Selasa, 09 Maret 2010

Takdir Terkunci di Barcelona


Angin Mediterania Barat bertiup tak begitu kencang menjelang akhir Bulan September, membuat sepanjang jalan Las Ramblas yang membelah kota Barcelona begitu nyaman untuk dilewati. Jajaran pepohonan di kanan kiri jalan jantung kota ini nampak bisu ikut menyimak pembicaraan kami. Burung-burung merpati yang beterbangan di sepanjang jalan turut menguping bahasa aneh yang mungkin belum pernah mereka dengar.

”Bagaimana Barcelona menurutmu?” ia bertanya sambil merapikan kameranya.

” Seperti surga yang asing, uhm..cantik, mempesona, hidup, tapi denyutnya belum kurasakan dengan penuh.” Hanya jawaban itu saja yang mampu mampir di kepalaku yang saat ini tengah beku. Beku, yah beku karena harus bekerja keras memerintahkan agar degup jantungku tetap tenang.

“Uhmm.. begitu ya? tapi mungkin sebentar lagi surga itu akan terasa seperti rumah bagimu. Eh, mampir minum kopi sebentar yuk, Bar La Questas itu langgananku, kopinya mantap,” ajaknya sambil menunjuk sebuah bar di antara deretan bangunan di sepanjang Las Ramblas.

Aku bergegas mengikuti langkahnya yang panjang-panjang menuju sebuah bar yang nampak ramai. Aku benar-benar buta daerah yang baru kujejaki selama dua hari ini. Bahasa yang cepat dan nadanya mendayu-dayu berdesingan di telingaku tanpa bisa kumengerti satupun artinya. Ah, mungkin hanya Gracias, Senorita, sedang kosakata yang lainnya aku tak mengerti sama sekali. Orang-orang dengan wajah asing berlalu lalang dengan urusan dan pikirannya masing-masing, membuatku merasa terkucil. Hanya wajah orang yang tengah meneliti menu bar di sampingku saja yang kukenali. Hingga entah mengapa tiba-tiba sebuah pertanyaan menyeruak “Untuk apa berkelana sejauh ini?” pertanyaan itu membuatku tersenyum sekilas. “Demi menemuinya tentu saja!” bisik hatiku, mencoba meyakinkan tekadku lagi. Setengah mati aku mencari kesempatan mengikuti seminar ataupun workshop di Spanyol untuk bisa menemuinya lagi, hingga pada akhirnya jagat raya mau bekerjasama membantuku menemukannya. Keikutsertaanku pada workshop tentang stem cell di Barcelona Genomic Regulation Center selama seminggu merupakan alasan yang sempurna untuk mencarinya, menemuinya. Aku tersenyum dalam hati menyadari bahwa terkadang cinta sanggup membuat seseorang melakukan hal-hal yang tak terduga.

Aku memandang wajahnya sekilas saat ia memesan cappucino hangat pada pelayan bar La Questas. Ah, Mas Elang tidak banyak berubah, wajahnya yang khas Jawa tulen dan sepasang mata hitam granitnya, kini bisa kulihat lagi setelah begitu lama tak melihatnya. Hatiku menghangat tiba-tiba, kuhembuskan nafas perlahan, menekan kegugupan yang melanda. Mungkin memang dia! benarkah, Tuhan? lelaki yang kukunci dalam hatiku sekian lama itu, kini telah ada di depan mataku. Dan kini melemparkan senyuman yang bisa membuatku tersedak saat menyesap coffee latte yang baru saja disajikan.

’’Uhm..ada apa?“ tanyaku dengan ekspresi keheranan melihat senyum di wajahnya. Ia tersenyum lagi, dengan sepasang mata hitam granitnya yang dalam, menyilaukan hatiku. ”Ah Tuhan, memang tidak sia-sia aku mengejarnya kemari,” kataku dalam hati. Walaupun sebenarnya aku menyadari peluang yang sama sekali tidak meyakinkan.

”Lama juga kita nggak ketemu ya, Cha?uhm..sekitar satu tahun sejak kita bertemu di Yogya. Kau nampak semakin dewasa sekarang” ia menyesap kopi di cangkirnya, dan memandangku seketika. Deg, takdir jatuh!

” Waduh...makin dewasa apa makin tua nih maksudnya?ehehe. Waktu kan terus berjalan Mas, hidup terus berjalan, tiap orang terus berubah. Mas Elang juga berubah, tambah apa ya,” aku berpura-pura menelitik perubahan yang ada pada dirinya.

” Tambah rontok nih rambut, gara-gara stress mikirin tesisku yang nggak selesai-selesai ehehe” tawanya yang renyah menghangatkan udara di sekitar kami dan menghangatkan seluruh ruangan di hatiku tentu saja.

Saat terakhir kali melihatnya, eh tunggu! pertama kali sekaligus juga berarti terakhir kali melihatnya satu tahun yang lalu di sebuah seminar nasional bioteknologi di Jogya. Tapi apa aku harus menyalahkan Tuhan bila pertemuanku yang hanya sesaat dengan Mas Elang saat itu menimbulkan loncatan-loncatan listrik dalam hatiku, memicu jantungku berdetak begitu cepat saat melihatnya dan membuatku berkeyakinan untuk ”mengejar”nya?. Ah, ”mengejar cinta”, rumus yang sebelumnya tak pernah ada dalam kamus hidupku. ” Aku percaya Tuhan akan memberikanku seseorang yang tepat di waktu yang tepat, semua indah pada satina,” jiahh..kalimat pamungkas yang terkesan filosofis dan bijak, kalimat andalan saat orang-orang di sekelilingku menanyakan soal pernikahan dan jodoh. Tapi pertemuanku dengan Mas Elang pada akhirnya membawakan kesadaran bahwa aku telah salah mengartikannya, karena seharusnya ada peran usahaku, perjuanganku untuk menemukan orang yang tepat dan menentukan waktu yang tepat.

Dan apakah sekali lagi aku harus menyalahkan Tuhan bila ternyata setelah Dia menganugerahiku sebentuk perasaan yang kunamai cinta itu, Dia segera membawa Mas Elang pergi diterbangkan mimpi-mimpinya ke Negeri Spanyol. Aku tersenyum getir saat mengetahui ia melanjutkan studinya di bidang biologi molekuler di Barcelona, tempat yang sebelumnya tidak pernah terlintas di kepalaku, selain kukenal karena klub sepakbola tempat Lionel Messi merumput itu. Dan lagi-lagi aku semakin penasaran apa rencana Tuhan karena tak jua mengerti mengapa perasaan yang kukira akan layu sebelum berkembang itu tetap bertahan hingga kini. Seperti perasaan aneh dan mistis yang kuberi nama ”keyakinan” bahwa dengan dialah akan kuhabiskan sisa hidupku. Titik, tidak ada satu keraguanpun tentang itu!

”Bagaimana coffee latte nya? Enak?” pertanyaannya memecah lamunanku. Aku buru-buru meneguk lagi coffee latte dari cangkir di hadapanku.

”Uhmm..enak”, jawabku singkat sambil mengacungkan ibu jariku. Sebenarnya jauh lebih enak daripada coffee latte yang sering menjadi teman nongkrongku di cafe-cafe sambil berlama-lama berkelana di dunia maya. Yah kopi, yang membuat semua temanku geleng-geleng kepala mendapatiku begitu hangat bersenyawa dengan butiran-butiran pekat yang menawarkan aroma dan rasa yang tak tergantikan itu.

Sedari tadi sebenarnya hatiku mencari-cari, bertanya dan mencari jawab, apakah sebuah ruang yang selama ini hampa di hatiku telah menemukan penghuni yang ditakdirkan untuk mengisi. Aku selalu meminta persetujuan hati dan kepalaku untuk menentukan hal apapun dalam hidup, menikmati kolaborasi mereka dalam setiap langkah-langkahku.

Ah, penat baru terasa menjelang sore hari, setelah melewatkan waktu mengitari kota Barcelona nan molek ini. Mengagumi detail La Sagrada Familia yang terkenal itu, mengunjungi miniatur Spanyol di Spanish Village dan menikmati pertunjukan flamenco, benar-benar membawaku ke dunia yang sama sekali berbeda. Surga itu kini kian terasa akbrab dan dekat. Saat malam menjelang, ia mengajakku ke Via Campanile, tempat mahasiswa Indonesia yang tengah menimba ilmu di Barcelona biasanya berkumpul. Berkenalan dengan beberapa teman Mas Elang dan menghabiskan waktu bersendau gurau dengan komunitas orang Indonesia di Barcelona sungguh menyenangkan. Senang rasanya bertemu dengan teman sebangsa di suatu tempat yang jauh dan asing. Sajian makan malampun sangat istimewa, Paya hangat dihidangkan untuk memuaskan lidah kami. Paya memang cocok untuk lidah orang Indonesia karena makanan ini berupa nasi yang dimasak dengan telur dan olive serta kerang-kerangan. Paya ditemani dengan Escvaliva (potongan terung dan paprika dengan minyak zaitun), sajian khas kota ini. Aku telah merasa Barcelona adalah rumah. Dan hati dan kepalaku membisikkan keputusan mereka padaku, bahwa nama itu, wajah itu dan sepasang mata hitam granitnya, kupercaya dialah orangnya yang selama ini bersembunyi.

***

Gemerlap pesta kota, seolah gemetar flamenco mengalun jiwa

Kududuk terhanyut nuansa, di sudut semarak Plaza Catalonia

Kala sepasang mata menatapku manja, mengajak berdansa

Sapanya queire usted bailar conmigo?”

Alunan suara khas milik Fariz RM mendendangkan lagu Barcelona-nya di earphone membiusku dalam suasana saat menikmati hari terakhirku di Barcelona. Besok harus segera meninggalkan kota nan cantik ini. Harus? Ufff..andaikan ada alasan bagiku untuk tetap tinggal. Aku mencopot earphoneku saat melihat langkah-langkah panjang Mas Elang terlihat menuju Plaza Catalonia, tempatku duduk sekitar setengah jam lalu menantinya.

” Pantas saja Mas Elang betah ya tinggal di sini. Uhmm..kotanya begitu cantik, hidup terasa lebih berwarna,” ujarku saat duduk bersama di depan Plaza Catalonia. Malam mulai merambat naik, lampu-lampu jalan nampak berkerlap-kerlip di kejauhan.

“ Ah, itu karena Icha baru beberapa hari tinggal di sini, bila sudah lama rasanya bosan juga. Hidup juga akan mengalir dalam rutinitas, tekanan dan hambar. Aku sudah kangen masakan ibu, pengen makan serabi notokusuman, sudah ingin kembali ke tanah air.” Mas Elang menjawabku, namun mata hitam granitnya itu memandangi bulan yang mulai berangkat menunaikan tugasnya. Purnama di langit Barcelona, seperti polesan lipstik di moleknya wajah bidadari. Aku tersenyum kecil mendengar jawabannya. Pandanganku menyalang dan merasakan kehidupan di sini terasa berbeda. Sulit membayangkan ada sebuah kehidupan yang dijalaninya di belahan bumi ini, jauh dari kehidupanku, hal yang tak tergambarkan sebelumnya.

”Aku merasa lelah,” ucapnya tiba-tiba, entah ditujukan pada siapa. Matanya tak jua lepas menyusuri bentukan mahakarya piazza di kejauhan. Lalu tiba-tiba mata hitam granitnya mengarah padaku, aku menahan nafas.

”Kau sepertinya punya dua sayap yang kokoh? Kau bisa terbang kemanapun yang kau mau, meraih apapun yang engkau inginkan. Apa kau tidak pernah merasa lelah?” Ia bertanya sambil diakhiri dengan senyumnya yang mengembang samar. Dan atas nama malam yang begitu molek di Barcelona, sungguh aku ingin detik berdetak lebih lambat.

” Uhmm..aku ke sini karena sudah merasa lelah, aku ingin meminjam sesuatu untuk bersandar. Aku mendengar bisikan kalau aku harus mencarinya di sini ehehe,” aku menjawabnya dengan penuh canda, berusaha mengembalikan ritme detak jantungku yang mengalami percepatan. Aku khawatir ia mendengar degup jantungku yang menyuarakan daya hidup tentang pencarian cinta.

” Icha, apa yang terjadi ya kira-kira bila kita dipertemukan bertahun-tahun yang lalu?” kali ini raut mukanya terlihat lebih santai.

” Mas Elang pernah berpikir setelah Adam dan Hawa dipisahkan, sebenarnya Adam yang mencari Hawa, atau malah sebaliknya? atau mereka berdua memang saling mencari dan akhirnya bertemu di Jabal Nur?” Keningnya terlihat berkerut mendengar pertanyaanku, aku merasa ia nampak semakin ganteng bila sedang berpikir.

”Uhm..pasti Hawa yang mencari Adam! ya kan?” jawabnya nakal sambil melirikku. Senyumnya mengembang membuatku merasa kikuk. Fiuhh..jawabannya menyebalkan, aku meninju lembut bahunya menandakan protes akan jawabannya. Tapi segera ia melanjutkan lagi,

” Kata Eyang Plato, semula kita dan pasangan kita dilahirkan sebagai kembar. Suatu pasangan diciptakan Tuhan dengan dua kepala, dua leher, dua badan, dua pasang tangan, dua pasang kaki, dan seterusnya, tapi mereka hanya dikarunia satu hati, satu jiwa. Dan mereka harus berbagi.” Aku menyimak ceritanya, tak peduli hembusan angin malam yang menciumi syal di leherku.

”Suatu hari, karena takdir tertentu yang tak terjelaskan, mereka harus terpisah satu sama lainnya. Namun, sejauh apapun mereka berpisah, jiwa mereka akan saling “memanggil”, saling mengirimkan sinyal untuk saling mendekat, dan kelak bila mereka mengikuti panggilan itu, mereka akan bertemu kembali. Jadi, begitulah jawabanku” lanjutnya dengan wajah yang meyakinkan.

” Curang, jawabannya nyontek ufff ” tukasku singkat. Tapi sebenarnya aku mengagumi jawabannya yang begitu mengena tadi. Dan benarkah Barcelona adalah Jabar Nurku? entah mengapa tiba-tiba aku merasakan sebuah perasaan yang aneh saat memikirkan hal itu. Tangannya melambai pada seorang penjual bunga di depan plaza, setangkai mawar merahpun berpindah ke tanganku.

” Sesuai budaya di sini, setangkai mawar merah untuk si jelita, hanya mengikuti tradisi. Entah mengapa orang-orang di sini selalu mengumbar romantisme, bahkan mengkomersialkannya. Cinta rasanya ada di setiap jengkal tanah negeri ini, tapi entah mengapa tak disisakannya untukku..ehehe” tawanya renyah menghangatkan udara di sekeliling Plaza yang bertambah dingin seiring malam yang kian merambat naik.

“ Tak mengapa, karena aku membawakanmu sekeranjang penuh dari tanah air, jadi salah kalau kau mencarinya di sini..hihi” kataku mencandainya. Ia membalas dengan senyumnya yang mengembang mempesonakanku.

“Mana?aku harus menelitinya lebih dulu sebelum kuambil...jangan..jangan..ehehe,” tawanya terkekeh.

”Ufff memang susah mencintai seorang peneliti,” ups kalimatku meluncur tanpa bisa kutarik ulang. Semu merah merona di wajahku bersaing dengan purnama di kejauhan. Mata hitam granitnya mencari-cari mataku, dan senyumnya samar mengembang. Ah Tuhan, kuharap saat ini Engkau mengunci takdirku di sini.***


(Dilarang mengutip sebagian atau keseluruhan naskah ini tanpa menyebutkan sumbernya)

By Siwi Mars Wijayanti

Ingin Bicara Tentang Senyuman


Bila senyuman bisa diindentikkan dengan suasana penuh kebahagiaan, maka kali ini aku ingin mengingat senyuman-senyuman itu...

Apakah karena aku tengah bahagia? mungkin saja begitu.

Bagaimana dengan engkau? uhmm...bila detik ini engkau tidak bahagia maka kupastikan ada sesuatu yang salah dengan dirimu. ya..dengan dirimu sendiri.

Saat ini aku sedang berpikir, apakah setiap senyuman mempunyai maknanya sendiri? ataukah manusia bila hatinya sedang senang dan bahagia, ia akan tersenyum?

Apakah saat kita tersenyum..kita merasa pernah ada pada tataran kebahagiaan itu..?.


Dulu senyuman yang lebar, tawa yang renyah kurasakan saat berkumpul bersama teman-teman sebaya, walau hanya sekedar ngumpul-ngumpul bicara tentang apa saja...tentang kecengan masing-masing atau kecengan bersama (ops...), tentang shopping, tentang kuliah, tentang bola, tentang musik...Ah, teman-teman, banyak sekali jalur hidup dan macam-macam yang pernah kita bicarakan.

Masihkah kini? ya...masih, tapi cerita itupun sudah beralih rupa..tapi kadang dengan senyuman yang sama. Kita bercerita tentang hal-hal yang sudah sama sekali berbeda, kita bertumbuh dan berkembang, tapi kita masih bisa tersenyum dan tertawa bersama. Walau dalam tawa yang buta, karena mungkin hanya telinga yang menangkap ritmis tawa mereka di ujung telepon.


Senyum pula saat kita meraih apa yang kita inginkan, gelar pendidikan yang didapat..meraih mimpi-mimpi kita masing-masing. Tersenyum pula melihat orang-orang di sekitar kita ikut bahagia. Dan kalian juga bahagia, kita bahagia. Kita tersenyum...kita tertawa, dan orang menggangap itu bahagia.

Saat jalur-jalur hidup telah kita bawa menuju jalur kita masing-masing (kawan, ”kita bawa’ bukan jalur-jalur hidup itu yang membawa kita—itu menurutku), banyak yang telah terjadi, dan kita masih terus sanggup tersenyum.

Saat kita sudah bergelut dengan dunia pekerjaan dan orang-orang telah menggangap kita sebagai orang dewasa, apakah kita telah kehilangan keriangan itu?

Apakah orang-orang dewasa tidak boleh mempunyai keriangan itu? sepertinya tidak. Dan kita sampai saat ini tidak kehilangan keriangan itu bukan? ataukah itu berarti kita belum cukup dianggap dewasa..ehehe...alur pikiranku berbolak balik tak menentu.


Ada banyak alasan yang membuatku tersenyum, bahkan terkadang tanpa membutuhkan alasan. Ada banyak orang yang mampu membuatku tersenyum, hingga terkadang tidak harus ada seseorang yang mampu membuatku tersenyum...karena ada banyak orang....umm, malam ini aku menulis dengan berbelit-belit.

Salahkan aku kalau engkau membacanya sampai berkerut-kerut...

Ah, salahku..padahal aku ingin membuatmu tersenyum..karena aku ingin bicara tentang senyuman.

Baiklah, senyuman bukan untuk dibicarakan...


Dunia, tidakkah engkau merekam terlalu banyak senyuman dalam hidupku?

Untuk itu aku berterima kasih....

Kawan, tersenyumlah! aku suka keriangan yang ada pada kalian...hidup yang berwarna ada pada senyum kalian...


-- Aku menikmati saat tersenyum sendiri, bersama orang lain, bersama dunia, bersamaNya-

Senin, 22 Februari 2010

Menjadi Bahagia Tanpa Syarat


Malam beranjak naik, rintis air hujan berpacu di luar jendela, kopi tinggal menyisakan sesapan terakhir saat ringtone Yogyakartaku berbunyi…sms masuk,
X : Hai
Humm, sms dari sahabat dekatku..sms yang aneh, singkat dan sangat retoris. I think something goes wrong overthere..dahiku berkerut, mungkin ada sesuatu yang terjadi dengannya. Jarak yang begitu jauh tentu saja tak bisa membuatku bertemu untuk saling mengobrol langsung. Lalu segera saja kuraih HPku dan membalas pesannya
Me : hai..Hai…uhmm kenapa?
Tak harus menunggu lama, bliiip ringtone Yogyakartaku berbunyi lagi
X : enggak, hanya lelah
Fiuhh semakin aneh jawabannya, tak biasanya ia ngirit ngomong begitu..lelah? no wonder..pekerjaan..dan pekerjaan lagi yang menjadi titik pangkalnya. Tapi “lelah” yang ia ungkapkan pasti lebih daripada alasan pekerjaan. Kubalas lagi
Me : Whoaaa..sama, pengen nyenengin diri sendiri
Kujawab seperti itu karena akupun tengah “letih” karena banyak hal yang saling bertabrakan, menyita waktu, terpaksa menyingkirkan hal-hal yang seharusnya segera fokus untuk dikerjakan. Dan hal itu menyita energi, maka rasaya ingin menyenangkan diri sendiri dengan melakukan hal-hal yang aku suka atau sedikit menghadiahi diri sendiri dengan sesuatu yang menyenangkan.
Jawaban smsnya lagi, kubuka dan tulisannya membuat dahiku berkerut,
x : kesenangan itu hanya sementara
Weh..weh…entah kesambet apa dia, tersenyum sejenak dan dengan tak sabar aku membalas pernyataannya
Me : He2x..tidak pernah ada yang semu dan sementara seperti juga tidak pernah ada yang abadi. Bila menurutmu itu sementara, lalu apa yang abadi?
Jawabanku mungkin bukannya membuatnya menjadi semakin membaik tapi mungkin ia tengah bersungut-sungut membaca jawabanku yang membuat kepalanya cenut-cenut,
X : bahasa apa itu?waduuhh..makin puyeng
Aku tergelak membaca jawabannya, aku tahu pasti apa yang ia rasakan, kondisi seperti apa yang membuatnya merasa “lelah” dan merasa tidak bahagia.
Me : Halah bahasa biasa aja. X, aku hanya tidak ingin membuat syarat untuk menjadi bahagia. Ya begini ini, dengan segala ketidaklengkapan dan ketidaksempurnaanku, aku bahagia..ehehe..oeyyy jangan pingsan ya..
X : boleh aku tanya, apa itu mudah?
Pertanyaannya kali ini serius, aku berpikir sejenak. Menghabiskan sisa kopi dalam cangkirku dan kembali meraih HP.
Me : uhmm mudah saja, cukup dengan tidak harus menunggu sesuatu yang kita inginkan terwujud untuk jadi bahagia, tidak harus menunggu punya gaji ataupun karir selangit, tak harus menunggu jatuh cinta, tak harus menunggu menikah, tak harus menunggu punya rumah atau kuliah lagi di luar negeri atau apapun. Menikmati hidup dengan segala ketidaksempurnaannya, memang terkadang tidak mudah, tapi aku memilih itu,
Aku cukup puas dengan jawabanku, kata-kata dari mana? Entahlah…
X : terima kasih, aku sudah bisa tidur
Aku tersenyum lega. Tapi percakapan singkat itu membuat aku berpikir. Menjadi bahagia tanpa syarat? Sudah agak lama menerapkan “ilmu” ini dan sejauh ini sangat menolongku untuk menghadapi hidup dalam detiknya yang terus berjalan. Aku ingin menjadi manusia yang seperti itu, melepaskanku dari beban-beban yang harus dipikul kemana-mana.
Manusia, terkadang aku merasa manusia terlalu sering mensyaratkan sesuatu untuk menjadi bahagia sehingga terasa begitu rumit. Bahagia menjadi mahal, menjadi berhala. Orang harus mempunyai pekerjaan yang bagus, gaji yang cukup, rumah yang nyaman, menikah dan mempunyai keluarga yang terlihat bahagia entah atas nama komitmen atau hanya kontrak-kontrak hidup yang dibuat dua orang yang berbeda. Manusia harus begini…harus begitu..bila tidak begini berarti kau tidak sukses, bila tidak begitu berarti kau tidak bahagia..ah, mereka seragam sekali dalam hal itu, terkadang membuatku geleng-geleng kepala dan tersenyum. Tak heran, tak juga ingin menghakimi. Mungkin saja mereka yang benar, dan aku yang salah, atau sebaliknya, atau tidak ada yang benar atau mungkin semuanya benar, entahlah…
Hanya saja aku tengah mencoba tidak lagi mensyaratkan sesuatu untuk bahagia. Menerima hidup akan lebih menenangkan, tapi bukan berarti membuat urat perjuangan putus atau kemauan untuk mengejar impian menjadi melempem.
Aku, sebebas udara. Kebebasan bukan berarti ketiadaan tanggung jawab, tapi mempunyai kebebasan untuk memilih dan melibatkan diri sepenuhnya pada pilihanku.
Selamat hidup kawan,

Selasa, 22 Desember 2009

Menyapa "aku" di Penghujung Tahun 2009


Atas nama perubahan yang terjadi setiap detiknya, hai ”aku” yang mengisi ragaku. Aku ingin menyapamu menjelang penghujung tahun ini. Yah, penghujung tahun senantiasa membawa pada refleksi, kilas balik, dan mengaudit langkah. Dan wahai ”aku”, apakah kau telah berubah kini?

Apakah ”aku” adalah aku yang berbeda kini?

Kita telah melewati hidup lebih dari seperempat abad. Banyak orang yang menilaimu berbeda, wahai jiwaku. Tapi beberapa orang di lingkaran dalam kita menganggapmu masih seperti dulu. Mungkin ada yang berubah, tapi perubahan itu bergerak bersama kehidupan mereka juga, jadi perubahan itu seakan berada segaris mengikuti jalur-jalur perubahan mereka. Aku bersyukur untuk itu.

Semua kejadian hidup membuat kita berubah, tapi apapun perubahan itu... aku tetap si pemilik jiwaku yang dulu.

Jiwa penghuni ragaku yang selalu kusebut ”aku”

”Aku”, apakah engkau bahagia kini?. Bahagia menurut versimu sendiri, bukan versi atau standar orang lain, bahkan engkau tidak harus memenuhi standar ”kebahagiaan nasional” masyarakat Indonesia. Ah aku lupa, bukankah soal kebahagiaan kita telah setuju untuk tidak lagi dipertanyakan lagi. Bukankah kita sudah punya rumus mati yang telah lama kita setujui, jiwaku. Bukan tentang definisi, artian yang berbelit atau apapun.

Yah aku dengar kau berbisik sambil tersenyum

”Aku bahagia..dan selalu memilih untuk bahagia.titik” Aku senang engkau menjawab begitu. Berarti engkau masih ”aku” yang dulu.

Baiklah, aku ingin bertanya hal lainnya. Apakah engkau lelah, jiwaku? Kali ini engkau tersenyum lagi, kali ini agak masam kulihat.

” Terkadang aku lelah, tapi aku senang menghunimu. Mungkin dalam hal ini kau harus lebih memperhatikan ragamu. Tanyakan padanya apakah ia lelah, apakah ia menginginkan liburan panjang, atau sedikit menyenangkan dirinya. Dia lebih lelah daripada aku. karena dalam menghadapi apapun dia yang bergerak, berusaha seperti apa maumu. Sedangkan aku, engkau terkadang tidak membiarkanku terganggu oleh apapun, aku semerdeka udara.”

Aku tersenyum, senang mendengarkan jawabanmu, jiwaku. Sembari berjanji akan menanyakan pada ”ragaku’ apa yang menjadi maunya agar ia bisa lebih senang. Mungkin ia mau aku menceraikan kopi yang setiap hari meracuninya secangkir demi secangkir demi menopang energi saat-saat aku mengajaknya lembur. Ehehehe..aku akan menegosiasikannya nanti, jangan khawatir.

” Kau juga harus menanyakan kabar hatimu di penghujung tahun ini, apa ia mengatakan sesuatu padamu akhir-akhir ini?” Ah, jiwaku..untung engkau mengingatkanku.

” Ahaha..entahlah. Dia hanya bicara sedikit padaku. Mungkin sedikit bingung dengan mauku, aku menyuruhnya menjaga penghuni baru yang tidak dikenalnya dengan pasti. Aku tidak mengkhawatirkannya, dia sudah terbiasa dengan segala macam mauku. Paling-paling ia hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala melihatku begitu keras kepala, bahkan merajuk Tuhan untuk menuruti mauku, atau menyerah akhirnya sejenak bertopeng keikhlasan ehehe..aku malah memberi si penghuni itu kunci agar ia bisa dengan leluasa keluar masuk tanpa mau disebut gila”

Hatiku, aku tidak mengkhawatirkannya. Aku hanya khawatir pada suatu titik aku menempatkannya pada posisi yang sulit. Karena selama ini aku menempatkannya pada posisi pemenang. Aku takut suatu saat ia berbicara terlalu lirih, hingga aku tak lagi bisa mendengarnya. Aku menjadi tuli.

maka kubiarkan kini ia bicara sesukanya, aku menurutinya. Ia lah panglima perangku, semoga tidak sering berselisih paham dengan penasihatku, pikiranku.

Bicaralah, aku mendengar dan mengikuti kemanapun engkau mau..

Va dove ti porta il cuore...Pergilah kemana hati membawamu...seperti kata Susana Tamaro.

Yap, hatiku di penghujung tahun ini sudah membisikkan sesuatu. Mungkin aku akan mengikuti apa maunya

Dia bilang, belok kanan ********** !

Senin, 21 Desember 2009

Galaksi Cinta - Galaksi Kinanthi


Kinanthi, bagiku galaksi cinta tidak akan pernah tiada

Ketika malam tak terlalu purnama, lalu kusaksikan

Bintang-bintang membentuk rasi menurut keinginanNya

Cari aku di Galaksi Cinta. Aku tetap akan ada di sana

Tersenyumlah..Allah mencintaimu lebih dari yang kamu perlu

(Ajuj)



Buku : Galaksi Kinanthi ( Sekali Mencintai Sudah itu mati?)

Penulis : Tasaro GK

Penerbit : Salamadani

Genre : Novel Sastra

Hal : 432 halaman



Pertama kali melihat buku Galaksi Kinanthi di jajaran rak buku Gramedia, buku ini langsung sanggup membuatku mengambil dan menilik buku ini. Kenapa? yap, cover bukunya sungguh menawan untuk kelas novel sastra lokal. Berwarna biru kehijauan dengan desain yang apik, apalagi sampulnya berlipat-lipat yang dalam setiap lipatannya tertuang kalimat-kalimat khas beberapa tokoh sentralnya, Ajuj, dan Zhaxi. Trus, judulnya tak biasa, dan aku sungguh suka. Galaksi Kinanthi, yap gabungan dua hal yang ”aku banget” ehehe, aku maniak dengan hal-hal berbau bintang, galaksi dan astronomi, dan Kinanthi adalah sebuah tembang jawa yang berarti pelipur lara...dan segala hal tentang kultur Jawa sudah sepatutnya dengan lahap kusimak. Jadi simpulan yang bisa kutarik singkat sekilas menscreeninng buku ini adalah perpaduan antara hal-hal berbau Jawa dan astronomis. Ok, itu cukup membuat aku terkesan, apalagi menilik penulisnya Tasaro GK merupakan Best writer FLP award 2007 dan Ikapi award 2006&2007, plus buku ini merupakan best seller...uhmm banyak plusnya. Membaca beberapa bagian awal buku ini membuatku berkesimpulan bahwa suatu saat buku ini harus menghuni rak bukuku dengan kategori must read! kenapa?..ah, mungkin terlalu banyak alasannya. Dilihat dari daftar isi, bab-babnya yang bertajuk rasi-rasi bintang itu langsung bisa menawan hatiku. Kemudian menurutku salah satu kunci sebuah buku bagus bisa dilihat pada kalimat-kalimat awal. Membacanya sekilas sambil menyender di rak buku Gramedia karena kursi-kursi baca telah penuh, membuatku terus antusias membolak balik halaman-halaman buku itu.

Impresif!


Kalimat pembukaaan sebuah buku yang membuat pembaca disuguhkan sebuah intro yang tak biasa.


Begini cara kerja sesuatu yang engkau sebut cinta; engkau bertemu seseorang lalu perlahan-lahan merasa nyaman berada di sekitarnya. Jika dia dekat, engkau akan merasa utuh dan terbelah ketika dia menjauh. Keindahan adalah ketika engkau merasa ia memerhatikanmu tanpa engkau tahu. Sewaktu kemenyerahan itu meringkusmu, mendengar namanya disebutpun menggigilkan akalmu. Engkau mulai tersenyum dan menangis tanpa mau disebut gila.

Kelak, hidup adalah ketika engkau menjalani hari-hari dengan optimisme. Melakukan hal-hal hebat. Menikmati kebersamaan dengan orang-orang baru. Tergelak dan gembira, membuat semua orang berpikir hidupmu telah sempurna.

Sementara, pada jeda yang engkau buat bisu, sewaktu langit merah oleh benda-benda yang berpijar, ketika sebuah lagu menyeretmu ke masa lalu, wajahnya memenuhi setiap sudutmu. Bahkan langit membentuk auranya, udara bergerak mendesaukan suaranya. Bulan melengkungkan senyumnya. Bersiaplah..Engkau akan mulai merengek kepada Tuhan. Meminta sesuatu yang mungkin itu telah haram bagimu”



Ah. maafkan bila aku terlalu banyak mengutip bagian awal buku ini. Awal novel ini bercerita tentang seorang perempuan Indonesia yang sangat sukses menjadi Queen of NewYork, seorang professor muda, dosen Universitas Drexel, penulis buku bestseller dengan cerita latar belakang kota Rochester yang menakjubkan. Hingga tak menyangka bila novel ini adalah cerita tentang women trafficking, derita tenaga kerja wanita Indonesia, pembaca sungguh dibolak balikkan dengan keadaan yang dramatis, tapi realis karena sesuangguhnya kisah ini merupakan kisah ”inspired by true story”, mungkin tak seluruhnya kisah nyata, tapi setidaknya jiwa cerita ini terispirasi dari kisah nyata. Yap, novel ini mengombang ambingkan pembaca dalam situasi yang paradoks, gemerlapnya Amerika, sederhananya sebuah desa di Gunung Kidul Yogyakarta, Riyadh, Kuwait, Miami sampai Great Plain yang eksotis. Bercerita tentang persahabatan yang berbibit cinta antara Ajuj, seorang anak kyai di sebuah desa di Gunung Kidul dengan perempuan bernama Kinanthi, yang berlatarbelakang keluarga yang terpinggirkan. Tasoro GK menghadirkan suasana Gunung Kidul dengan apik, dialog dengan bahasa jawa khas Jogya yang kental, kultur spiritualitas masyarakat desa yang masih menyimpang, berbagai ritual pun disisipkan serta tak lupa pula tembang-tembang jawa dengan berbagai filosofinya tertuang dengan lugas. Bumbu-bumbu yang sedap untuk membuat buku ini bukan hanya sekedar sebuah cerita.


Ironi, saat Kinanthi ”dijual” orang tuanya dengan 50 kg beras kala itu, hingga ia harus mengalami berbagai kehidupan yang pahit dalam hidupnya. Mulai dari Bandung, kemudian menjadi TKW ke Riyadh, Kuwait, Arab dan Miami. Cerita di kamp-kamp penampungan wanita yang memilukan, kisah penderitaan TKW yang disiksa majikan, percobaan pemerkosaan, realitas tenaga-tenaga kerja RI di luar negeri. Terlalu getir kisah hidup yang harus dilampai gadis cilik bernama Kinanthi, tapi kisah ini mendorongku untuk berpikir betapa banyak nasib-nasib Kinanthi-Kinanthi lain, pejuang wanita yang mengadu nasib di luar negeri. Memilukan, berlembar-lembar halaman kubaca dengan alur mengalir yang filmis. Perjuangan akan keadilan, pun terselip juga kisah cinta yang begitu dalam antara Kinanthi dan Ajuj yang tak pernah mati. Penderitaan-penderitaan memilukan, kabur dari majikan di Riyadh, dikelabui agen-agen mafia tenaga kerja sunguh menyodori kisah-kisah yang mencengangkan. Terkadang berpikir, begitukah nasib-nasib TKW Indonesia? hingga tak sedikit berita-berita di televisi menayangkan kekerasaan, penyiksaan, pulang dengan cacat di badan, stress atau bahkan pulang dengan jasad kaku kehilangan nyawa.


Titik balik terjadi saat Kinanthi memenangkan perkara penyiksaan majikannya di Amerika hingga ia mendapat tunjangan dan beasiswa untuk kuliah, dan transformasipun terjadi. Prof.Kinanthi Hope, menjadi Queen of NewYork. Tasaro GK juga memadukan kisah ini dengan sisi spiritualitas, dimana Kinanthi kehilangan esensi keberagamaannya karena getirnya hidup. Sementara di sisi lain, Gunung Kidul masih menjalankan ritual-ritual menyimpang yang berbungkus keagamaan. Kembalinya Kinanthi ke Gunung Kidul, untuk mencari cinta sejatinya, Ajuj menyetir perasaan pada kisah-kisah yang tak biasa. Balas dendam akan masyarakat desa yang meminggirkannya, pertemuannya dengan Ajuj yang sungguh sangat ”nggak klise” ehehe..i luv that part

”Inikah lelaki yang kusimpan di benakku hampir 20 tahun ini?kemana larinya perasaan yang menggebu itu?” ow ow sangat realis, tidak klise yang seperti kuperkirakan.


Kemudian berlatar gempa besar di Jogya yang menyebabkan Ajuj koma karena kecelakaan saat menambang membuat akhir-akhir bagian kisah ini menjadi kian menarik. Kisah ini juga dibumbui oleh tokoh Zhaxi, editor sukses yang mengorbitkan Kinanthi, seorang tibetan yang diam-diam menyukai sang profesor muda itu. Apakah Kinanthi yang sudah berubah menjadi wanita karir sukses dengan gemerlapnya Amerika akan terus menunggui cinta Ajuj yang terbaring koma?Bagaimana cinta Zhaxi yang begitu setia selama ini mendampinginya? bagaimana nasib galaksi cinta yang dibangun di atas langit oleh Ajuj dan Kinanthi?


Ehehe..baca ajalah bukunya, sungguh tidak menyesal membeli buku ini saat pameran beberapa minggu lalu. Galaksi cinta mengajakmu membuat dialog kecil tentang cinta ”sejauh mana cinta layak diperjuangkan, atau justru perjuangan itu harus dilakukan dalam diam”.


Nikmatilah suguhan kalimat-kalimat magis Tasaro GK dan kisah ini akan menghadirkan cara pandang yang berbeda***

Sabtu, 19 Desember 2009

Travelling, not just the seeing sight...

Ladang gandum yang menghampar kekuningan, bangunan-bangunan gigantis yang menakjubkan, rindangnya hutan-hutan pinus sampai sahdunya matahari yang tengah tenggelam di pantai ditemani semburat-semburat merah di ufuk barak pertanda hari segera berganti. Aku suka memburu untuk bisa melihat semua hal-hal seperti itu, dan banyak hal-hal lainnya. Travelling!!

Entah dari kapan aku suka travelling, jalan-jalan...padahal dulu aku anak rumahan (hanya otak dan pikiranku saja yang mengembara ehehe), tapi sekarang rasanya nikmat sekali menjelajah. Bukan hanya ke tempat-tempat wisata yang memang biasa dikunjungi banyak orang, tapi kemanapun, asal tempat baru yang belum pernah kukunjungi, ataupun bahkan tempat yang entah berapa kali kukunjungi dan menarikku ke sana lagi.

I luv travelling!

Saat jalan-jalan dengan motor, aku suka bunyi deru mesin dicampur terpaan angin, menyusuri jalan-jalan entah berkelok, lurus, naik turun, melewati hutan, apa saja. Saat menggunakan transportasi umum, aku selalu menikmati bingkai-bingkai yang disajikan di luar jendela-jendela besar bis umum, jendela kereta api. Lanskap-lanskap yang dinikmati mataku, entah hijaunya alam atau tingkah polah berbagai macam manusia yang juga menarik diamati.

Uhmm..lalu apa yang ada di balik ”travelling” itu?

Hidup seperti halnya juga cinta perlu diperbaharui setiap kali..bila dibiarkan berjalan statis, monoton...kebosananlah ciptaannya. Bepergiaan menyuntikkan semangat baru, hal-hal baru, kesenangan baru, pengalaman yang lain dan banyak hal yang membuat kita bersinggungan dengan titik-titik tak terduga, bahkan sebuah prinsip hidup sekalipun. Jalan-jalan bukanlah sekedar melihat moleknya sebuah tempat, menyantap kuliner setempat yang menggugah selera. Entah seberapa lelahnya perjalanan, bila dinikmati, aku melihat diriku ”diperbaharui”, suntikan hidup. Mungkin setiap manusia mempunyai ”suntikan-suntikan hidup” sendiri-sendiri, ada yang menemukannya pada belanja, makan, entahlah masih banyak lagi. Dan aku menemukan salah satunya ada pada travelling!

Ada kutipan favoritku tentang hal ini..sukaaaa sekali ehehe

Travel is more than the seeing sight. It is a change that goes on

deep and permanent in the ideas of living

Terkadang jalan-jalan adalah hadiah untuk diri sendiri, aku suka menghadiahi diri sendiri entah dengan belanja buku inceranku, jalan-jalan, atau kesenangan lainnya. Aku meyakini Tuhan menyediakan banyak jalan untuk menemukanNya. Mungkinkah juga ada pada jalan-jalan?? ehehe...aku sudah pernah mengalaminya, sering!

Seperti juga hidup, cinta yang harus terus diperbaharui, begitupun sebuah keyakinan yang tumbuh dan berkembang. Mungkin seperti itu.

Akhir tahun segera menjelang, huhu ada beberapa target yang meleset, juga salah satunya target jalan-jalan ke beberapa tempat. Tahun ini masih berkutat menjelajah tempat-tempat lokal. Tapi tak apalah..

Masih ada akhir tahun, ada tahun depan ehehe... bila waktu masih mau aku terlibat dalam perputarannya itu. Semoga!


Tentangmu


Tentang ketidakpastian..ketidaktahuan

Tentangmu...apalagi tentang kita, harus apa dan bagaimana

Sampai kapan akan bertahan?

Sampai kapan...

Sampai lelahkah?sampai aku kalahkah? atau sampai kapan?

Beritahu aku

Aku bertahan, dulu karena aku yakin,

Kini, bahkan karena ketidakpastian

Seperti pernah kubilang, ketidakpastian hidup justru terkadang jalan yang paling mudah untuk menemukanNya.

Aku...engkau, adakah kita diberikan takdir untuk berada dalam satu perlintasan lagi

dan kemudian sejalur berjalan?

Seperti dulu kita adalah bidak-bidakNya yang dijalankan untuk dipertemukan

Apakah aku harus meminta takdir untuk sejalan dengan mauku kali ini?

Sudahlah, urusan takdir bukan urusan kita

Ada setapak jalan ke depan yang ingin kumaknai dengan perjuangan

Kumaknai dengan perwujudan impian-impianku

Kumaknai dengan syukurku akan hidup

dan mungkin terkadang syukurku akanmu

Dan mungkin sekedar meluangkan waktu, menitipkan doa-doa sebelum tidur untukmu

menyeberangi samudra sejengkal itu.



(saat alnilam, alnitak dan mintaka berkerling di sabuk Orion padaku)

18.12.09 10.45 p.m