Senin, 10 Agustus 2009

Cantik!!



Cantik itu tinggi semampai, putih mulus, dengan wajah nan ayu tanpa jerawat, postur tubuh proporsional dengan ukuran standard tertentu, begitukah??
Cantik menurut versi siapa? Uhm..tapi toh ukuran-ukuran tadi sudah menjadi ukuran seragam dalam masyarakat. Dan aku berpendapat bahwa media memegang peran sentral dalam membuat stigma tentang kecantikan. Stigma cantik versi media digambarkan atau divisualisasikan dengan wanita-wanitanya nan molek dalam iklan, sinetron, film dan infotainment. Itulah cantik versi media, dan masyarakat digiring untuk mempunyai persepsi yang sama. Kita diajak untuk seringkali lebih mementingkan kulit daripada isi. Sejenak teringat status FB seorang sahabat yang membuatku tersenyum

Inner vs outer beauty... outer beauty, somehow, is always win at first

Uhm..yayaya..semacam sebuah kompetensi genetik, yang lebih cantik mempunyai kesempatan karir yang lebih baik, mempunyai daya kompetisi untuk menarik pasangan lebih mudah, hihi begitukah kira-kira?. O o..aku rasa tidak sepenuhnya benar demikian adanya. Wanita, yang memang secara naluriah ingin selalu tampil cantik namun sayangnya akhir-akhir ini kecantikan lahiriah makin dianggap sebagai hal yang utama. Maka tak heran banyak tampilan permakan serta tehnologi yang menyediakan bagi mereka-mereka yang ingin tampil cantik. Cobalah lihat dari tehnologi rebonding, smoothing, suntik-suntikan, iklan-iklan pencerah wajah dan masih banyak lainnya, semuanya menawarkan perbaikan kecantikan fisik agar makin menawan.
Wanita menjadi terobsesi dengan kecantikan luar, hingga fokus “perbaikan” dirinya kadang hanya terlalu terfokus di luar, dan melupakan yang ada “di dalam”. Sebuah kosakata yang agak basi bernama “inner beauty”, lagi-lagi harus kusebut saat bicara tentang kecantikan. Dalam deskripsi “human beauty” ada yang disebut “inner beauty” yang mencakup kepribadian, kecerdasan, keluwesan, keserasian (congeniality), pesona atau daya tarik dan ketulusan sementara“outer beauty” sering dipersepsikan apa yang dinamakan “physical acttractiveness” yakni penampakan visual.
Wait, aku bukan anti kecantikan luar. Tentu saja perempuan memang dilahirkan dengan keinginan alamiah untuk selalu tampil cantik, seperti halnya pria yang dilahirkan dengan genetis gila kesuksesan. Dan semua orang juga suka melihat yang indah-indah bukan?. Akupun beranjak dari tataran “hanya pake bedak” ke tataran bisa pakai mascara plus kawan-kawannya. Dan sekali lagi karena kecantikan luar tetap saja penting, tapi bukan yang paling penting. Aku sering melihat wanita dengan penampilan luar dalam kategori ”biasa-biasa” saja tapi mempesona, ada sesuatu dalam diri mereka yang menawan. Apa? Entahlah, tapi itu terjadi saat aku melihat seorang wanita yang nyaman akan dirinya, ketulusan serta kebaikan nurani yang terpancar saat ia bicara, memperlakukan orang, dan satu lagi yang sering membuatku tertarik yakni saat seorang wanita mampu melakukan sesuatu yang berarti bagi dirinya sendiri dan orang lain. Mungkin dari semua hal tersebut penerimaan diri bersumber. Saat manusia sudah bisa menerima dirinya, mencintai dirinya sendiri, dari disitulah sikap nyaman akan dirinya akan terbawa, dan itulah yang memancarkan pesonanya. Gampangkah? Tidak, karena standard-standard di luar itu, tapi tentu saja bisa ditempa dengan kesadaran yang berlanjut. Yah, tidak gampang. Dan itupun kualami sendiri betapa ukuran-ukuran itu mempengaruhi penerimaan kita akan diri kita sendiri. Dulu, gigiku tidak rapi hingga pernah ada seorang teman laki-laki saat SMA berkata padaku :
” Uhmm kamu manis lho kalau nggak lagi senyum”
Bleeep...duniaku mengecil kala itu, di saat usia dan perkembangan diri belum lagi matang tentu saja hal itu membuatku tak percaya diri. Dan aku menyadari bila aku sedang tersenyum gigi-gigiku yang tak rapi dan warnanya tak putih karena pengaruh antibiotik saat kecil itu mengganggu penampilanku. Uhmm kau bisa membayangkan betapa tidak mudahnya melepaskan diri dari standard-standard itu. Hingga bila kupandangi foto-foto zaman awal kuliahpun sangat jarang aku tersenyum saat difoto (tersenyum dengan memperlihatkan gigi maksudnya), uff menyedihkan.
Tapi seiring perkembangan diri, saat mencoba untuk tertawa lepas dan tersenyum dengan memperlihatkan gigi saat difoto aku melihat diriku yang bahagia, yang gembira, yang berwarna. Dan akhirnya aku mulai berani tersenyum lebar. Dan saat kuliah lanjut di Jogya, tehnologi membantuku memperbaiki penampilanku, dengan konservasi gigi hingga gigiku nampak sedikit rapi. Dan yippiie itu membawa perubahan besar dalam diriku hingga aku menjadi lebih mudah untuk tersenyum dan tertawa. Nah, itulah mengapa aku mengatakan penampilan luar itu juga penting, kosmetik dan tehnologi itu juga perlu, tapi aku menemukan hal yang lebih utama dalam hal penerimaan akan diriku.
Aku mencintai diriku, dengan penampilan luar maupun sifat serta pemikiranku yang terus saja masih kudalami.
Cantikkah? ”bila kutanya pada diri sendiri. Cantik! Karena semua perempuan lahir dengan kecantikannya masing-masing.
“Pretty is something you're born with. But beautiful, that's an equal opportunity adjective.”
Yap, hal ini memang banyak yang memperdebatkan. ”Bagaimana bila kita terlahir dengan penampilan fisik yang jauh dari standar yang ada di masyarakat?, Kenapa wanita lain diberikan wajah dan cantik dan tubuh yang bagus? Bla..bla..bla yang lainnya”. Galilah sesuatu dalam dirimu, temukanlah harta karunnya dan mulailah mencintai dirimu sendiri. Ingin kubisikkan pada setiap wanita,”Semua wanita itu cantik!”


*** Untuk semua wanita di dunia

source of pic : http://www.earthsbeauty.com/Nics%20Beauty%20Earths%20Beauty%20.jpg

Jumat, 31 Juli 2009

Pernikahan -“Pertemuan Kembali”-


Ah, rasanya gatel untuk menulis di sela-sela rutinitas setelah iseng membaca tulisan Fadh Jibran (Penulis A Cat in My Eyes-Karena Bertanya Tak Membuatmu Berdosa) dalam project I care I share. Projek tersebut menampung berbagai pertanyaan pembaca tentang apa saja- biasanya tentang hal-hal yang menggugah untuk diperdebatkan-, dan Fahd setiap minggunya akan memillih salah satu untuk dibahas di blognya.

Dan pertanyaan kelimabelas adalah tentang pernikahan, sebuah pertanyaan dari Alexa dan Adisti yang juga membuat project “Lajang dan Menikah –Sama Enaknya, Sama Ribetnya-. Inti pertanyaannya tentang apa esensi pernikahan, karena banyak orang menilai pernikahan sesuai dengan pernyataan berikut :


"Most Indonesians get married out of fear, not out of love. Fear of parents, extended family, society, and the ticking clock."


Jangan mendebatnya terlebih dahalu, memang tidak semuanya begitu. Tapi toh fenomena di atas memang banyak terjadi di Indonesia.

Fahd mengatakan bahwa memang ada banyak faktor seperti umur, tradisi, sunnah Rasul, tuntutan masyarakat, yang mendorong seseorang memutuskan untuk menikah. Tapi semua itu hanya faktor, bukan dorongan utama (baginya-red. Tentu saja karena tulisannya adalah opini pribadinya). Faktor-faktor tersebut tak bisa dihindarkan bila tidak ingin disebut makhluk asing oleh komunitas mayarakat normal bila berusaha melepaskan diri dari itu. Tapi bukan itu landasannya, ia mengatakan dengan begitu yakin. “Saya akan menikah bukan karena merasa takut”. Disebut pula bahwa sebentar lagi ia akan menikah, sehingga tulisan tersebut dibuat tentu saja bukan tanpa dasar.

Dari bahasan yang dikemukakan Fahd, menurutnya pernikahan dilandasi oleh sebuah panggilan. Ia menyebut tentang konsep soulmate-sebuah bahasan lama yang tak pernah basi. Ia mengutip apa yang berabad-abad lampau dikemukakan oleh Plato, berikut :


Bahwa semula, kita dan pasangan kita dilahirkan sebagai kembar. Aku dan dia, kau dan seseorang, seseorang dengan seseorang lainnya. “Mereka diciptakan Tuhan dengan dua kepala, dua leher, dua badan, dua pasang tangan, dua pasang kaki, dan seterusnya,” begitu kata Plato, “tapi mereka hanya dikarunia satu hati, satu jiwa. Dan mereka harus berbagi.” Suatu hari, tersebab takdir tertentu yang takterjelaskan, mereka harus terpisah satu sama lainnya. Namun, sejauh apapun mereka berpisah, jiwa mereka akan saling “memanggil”, saling mengirimkan sinyal untuk saling mendekat, dan kelak—bila mereka mengikuti panggilan itu—mereka akan bertemu kembali (Plato And The Theory Of Forms, Tim Ruggiero, Philosophical Society, July 2002).


Begitulah diceritakan bahwa Adam dan Hawa akhirnya “bertemu kembali’ di Jabal Nur setelah lama saling ”memanggil”. Mungkin apa yang dimaksudkan Fahd adalah saat telah bertemu dengan seseorang dan dia merasa yakin bersamanya akan dilanjutkan perjalanannya ke dalam diri dan pernikahan adalah pertemuan kembali. Karena selama ini kita dipisahkan dalam kehidupan masa lalu yang berbeda, latar belakang, pola pendidikan orang tua, lalu dipertemukan kembali dalam suatu pernikahan. Pernikahan merupakan proses menggali-mengenal lebih dalam-mengenal lebih dalam-demikian seterusnya- yang butuh kebersamaan dan komitmen yang panjang.

Ah, aku tidak pintar menjelaskan intisari pemikiran Fahd, tapi setelah aku membaca pemikirannya aku jadi semakin mengerti. Ya, panggilan itu..apapun istilahnya, hal yang aneh tak terjelaskan. Bukan karena jarum jam yang terus berdetak (karena tetap saja aku masih merasa muda, kawan ehehe), bukan karena teman-temanku sudah hampir semuanya menikah. Aku senang menghadiri pesta pernikahan teman-temanku, bahagia untuk mereka tapi sama sekali tidak memberikan efek signifikan terhadap keinginan untuk menikah.

Pun juga pertanyaan orang tua, keluarga besar, saudara, teman..kapan?kapan?kapan..ehehe serasa itu pertanyaan wajib dan paling penting di dunia. Tapi tak jua itu menggangguku kawan, aku menganggapnya sebagai sebentuk perhatian saja yang kadang masuk telinga kiri dan mungkin tidak sampai tulang sanggurdi, tak terdengar di hatiku. Dan syukurlah aku tidak merasa terbebani karena seperti yang pernah kutulis dalam tulisan di blogku ‘mengapa harus menikah?” tingkat ke-urgensi-anku memang belum memenuhi syarat 3 kebutuhan itu.

Tapi dengan berat hati sekarang kukatakan “ Sial kawan, panggilan itu datang” ahaha…

Aku tidak harus menjelaskan panjang lebar, karena saat Tuhan membalikkan hatiku aku tidak bisa berbuat apa-apa. Tak jua kukenal orang itu dengan baik, tapi panggilan itu lamat-lamat kudengar. Mungkin ini berarti berita baik ehehe.. . Dan ”Jabal Nur”-ku sepertinya sudah pernah kujejaki.

Menengok ke belakang, aku teringat akan sebuah peristiwa, kepingan puzzle dari sebuah gambaran utuh yang kupikir berdiri sendiri tanpa ada episode berikutnya.

Akan kuceritakan sedikit, saat itu dengan perasaan gundah dan menyesal aku menghabiskan waktu untuk menunggu jadwal kereta berikutnya dengan mencoret-coret di bukuku. Sebal, gara-gara keteledoranku aku telat mengejar kereta menuju Roma, hingga harus terkatung-katung di Sta.Perugia Fontevegge. Duduk di ruang tunggu sambil mengamati orang-orang bersliweran, seorang wanita yang berjalan terburu-buru, sebuah keluarga dengan anak-anaknya yang lucu-lucu, mungkin akan berangkat berlibur, atau beberapa pendatang seperti orang timur tengah yang nomaden dengan buntelan besarnya. Hingga rasanya saat itu aku ingin menulis :

21.06.08 Sta Perugia Fontevegge 09.30 am


” kenapa manusia harus melalui siklus lahir, besar, bertumbuh, menikah, punya anak, menjadi tua dan mati?. Terbesit pertanyaan siapa pada mulanya yang memulai standard hidup demikian. Di berbagai bangsa, tradisi dan ras semuanya cenderung untuk mengikuti pola yang sama.

Bagaimana pola pikir manusia zaman dulu saat mengawali sebuah peradaban manusia dengan kemampuannya berpikir dan berkarsa. Kenapa dulu manusia tidak memutuskan untuk lahir, tumbuh seorang diri walaupun hidup dalam suatu komunitas sosial, menjadi tua dan kemudian mati?”


28.07.09. Purwokerto, Ina. 09,43 pm

Kawan, setelah membaca tulisan fahd Jibran dan membuat tulisan ini. Aku tiba-tiba merasa bahwa Tuhan sudah menjawab pertanyaanku beberapa jam berikutnya dari saat aku menuliskan coretan di atas.

Dengan rentang waktu yang demikian lama, kau pasti bisa memperkirakan berapa lama aku baru bisa mencerna jawabanNya..Ah, lelet ya..tapi setidaknya aku bertanya, karena kepastian jawabanNya adalah mutlak adanya. Dan karena bertanya tak membuatmu berdosa..


source of pic : http://www.lucis.me.uk/truelove.jpg

Selasa, 14 Juli 2009

Things That I Never Predicted


Kali ini aku menulis saat senja mulai menandai langit Purwoketo, sambil duduk santai di balkon depan kamar, menikmati alunan klasik suara Andrea Bocelli uhmm..ada sedikit waktu untuk menulis setelah seharian “ngebut” uff work overtime!.
Walau pekerjaan belum lagi usai, namun kepala rasanya perlu dicairkan dalam barisan kalimat yang meleraikan rutinitas barang sejenak. Dan beginilah saat banyak hal-hal tak terduga terjadi, harus berkejaran dengan waktu dan menyelesaikan apa yang telah menjadi tanggung jawab.
Hidup berjalan dengan kejutan-kejutan Tuhan yang tak pernah kita duga kapan akan menjumpai kita. Bukankah kejutan memang sengaja diskenariokan untuk membuat kita terkejut?ehehe…
Sore hari menjelang pencontrengan tanggal 8 Juli lalu, sebuah email di inboxku dengan sender DP2M Dikti..uhmm berjudul surat undangan. Dan saat kubuka ada kegembiraan yang membuncah saat mengetahui namaku ada di daftar peserta pelatihan penulisan artikel ilmiah nasional di Yogyakarta..uhmm, iseng-isengku membawa hasil ternyata. Walaupun aku dulu mengirim aplikasi plus naskah publikasi secara pribadi, tidak melalui institusi, tapi toh ternyata dipanggil juga. Poin pertama yang membuatku senang tentu saja berkesempatan menimba ilmu lagi dan pelatihan ini akan sangat berguna untuk menulis jurnal berstandar nasional nantinya. Poin kedua, semua biaya pelatihan mulai dari pelatihan, transport, akomodasi dan konsumsi semuanya dibiayai oleh Dikti. Yap..jadi sangat gampang untuk minta surat tugas dari pimpinan..
Poin ketiga, tentu saja kau bisa menebaknya...JOGYA lagi hihi..menyenangkan untuk kembali lagi ke sana.
Kejutan selanjutnya saat aku mengkonfirmasi tiket MU untuk pertandingan di Senayan tanggal 20 Juli nanti. Memang jauh hari aku sudah nitip ke sahabatku yang seorang wartawan olahraga Jawa Pos, tapi sekian lama kuminta konfirmasi tak ada kabar beritanya. Tapi satu pesan di inboxku yang sangat singkat membuatku tersenyum
onok bu. Yang 100 rebu 1 tok toh yo..”
Eheehee..yipiiiiieeee...jadi nonton MU nih di senayan. Bling..bling...
Tapi yang langsung membuatku panik adalah jadwal. Uhm, jadwal pelatihan di Jogya tanggal 16-19 dan pertandingan MU tanggal 20 jam 7 malam. Jiahh..padahal seabrek kerjaan lagi banyak-banyaknya dengan deadline pengumpulan nilai tanggal 18 Juli. Sempurnalah kejutannya hihi..jadi harus berpetualangan lagi dengan rute Purwokerto-Jogya-Jakarta-Purwokerto nih
Dan beginilah selama beberapa hari ini, menjadi asosial karena kehidupan hanya berkisar antara kos dan kampus. Ngebut koreksi ujian, entry data, koreksi skripsi, seminar hasil mahasiswa bimbingan skripsi..hiyakkk..
Tapi herannya aku baik-baik saja, bahkan lebih bersemangat dari biasanya, senyumku lebih berbinar dari biasanya (weh..weh...), walaupun badan sudah mulai protes.
Oh ya, aku beberapa saat yang lalu menulis status pada FBku
”Bila alur hidup ibarat roda, aku tengah belajar mendekati porosnya
Yap, bila kau berada di pinggirnya, kau akan ikut terombang ambing dalam alur naik turunnya kehidupan. Tapi bila sudah mulai berada di tengah, kehidupan akan stabil namun bukanberarti tanpa tantangan hingga akan berujung pada kebosanan. Lihatlah roda yang terus berputar, begitulah kehidupan eksternal, ragawi, duniawi yang wajib kita jalani dengan baik. Tentu saja setiap tapak kehidupan menawarkan tantangan, impian, jalan yang terjal, persaingan serta naik turunnya roda nasib. Tapi bila sudah berada di tengahnya dalam artian bisa mencapai keseimbangan internal, apapun yang terjadi..hidup akan terus dalam tataran ”eling” yang stabil. Uhmm pengen seperti itu....
Aku teringat apa yang dikatakan Jean Daniel, teman sekelasku yang sudah berumur 70 tahunan asal Swiss dulu saat di Perugia. Kami berenam tengah berjalan menuju Piazza IV Novembre untuk minum kopi di Bar, dan kami tengah mendiskusikan apa yang paling penting dalam hidup.
”Menurutku yang paling penting dalam hidup adalah cinta. Cinta adalah hal pokok yang menjadi sumber dari kehidupan”, kata Yuta, teman jepangku menjawab. Pun setujui oleh beberapa teman yang lain. Tapi tiba-tiba Jean Daniel menimpali
Yang paling penting dalam hidup adalah keseimbangan internal” Katanya dengan senyumnya yang bijaksana, gurat-gurat usia lanjutnya memang kentara tapi tidak dengan semangatnya, hingga tak canggung untuk bersahabat dengan kami yang jauh berumur di bawahnya.
Uhmm keseimbangan internal atau personal..semacam itulah.. dia mengistilahkan dengan ”equilibrilium of personality”. Si Jean Daniel itu memang campur-campur menggunakan bahasa Itali, Inggris dan Prancis..Beuhh..asal mudeng saja apa yang dikatakannya...Saat kami kami hanya bengong, tak bisa mencerna apa yang ia katakan. Maklum kami-kami ini masih terlalu ”kencur” dibandingkan dengannya yang telah sarat pengalaman hidup.
Ah, baru sekarang aku mengerti setelah sekian lama. Dan kini aku bisa mengangguk setuku akan pendapatnya.
Uhm..senja sudah hampir meninggalkanku, sayup-sayup suara adzan maghrib terdengar dan waktunya menghentikan aktivitas...
Malam sudah mulai mengendap-ngendap menuaikan tugasnya untuk mengganti wajah bagian bumi yang sedari tadi benderang. Dan manusia dalam dirikupun juga sudah waktunya mengambil waktu bersujud padaNya...
Rayakanlah hidup sebagai suatu berkah, kawan..

14 Juli 2009.5.45pm

Selasa, 02 Juni 2009

Benvenutto, anggota baru Milanisti!



Tangis lirihnya memanggilku pulang

Dari pengembaraan dan pencarian

Kutemukan kesahajaan hidup dalam genggam kecil tangannya,

Dalam isak tangisnya menjelang pagi

Cerita tentang sebuah kehidupan yang siap dititi

Menangkup cintaku dalam bening matanya

Menggengam hidupku dalam senyum malaikatnya

Dan hidupku seketika sempurna


Untuk Raditya Muhamad Aryutama

(Putra pertama Rizki Yulianti (M’Kiky)& Roib)


Hiii..maap bila larik puisi pendeknya nggak pas, maklum belum mendalami ehehee. Posting ini muncul atas permintaan mba kiky yang ingin agar teman-teman yang sudah terpisah jarak yang jauh bisa melihat wajah si malaikat kecilnya yang baru saja lahir. Sudah agak lama sih, tapi aku belum sempat untuk bisa menengoknya. Di tengah kehidupan yang seakan berlari ini, sulit untuk menentukan jadwal yang pas bagi kami untuk sekedar meluangkan waktu menengok si “keponakan” baru. Nah, dengan upload foto ini semoga teman-teman satu dharmawanita milanisti dan the genk BIO bisa melihat anggota baru milanisti. Berlabel Milanisti Junior 1. Silahkan siapa yang mau ngantri mendaftar untuk urutan berikutnya whihihi ?

Kehidupan terus berubah, dan persahabatan kami pun berkembang. Masing-masing dari kami mulai menemukan pasangan jiwanya dan akhirnya melahirkan buah hati. Walaupun sedih karena aku tidak bisa hadir di pernikahannya karena saat itu aku tengah di Italia, tapi tidak mengapa karena doa restu tetap menyertainya. Wew gila, setelah pesan cintanya berhasil kusampaikan di Sansiro kepada ******i, dia langsung menikah dengan lelaki yang baru dikenalnya beberapa bulan (ahaha nggak segitunya seh). Gosh..such a crazy decision! Begitu pikirku saat itu. Diapun saat itu berkirim email panjang lebar saat menjelaskan keputusannya itu. Bukan tidak menyetujui pilihannya untuk segera menikah, tapi sebagai sahabat aku peduli terhadap keputusan hidupnya. Ah, tapi saat mengunjunginya setelah aku kembali ke Indonesia, aku merasa lega melihatnya bahagia, walau kerikil-kerikil kecil pernikahanan memang sempat mampir di telingaku. Tapi begitulah jalan panjang cerita sebuah pernikahan (kayaknya gitu kata orang-orang bijak). Waktu itu keluarga kecilnya masih sepi, tapi kini pastilah sudah diramaiakan oleh tangis dan tawa si radit kecil. Selamat ya mba, kami semua berbahagia untukmu!

Ada satu kalimat yang membuatku terharu saat dulu ia menjelaskan alasannya untuk menikah padaku.

Impianku adalah menikah dan menjadi ibu yang baik untuk anak-anakku.

Dan impianmu sudah sempurna kini, selamat ya mba…

Selamat menjalani hari-harimu menjadi ibu!

NB : The Genk Milanisti, kapan nih nengokin si Milanisti junior 1? n sapa mau pesen no urut 2?


01.June'09. 22.22pm

Kamis, 14 Mei 2009

Apa kabar mimpi-mimpi


Aku tidak percaya mimpi akan mati oleh rutinitas, tenggelam oleh terpaan kesukaran ataupun hilang bersama gerusan kehidupan. Silahkan saja tak percaya pada mimpi, dan hidupmu akan berjalan biasa saja. Dan apa yang menarik dari hidup yang tanpa makna? Silahkan mencibirku, “nanti kau rasakan bagaimana himpitan kehidupan akan membuatmu menyerah” atau “ Ah iya, saat ini kau masih bebas melakukan apa saja, coba nanti bla..bla..bla..”

Dan aku tidak bisa mengingkari hal itupun pernah terlintas dalam pikiranku. Mimpi-mimpi pernah mengabur tidak jelas kemana, mengawang meninggalkan hati yang makin tergerus kurangnya kepercayaan akan impian yang kupegang. Ada banyak setan-setan yang mencuri mimpi di sepanjang jalan perjuangan. Dan kau akan kalah bila menyerah…

Mimpi! Kuartikan sebagai keinginan besar, apa yang ingin kuraih dalam hidup, apa yang membuat diriku terasa berarti, bermakna setidaknya bagi diriku sendiri. Dan yang pasti memilikinya, mempercayai, berjuang untuk meraihnya membuatku melakukan perjalanan panjang yang ingin kumengerti artian hidup. Begitulah kuartikan mimpi (impian), bukan mimpi dalam tidur tentu saja.

Kau bilang ambisius? Apa yang salah dengan ambisi. Yang dibutuhkan hanya manajemen yang tepat dalam mengolah ambisi, bukan?.

Pernahkan terpikirkan tentang hal ini dalam hidupmu:

- Ah, waktuku sedikit sekali, kerjaanku menyita waktuku dan aku tidak punya ruang untuk mengerjakan hal lain,

- Ah, nanti saja setelah aku mengumpulkan banyak uang, bila anak-anakku sudah besar dan mapan..aku akan..bla...bla...

- atau orang akan mengatakan ini padamu ”Uhmm setelah kau menikah dan punya anak, aku yakin impianmu akan berubah. Kau akan sibuk dengan keluargamu”

Kawan, yang ada dari itu semua adalah ” excuses”, ”alasan/pembelaan diri”, mencari-cari alasan mengapa kau biarkan mimpi-mimpi itu mengawang hilang dari dirimu.

Ah, aku sok tau ya..padahal sebenarnya kata-kata itu lebih kutujukan untuk diriku sendiri yang akhir-akhir merasa ”tercuri mimpi”, tapi sudah kugenggam lagi (semoga).

Mungkin aku terlalu lambat berjalan, sepertinya harus belajar sprint lagi.

Wait... aku berlari untuk memecahkan rekorku sendiri. Bukan untuk mengalahkan orang lain, karena aku sama sekali tidak sedang berkompetisi dengan orang lain dalam kehidupan, tapi melampui targetku sendiri.

Aku tidak harus menyamai atau melampui prestasi orang lain, mencari pekerjaan yang lebih baik dari si X misalnya, atau harus punya X, Y, Z dan lain sebagainya. Tapi aku tau apa yang aku inginkan, apa yang ingin aku raih, target yang kupunya, dan aku ingin melampui itu. Menurutku begitu, entah menurutmu, kawan.

Oh ya, ada kiriman kisah di emailku sudah lama sekali, tapi selalu kuingat karena aku sungguh terkesan dengan kisahnya, dan ini intisari dari kisah tersebut :


"Urusan kita dalam kehidupan ini bukanlah untuk mendahului orang lain,
tetapi untuk melampaui diri kita sendiri, untuk memecahkan rekor kita
sendiri, dan untuk melampaui hari kemarin dengan hari ini."

Stuart B Johnson


Setuju?ehehe...terserah kau. Menulis tentang hal ini karena tengah bergelut dengan sekumpulan referensi kisah manusia-manusia yang luar bisa, yang bisa menembus keterbatasan untuk meraih apa yang mereka inginkan. Yap, saat ini tengah menyelesaikan beberapa buku, salah satunya ”Breaking the Limits” (kumpulan kisah para manusia penembus batas), masih kolaborasi dengan seorang sahabat. Doakan cepat selesai (no excuse lagi soal nggak ada waktu, banyak kerjaan, mood byar pet ehehe) dan semoga bisa segera terbit!