Jumat, 27 Juni 2008

Siamo L'arcobaleno nel Cielo di Perugia


-- La poesia per tutti i miei amici a Perugia--

Sono blu, dal punto lontanissimo
Ho cercato il rosso, giallo, verde, la viola..
Adesso, ho gia trovato
Incontriamo diventare L'arcobaleno nel cielo di Perugia
Dopo la pioggia
Alla tranquilla sera quando il cielo è calma
Scintilliamo per un breve tempo
Ma luminoso, splendido, straordinario
La nostra amicizia a Perugia come L'arcobaleno
Incontriamo solo per tre mesi
Ma per me, era una cosa meravigliosa
siete entrato nella stanza del mio cuore
Adesso ha gia chiuso, non posso mai trovare le chiave per aprire
Quindi, rimanerete per sempre
Nel mio cuore
In futuro, la vita passerà
Il tempo correrà
e l'ambiente sara diversà
Ma, il cielo sempe mancerà l'arcobaleno
Aspeterà che l'arcobaleno luminosa
Ancora!

-- Grazie per tutti i miei amici a Perugia
Per un dolce e grande amicizia. Tutto che abbiamo passato era una grande esperienza nella mia vita
Non dimencare mai..Ritenerò i vostri sorissi dentro di me...
La gioa..la felicita..l'amicizia..
Grazie e arrivederci.
Ci vediamo un giorno!


Selasa, 24 Juni 2008

When I must Say Good Bye...


"Perche devi tornare a Indonesia (mengapa kamu harus pulang ke Indonesia) ?" pertanyaan itu lagi-lagi ditujukan padaku, glek..sedih menyeruak, tapi begitulah jalan yang harus ditempuh. Non voglio tornare,ma devo tornare (aku tidak ingin pulang-tapi aku harus pulang). Sebenarnya mungkin kata yang lebih tepat adalah " Aku memilih untuk pulang", karena tidak ada yang mengharuskanku untuk pulang, entah itu keluarga, pekerjaan, sahabat, aku pulang karena aku memilih untuk pulang. Ada keluarga yang telah menunggu di sebuah titik di peta nun jauh di sana, ada pekerjaan yang kutinggalkan-dan aku mengambil resiko besar dalam pekerjaanku dengan tetap nekad untuk terbang ke negri sejauh ini, sahabat yang telah menunggu celoteh dan souvenir dariku hehe..ada tali-tali sekuat itu yang membuatku untuk memilih untuk pulang.
Mencelupkan kehidupan selama tiga bulan disini serasa berjalan begitu cepat, dan di sini aku telah membuat tali-tali baru bahkan sebuah jembatan baru yang akan menghubungkan dengan sebuah rencana ke depan berikutnya. Bila aku adalah warna biru, aku telah bertemu dengan merah, jingga, kuning, hijau, nila dan ungu. i miei amici, Siamo l'arcobaleno nel cielo di Perugia. Kami seperti pelangi yang menghiasi langit hanya sesaat, dan kemudian meninggalkan langit yang akan selalu merindukannya. Kami hanya mempunyai kesempatan untuk saling menghiasi hari selama 3 bulan, dan aku akan segera meninggalkan mereka. Mi mancerete molto!

Entah mengapa rasa sentimentil menyeruak dalam hatiku menjelang kepulanganku, ini pertama kalinya aku harus meninggalkan orang-orang yang telah masuk ke dalam hatiku dan aku tahu pasti hanya tersisa sedikit kemungkinan di masa depan untuk bertemu kembali. Ci vediamo nel tempo prima di morire (kita bertemu di saat sebelum kematian)-begitu tertulis di salah satu pesan yang kuterima dari seorang sahabat saat aku meminta kata-kata kenangan dari seluruh teman sekelas di sebuah kertas sebagai kenangan. Awalnya aku tak mengerti apa maksudnya, dan saat kutanyakan mengapa menulis pesan demikian, "Karena kita hanya bertemu sekali seumur hidup, dan mungkin setelah ini kita pernah akan berjumpa lagi". Membaca pesan-pesan yang mereka tinggalkan, dan membaca sebuah surat yang ditunjukkan untukku membuatku sadar bahwa aku benar-benar akan segera pergi. Kadang aku tidak "mau"manyadari kalau waktu yang tersisa tinggal hitungan hari.

Mereka yang telah berbagi kehidupan denganku selama hampir tiga bulan, yang memberikan banyak kebahagiaan, yang menerimaku di atas perbedaan yang dalam, yang menorehkan sejarah besar dalam hidup. I know it's hard to say good bye..tapi hidup akan terus berjalan. Ada langkah-langkah ke depan yang harus ditempuh. Tapi pengalaman dan kenangan selama kehidupanku di Perugia adalah harta karun yang akan kubawa kemanapun langkah tertuju.
Grazie mille i miei amici, siamo sempre amici..siamo L'arcobaleno nel cielo di Perugia (Terima kasih, sahabat..kita akan selalu menjadi sahabat, kita adalah pelangi yang menghiasi langit Perugia).
Ada sebuah pesan yang tertulis di kertas itu ...
" Non dimenticare mai tutto che abbiamo passato il tempo insieme in Italia.
e poi un giorno, ci incrontiamo
Grazie tutto!-"
-- Dont ever forget all the memories that we've through together in Italia. and then we'll meet again someday. Thanks for everthings--
Entah mengapa suatu hari aku yakin akan kembali bertemu dengannya***
Palazzina Lupatelli, martedi 24 Giugno.13.00

Rome-La città etterna (Roma-Kota Abadi-)


Suatu tempat yang ada di hatimu, bukanlah suatu tempat yang paling indah, menarik ataupun paling menakjubkan yang kamu kunjungi..tapi tempat yang ada di hatimu, adalah tempat dimana selalu ada tali tak terlihat antara hatimu dan tempat itu yang selalu membuatmu tak pernah bisa lepas-Roma, 24 Giugno 2008.

Mengunjungi Roma sebagai penjelajahan terakhir sebelum aku harus kembali menjejakkan kaki lagi di tanah air menyisakan suatu pengalaman yang menakjubkan. Memandangi berbagai tempat yang kadang aku kehilangan kata saat harus menggambarkannya, roma terlalu indah untuk sebuah kunjungan, hingga rasanya dua hari tidaklah cukup untuk menjelajahi dan merasakan atmosfer kota yang begitu antik, kuno, artistik hmm meravigliosa!
Kadang membayangkan bagaimana peradaban sebuah kota abadi bernama Roma yang setiap sisi dan sudutnya menyisakan sisa-sisa sebuah peradaban tinggi di masa lampau. Bahkan banyak yang menyebut kota yang berusia lebih dari 2800 tahun ini sebagai Caput Mundi (capital of the world). Kota dimana pernah menjadi pusat kerajaan, republik dan kekaisaran romawi, hingga peninggalan bangunan-bangunan dengan arsitekturnya yang menawan masih tersisa hingga kini. Dan setiap harinya beribu turis mengunjungi kota ini demi melihat langsung sisa-sisa perbadan masa lau yang masih terawat apik dengan dibiarkan memperlihatkan pesona di balik sejarah yang tersimpan di dalamnya.
Kami berempat (plus seorang teman indo dari Barcelona dan Bule belanda asal malang), memulai penjelajahan dengan mengunjungi Vatican, sebuah negara paling kecil di dunia karena luasnya cuma 44 hektar dan terletak di dalam kota Roma (kyaa..bisa menjejakkan kaki di dua negara sekaligus hehe..). Vatican merupakan negara pusat agama katholik dunia, walaupun berbeda keyakinan, tempat ini sudah sering ada dalam kepalaku karena hampir setiap misa Natal aku menyaksikannya di depan televisi karena mengagumi arsitektur bangunannya yang luar biasa plus bisa sekalian belajar bahasa itali ^_^ (percaya atau tidak, dulu aku bahkan menggambar basilica San Pietro plus Piazzanya-tapi jelas hasilnya jauh dari aslinya). Jadi mengunjungi tempat yang dulu aku gambar merupakan pengalaman yang menyenangkan, walaupun harus antri untuk masuk ke dalam basilika tapi setelah ada di dalamnya, decak kagum akan tangan-tangan penuh bakat yang telah mengerahkan kemampuannya untuk membuat fresco (lukisan dinding) serta pahatan yang begitu luar biasa. Seluruh sudut dan sisinya adalah maha karya manusia-manusia yang dianugerahi bakat dan imaginasi hingga terciptalah suatu bangunan yang membuat setiap orang mengaguminya. Botticeli, Bernini, Raphael dan Michaelangelo lah si pembuat mahakarya itu.
Selesai mengunjungi Vatican, kami mulai menjelajahi kota roma. Dimulai dengan Piazza del popolo, tangga spanyol (spanish steps) di Piazza spagna. Menjelang maghrib kami mengunjungi teman-teman sesama Indonesia di Universitas La Sapienza yang mengundang kami makan malam (yipiiee..asyikk), di daerah tepian kota Roma, di appartemen mereka yahh bahkan hampir terasa seperti di Indonesia. Di tambah lagi dengan kunjungan seorang ibu tua yang membawakan kami makanan (terong goreng, terong dan kentang keju -wew- coba ada sambel terasi hehe), ternyata ibu asal indonesia itu sudah 33 tahun tinggal di roma, menikah dengan orang itali dan mungkin akan terus tetap tinggal di Itali.
Menjelang tengah malam, setelah menyaksikan kekalahan belanda dari Rusia di perempat final EURO kami menuju Fontana di Trevi. Ada sebuah mitos yang menarik yang mungkin hampir semua orang tahu, yakni bila melempar koin ke fontana di trevi maka suatu saat akan kembali ke Roma. Cuma untuk lucu-lucuan, aku melempar sebuah koin rupiah (yup..aku kan dari Indonesia!!lagian kalo melempar koin euro kan sayang), Aku yakin akan kembali lagi ke Roma suatu saat!!Spero tornare a Roma un Giorno!
Dan di tengah kilatan cahaya lampu yang menerangi fontana di trevi, aku mengambil air dari fontana di trevi dan memasukkannya ke dalam botol kecil. Yup, setiap orang punya kebiasaan yang aneh..(dan aku...terlalu banyak kebiasaan yang aneh hehe). Aku sudah menyimpan air dari Venezia, air dari fontana di trevi dan udara dari Milan, semoga tidak bermasalah nanti di bandara.
Hari kedua penjelajahan, kami mengunjungi palazzo venezia, foro romano, colloseum, castel dan ponte sant angelo. Semua tempat terlihat begitu mempesona, membuatku serasa ditempatkan dalam suatu peradaban di masa lampau. Dan waktu berlalu begitu cepat, masih banyak tempat yang menarik untuk dikunjungi, tapi jadwal kereta yang akan membawaku ke Perugia tepat jam 18.12 segera datang. Meninggalkan Roma, kota abadi yang menakjubkan dan suatu saat ingin kukunjungi lagi...walaupun entah kapan. Tapi dalam perjalanan ini aku menyadari bahwa tempat yang ada di hatiku bukanlah tempat yang paling indah, menakjubkan yang kukunjungi tapi tempat dimana ada tali yang membuatku selalu terhubung.
Perugia, memang kalah menakjubkan dari Roma ataupun kota-kota lain yang telah kukunjungi, tapi entah mengapa ada tali yang selalu menghubungkanku dengannya. Ada aroma yang ingin selalu membawaku untuk kembali, suatu magnet yang membawaku pulang saat bepergian. Perugia, yang sebentar lagi kutinggalkan.....
Tapi tetap saja ada yang tertinggal.....

Kamis, 19 Juni 2008

Menjadi Kaum Minoritas


Kadang tidak pernah membayangkan mengalami sebuah keadaan dimana aku harus ditempatkan pada status yang “tidak biasa” karena selama ini dalam kehidupanku diatur oleh alam bawah sadar dimana terpancang skenario hidup yang taat azas dan anti keabnormalan dalam lingkungan sosial. Mungkin hal itu yang kadang membuatku menjadi “makluk yang tidak terlihat”. Tapi menginjakkan di sebuah daratan yang mempunyai kehidupan yang sama sekali berbeda, membuatku merasakan berbagai pengalaman yang sarat dengan pembelajaran. Menjadi seorang muslimah yang berjilbab di sebuah negri bernama Italia, dimana harus selalu siap saat orang memandangku dengan ekspesi yang aneh seakan dalam pikirannya berkata “ hmm..cara berpakaian yang aneh!”
Tidak jarang orang menanyakanku mengapa memakai jilbab disini, aku menyebutnya “il velo-kerudung-“..Mungkin bagi mereka merupakan hal yang baru, tidak biasa dan “aneh”. Dan aku sekarang sudah terbiasa dengan berbagai reaksi yang aku terima, toh kita tidak bisa mengatur reaksi dari luar, tapi kita sepenuhnya bisa mengendalikan respon kita terhadap setiap reaksi. Kadang ada yang memandangku dengan berkerut, bertanya dalam hati, atau ada yang berkata “ e piu comoda quando non usare il velo (menurutku lebih nyaman bila seorang wanita tidak memakai jilbab” begitu kata seorang teman di kelas. Ada juga yang beranggapan memakai jilbab bagi seorang wanita adalah simbol pembatasan kebebasan manusia. Namun ada juga yang berkomentar “Ah..che bella!! Dengan ekspesinya yang memuji. Yah, saat menjadi kaum minoritas, yang memakai apa yang bukan kelayakan bagi mereka membuatku banyak berbenturan dengan berbagai reaksi yang berbeda.
Namun setelah menjalani kehidupanku di tanah Perugia, banyak pekerjaan rumah yang ingin kukerjakan.
Betapa selama ini pemahamanku terhadap apa yang aku yakini adalah sebuah ketaatan pada sebuah textbook yang memang aku yakini kebenarannya, namun belum memaksimalkan kerja otakku untuk berpikir rasional dan logis tentang alasan dan mengapa prinsip-prinsip yang kujalankan itulah yang aku pilih.
Mengapa memakai jilbab? Mengapa tidak boleh minum anggur dan alkohol?Mengapa di larang makan daging babi?Mengapa seorang muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki dengan agama yang berbeda’Mengapa istri harus mengikuti apa kata suami? Mengapa dalam islam dibolehkan seorang laki-laki berpoligami?
Disini, hal yang tidak pas untuk menjawab pertanyaan itu adalah “karena begitu yang tertulis di Al Qur’an”-jawaban standard yang sama sekali harus kuhindari. Karena mereka sama sekali tidak bisa memahami alasan tersebut, kita harus bisa menjelaskan dengan rasional dan logis, dihadapkan pada situasi itulah yang membuatku merasa pengetahuan dan pemahamanku terhadap prinsip yang selama ini kujalani masihlah sedikit.
“Agama mu adalah agama yang penuh dengan larangan, Kamu takut pada Tuhan?”sebuah pertanyaan yang pernah terlontar padaku. Nampaknya bagi mereka islam dipandang sebagai agama yang penuh dengan larangan dan membatasi kebebasan manusia. Tidak boleh ini..tidak boleh itu..bagi mereka kebebasan adalah segalanya. LIBERTA adalah agama bagi mereka, yah..mereka beragama tapi tidak melaksanakannya, mereka hanya percaya pada kemampuan dan keyakinannya pada diri sendiri sehingga apa yang dilakukan dilandaskan pada azas kebebasan. Rasionalitas dan logika ditambah dengan azas kekebasan yang mereka anut membuat mereka sulit untuk memahami konsep islam yang sebenarnya damai dan tidak membelenggu.
Pernah dalam suatu kesempatan, menonton dan membahas film FITNA yang dilarang tayang di Indonesia bersama dengan beberapa orang Itali bukanlah hal yang mudah untukku. Sebuah film kontroversial garapan seorang sutradara belanda yang sengaja menunjukkan muka islam menurut versi-nya yang penuh dengan kekejian membuatku berkerut dan jiwaku memberontak. Sedih menyeruak dalam dada melihat bagaiman citra islam dicorang moreng dengan sebuah pencitraan yang begitu buruk. Stempel kekerasan dan terorisme telah terlanjur mengurat akar dalam pendangan mereka. Bagi mereka Kehidupan gay, seks bebas ataupun sikap hidup bebas ala manusia yang terus saja mengedepankan kebebasan di atas segalanya adalah hak azasi setiap manusia. Andai bahasa italiaku sudah bagus..kadang berpikir begitu, karena penjelasanku pada mereka terbentur kendala bahasa yang membuatku tidak leluasa mengutarakan pemikiranku.

Menjadi kaum minoritas, memberikanku banyak pembelajaran, bahkan penyadaran diri. Andai aku dilahirkan menjadi seorang katholik, hindu, atau budha? apakah aku akan menemukan islam?--dihadapkan pada sebuah pertanyaan itu aku merasa sangat beruntung. Menjadi kaum minoritas, menjadi orang yang bukan kebanyakan..melakukan hal yang tidak lazim dalam lingkungan dimana kujejakkan kaki adalah sebuah tahapan yang penuh dengan naik turunnya keimanan tapi disitulah aku menemukan jawaban-jawaban Tuhan.

Rabu, 18 Juni 2008

Co' yang tidak bisa dijadikan Suami





"Guardi, lui e molto carino!"(liat...dia ganteng banget)"tiba-tiba lenganku dicolek sahabatku saat baru beberapa saat duduk untuk menyaksikan concerto degli studenti stranieri dimana, 4 orang temanku berpartisipasi mengisi acara tersebut. Penasaran dengan komentarnya, pandanganku mencari ke arah yang ditunjuknya, Ah... ternyata matanya tengah mengkap tebaran pesona sang musisi jepang. Ia berdiri di samping bagian depan aula Magna Palazzo Gallengga dengan penampilannya yang kasual dan muka eksotis khas Giapponese, badannya terus bergerak seiring musik yang tengah dimainkan. Hmm..bukan tipikal lelaki jepang yang biasanya kaku, serius dan tidak ekspresif, ia tampak begitu menikmati setiap alunan nada yang dimainkan dan dengan begitu ekspresif mengikutinya dengan gerakan-gerakannya yang impresif, yup memang perpaduan yang menarik, pantas saja kalau sahabatku ini langsung sedikit "nancep"padanya hehe.

Ia serta merta menyuruhku untuk menanyakan identitas si co' jepang itu pada teman-teman jepangku yang duduk di barisan depanku.

"Sanche Nakajima" Begitu jawab Tomoko. Ah...Sanche. Dan saat gilirannya tampil dengan band jepangnya, hmm memang benar-benar memikat. Dengan gayanya yang bak musisi kelas atas, begitu lincahnya jari-jari tangannya memainkan senar gitar, ditambah lagi vokalnya yang terdengar dalam dan jernih. " Wah..tipikal anak band banget"hmmm begitu komentar sahabatku ini yang nampaknya tak bisa melepaskan pandangan dari si co' sunche ini.

Konser malam itu memang begitu menghibur, dengan tampilnya keempat temanku yang memainkan beberapa buah lagu.Ditambah lagi dengan beberapa penampilan dari beberapa negara lainnya, dan ditutup dengan penampilan musik latin ala argentina yang menghentak aula magna dengan iramanya yang rancak. Tapi, Sanche nakajima tetaplah la stella del concerto di konser malam itu (yup, setidaknya bagi beberapa orang hehe-tidak bagiku yang memang bukan tipikal^_^).

" Tapi, co' seperti itu bukan co' yang bisa dijadikan suami!" cetus sahabatku itu sambil tangannya terus sibuk mencuci piring, seusai makan siang dengan menu pasta dengan tuna.

Wew..aku tergelak sejenak.Che interressante! menarik..penyataan itu sering mampir di kepalaku, namun tidak pernah tercetus. Co' yang tidak bisa dijadikan suami?Mengapa? apakah karena hanya enak dilihat..dan tipikal co'populer seperti itu adalah co' flamboyan dengan mentalitas don juan?Wew nampaknya terlalu dangkal dan dini untuk mengatakan demikian. Hmm..aku teringat dengan sebuah kalimat menarik yang memaksaku untuk merasa tersentil dalam sebuah film yang dibintangi Cameron Diaz dan Jude law, The Holiday (l'amore e non va in vacanza). " Mengapa aku selalu tertarik dengan seseorang yang aku tau pasti orang itu bukan orang yang tepat untukku?" begitu kalimatnya. Mungkin memang hati tak pernah punya kuasa menolak untuk menjatuhkan cinta pada siapapun itu, tapi ternyata manusia tidak cukup dengan hanya setuju dengan pilihan hati, tapi rasionalitas kepala.