Minggu, 31 Oktober 2010

Seperti Momiji di Langit Kyoto (1)


“Dik, menurutku kamu sebaiknya selesaikan proposalmu dulu baru pergi ke Tokyo, Dik, jangan lupa bawain proceeding avian influenza dari Prof.Yamaguchi kemaren ya! Dik, Ramen yang enak beli di toko sebelah mana?

Panggilan Dik-nya seakan berdesingan di telingaku. Uff.. bagaimana hatiku tidak lumer dibuatnya, orang yang belum lama ini kukenal memanggilku dengan sebutan yang menurutku paling “penuh cinta” sedunia hehe..setidaknya menurutku!

Banyak orang yang mempunyai kebiasaan memanggil seseorang dengan panggilan kesayangan seperti, Sayang, Yang, Dinda, Cinta, atau seperti Fra, teman seapartemenku dulu di Italia yang memanggil Pietro, kekasihnya dengan sebutan sayang Amo! kependekan dari Amore! Cinta!

Tapi bagiku, panggilan paling penuh cinta di dunia adalah “Dik”, sebuah panggilan pendek dan sederhana yang menurut banyak orang sangatlah biasa saja. Tapi aku harus menunggu sampai hampir 27 tahun dan harus berkelana begitu jauh ke Negeri Sakura untuk mendengar seseorang memanggilku dengan sebutan yang selalu membuat hatiku lumer itu.

“Dik, maaf hari ini aku tidak bisa ke lab, rada kurang enak badan. Sementara kerjakan dulu PCR dengan formulasi yang kemarin ya. Sampelnya minta sama Manami-san Tiba-tiba sms dari Mas Danar seketika menghentikan lamunanku. Rasa khawatir berganti menyergapku. Mas Danar sakit?sakit apa? Ugh.. aku mengutuki hatiku karena sekali lagi ingat akan batasan proporsi. Bila tidak, aku akan segera menelponnya ataupun tanpa pikir panjang tergesa menuju ke apaatonya untuk tahu apa yang terjadi pada Mas Danar. Tapi tidak! Rasa khawatirku akhirnya kutelan sendiri, melayang bersama gugurnya daun momiji yang telah merah keemasan siap menciumi daratan yang menantinya dengan ketidakpastian.

***

Onegai Simasu Dita-san, kenapa hari ini kok sepertinya kurang bersemangat. Nggak seperti biasanya. O genki desu ka”. Manami, teknisi laboratorium biologi molekuler Universitas Kyoto itu sepertinya melihat mendungnya suasana hatiku saat ini.

Genki desu. Arigatoo. Tidak ada apa-apa Manami-san, cuma sedikit khawatir, Mas Danar sedang tidak enak badan. Dia mengabariku pagi tadi, entahlah dia sakit apa. Aku khawatir”. Kataku lirih pada akhirnya. Di Kyoto nan jauh dari ibu pertiwi ini, hanya aku, Mas Danar dan Pak Heru saja segelintir orang Indonesia yang tinggal disini. Pak Heru lebih sering berada di Tokyo untuk menyelesaikan uji akhir penelitiannya. Kulihat sekilas beberapa periset lain melambaikan tangan di luar jendela yang memisahkan ruang laboratorium Center of Biology Moleculer and Genomic dengan koridor Universitas Kyoto. Ah…sudah hampir enam bulan aku di sini, penelitianku sudah mulai. Sibuk dengan riset, mencari dan membaca jurnal di perpustakaan ataupun browsing internet di taman samping kampus sampai lupa waktu. Terkadang harus meluangkan waktu berkonsultasi dengan Prof. Yamaguchi pembimbing tesisku.

Tak terasa enam bulan hampir genap aku tinggal di Kyoto, tanpa merasa “hilang” karena jauh dari kampung halaman. Tanpa merasa kesepian karena jauh dari sahabat yang biasanya berbagi hidup. Kenapa? Akupun ternyata baru sadar bila jawabannya adalah karena ada Mas Danar disini! Aneh, padahal sebelumnya kami hanya berkorespondensi via email tentang rencana riset, pengajuan beasiswa, permintaan rekomendasi dari Prof. Yamaguchi. Aku dulu memanggilnya Pak Danar, dosen di salah satu universitas di Yogyakarta, hanya itu yang kutahu. Dan dulu ia memanggilku Mba Dita.

“ Nggak apa-apa Mba Dita, sekalian aku mau ketemu Bang Ardan di Tokyo”. Kilahnya saat itu, hingga tawarannya untuk menjemputku di Bandara Narita bulan Mei lalu, dan sungguh tak bisa kutolak. Ah, sebenarnya kan aku bukan gadis remaja lagi yang layak untuk dikhawatirkan, dan inipun bukan kali pertama kunjunganku ke luar negeri.

“Alow Dik! Bagaimana perjalanannya?baik-baik saja kan?Sini kubawain kopernya!” Aneh si mas ini, baru bertemu tapi seperti telah mengenalku selama bertahun-tahun. Dengan sigap pegangan koper besarkupun sudah berpindah tangan padanya.

“Ayo Dik, kita naik shinkansen, cuman sekitar 2,5 jam sampai stasiun JR Kyoto”. Di sepanjang perjalanan menggunakan kereta shinkansen Nozomi ia tak henti-hentinya berceloteh mengenalkanku pada negeri yang akan kutinggali selama kurang lebih tiga tahun ke depan. Saat-saat berikutnya, ia mengenalkanku pada rute-rute transportasi dari Kyoto ke kota-kota lain, toko-toko murah dan halal tempat membeli bahan pangan, membantuku mengurus aplikasi masuk ke Universitas Kyoto atau mengajakku ke festival Gion Matsuri musim panas Juni lalu. Panggilan Dik-nya sejak saat pertama kali bertemu membuatku merasa nyaman dan entah kenapa aku lama kelamaan merasa lebih nyaman memanggilnya, Mas Danar.

“Dita-san, PCRnya sudah selesai, ayo kita segera running elektroforesis”. Manami-san mengagetkanku. Aku terlonjak dari lamunanku. Arghhh..hari tiba-tiba menjadi sepi tanpa Mas Danar.

***

Dengan tergesa aku segera menuju apatoo Mas Danar di daerah distrik Sakyo-ku. Seusai menyelesaikan pekerjaanku di lab, aku segera naik subway jalur Tonzai yang pararel dengan Kamogawa agar cepat sampai, walaupun tarifnya tentu saja jauh lebih mahal daripada bus yang biasa kunaiki.

Apatoonya sepi.

“Mas…Mas Danar” Pintu apatoo kugeser dan aku beranjak masuk. Sepi..Aku melangkah ke ruang utama apatoonya. Jantung berdebar karena khawatir.

“Dik..kok kemari, sudah selesai kerjaan di Lab?” Suara parau dan lemah, tapi terasa akrab di telingaku. Walau dengan terbaring, tetap dengan senyumnya seperti biasa ia menyapaku. Hatiku trenyuh.

“Gimana mas, sakit apa? sudah minum obat belum? sudah makan, mas?” Arghh..ada nada khawatir di suaraku yang harusnya bisa kusembuyikan.

Ia hanya tersenyum.

“Cuman kecapaian dik, masuk angin..rada pusing.” Ah, mengapa ia tidak pernah mau untuk dikhawatirkan. Terbaring di atas kasur yang hanya diletakkan di atas tatami, dengan selimut tebal menyelimutinya. Ia nampak seperti seorang laki-laki biasa. Bukan seorang periset ulung bidang biologi molekuler dan genetika yang selalu berapi-api saat presentasi, yang begitu bersemangat saat membicarakan riset, begitu piawai saat kerja di lab, dan yang selalu kulihat bintang di matanya saat bicara.

“Mas Danar belum makan ya, kubuatin bubur ayam ya, sebentar kubuatkan teh hangat dulu.” Sengaja tadi aku mampir sebentar di toko bahan pangan di dekat kampus Yoshida, kampus utama Universitas Kyoto.

“Sudah minum obat belum, mas?” Aku duduk di dekat jendela ruang utama, menungguinya makan bubur ayam buatanku.

“Bubur ayamnya enak banget, Dik. Sudah lama nggak makan bubur ayam. Jadi ingat klangenanku bubur ayam Mbok Warti di selokan mataram, Jogya” Dengan lahap Mas Danar menghabiskan bubur ayam di mangkuknya.

“Wah..jadi saya disamain sama simbok-simbok to mas?” Aku pura-pura merajuk seperti biasa. Sehelai momiji merah keemasan kembali luruh di luar jendela. Aku selalu merindukan kebersamaan seperti ini bersama Mas Danar. Kebersamaan yang membawakan damai di hatiku, tapi menyulut pengkhianatan pada nuraniku.

“ Ya enggak to Dik, maksudku beruntung nantinya yang bakal dapat Dik Dita ini. Sayangnya kita kok telat ketemu ya ehehehe”. Tawanya renyah, mungkin maksudnya ia mencandaiku seperti yang biasa ia lakukan. Tapi kali ini candaannya sama sekali tak lucu untukku. Aku hanya tersenyum hambar. Aku menatapnya perlahan, pada matanya yang selalu kulihat bintang. Mas Danar tiba-tiba menghentikan asupan bubur ayamnya dan mengalihkan pandangannya padaku. Pandangan kami bersiborok beberapa detik dan waktu berhenti sesaat. Jantungku seperti berdetak lebih cepat atau malah berhenti mendadak tiba-tiba. Aku terkesiap dan segera membuang pandanganku ke luar jendela, menatap daun-daun momiji musim gugur yang telah memerah. Aku gugup…bodoh! Pikirku.

Come on Dita..ingat proporsi! Pembatasan rasa! kepalaku kembali menyentilkan alarm pada hatiku. Suara desahan nafasku memenuhi ruangan yang tiba-tiba sepi. Ah, hal ini bukan kali pertama terjadi antara aku dan Mas Danar. Magnet-magnet aneh yang kadang meletup-letup itu membuat hatiku sesak. Seperti saat dengan spontan ia menggandeng tanganku agar tak lepas darinya di tengah kerumunan orang di festival Gion Matsuri kala itu. Tapi tak pernah lebih dari itu, yah..aku yakin, barangkali! Hatiku mengindahkan analisa logis kepalaku, hingga ia yang seorang laki-laki beristri yang tengah menanti kelahiran putra keduanya telah masuk ke dalam hatiku tanpa mengetuk. Cintakukah yang salah?ataukah hanya waktu yang berjalan terlalu cepat hingga takdir pertemuanku dengannya datang terlambat?

(bersambung-2)

Melirik Malang, Sekilas....

Melirik Malang, Sekilas....
Pagi beranjak naik, kesibukan Mak Ti si pengurus kos di bawah terdengar dari kamarku. Yeah, persinggahanku selanjutnya adalah di sebuah kamar kos di Jalan Jember No 5 (seluruh jalan di sekitar UM ini semua nama jalan). Ternyata mencari kos-kosan di sekitar UM adalah sebuah pekerjaan yang haduuuuh melelahkan. Sulit sekali mencari kos-kosnya yang dekat (karena pastinya akan jalan kaki ke kampus), lumayan bersih, fasilitas okey. Kos-kosan paling sip yang kulihat-lihat dihargai Rp.700.000/bulan. Wew kebangetan mahal ehehe, dengan informasi dari teman-teman tentang biaya hidup yang diberikan Dikti per bulan (yang masih saja belum diberikan, urusan tunggak menunggak memang sudah biasa bagi PNS), pastilah akan “tombok” banyak. Maka akhirnya, dengan cukup “beruntung” aku mendapatkan satu kamar (karena memang hanya tersisa 1) di Jalan Jember No 5. Jaraknya sekitar 20 menit jalan kaki ke Kampus J UM, lumayan bersih, listrik gratis, ada fasilitas nasi putih dan air minum. Wew, baru kali ini sejak berkali-kali pengalaman nge-kos, ada kos-kosan yang menyediakan nasi putih+air putih. Dengan harga Rp. 350.000/bulan aku pikir cukup rasional dengan membandingkan rate kos-kosan di sekitar UM ini. Jangan bandingkan dengan kos-kosan di Purwokerto yang masih tergolong murah. I got 170.000/month with a big room plus one terrace in Purwokerto.

Seminggu mengikuti pelatihan, semuanya baik-baik saja, kecuali beberapa kali harus disibukkan dengan emergency call dari kampus dengan urusan-urusan yang belum rampung. Dan sekali lagi, aku mendapat bukti the law of attraction, dimana kemiripan akan menarik kemiripan. Yeah, sebuah kelas yang unik, ramai, hangat dan menyenangkan. Rasanya tidak pernah bisa serius, ada saja celetukan dari kami yang membuat tawa pecah. Seorang pengajar yang baru pertama kali mengajar di kelas kami berkomentar,

“ Kelas ini ceria sekali ya,” Maksud si pengajar ini mungkin dibandingkan dengan kelas satunya (kelas B). Padahal bila ditilik dari jumlahnya, kelas kami hanya 15 orang, sedangkan kelas B berjumlah 25 orang. Tapi memang keramaian tidak berbanding lurus dengan jumlah orang. Yeah, menyenangkan mempunyai kelas yang ramai, jadi pelatihan yang dimulai dari jam 7 pagi sampai 3 sore yang akan berlangsung 3 bulan ke depan semoga tidak terasa membosankan.

Akhir minggu ini, banyak anggota kelas pulang mudik karena kebanyakan memang sudah berkeluarga. So, aku harus searching wisata-wisata menarik di Malang untuk segera dijelajahi. Hari Sabtu dan Minggu akan membosankan bila tidak diisi dengan jalan-jalan. Tapi jalan-jalan sendirian juga tidak seru. Humm..beberapa list “must to see” sudah mengantri di kepalaku. Ingin ke Batu Malang, dengan hawanya yang masih dingin, dengan paket beberapa tempat wisata yang ada di sana termasuk agro wisata kebun apelnya. Bromo…bromo…dan bromo. Ingin sekali mengunjungi tempat wisata itu. Tapi jaraknya cukup jauh dari Malang, plus rute perjalanan yang sepertinya sulit ditempuh dengan transportasi umum. Masih kukumpulkan informasi mengenai tempat ini, karena Bromo harus dijejaki. Kemudian Pulau Sempu dengan telaga di tengah hutannya yang eksotis..humm..humm….tapi lagi-lagi rutenya lumayan membuat pikir-pikir ehehe. Oh ya, perkebunan teh Wonosari, kayaknya merupakan pelarian Sabtu-Minggu yang menarik. Karena “dulu” aku berencana mengunjungi tempat ini, dan kini saat jaraknya tidak terlalu jauh untuk ditempuh, rasanya “berdosa” bila tidak menyempatkan diri untuk mengunjunginya. Baiklah, Hari Sabtu ini masih belum berencana untuk jalan ke tempat wisata, hanya jalan-jalan mencari modem, dan ajakan ke pertokoan buku Wilis yang kedengarannya “menggiurkan”. Malang, akan kucicipi pesonamu perlahan-lahan.


Rabu, 27 Oktober 2010

Aku, Jarak dan Engkau

Aku, Jarak dan Engkau


Ingin kuceritakan engkau tentang jarak,

Ia pernah menjadi alasan yang mujarab untuk membenarkan keraguan

Menciptakan kebenaran bukti-bukti yang diciptakan pikiran

Hari ini kuprogram ulang, karena bukti-bukti itu terasa mentah

Jarak hanya sebuah relativitas, yang begitu mudah dimainkan otak

Entah di seberang samudra, seberang pulau, atau hanya terentang beberapa blok saja

Hari ini, aku dan jarak, baru saja tiba-tiba seperti saling begitu memahami.

Walau pemahaman yang tak jua mampu mengubah cerita akhir

Karena hidup terkadang adalah tentang menerima takdir, setelah berjuang sampai akhir

Malang, 25 otto 9.47 am

Senin, 25 Oktober 2010

Persinggahan hidup berikutnya

Persinggahan hidup berikutnya

Koper yang sudah mulai kusiapkan, hari yang berlari, grafik yang naik turun, hidupku terasa sesak dengan peristiwa. Merasakan ada di titik dimana di sampingku, dengan tangan yang memegang tanganku erat-erat, seorang sahabat tengah mempertaruhkan hidupnya, antara hidup dan mati. Melihat saudara yang dulu teman sepermainkanku ada di ruang ICU, dengan tubuhnya begitu kurus, selang-selang infus, dengan sorot matanya yang hampir menyerah akan hidup. Rasanya ingin meminta malaikat untuk meniupkan lagi semangat hidup baginya. Atau di sisi lain menyaksikan seorang sahabat yang nafasnya tengah penuh sesak dengan cinta hingga rasanya membuat udara begitu melambungkannya ke langit ke tujuh, bila memang ada langit ke tujuh.Oh hidup, berwarnanya engkau…

Di tengah sesaknya hidup, aku membutuhkan sebuah kehidupan baru, dan kali ini aku akan melangkah pada persinggahan selanjutnya. Sebuah tempat yang telah dipilihkan Tuhan. Hingga dengan bergetar, dengan bersyukur, dengan penuh pemahaman akan jawabanNya, dengan sedikit mengangguk-angguk, dan seraya berkata,

“ Humm… jawabanMu Tuhanku selalu sajaaaaa…ehehe”

Rasanya sudah tidak sabar kembali lagi suasana “kuliah/belajar lagi”, walaupun mungkin belum menjadi mahasiswa sepenuhnya lagi. Tapi setidaknya, kehidupan baru menanti, tempat yang pernah ingin kutinggali kini akan segera kutinggali, tempat-tempat baru yang ingin kueksplorasi, orang-orang baru yang akan memasuki hidup.

Malang, akhirnya..bisa juga tinggal di sana…

Dengan berdetak, aku siap dengan kejutanMu!

My room, 22:52

Jumat, 08 Oktober 2010

Hukum Tarik Menarik..


Humm..apalagi ini? Kutimang-timang buku ini di Togamas Yogyakarta. Dan karena penasaran dengan hukum inilah akhirnya buku ini mengalahkan Cacing dan Kotoran kesayangannya (Ajahn Brahm) serta Dwilogi Padang Bulan-nya Andrea Hirata ehehe..karena akhirnya buku inilah yang akhirnya kubeli. Kedua buku lainnya memang masuk kategori “ Harus Punya” tapi sudah pernah kubaca, jadi rasanya masih bisa kutunda kehadirannya untuk segera menemani buku-buku lainnya dalam deretan rak bukuku.

Dan ternyata pilihanku tidak salah! Humm…kitab baru ehehe

Dengan membaca cepat, khatam-lah buku itu dengan segera..sebelum membacanya lagi dengan seksama dalam sesi “ pendalaman” hihi..

Beberapa hukum baru yang menarik ditelaah…aku penasaran dengan hukum tarik menarik,

Hukum itu mengatakan “ kemiripan menarik kemiripan, dengan kata lain kemanapun perhatian kita pergi, ke sanalah energi mengalir, dan kita menarik lebih banyak dari hal itu ke dalam hidup kita”

Bingung?? Awalnya aku juga bingung :p

Dari yang kupahami, ini adalah soal signal-signal yang kita berikan ke semesta. Mengganti signal-signal negatif seperti kekhawatiran, kecemasan, pikiran negatif dengan signal yang positif pada semesta.

Gantilah signal-signal bawah sadar negatif yang sering kita pancarkan pada semesta, misalnya :

“ aku tidak cukup banyak waktu untuk menyenangkan diri sendiri”

“Lingkungan kerjaku tidak menyenangkan, bagaimana bisa bekerjasama dengan orang-orang seperti itu

“ aku tidak cukup mempunyai banyak uang…”

“ Sahabat-sahabat dekat mulai menjauh karena kami tidak punya banyak waktu untuk bertemu”

Gantilah dengan signal postif, misalnya memberikan signal pada semesta dengan meyakinkannya bahwa : aku mengijinkan keajaiban datang, mengijinkan kelimpahan dan keberkahan datang, mengijinkan cinta dan kesuksesan datang…(atau terserah mantra ajaib yang disebutkan)

Katakan atau rasakan pernyataan-pernyataan itu dengan penuh keyakinan, kemudian rasakan perubahan yang terjadi…I feel it…beberapa waktu bereksperimen dengan hal ini, sangat terasa sekali perbedaannya.

Kukutip beberapa pernyataan dari buku itu

“ Aku belajar bahwa semesta tidak mengetahui apakah yang kita fokuskan itu nyata atau hanya khayalan. Semesta hanya menangkap esensi dari mana kita memfokuskan energi dan pikiran kita, dan menganggapnya sebagai nyata.”

Luar biasa kawan, mari kita bermain-main dengan bereksperimen memberikan signal-signal pada semesta dan meyakinkannya. Dengan melakukan pemrograman ulang pada signal-signal yang kita berikan, hidup terasa dipenuhi keberuntungan, kelimpahan dan kebahagiaan. Ini juga tentu saja berlaku pada kerjasama kita dengan semesta dalam mewujudkan impian. Bagaimana mekanisme kerjanya?

Entahlah, hanya saja aku percaya..semesta akan menyelesaikan bagian tugasnya, setelah aku menyelesaikan bagian tugasku (memberikan signal positif, berusaha, berdoa, sedikit nekad plus berbaik sangka akan rencanaNya).

Membangun keyakinan-keyakinan baru, menciptakan signal positif untuk meminimalkan getaran negatif serta mencoba perilaku-perilaku baru. Ada baris-baris kalimat yang membuatku tersenyum, ini soal keyakinan kita akan kecukupan uang,

Jika seseorang bertanya pada kamu, “apa kamu mempunyai uang?” jika responmu adalah “tidak”, kamu baru saja mengatakan pada semesta bahwa kamu tidak mempunyai uang, dan kamu akan terus tidak mempunyai uang. Menurut si buku ini, selalu bawa uang yang cukup di dompetmu dan jawablah “ya, aku punya uang”. Atau jawaban positif lainnya. Itu adalah pesan yang akan membantumu menciptakan lebih banyak uang. Ketika kamu membelanjakan uang, pasti khawatir bahwa uangmu akan habis bukan??

Ciptakan perasaan yang positif, damai, dan percaya bahwa ketika membelanjakan uang, kamu mempercayai bahwa akan ada lebih banyak lagi uang yang akan datang

Ehehe seru..semesta tidak mengetahui status rekening bankmu, semesta hanya membaca signal-signal yang kamu berikan.

Hihi…pantas dicoba, hal di atas adalah contoh hal saja dalam hukum tarik menarik, bisa diterapkan dalam semua hal dalam hidup.

Tariklah hal-hal yang kamu inginkan. Magnetisme, kawan..hal yang sangat indah, hukum fisika sedang bekerja. Tertarik mencoba??ehehe….

(Inspired by the book : Life Lessons: Membuat Impian Menjadi Kenyataan : Jack Canfield, Mark Victor Hansen et al)

Pic : http://www.thelawofattraction.fatherthywill.com/?p=1919