Senin, 22 Februari 2010

Menjadi Bahagia Tanpa Syarat


Malam beranjak naik, rintis air hujan berpacu di luar jendela, kopi tinggal menyisakan sesapan terakhir saat ringtone Yogyakartaku berbunyi…sms masuk,
X : Hai
Humm, sms dari sahabat dekatku..sms yang aneh, singkat dan sangat retoris. I think something goes wrong overthere..dahiku berkerut, mungkin ada sesuatu yang terjadi dengannya. Jarak yang begitu jauh tentu saja tak bisa membuatku bertemu untuk saling mengobrol langsung. Lalu segera saja kuraih HPku dan membalas pesannya
Me : hai..Hai…uhmm kenapa?
Tak harus menunggu lama, bliiip ringtone Yogyakartaku berbunyi lagi
X : enggak, hanya lelah
Fiuhh semakin aneh jawabannya, tak biasanya ia ngirit ngomong begitu..lelah? no wonder..pekerjaan..dan pekerjaan lagi yang menjadi titik pangkalnya. Tapi “lelah” yang ia ungkapkan pasti lebih daripada alasan pekerjaan. Kubalas lagi
Me : Whoaaa..sama, pengen nyenengin diri sendiri
Kujawab seperti itu karena akupun tengah “letih” karena banyak hal yang saling bertabrakan, menyita waktu, terpaksa menyingkirkan hal-hal yang seharusnya segera fokus untuk dikerjakan. Dan hal itu menyita energi, maka rasaya ingin menyenangkan diri sendiri dengan melakukan hal-hal yang aku suka atau sedikit menghadiahi diri sendiri dengan sesuatu yang menyenangkan.
Jawaban smsnya lagi, kubuka dan tulisannya membuat dahiku berkerut,
x : kesenangan itu hanya sementara
Weh..weh…entah kesambet apa dia, tersenyum sejenak dan dengan tak sabar aku membalas pernyataannya
Me : He2x..tidak pernah ada yang semu dan sementara seperti juga tidak pernah ada yang abadi. Bila menurutmu itu sementara, lalu apa yang abadi?
Jawabanku mungkin bukannya membuatnya menjadi semakin membaik tapi mungkin ia tengah bersungut-sungut membaca jawabanku yang membuat kepalanya cenut-cenut,
X : bahasa apa itu?waduuhh..makin puyeng
Aku tergelak membaca jawabannya, aku tahu pasti apa yang ia rasakan, kondisi seperti apa yang membuatnya merasa “lelah” dan merasa tidak bahagia.
Me : Halah bahasa biasa aja. X, aku hanya tidak ingin membuat syarat untuk menjadi bahagia. Ya begini ini, dengan segala ketidaklengkapan dan ketidaksempurnaanku, aku bahagia..ehehe..oeyyy jangan pingsan ya..
X : boleh aku tanya, apa itu mudah?
Pertanyaannya kali ini serius, aku berpikir sejenak. Menghabiskan sisa kopi dalam cangkirku dan kembali meraih HP.
Me : uhmm mudah saja, cukup dengan tidak harus menunggu sesuatu yang kita inginkan terwujud untuk jadi bahagia, tidak harus menunggu punya gaji ataupun karir selangit, tak harus menunggu jatuh cinta, tak harus menunggu menikah, tak harus menunggu punya rumah atau kuliah lagi di luar negeri atau apapun. Menikmati hidup dengan segala ketidaksempurnaannya, memang terkadang tidak mudah, tapi aku memilih itu,
Aku cukup puas dengan jawabanku, kata-kata dari mana? Entahlah…
X : terima kasih, aku sudah bisa tidur
Aku tersenyum lega. Tapi percakapan singkat itu membuat aku berpikir. Menjadi bahagia tanpa syarat? Sudah agak lama menerapkan “ilmu” ini dan sejauh ini sangat menolongku untuk menghadapi hidup dalam detiknya yang terus berjalan. Aku ingin menjadi manusia yang seperti itu, melepaskanku dari beban-beban yang harus dipikul kemana-mana.
Manusia, terkadang aku merasa manusia terlalu sering mensyaratkan sesuatu untuk menjadi bahagia sehingga terasa begitu rumit. Bahagia menjadi mahal, menjadi berhala. Orang harus mempunyai pekerjaan yang bagus, gaji yang cukup, rumah yang nyaman, menikah dan mempunyai keluarga yang terlihat bahagia entah atas nama komitmen atau hanya kontrak-kontrak hidup yang dibuat dua orang yang berbeda. Manusia harus begini…harus begitu..bila tidak begini berarti kau tidak sukses, bila tidak begitu berarti kau tidak bahagia..ah, mereka seragam sekali dalam hal itu, terkadang membuatku geleng-geleng kepala dan tersenyum. Tak heran, tak juga ingin menghakimi. Mungkin saja mereka yang benar, dan aku yang salah, atau sebaliknya, atau tidak ada yang benar atau mungkin semuanya benar, entahlah…
Hanya saja aku tengah mencoba tidak lagi mensyaratkan sesuatu untuk bahagia. Menerima hidup akan lebih menenangkan, tapi bukan berarti membuat urat perjuangan putus atau kemauan untuk mengejar impian menjadi melempem.
Aku, sebebas udara. Kebebasan bukan berarti ketiadaan tanggung jawab, tapi mempunyai kebebasan untuk memilih dan melibatkan diri sepenuhnya pada pilihanku.
Selamat hidup kawan,

Selasa, 22 Desember 2009

Menyapa "aku" di Penghujung Tahun 2009


Atas nama perubahan yang terjadi setiap detiknya, hai ”aku” yang mengisi ragaku. Aku ingin menyapamu menjelang penghujung tahun ini. Yah, penghujung tahun senantiasa membawa pada refleksi, kilas balik, dan mengaudit langkah. Dan wahai ”aku”, apakah kau telah berubah kini?

Apakah ”aku” adalah aku yang berbeda kini?

Kita telah melewati hidup lebih dari seperempat abad. Banyak orang yang menilaimu berbeda, wahai jiwaku. Tapi beberapa orang di lingkaran dalam kita menganggapmu masih seperti dulu. Mungkin ada yang berubah, tapi perubahan itu bergerak bersama kehidupan mereka juga, jadi perubahan itu seakan berada segaris mengikuti jalur-jalur perubahan mereka. Aku bersyukur untuk itu.

Semua kejadian hidup membuat kita berubah, tapi apapun perubahan itu... aku tetap si pemilik jiwaku yang dulu.

Jiwa penghuni ragaku yang selalu kusebut ”aku”

”Aku”, apakah engkau bahagia kini?. Bahagia menurut versimu sendiri, bukan versi atau standar orang lain, bahkan engkau tidak harus memenuhi standar ”kebahagiaan nasional” masyarakat Indonesia. Ah aku lupa, bukankah soal kebahagiaan kita telah setuju untuk tidak lagi dipertanyakan lagi. Bukankah kita sudah punya rumus mati yang telah lama kita setujui, jiwaku. Bukan tentang definisi, artian yang berbelit atau apapun.

Yah aku dengar kau berbisik sambil tersenyum

”Aku bahagia..dan selalu memilih untuk bahagia.titik” Aku senang engkau menjawab begitu. Berarti engkau masih ”aku” yang dulu.

Baiklah, aku ingin bertanya hal lainnya. Apakah engkau lelah, jiwaku? Kali ini engkau tersenyum lagi, kali ini agak masam kulihat.

” Terkadang aku lelah, tapi aku senang menghunimu. Mungkin dalam hal ini kau harus lebih memperhatikan ragamu. Tanyakan padanya apakah ia lelah, apakah ia menginginkan liburan panjang, atau sedikit menyenangkan dirinya. Dia lebih lelah daripada aku. karena dalam menghadapi apapun dia yang bergerak, berusaha seperti apa maumu. Sedangkan aku, engkau terkadang tidak membiarkanku terganggu oleh apapun, aku semerdeka udara.”

Aku tersenyum, senang mendengarkan jawabanmu, jiwaku. Sembari berjanji akan menanyakan pada ”ragaku’ apa yang menjadi maunya agar ia bisa lebih senang. Mungkin ia mau aku menceraikan kopi yang setiap hari meracuninya secangkir demi secangkir demi menopang energi saat-saat aku mengajaknya lembur. Ehehehe..aku akan menegosiasikannya nanti, jangan khawatir.

” Kau juga harus menanyakan kabar hatimu di penghujung tahun ini, apa ia mengatakan sesuatu padamu akhir-akhir ini?” Ah, jiwaku..untung engkau mengingatkanku.

” Ahaha..entahlah. Dia hanya bicara sedikit padaku. Mungkin sedikit bingung dengan mauku, aku menyuruhnya menjaga penghuni baru yang tidak dikenalnya dengan pasti. Aku tidak mengkhawatirkannya, dia sudah terbiasa dengan segala macam mauku. Paling-paling ia hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala melihatku begitu keras kepala, bahkan merajuk Tuhan untuk menuruti mauku, atau menyerah akhirnya sejenak bertopeng keikhlasan ehehe..aku malah memberi si penghuni itu kunci agar ia bisa dengan leluasa keluar masuk tanpa mau disebut gila”

Hatiku, aku tidak mengkhawatirkannya. Aku hanya khawatir pada suatu titik aku menempatkannya pada posisi yang sulit. Karena selama ini aku menempatkannya pada posisi pemenang. Aku takut suatu saat ia berbicara terlalu lirih, hingga aku tak lagi bisa mendengarnya. Aku menjadi tuli.

maka kubiarkan kini ia bicara sesukanya, aku menurutinya. Ia lah panglima perangku, semoga tidak sering berselisih paham dengan penasihatku, pikiranku.

Bicaralah, aku mendengar dan mengikuti kemanapun engkau mau..

Va dove ti porta il cuore...Pergilah kemana hati membawamu...seperti kata Susana Tamaro.

Yap, hatiku di penghujung tahun ini sudah membisikkan sesuatu. Mungkin aku akan mengikuti apa maunya

Dia bilang, belok kanan ********** !

Senin, 21 Desember 2009

Galaksi Cinta - Galaksi Kinanthi


Kinanthi, bagiku galaksi cinta tidak akan pernah tiada

Ketika malam tak terlalu purnama, lalu kusaksikan

Bintang-bintang membentuk rasi menurut keinginanNya

Cari aku di Galaksi Cinta. Aku tetap akan ada di sana

Tersenyumlah..Allah mencintaimu lebih dari yang kamu perlu

(Ajuj)



Buku : Galaksi Kinanthi ( Sekali Mencintai Sudah itu mati?)

Penulis : Tasaro GK

Penerbit : Salamadani

Genre : Novel Sastra

Hal : 432 halaman



Pertama kali melihat buku Galaksi Kinanthi di jajaran rak buku Gramedia, buku ini langsung sanggup membuatku mengambil dan menilik buku ini. Kenapa? yap, cover bukunya sungguh menawan untuk kelas novel sastra lokal. Berwarna biru kehijauan dengan desain yang apik, apalagi sampulnya berlipat-lipat yang dalam setiap lipatannya tertuang kalimat-kalimat khas beberapa tokoh sentralnya, Ajuj, dan Zhaxi. Trus, judulnya tak biasa, dan aku sungguh suka. Galaksi Kinanthi, yap gabungan dua hal yang ”aku banget” ehehe, aku maniak dengan hal-hal berbau bintang, galaksi dan astronomi, dan Kinanthi adalah sebuah tembang jawa yang berarti pelipur lara...dan segala hal tentang kultur Jawa sudah sepatutnya dengan lahap kusimak. Jadi simpulan yang bisa kutarik singkat sekilas menscreeninng buku ini adalah perpaduan antara hal-hal berbau Jawa dan astronomis. Ok, itu cukup membuat aku terkesan, apalagi menilik penulisnya Tasaro GK merupakan Best writer FLP award 2007 dan Ikapi award 2006&2007, plus buku ini merupakan best seller...uhmm banyak plusnya. Membaca beberapa bagian awal buku ini membuatku berkesimpulan bahwa suatu saat buku ini harus menghuni rak bukuku dengan kategori must read! kenapa?..ah, mungkin terlalu banyak alasannya. Dilihat dari daftar isi, bab-babnya yang bertajuk rasi-rasi bintang itu langsung bisa menawan hatiku. Kemudian menurutku salah satu kunci sebuah buku bagus bisa dilihat pada kalimat-kalimat awal. Membacanya sekilas sambil menyender di rak buku Gramedia karena kursi-kursi baca telah penuh, membuatku terus antusias membolak balik halaman-halaman buku itu.

Impresif!


Kalimat pembukaaan sebuah buku yang membuat pembaca disuguhkan sebuah intro yang tak biasa.


Begini cara kerja sesuatu yang engkau sebut cinta; engkau bertemu seseorang lalu perlahan-lahan merasa nyaman berada di sekitarnya. Jika dia dekat, engkau akan merasa utuh dan terbelah ketika dia menjauh. Keindahan adalah ketika engkau merasa ia memerhatikanmu tanpa engkau tahu. Sewaktu kemenyerahan itu meringkusmu, mendengar namanya disebutpun menggigilkan akalmu. Engkau mulai tersenyum dan menangis tanpa mau disebut gila.

Kelak, hidup adalah ketika engkau menjalani hari-hari dengan optimisme. Melakukan hal-hal hebat. Menikmati kebersamaan dengan orang-orang baru. Tergelak dan gembira, membuat semua orang berpikir hidupmu telah sempurna.

Sementara, pada jeda yang engkau buat bisu, sewaktu langit merah oleh benda-benda yang berpijar, ketika sebuah lagu menyeretmu ke masa lalu, wajahnya memenuhi setiap sudutmu. Bahkan langit membentuk auranya, udara bergerak mendesaukan suaranya. Bulan melengkungkan senyumnya. Bersiaplah..Engkau akan mulai merengek kepada Tuhan. Meminta sesuatu yang mungkin itu telah haram bagimu”



Ah. maafkan bila aku terlalu banyak mengutip bagian awal buku ini. Awal novel ini bercerita tentang seorang perempuan Indonesia yang sangat sukses menjadi Queen of NewYork, seorang professor muda, dosen Universitas Drexel, penulis buku bestseller dengan cerita latar belakang kota Rochester yang menakjubkan. Hingga tak menyangka bila novel ini adalah cerita tentang women trafficking, derita tenaga kerja wanita Indonesia, pembaca sungguh dibolak balikkan dengan keadaan yang dramatis, tapi realis karena sesuangguhnya kisah ini merupakan kisah ”inspired by true story”, mungkin tak seluruhnya kisah nyata, tapi setidaknya jiwa cerita ini terispirasi dari kisah nyata. Yap, novel ini mengombang ambingkan pembaca dalam situasi yang paradoks, gemerlapnya Amerika, sederhananya sebuah desa di Gunung Kidul Yogyakarta, Riyadh, Kuwait, Miami sampai Great Plain yang eksotis. Bercerita tentang persahabatan yang berbibit cinta antara Ajuj, seorang anak kyai di sebuah desa di Gunung Kidul dengan perempuan bernama Kinanthi, yang berlatarbelakang keluarga yang terpinggirkan. Tasoro GK menghadirkan suasana Gunung Kidul dengan apik, dialog dengan bahasa jawa khas Jogya yang kental, kultur spiritualitas masyarakat desa yang masih menyimpang, berbagai ritual pun disisipkan serta tak lupa pula tembang-tembang jawa dengan berbagai filosofinya tertuang dengan lugas. Bumbu-bumbu yang sedap untuk membuat buku ini bukan hanya sekedar sebuah cerita.


Ironi, saat Kinanthi ”dijual” orang tuanya dengan 50 kg beras kala itu, hingga ia harus mengalami berbagai kehidupan yang pahit dalam hidupnya. Mulai dari Bandung, kemudian menjadi TKW ke Riyadh, Kuwait, Arab dan Miami. Cerita di kamp-kamp penampungan wanita yang memilukan, kisah penderitaan TKW yang disiksa majikan, percobaan pemerkosaan, realitas tenaga-tenaga kerja RI di luar negeri. Terlalu getir kisah hidup yang harus dilampai gadis cilik bernama Kinanthi, tapi kisah ini mendorongku untuk berpikir betapa banyak nasib-nasib Kinanthi-Kinanthi lain, pejuang wanita yang mengadu nasib di luar negeri. Memilukan, berlembar-lembar halaman kubaca dengan alur mengalir yang filmis. Perjuangan akan keadilan, pun terselip juga kisah cinta yang begitu dalam antara Kinanthi dan Ajuj yang tak pernah mati. Penderitaan-penderitaan memilukan, kabur dari majikan di Riyadh, dikelabui agen-agen mafia tenaga kerja sunguh menyodori kisah-kisah yang mencengangkan. Terkadang berpikir, begitukah nasib-nasib TKW Indonesia? hingga tak sedikit berita-berita di televisi menayangkan kekerasaan, penyiksaan, pulang dengan cacat di badan, stress atau bahkan pulang dengan jasad kaku kehilangan nyawa.


Titik balik terjadi saat Kinanthi memenangkan perkara penyiksaan majikannya di Amerika hingga ia mendapat tunjangan dan beasiswa untuk kuliah, dan transformasipun terjadi. Prof.Kinanthi Hope, menjadi Queen of NewYork. Tasaro GK juga memadukan kisah ini dengan sisi spiritualitas, dimana Kinanthi kehilangan esensi keberagamaannya karena getirnya hidup. Sementara di sisi lain, Gunung Kidul masih menjalankan ritual-ritual menyimpang yang berbungkus keagamaan. Kembalinya Kinanthi ke Gunung Kidul, untuk mencari cinta sejatinya, Ajuj menyetir perasaan pada kisah-kisah yang tak biasa. Balas dendam akan masyarakat desa yang meminggirkannya, pertemuannya dengan Ajuj yang sungguh sangat ”nggak klise” ehehe..i luv that part

”Inikah lelaki yang kusimpan di benakku hampir 20 tahun ini?kemana larinya perasaan yang menggebu itu?” ow ow sangat realis, tidak klise yang seperti kuperkirakan.


Kemudian berlatar gempa besar di Jogya yang menyebabkan Ajuj koma karena kecelakaan saat menambang membuat akhir-akhir bagian kisah ini menjadi kian menarik. Kisah ini juga dibumbui oleh tokoh Zhaxi, editor sukses yang mengorbitkan Kinanthi, seorang tibetan yang diam-diam menyukai sang profesor muda itu. Apakah Kinanthi yang sudah berubah menjadi wanita karir sukses dengan gemerlapnya Amerika akan terus menunggui cinta Ajuj yang terbaring koma?Bagaimana cinta Zhaxi yang begitu setia selama ini mendampinginya? bagaimana nasib galaksi cinta yang dibangun di atas langit oleh Ajuj dan Kinanthi?


Ehehe..baca ajalah bukunya, sungguh tidak menyesal membeli buku ini saat pameran beberapa minggu lalu. Galaksi cinta mengajakmu membuat dialog kecil tentang cinta ”sejauh mana cinta layak diperjuangkan, atau justru perjuangan itu harus dilakukan dalam diam”.


Nikmatilah suguhan kalimat-kalimat magis Tasaro GK dan kisah ini akan menghadirkan cara pandang yang berbeda***

Sabtu, 19 Desember 2009

Travelling, not just the seeing sight...

Ladang gandum yang menghampar kekuningan, bangunan-bangunan gigantis yang menakjubkan, rindangnya hutan-hutan pinus sampai sahdunya matahari yang tengah tenggelam di pantai ditemani semburat-semburat merah di ufuk barak pertanda hari segera berganti. Aku suka memburu untuk bisa melihat semua hal-hal seperti itu, dan banyak hal-hal lainnya. Travelling!!

Entah dari kapan aku suka travelling, jalan-jalan...padahal dulu aku anak rumahan (hanya otak dan pikiranku saja yang mengembara ehehe), tapi sekarang rasanya nikmat sekali menjelajah. Bukan hanya ke tempat-tempat wisata yang memang biasa dikunjungi banyak orang, tapi kemanapun, asal tempat baru yang belum pernah kukunjungi, ataupun bahkan tempat yang entah berapa kali kukunjungi dan menarikku ke sana lagi.

I luv travelling!

Saat jalan-jalan dengan motor, aku suka bunyi deru mesin dicampur terpaan angin, menyusuri jalan-jalan entah berkelok, lurus, naik turun, melewati hutan, apa saja. Saat menggunakan transportasi umum, aku selalu menikmati bingkai-bingkai yang disajikan di luar jendela-jendela besar bis umum, jendela kereta api. Lanskap-lanskap yang dinikmati mataku, entah hijaunya alam atau tingkah polah berbagai macam manusia yang juga menarik diamati.

Uhmm..lalu apa yang ada di balik ”travelling” itu?

Hidup seperti halnya juga cinta perlu diperbaharui setiap kali..bila dibiarkan berjalan statis, monoton...kebosananlah ciptaannya. Bepergiaan menyuntikkan semangat baru, hal-hal baru, kesenangan baru, pengalaman yang lain dan banyak hal yang membuat kita bersinggungan dengan titik-titik tak terduga, bahkan sebuah prinsip hidup sekalipun. Jalan-jalan bukanlah sekedar melihat moleknya sebuah tempat, menyantap kuliner setempat yang menggugah selera. Entah seberapa lelahnya perjalanan, bila dinikmati, aku melihat diriku ”diperbaharui”, suntikan hidup. Mungkin setiap manusia mempunyai ”suntikan-suntikan hidup” sendiri-sendiri, ada yang menemukannya pada belanja, makan, entahlah masih banyak lagi. Dan aku menemukan salah satunya ada pada travelling!

Ada kutipan favoritku tentang hal ini..sukaaaa sekali ehehe

Travel is more than the seeing sight. It is a change that goes on

deep and permanent in the ideas of living

Terkadang jalan-jalan adalah hadiah untuk diri sendiri, aku suka menghadiahi diri sendiri entah dengan belanja buku inceranku, jalan-jalan, atau kesenangan lainnya. Aku meyakini Tuhan menyediakan banyak jalan untuk menemukanNya. Mungkinkah juga ada pada jalan-jalan?? ehehe...aku sudah pernah mengalaminya, sering!

Seperti juga hidup, cinta yang harus terus diperbaharui, begitupun sebuah keyakinan yang tumbuh dan berkembang. Mungkin seperti itu.

Akhir tahun segera menjelang, huhu ada beberapa target yang meleset, juga salah satunya target jalan-jalan ke beberapa tempat. Tahun ini masih berkutat menjelajah tempat-tempat lokal. Tapi tak apalah..

Masih ada akhir tahun, ada tahun depan ehehe... bila waktu masih mau aku terlibat dalam perputarannya itu. Semoga!


Tentangmu


Tentang ketidakpastian..ketidaktahuan

Tentangmu...apalagi tentang kita, harus apa dan bagaimana

Sampai kapan akan bertahan?

Sampai kapan...

Sampai lelahkah?sampai aku kalahkah? atau sampai kapan?

Beritahu aku

Aku bertahan, dulu karena aku yakin,

Kini, bahkan karena ketidakpastian

Seperti pernah kubilang, ketidakpastian hidup justru terkadang jalan yang paling mudah untuk menemukanNya.

Aku...engkau, adakah kita diberikan takdir untuk berada dalam satu perlintasan lagi

dan kemudian sejalur berjalan?

Seperti dulu kita adalah bidak-bidakNya yang dijalankan untuk dipertemukan

Apakah aku harus meminta takdir untuk sejalan dengan mauku kali ini?

Sudahlah, urusan takdir bukan urusan kita

Ada setapak jalan ke depan yang ingin kumaknai dengan perjuangan

Kumaknai dengan perwujudan impian-impianku

Kumaknai dengan syukurku akan hidup

dan mungkin terkadang syukurku akanmu

Dan mungkin sekedar meluangkan waktu, menitipkan doa-doa sebelum tidur untukmu

menyeberangi samudra sejengkal itu.



(saat alnilam, alnitak dan mintaka berkerling di sabuk Orion padaku)

18.12.09 10.45 p.m

Sabtu, 05 Desember 2009

Pada waktu...


Pada waktu yang terlalu cepat memutari lingkaran yang sebenarnya sama itu, aku memohon...jangan berlari sedemikian cepat!
Aku terlibas dalam putaranmu yang membuatku menengokmu entah berapa kali dalam seharinya. Ah, mengapa engkau berlari terus,
aku terengah-engah...lelah...
Engkau melesat terus berputar seraya mengingatkanku lagi pada deadline
dan deadline selanjutnya..begitu seterusnya...
Lelah...
Aku ingin menghardikmu keras, tunggu sebentar...aku ingin menghela nafas...
Apa aku tak cukup cepat berlari seiringmu??
Tidakkah engkau ingin beristirahat sebentar, minum teh di beranda sambil memikirkan impian-impian seandainya tugasmu telah usai?
Wahai waktu, bagaimana kalau kita berdamai saja??
Aku terlalu lelah untuk terus berkejaran denganmu...
Saat ini, biarkan aku melambatkanmu sebentar,
Dengan menulis beberapa kata yang tidak ”ilmiah”, menengok naskah bukuku yang terbengkalai, aplikasi yang belum lagi rampung, dan lihatlah blogku sebulan terakhir yang kosong melompong,
Engkau tersenyum, berbisik mengingatkanku..
”Besok pagi jam 7 ada deadline berikutnya”

*** cerita selanjutnya adalah rutinitas yang sama, kembali ke folder yang harus kubuka, dan beranjak membuat secangkir kopi karena padanyalah aku berhutang energi ***

Sabtu, 31 Oktober 2009

Sebuah Cerita di Musim Penghujan


“ Ciptakanlah desain untuk hidupmu sendiri, engkau mau seperti apa, ingin kemana atau meraih apa..tentukan petanya dan melangkahlah..

Bila ada semak belukar di jalanmu, singkirkanlah, berjalanlah lagi

Bila bertemu perempatan dan engkau bingung harus kemana, tanyakan pada hatimu dan dengarkan juga kepalamu, lalu tentukanlah arah mana yang ingin kau tempuh,

Lalu katakan dalam hati “apapun itu aku tidak akan menyesal mengambil jalan ini”, dan melangkahlah lagi..”


Pada hidup yang penuh ketidakpastian, aku berhutang pembelajaran bahwa justru saat itulah rasa penghambaanku padaMu menjadi sedemikian terasa. Saat desain hidup yang telah kutata tiba-tiba dibelokkan, saat diri tak kuasa dan harus mengakui banyak hal yang terjadi di luar kuasaku..aku semakin menemukanMu Bila dulu aku lahir saat orang belum mengenal Tuhan, tidak mengenal agama apapun, aku yakin pada akhirnya aku akan merasa ada “Sesuatu” yang mengendalikan segalanya dan menyadari kemanusiaaaku.

Aku mencariMu pada jalan-jalan yang nyata kurasakan, pada lembaran yang jelas-jelas Engkau berikan padaku untuk membacanya (hidupku), dan menemukanMu.

Aku menikmati pergulatanku dengan Engkau. Menikmati rasa kadang betapa “nakal”nya aku terus menerus menanyaimu, bersikeras pada akal manusiaku, keras kepala pada apa yang aku mau. Engkau tersenyum, kadang mengangguk..kadang menggelengkan kepala. Aku memang bukan manusia-mu yang tunduk runtut, mengiyakan, menghamba tanpa pertanyaan. Aku berubah menjadi pribadi yang gelisah menarik-narik ujung bajuMu, bertanya ini dan itu, memaksaMu terkadang untuk memberikan jawaban segera. Dan bila sudah begitu, Engkau akan tersenyum dan menjawabku dalam diam.

Manusia pemberontak, Engkau mungkin melabeliku seperti itu. Ehehe..aku lebih suka Engkau menyebutku seperti itu daripada menjadi si manusia penurut yang bodoh. Aku suka saat kurasa Engkau menggelengkan kepala pada kemauanku, lalu aku akan merajuk

“ayolah..aku benar-benar mau itu..pokoknya itu! Nggak mau yang lainnya” kataku dengan keras kepala. Aku menikmati kekukuhan hatiku saat memperjuangkan mauku padaMu.

Engkau tersenyum lagi, tetap menggelengkan kepala.

“ Ughhh..aku yakin nanti keputusanMu akan berubah, aku akan pegang keyakinanku ini, aku akan memperjuangkannya sampai aku lelah, biarkan aku keras kepala,” kataku bersikeras sambil mengerutkan kening di hadapanMu.

Tapi dengan segera aku akan menambahkan “ Tapi tunjukkan padaku pertandaMu, agar aku bisa mengerti, jangan biarkan aku tersesat”

Sekali lagi Engkau tersenyum, mungkin geli ada manusia seperti aku.

Aku ingat pemberontakanku beberapa saat yang lalu. Ada sebuah kalimat yang pasti semua orang pernah mendengarnya.

“Bila dia memang untukku maka dekatkanlah, bila memang bukan untukku jauhkanlah”. Fiuhhh…apakah engkau akan dengan tulus hati mengatakan seperti itu saat hatimu begitu menggebu menginginkan seseorang?ehehe..aku jamin tidak. Maka aku memilih untuk tidak mengatakan seperti itu, berkata seperti itu dalam barisan kalimat yang runtut dan nampak begitu bijaksana itu tentu saja mudah, tapi luncuran kata-kata itu akan mengalir bersama kekosongan, dan serasa bertolak belakang dengan hati. Aku memilih untuk tidak menurutinya. Aku memilih untuk menikmati pemberontakan itu. Deru akan terasa, ngilu, dan diri manusiaku yang keras kepala akan terlihat jelas di hadapanMu.

Aku membiarkan diriku meyakini apa mauku, mengikuti kata hatiku, dan puas dengan berpeluh akan perjuanganku. Aku merasa menjadi manusia.

Tapi Engkau memang..apa ya..uhmm..aku tidak bisa memilih kata yang tepat. Aku dengan heran mendapati diriku pada akhirnya merasakan “keikhlasan” yang bersumber dari pengingkaranku. Penghambaan itu terasai dengan begitu dalam. Merasakan gradasi perubahan itu, membuat apapun dalam hidup menjadi semakin “terasai”.

Aku tidak akan mencapai titik ini bila aku penurut dari awal, penurut yang hambar. Aku ingin “merasai” semuanya dengan sungguh. Keber-Tuhan-anku, dan semua sikap hidupku. Dan begitulah suatu cerita di musim penghujan, cerita tentang manusia yang ada dalam diriku. Dan dengan tersenyum aku menatap tulisan yang tertempel di dekat meja belajarku

“Urusanku bukan mencari tahu kehendakMu atasku. Tapi pada titik ini aku tahu apa yang aku inginkan, mempunyai tekad untuk memperjuangkannya, dan bersedia berpeluh dalam perjalanan untuk mewujudkannya. Dan manakala takdir jatuh, penerimaan atas KuasaMu lah proses yang memanusiakanku”

Aku memilih cara ini untuk menjadi manusiaMu, untuk mencari dan menemukanMu. Entah nanti!

Bersama derai hujan di luar jendela, aku ingin berkata padaMu sambil tersenyum,

“aku suka ketidakpastian yang Engkau ciptakan dalam hidup, karena hal itulah yang membuatku menemukanMu, bukan mengikuti apa yang ditunjukkan atau dikatakan orang lain …atau siapapun, aku menemukanMu sendiri”


***31 ottobre 09 7.28 am***

source of pic : http://www.freefoto.com/images/16/05/16_05_76---Rain_web.jpg

Jumat, 16 Oktober 2009

Kitab Pusaka TOEFL

Kenapa kitab pusaka? Ehehe..karena begitulah disebut oleh para milister beasiswa yang berbagai informasi tentang sumber-sumber buku yang recommended untuk menaklukan test TOEFL. Dulu aku beranggapan, yang penting belajar dengan baik, pasti skornya bagus.

Tapi nyatanya “belajar dengan baik” tidaklah sesederhana kalimatnya. Aku memang bukan jebolan kursus inggris yang bonafide seperti EF (kabarnya jebolan EF bahasa inggrisnya top), sayangnya di Purwokerto nan mungil ini nggak ada EF yah. Dari dulu pun belajar bahasa inggris dengan autodidak, jadi dalam menjawab soal lebih sering memakai “feeling” daripada teori ehehe, but so far so good..tapi yah pas-pasan, skor terakhir saat mau lulus S2 hanya mencapai 513, lha kok skornya segitu-gitu melulu yah..padahal untuk standard syarat pengajuan ke luar negeri harus minimal 570an. Masih banyak ya harus didongkraknya. Alhasil harus memutar otak untuk mendongkrak skor…

Pilihannya …ikut kursus TOEFL, untuk kursus TOEFL di LIA (hiks cuman itu tempat kursusan yang rada mending di Purwokerto) biayanya sekitar 500 ribu, brosur sudah di tangan, sudah ke kantornya sekali pas nganterin temen tanya tentang test TOEFL (busyet ternyata kagak ada tes TOEFL di Purwokerto…harus ke Jogya huhuhu).

Tapi setelah mempertimbangkannya, dan kembali membaca kitab pusaka menaklukkan TOEFL ala Ahmad Syamil yang kudownload dari file milis beasiswa, aku berpikir ulang, dan bertanya pada diri sendiri. “Apakah dengan ikut kursus akan secara signifikan meningkatkan skor TOEFLmu? I’m not so sure..bukannya tidak mau mencoba, bukannya meragukan kemampuan si lembaga itu, tapi pengalaman ikut kursus bahasa Inggris di Jogya hasilnya tidak signifikan meningkatkan kemampuan bahasa inggrisku.

Kelemahan terbesarku adalah tata bahasa, lemot bener aku dengan bagian yang satu ini. Dari sejak belajar bahasa inggris sampai sekarang, nggak mudeng-mudeng juga. Mending disuruh cas cis cus ngomong, soalnya dalam bahasa oral yang penting lancar dan yang kita ajak bicara ngerti apa maksudnya, that’s the point! Tapi kemampuan oral sama sekali tidak berbanding lurus dengan kemampuan menulis ataupun tata bahasa, sekilas menilai kemampuan diri di bagian itu..amburadul!!!ehehe..(walau lumayan banyak juga abstract skripsi dan tesis hasil buatanku yah… ehehe..sok PD aja).

Nah, berdasarkan rekomendasi dari si suhu yang menurunkan kitab pusaka TOEFL ini plus saran-saran dari milister, ada satu buku yang kayaknya favorit banget. Buku TOEFL Cliff.. judulnya : Cliffs TOEFL Preparation Guide.

Gosipnya buku ini sip bener buat belajar TOEFL, ufff dahi berkerut karena sebelumnya belum pernah mendengar reputasi buku ini. Si suhu bilang, kalau nilai TOEFL alami tanpa belajar sekitar 500an maka pakailah buku ini” begitu wasiatnya ehehe.

Ada beberapa buku lain yang direkomendasikan, yakni :

1. Barron: How to Prepare for TOEFL

Menurut si suhu, buku ini hanya menghadirkan pola-pola structure belaka. ketika Anda menginjak pola yang ke 30, kemungkinan besar Anda sudah melupakan pola 1 sampai dengan 10! Buku ini, menurut saya, bersifat mengingatkan tapi kurang memberikan pengertian pada para pembacanya”. Uhmm aku manggut-manggut, begitulah yang terjadi saat aku belajar structure sebelumnya, mudeng bagian yang satu, pindah ke bagian yang lain trus lupa..begitu terus berulang-ulang..jadinya nggak ada progress. Dan tata bahasa rasanya menjadi musuh besarku.

2. Building Skill for TOEFL terbitan Nelson atau Bina Rupa Aksara (khusus hak edar Indonesia). Nah katanya ini untuk yang nilai TOEFL awalnya 400an

3. Buku Preparation Course for the TOEFL terbitan Longman dengan pengarang Deborah Phillips. Nih bisa didownload e-booknya di :

http://www.scribd.com/doc/19709471/longman-toefl-test-preparation-by-dborah-philips

Sekedar iseng survey di Gramedia, sambil membayangkan bukuku selanjutnya mau ditempatkan di rak mana (doohhhhh PD abis ekekek, mending optimis daripada pesimis ya toh ehehe), aku meneliti buku-buku TOEFL yang dijual. Hampir 70% buku karangan orang Indonesia (dengan penuntun bahasa Indonesia tentu saja), covernya fantastis, ada yang bertuliskan ” raih skor 650! Dijamin” wuelah..wuelah...bombastis bener yah..tapi setelah melihat-lihat isi buku-buku tersebut, uhmmm...komentar apa yah...sayang duitnya deh buat beli ihihihi. Ada juga buku Barron yang super tebal, harganya 524 rebu plus CDnya...hmmm...bisa cenut-cenut duluan belajar dengan buku setebal itu, cenut-cenut juga kantongnya buat beli tuh buku.

Dan aku terlanjur penasaran dengan buku Cliff, hingga saat sahabatku Asti sedang ke Jogya, langsung saja aku menitip untuk dicarikan kitab pusaka itu. Ternyata memang tidak gampang mencarinya (di Gramedia nggak ada tuh...), akhirnya setelah ngubek-ubek Taman Pintar akhirnya nemu juga bukunya... Voila! Buku itu kini di tanganku dan sudah kuubek-ubek isinya. Dan membuatku takjub!Duuhhh kenapa nggak tau buku ini dari dulu-dulu yah..

Kenapa?yap...buku itu setidaknya bisa membuatku mudeng tata bahasa? Membuat mudeng si lemot grammar ini bukankah tidak mudah?? Ya betul betul betul (versi ipin upin), buku ini enak dipelajari, detail tapi tidak rumit. Aku kadang heran menyimaknya, sambil membandingkan dengan beberapa buku tata bahasa Inggris yang dulu kubeli. Nasib buku itu hanya kupajang di rak buku, beberapa kali kusentuh dan kupelajari saat mood mendongkrak bahasa Inggrisku lagi naik, tapi akhirnya lagi-lagi lupa dan berakhir tanpa kemajuan yang berarti.

Ah, baru kusadari ternyata belajar butuh bantuan metode yang sistemik..salah satunya buku yang dipelajari harus mengerti kerja otak. Sebuah buku dengan sistematika tertentu membuat otakku gampang mencerapnya, uhmm..memang tidak salah para pendahulu penakluk-penakluk TOEFL yang merekomendasikan buku ini. Makanya aku ingin men-share informasi ini, siapa tau bagi yang ingin mempelajari TOEFL cocok dengan buku ini. Oh ya, untuk Cliff Toefl yang CBT (computer based toefl) dapat didownload e-booknya di link ini :

www.scribd.com/doc/13090525/TOEFL-Cbt-Book

Untuk CD kaset untuk listeningnya bisa didownload di rapidshare

Rasanya cukup dengan dua kitab pusaka Cilffs ini di tangan, plus donlot-an e-book pelengkapnya. Bismillah.. bila sudah khatam akan segera mengikuti tes TOEFL beneran. Speed Up...Speed Up...

Senin, 05 Oktober 2009

Menentukan Arah


Gerimis rintis yang tiada henti sejak tadi siang membungkus suasana yang sendu menjelang sore di Purwokerto. Musim sudah mulai mendekati penghujan, hingga gerimis rintis di pagi ataupun hampir sepanjang hari harus bisa dimaklumi. Tetesannya yang lembut mengingatkanku akan salju, di negeri seberang sana mungkin sebentar lagi musim dingin. Di dunia antah berantah nun jauh di sana, dan aku tengah bergerak mendekati koordinat itu.

Ah, bicara tentang koordinat, aku merasa sejauh ini agak terlalu lambat melangkah. Bukankah tahun ini tak terasa sudah memasuki bulan-bulan akhir? Oh lihatlah serentetan rencana yang tersusun apik di awal tahun yang masih menunggu untuk segera diwujudkan. Sebenarnya di awal tahun, aku sudah menentukan titik-titik koordinat yang harus dituju, target yang harus diraih, tapi aku menemukan diriku masih tersendat dan belum lagi tersenyum puas akan hasil perjuangan.

Apakah aku meragu? Meragu pada apa dulu yang harus difokuskan pada hidup belakangan ini?

Seperti halnya keraguan yang belum menemukan jawaban tentang kemana? pada lembaga apa harus mengajukan beasiswa? topik apa?

Ah, aku memang agak sedikit terlena. Kebimbangan tentang fokus hidup memang agak mendua di pertengahan tahun ini, dan begitulah diri manusiaku lagi-lagi tersenyum rapuh.

Aku harus berpikir ulang, mengaudit langkah, memantapkan titik koordinat dan menyusun strategi. Aku jelas tidak mau menikmati hidup tanpa arahan yang jelas, ada peta yang harus dicermati, ada potongan-potongan puzzle yang harus dilengkapi. Dan yah, aku ingin memantapkan langkah dan arah. Bila memang keputusanku membawa hidup menuju ke hal-hal yang tidak biasa, lalu kenapa? Tidak harus menjadi biasa saja untuk bahagia kan ehehe?

Dan di sinilah aku, di sebuah kursi asyik meruntuti tuts pada keyboard lenovito yang selalu menempati meja belajarku, dengan serentetan musik yang menyelusup gendang telinga, dan secangkir kopi hangat yang selalu setia menemaniku. Bubuk-bubuk hitam dicampur creamer selalu saja membuatku jatuh cinta. Zona nyaman, yah..zona nyaman yang kadang melenakan. Tapi hidup yang dianugerahkan, setiap detik yang terlewati sepertinya harus dijalani dengan kualitas yang penuh sebagai manusia. Belum terlambat untuk kembali melihat koordinat itu dan mengumpulkan semua daya hidup untuk sampai di titik itu!


1'10'09

Jumat, 25 September 2009

Eid Mubarak, Sebuah Pemaknaan


Di tengah suasana lebaran yang masih terasa, ingin menulis sesuatu setelah sekian lama disibukkan oleh persiapan lebaran. Akhir ramadhan kali ini agak terganggu dengan sakit yang cukup “lumayan” dan beberapa kejadian yang jauh dari kendaliku sebagai manusia. Namun, di sela-selanya ada senyuman saat menyadari bahwa diri manusia ini mungkin tengah disentil Tuhan, bahwa banyak hal yang “Kun fakuyakun..Bila Tuhan menghendaki, maka terjadilah dengan kehendakNya”.

Sampai pada titik perjalananku kini, aku berpegang bahwa ada peran usaha, doaku dan kehendakNya dalam setiap peristiwa dan tahapan hidup yang terjadi. Tapi beberapa saat lalu, Tuhan seperti hendak menunjukkan padaku kuasaNya saat apa yang terjadi jauh dari semua kendaliku.

Dan begitulah akhir ramadhan kujalani dengan sebuah pemaknaan mendalam, dan terselip sebuah peristiwa yang membuat tersenyum dan geleng-geleng kepala

Tuhan, mungkin dulu tak pernah terlintas bayangan dalam pikiranku kalau akan jadi seperti ini ceritanya, skenarioMu memang tak terjamah alur pikiran manusia”, begitulah pemaknaan yang kutoreh saat bersinggungan koordinat kembali dengan penghuni “recycle bin”.


Dan saat gema takbir berkumandang, bertanda satu syawal telah menjelang, ada satu lagi pemaknaan yang hadir. Pemaknaan kata “maaf” yang mungkin menbanjiri inbox dengan pesan-pesan selamat idul fitri dan permohonan maaf, demikian pula status-status di FB. Sudahkah termaknai dengan penuh sebuah kata maaf yang terucap, atau terkirim lewat pesan, atau terdisplay lewat layar komputer? Ataukah sekedar kata-kata yang menjadi rumusan umum yang wajib dan biasa saat idul fitri datang?

Dan mungkin ada yang melewatkan untuk merenunginya..

Beberapa hari sebelum ramadhan beranjak pergi, seperti biasa aku menonton kultum Quraish shihab menjelang berbuka puasa. Saat itu beliau berbicara mengenai bahasan kata maaf, entah mengapa aku selalu suka tuturan kata dan pemaknaan yang disampaikan beliau, salah satu ulama yang kujadikan anutan. Bahwa maaf ada beberapa tingkatan, maaf dalam tingkatan memaafkan, menghapus, dan melupakan kesalahan orang lain..

Aku memaknai “memaafkan” dengan sebuah pembebasan jiwa. Bukankah dengan memaafkan, menghapus dan melupakan kesalahan orang lain kita akan mengurangi beban-beban tak perlu dalam hati?. Apakah pernah ada dendam, ada rasa benci yang pernah mengarat dalam hati.. bukankah rasa-rasa itu akan menjadi beban bagi diri kita sendiri?

Sebenarnya tidak pilihan yang lebih menarik daripada memaafkan, menghapus dan melupakannya, dan kita tidak lagi “membawa” beban-beban masa lalu yang tidak perlu***