Rabu, 02 Juni 2010

Rendezvous-Ex Italian Class

“Ketemu di coklat cafe jam 18.30an ya” janjian dengan teman-teman kelas Italiaku. Tapi perjalanan Kebumen-Jogya yang biasanya bisa ditempuh paling lama 4 jam ini jadi molor 5 jam karena macet. Maklumlah libur panjang 3 hari membuat semua orang sibuk dengan urusan liburan, pulang kampung hingga membuat jalanan macet fiuuuhh.

“Mba, kalo udah nyampe selokan mataram, sms ya nanti aku jemput” sms dari Sandy, temanku yang bakal memberikan tumpangan nginep. Ehehe.. di kos lama sudah tidak ada lagi makhluk yang tersisa jadi harus mencari alternatif tumpangan lain. Duuh bis jalur 15 yang mengangkutku dari Gamping sialnya mendamparkanku di depan Gramedia dengan alasan mau pulang kandang jadi nggak sampai selokan mataram,hiyaaaa…terkatung-katunglah aku menunggu jemputan Sandy. Tapi tidak apa, memandangi kota ini dalam kerlip lampu-lampu jalan, mobil-mobil yang melaju, detik-detik yang berganti di perempatan lampu lalu lintas, menyenangkan. Jogyaku, aku kembali (lagi), selalu…

Malam yang mulai merambat meninggalkan senja, bau Yogya, dan udara yang mulai dingin, campuran suasana yang kurasai lagi. Setelah sekitar 10 menit menunggu, akhirnya Sandy datang..yuhhuuiii..kami meluncur ke coklat café’. But wait…aku belum mandi…..ihihihi

“Cuci muka aja entar di toilet, mba” saran Sandy. Wew..baiklah, nampaknya satu-satunya pilihan yang dapat diambil untuk menyegarkan muka.

Kami sampai di coklat café, Nampak di kursi-kursi luar sudah mulai ramai orang-orang yang kongkow-kongkow. Sandy menghampiri seorang laki-laki dengan jaket bertuliskan Italia di bagian depannya.

Ciao..come stai? (hai, apa kabarmu?)” ia menyapanya. Entah siapa, aku belum pernah mengenalnya di kelas Italia. Setelah memilih tempat duduk di dalam, aku segera mencuci muka di toilet. Ehehe daripada tak tersentuh air sama sekali, yah lumayanlah…

Teman-teman lain belum datang, maka kami bertiga menanti mereka sampai ngobrol

“ sei stata in Italia? Quindi parliamo Italiano!(kamu pernah tinggal di Italia yah?kalo gitu, ayo kita ngobrol pakai bahasa Italia” kata si lelaki tadi yang ternyata bernama Agus. Wew..parla Italiano? Dengan badan yang masih penat, tanpa mandi, dan ditodong ngomong itali..jiaaahh mengalami blank sejenak ehehe….

abito a Roma per tre anni, con mio padre..ha lavorato nel ambasciatta di Roma…bla…blaa (aku tinggal di Roma selama tiga tahun, dengan ayahku, dia kerja di KBRI Roma bla..blaa)” dengan bahasa Italia yang cepat, aksen yang sangat Italia membuat telingaku yang sudah lama tidak mendengar bahasa yang melodis itu terkejut. Waduuuhh..ternyata sudah lama sekali nggak denger bahasa yang membuaku jatuh cinta setengah mati ini. Ada rasa yang bergelenyar, senang, bingung, kaget, ehehe….hatiku memang senang terkejut.

Sementara Sandy yang seorang dosen bahasa Italia di UGM dengan lancar ngobrol dengan Agus memakai bahasa Italia. Dulu Sandy juga memperoleh beasiswa bahasa Italia sepertiku tapi ia belajar di Universita’ per Stranieri di Siena, karena sampai saat ini ia masih mengajar dan mempraktekkan terus jadi bahasa Italianya masih tetep bagus. Sementara aku..uhmm sudah dua tahun vakum, benar-benar tidak mempraktikkan ngomong pakai bahasa ini lagi. Makanya saat menjawab pertanyaan mereka, rasanya lidahku kelu, otakku berpikir…”verba ini kalo untuk past tense jadinya apa? Kosa kata ini dalam bahasa Italia apa ya?verb ini kalo subjeknya ‘dia” jadinya apa? Duuuhhh..parah..parah…

Aku merusak puisi spontan yang indah itu dengan bahasa yang patah-patah. Bahasa Italia bila diucapkan dengan lancar dan cepat, dengan aksen yang kental, dengan penekanan nada suara di tempat yang seharusnya akan terdengar seperti sebuah rima puisi, seperti lagu, indah. Tapi aku merusaknya karena bahasaku yang terbata-bata, duuh ternyata bahasa bila lama tidak digunakan akan menghilang, otak juga tidak lagi otomatis, lidah tak lagi spontan mengucapkannya, sepertinya aku harus belajar lagi.

Dan yang kutunggu-tunggu datang juga, Wida…sahabatku yang beberapa minggu baru pulang dari Perugia. Yahuuiii…seneng banget ketemu dia lagi, dan menunggu Pinokio titipanku. Nampak lebih kurus dari yang terakhir aku melihatnya,tapi tetap cerah ceria seperti dulu. Kangen banget dengannya, huhuhu kami adalah sesame penyusup di kelas Italia.

-Fremita e Wida-

voui mangiare qualcosa (kamu pengen makan sesuatu?)” Tanya si agus. Menu sudah ada di meja dari tadi, tapi kami semua asyik ngobrol masing-masing. Akhirnya aku memesan un macchiato dan fusili with tuna, ehehe kangen dengan makanan berbau Italia.

“ Gimana, jadi prewedd di Vatikan?” Tanya Wida dengan nada bercanda. Aku hanya menanggapinya dengan ketawa ngakak. Mengingat chat dulu saat ia masih di Perugia, kami berdua mengalami kejadian yang hampir serupa di Vatikan, dengan orang yang berbeda, waktu yang berbeda..tapi di tempat yang sama dan cerita yang hampir sama juga. Hiyyapp..aku dan dia memang kadang seperti cermin.

Pesenan makanan datang, dan uhmmm…secangkir machiatto dan fusilli, sangat Itali

-Fusili con tuna e un machhiato-

“ Uhmm bau Itali” kataku pada Emi di sebelahku. Iyah, bau sesuatu..makanan, tempat, akan lebih mengingatkan otakku dengan suatu tempat atau seseorang. Aku suka mengidentifikasikan sesuatu dengan membauinya ehehe…

Beberapa orang yang belum kukenal datang, murid Signora yang lain. Fafa, yang pengajar bahasa Itali di Cilacs dan Fremita, mahasiswanya Sandy yang jago banget berbagai bahasa. Kami semua di dalam meja itu dipersatukan dalam suatu hal yang kami suka, all about Italia.

Perut sudah kenyang, fusili sudah tandas…suasana bertambah hangat. Rencana untuk ke rumah Signora sudah diputuskan, berangkat dengan Prameks ke Solo jam 8, beli kue dan bunga..bla..bla..all set!

“ Yuks ke ayam geprek..laperr” ajak Wida, yang memang sedari tadi hanya pesen minuman. Ajakan itu disambut koor tanda setuju. Haduuh makan lagi? Hayuuk lah….

Dengan rombongan kami meluncur ke ayam geprek, Jogya makin ramai, udara dingin makin menguat, tapi aku heppiiii berat. Sudah lama rasanya tidak merasakan atmosfer seperti ini, uhmm kapan terakhir kali? Entahlah..selama ini sejak aku pulang dari Italia, aku baik-baik saja..semua berjalan baik, tapi tidak sebahagia ini..lalu apa bahagia?perasaan senang yang sangat kah? Uhmm..kok tiba-tiba mempertanyakannya…

Ada rasa itu, rasa yang hampir dua tahun ini tidak mampir dalam hariku. Aku terlibat dalam rutinitas, dalam pekerjaan, dalam jalan-jalan, dalam liburan…tapi dalam hati aku bertanya, kenapa hanya berkumpul-kumpul santai, ngomong pakai bahasa Italia, dan semua atmosfer ini membuatku berkata, “rasanya aku tidak pernah sebahagai ini selama dua tahun ini”ehehe…

Aku menemukan komunitas, menemukan sebagian diriku yang hilang. Jogya, Italia…sahabat-sahabat..semuanya terasa lengkap. Grazie Mille Tutti ***



Rabu, 26 Mei 2010

Mahluk Jahat Bernama "MooD"

Aku benci dia, sungguh-sungguh benci. Tapi ia tak mau pergi. Ia merusak aliran kata-kata di otakku, meninggalkan kekosongan. Ia membuatku menatap kosong pada layar laptop tanpa tahu harus menulis apa dalam lembaran putih ini. Mengapa ada kalanya aliran kata-kata itu mengalir lancar, siap kutangkap dalam ketikan jariku, dan semuanya terasa sempurna. Tapi makhluk jahat itu, walau berkali-kali kuusir, tak juga mau pergi. Ia sering menghampiri,

Mengapa menulis butuh Mood? Saat mood berwajah baik, semuanya terasa normal, bahkan dalam sekali duduk bisa kuhasilkan beberapa lembar, beberapa tulisan. Tapi bila mood dengan buruk, aku hanya menatap layar, menscroll ke atas dan ke bawah, kata-kataku terhenti. Susunan kalimatku serasa hambar, tanpa nyawa. Karena itu aku benci dia.

Banyak orang bilang, jangan menunggu mood bila ingin menulis. Menulis dan menulislah terus, engkau akan berhasil menulis.

Yap,kuakui bila aku terus menulis dalam mood yang buruk, aku tetap menghasilkan tulisan. Tapi rasanya sangat berbeda, hasilnya akan sangat berbeda. Ruh kalimatku hilang, pesan yang ingin kusampaikan, tiba-tiba serasa tersendat. Fiuhh…

Maka, aku berusaha menciptakan mood yang baik. Sepotong senja yang marun, angin yang masuk sepoi-sepoi karena pintu yang kubiarkan terbuka, serentetan lagu mengalun menyetir rasa, dan secangkir kopi. Dengan begitu kuharapkan Mood akan menampakkan mukanya yang manis. Tapi mungkin aku harus belajar menulis tanpa makhluk bernama mood. Agar aku bisa menulis dengan baik kapan saja. Uhmm..tapi sesuatu yang buruk, akan menjadi berbeda bila kita memandangnya dengan berbeda.

Mood yang buruk membuatku belajar bagaimana caranya menciptakan mood yang baik, bagaimana menata suasana hatiku agar bisa menghasilkan tulisan yang baik, mengerti waktu-waktu favorit saat aku menulis. Ahaha lihatlah mood tiba-tiba berubah jadi malaikat.

Apapun, mau kita jadikan makhluk jahat atau malaikat, tergantung bagaimana cara kita memandangnya, dan mensikapinya. Hai mood, datanglah kapan saja, akan kusuguhi engkau secangkir kopi panas, dan minum kopilah bersamaku, dan biarkan aku menulis dengan tenang…


pic : http://th01.deviantart.net/images2/300W/i/2004/08/4/7/I_feel_blue.jpg

Kamis, 20 Mei 2010

A Letter to the Readers


Dear the readers,

Hai..yang sudi mampir dalam rumahku, rumah yang kubangun hampir empat tahun belakangan ini. Terima kasih sudah meluangkan waktu menyinggahinya di antara ribuan portal yang lain. Rumah mayaku ini, hanya menghadirkan tulisan-tulisan dari isi kepalaku, hal-hal yang mungkin tidak penting tapi menurutku penting, hal-hal remeh temeh tapi hal itu justru membuat perbedaan besar dalam hidupku.

Aku menulis, karena aku menemukan duniaku pada saat aku menulis. Saat menulis, aku menemukan diriku sendiri, menyatu dengan kata-kata yang berhamburan di kepalaku, bersinergi dengan gerakan jari jemari di keyboard laptopku, satu—sefrekuensi. Rasa seperti itu yang membuat aku mengulang dan mengulang lagi—untuk terus menulis. Karena dengan menulis aku menikmati hidup, dengan menulis aku berhenti sejenak.

Bukankah dunia terus berlarian, dengan rutinitasnya yang menuntut. Aku sering menemukan diriku hilang, ditelan waktu, tanpa sadar sudah sampai mana langkahku. Karena aku tidak berhenti sejenak. Dan dengan menulis, aku bisa menghentikan duniaku. Menghentikan waktuku, menghentikan rutinitas, dengan menengok makna di antaranya. Dengan menuliskannya, aku mempunyai waktu dan ruang untuk bicara dengan diriku sendiri. Tentang hidupku, pikiranku, sekelilingku, apa saja yang tengah melintas di kepalaku.

Rumah ini semula hanya dikunjungi para sahabat dekat, yang tak lagi bisa bersua dalam nyata, tak lagi punya banyak kesempatan untuk berjumpa. Maka tulisanku bisa mereka baca (bila mereka sedang mau) untuk sekedar menengok hidupku. Aku menulis untuk diriku sendiri, kadang untuk mereka. Tapi aku sadar ternyata ada kalian, the readers yang kadang datang menengok, membaca sebentar, blog walking, bahkan menuliskan komentar atau menyapaku di kolom chat. Dan itu membuatku ingin menulis untuk kalian juga.

Menulis mungkin merupakan aktivitas egois, tulisan akan tetap menjadi tulisan walaupun tak pernah dibaca. Tapi tulisan itu tidak akan pernah memberi arti tanpa pernah dibaca orang lain. Dan kalian membuat tulisanku terasa berarti. Rasa itu takkan pernah bisa terbeli oleh apapun..

Tahukah kalian, terkadang saat hidup berlarian, waktu mengajakku berlari cepat, pekerjaan memaksaku berpaling padanya terus menerus. Dan energiku terkuras habis, rumahku ini sering kubiarkan kosong. Ia sepi, ia bisu, ia kesepian. Kupikir..biarlah saja ia sejenak kutinggalkan, toh rumah itu hanya sedikit yang biasanya menengok. Tidak ada yang kehilangan bila rumahku sepi, bila rumahku kosong. Tanpa kubilang sahabat-sahabat dekatku akan mengerti bila melihat isi rumahku ini kosong melompong,

“pasti pekerjaan tengah membuatnya repot”. Mungkin dugaan mereka benar, memang sering kali benar. Tapi saat menjumpai komentar-komentar asing, sapaan-sapaan orang-orang yang tak aku kenal di yang meninggalkan jejak di rumahku. Aku terharu, bahkan berbinar saat menemukan bahwa kalian membaca tulisanku. Bahkan tak segan menuliskan sesuatu untuk mengomentarinya. Kalian tahu, tidak pernah ada yang bisa menggantikan rasa bahagia saat merasakan itu. Siapalah seorang penulis tanpa pembacanya.

Apalah artinya sebuah tulisan yang hanya berbicara sendiri, kesepian di pojokan. Tulisanku di rumah ini akan tetap menjadi tulisan tanpa kalian, tapi tulisanku tidak akan berarti tanpa kalian.

Dear, the readers..tulisan ini ingin mengungkapkan rasa terima kasih. Terima kasih telah berkunjung, terima kasih telah memberikan arti dalam tulisanku. Aku menyukai perasaan saat menuliskan baris-barisnya, cukup itu, sesederhana itu.


Ciao..salam hangat, tengoklah kapan-kapan rumah ini bila kalian mau..


Mercoledi, 12 maggio 2010. 20:24