :D

Sesampainya di Palio Village, kami berkeliling melihat lihat barang barang belanjaan sekaligus foto-fotoan. Palio village ini memang semacam tempat dengan bangunan ala Italia yang juga dibuat kayak pusat perbelanjaan. Jadi pengunjung bisa foto-foto, belanja, ada juga tempat-tempat makan. Kami membeli dompet handmade yang lucu-lucu, dan harganya masih terjangkau di kantong.

Palio Village
Cafe-Cafe ala Italia

Sayangnya kami tidak punya banyak waktu lagi untuk menjelajah Khao Yai, padahal masih banyak tempat tempat menarik lainnya. Ternyata antar tempat wisata harus ditempuh dengan perjalanan yang lumayan jauh. Memang trip kami ini kebanyakan go show aja, kurang riset hehe karena menjelang berangkat kerjaan rasanya seabrek abrek.
Sekitar jam 4 sore kami harus mengembalikan sepeda motor setelah mengisi full bensinnya lagi dan kemudian mengambil barang di resort lalu menuju stasiun kereta api untuk kembali pulang menuju Bangkok. Tapi perjalanan ke Khao Yai ini berkesan karena ngeri ngeri sedapnya motoran di negeri orang, dan yang paling berkesan sih resortnya yang menawan. Siapa tau ada kawan yang hendak ke sana, resort ini sangat recommended untuk dicoba.***
See Sky Camp
82 3 Nongkaja Pakchong-subsanun RoadKhao Yai National Park 30310, Thailand

Bunny Garden-nya See Sky Resort
Salah satu rumah di See sky camp





Minggu, 31 Desember 2017

Oban, Juaranya Seafood dan Coklat Panas




Pemandangan di luar jendela kereta yang membawa kami dari Glasgow menuju Oban sungguh memanjakan mata. Ladang gandum, deretan loch (danau) dan kawanan domba-domba yang sibuk merumput merupakan pemandangan khas Skotlandia. Setelah hampir 2 tahun kembali ke Indonesia, kesempatan kembali ke Skotlandia merupakan perjalanan yang istimewa. Rasanya kembali “pulang". Pulang pada kehidupan yang pernah dijalani selama kurang lebih 4 tahun saat menempuh kuliah di Glasgow.

Dan sayangnya, walaupun dulu telah sekitar 4 tahun di Skotlandia, tapi saya belum sempat mengunjungi Oban, sebuah kota pelabuhan yang katanya terkenal dengan seafoodnya! nyum. Makanya begitu kembali lagi ke Skotlandia, saya tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengunjungi Oban. Kota ini merupakan kota pelabuhan di daerah Skotlandia barat. Perjalanan dari Glasgow ke Oban menempuh waktu sekitar 3 jam-an dari Glasgow Queen Street. Acara jalan-jalan di Scotland itu bukan hanya saat di destinasinya saja, tapi juga di perjalanannya. Sukaaa banget mandang mandang ke luar jendela. Pemandangan yang selalu bikin kangen. Maka perjalanan kali ini, benar-benar menikmati setiap sisinya, seperti merekam kembali kenangan demi kenangan. 

Kali ini saya ke Oban bersama dua sahabat, Mbak Nia dan Mbak Arie Restu, dua-duanya mahasiswa PhD di Glasgow. Mereka sudah beberapa kali ke Oban lho, tapi ketika diajakin ke Oban mau-mau saja. Makanya saya penasaran abis dengan Oban. Ada apanya kok orang-orang nggak cuma sekali pergi ke sana. Karena biasanya walaupun tempatnya indah, orang cenderung untuk mengunjungi lokasi wisata 1 kali saja. Lha ini, bisa sampai beberapa kali..pasti ada apa apanya inih ehehe.

Seafood! Yes, ini dia kata kuncinya..Begitu kereta sampai di Oban Station, kami langsung menuju ke pinggir pantai dimana terdapat kedai-kedai bertenda yang menawarkan kelezatan seafood.
            “Biasanya kita makan di sini nih, seafoodnya fresh..” kata Mbak Nia. Saya sih ikut saja hehe, percaya saja yang sudah beberapa kali ke sini.
Kami memesan grand platter untuk kami bertiga. Iya, kalian bisa memesan beberapa tipe tergantung untuk berapa orang ataupun tergantung menu yang kalian suka. Dan ketika datang pesanan kami, wuaaa...perut yang keroncongan, sepiring grand platter seafood dan sepoi-sepoi angin pantai di awal musim gugur sungguh kombinasi yang sempurna.






Dan memang yang dibilang temen temen yang sebelumnya ke Oban benar adanya. Seafoodnya juara banget! Fresh, dimasak dengan direbus bersama bumbu minimalis yang justru membuat rasa seafoodnya lebih terasa. Mereka memasaknya di tempat, jadi kami bisa melihat proses memasaknya langsung. Dan ada papan yang menunjukkan tempat cuci tangan yang menarik perhatian kami, karena terdiri dari tulisan dari berbagai bahasa, termasuk kata "tempat cuci tangan" di situ hehe..




Setelah setelah menandaskan seporsi grand platter seafood untuk bertiga, kami mulai berjalan-jalan menyusuri kota pelabuhan tersebut. Kotanya nyaman untuk dijejalah dengan jalan kaki, dengan sesekali angin musim gugur mulai menyapa kami. Impresi saya ketika mulai menjelajah kota, langsung terasa hawa santai dan rileks banget kotanya. Tipikal kota pelabuhan yang tenang, cocok untuk berleha-leha, santai bersama orang-orang tercinta. Lihatlah landscape Oban dari bawah, dimana terlihat McCaig Tower di puncaknya.



Kami memutuskan untuk menurunkan seafood di perut dengan mendaki ke atas McCaig tower, untuk bisa melihat pemandangan kota Oban dari atas. Lumayan sih mendakinya, tapi masih ringan kok level mendakinya. Dari bawah sampai atas mungkin sekitar 20 menit. Waktunya tergantung berapa lama kamu berhenti untuk foto-foto hahah. Soalnya banyak spot yang bagus untuk foto-foto, seperti di depan Mc Caig tower. 
Bangunan ini mirip colloseum-nya Italia, terletak di atas bukit-nya Oban. Nama-nya diambil dari nama si arsiteknya, John Stuart McCaig yang membantun monumen ini pada tahun 1897. Rencananya McCaig akan membuat bangunan itu sebagai monumen keluarga, dengan rancangan berdasarkan Colloseum di Roma, karena ia pengagum arsitektur Romawi dan Yunani. Di bagian tengahnya, direncanakan akan dibangun museum dengan patung dirinya dan keluarganya, namun begitu ia meninggal, pembangunan dihentikan sehingga sampai sekarang monumen itu hanya selesai bagian luarnya saja.



Karena kamera saya tuh kamera lensa fix yang kelemahannya nggak bisa nangkep objek yang wide, saya ambilkan foto bersumber dari visit scotland ya untuk melihat seluruh cangkang luar bangunannya. Tuuh, keren kan. Wajib banget deh untuk mendaki ke atas McCaig Tower kalau kalian berkesempatan menyambangi Oban.



Dan dari McCaig tower, kita bisa melihat pemandangan Oban dari atas. Perpaduan perbukitan menghijau, bangunan bangunan kota, kapal yang berlayar dan laut. Ada kursi kayu yang disediakan di sana, yang bisa dimanfaatkan untuk berlama-lama memandangi pemandangan cantik di depan mata. Siapa yang tidak betah berlama-lama menikmati pemandangan surgawi seperti ini. Dengan angin yang menerpa, sungguh menghilangkan lelah karena sempat mendaki menuju tempat ini. 





Selain bersantai menyusuri kotanya, nyari souvenir, kami pun mampir ke toko coklat paling terkenal se Oban yakni Oban chocolate co. Toko coklat yang didirikan orang sepasang suami istri Helen dan Stewart Mackechnie pada tahun 2002 ini bahkan masuk dalam ten best chocolate shop in Europe! Humm, pantas banget dicoba kan.
Saya mencoba segelas coklat hazelnut yang memang rasanya mantaaaaap banget. Mbak Nia dan Mbak Arie menambahkan menu dengan waffles yang rasanya juga juara. Lokasinya menghadap laut, dengan sofa yang nyaman. Jadi yaaa..memang tempatnya cocok banget untuk bersantai, minum coklat, ngobrol, memandang laut. Bahkan saya sempat terlelap beberapa saat saking nyamannya. Duuuh memang sih, ini cukup menjawab rasa penasaran saya kenapa orang-orang berkali kali ke Oban. 

Coklat hazelnut dan waffles!


Eh eh, upload ah foto bareng teman seperjalanan saya, Mbak Nia dan Mbak Arie..yang membuat perjalanan ke Oban ini menjadi seru dan menyenangkan..




Rasanya sih pantas kalau saya bilang, kalau mampir ke Scotland, jangan lupa mengunjungi Oban! Rasakan atmosfernya yang tenang, santai, cocok untuk menghilangkan penat dan menyegarkan kembali hidup yang terkadang jenuh penuh rutinitas. Sebenarnya masih banyak si foto-foto menawan lainnya, tapi daripada kalian tambah jatuh cinta, pergilah suatu saat ke sana! 
***