Minggu, 20 Februari 2011

Sayangilah Dirimu Sendiri dengan Kasih yang Cukup

Aku menyayangi diriku dengan kasih yang cukup. Orang lain berperan untuk menambahkan, melengkapi, mewarnai, dan menyempurnakannya. Bila suatu saat kasih itu berkurang, berubah atau bahkan hilang, aku akan tetap hidup dengan kasih sayang yang cukup

SENT-kukirim sms itu kepada salah satu sahabat bala kurawaku. Aku hanya ingin mencerahkan langit-nya yang saat ini tengah mendung. –setelah kalimat yang kutemukan di salah satu tulisan itu juga berhasil mencerahkanku--

“wawaaw mantra sakti ajaib..tapi mendungnya masih ada..sedikit, boleh telpon?” balasnya kemudian. Dan kejadianpun berulang, sesi ngobrol panjang dalam rangka saling mencerahkan ehehe that’s what a friend means for..

Dia tengah cemas akan satu kata –kehilangan-, bahkan kecemasan akan kehilangan sebelum waktunya. Huum..setiap manusia mungkin pernah merasakan hal itu, *kalimat bertopeng untuk mengatakan: aku juga seperti itu ehehe ;p

Tapi kehilangan seperti juga setiap rasa dalam hidup, adalah salah satu bumbu, yang kadang tak terelakkan untuk dirasai.

Rasa kehilangan ini berteman dengan kata “menuntut”, menuntut agar semua berjalan sesuai dengan mau kita, semua rencana berjalan dengan ingin kita. Bahkan memaksa bahwa andai saja tidak pernah ada kata dan rasa kehilangan.

Sebenarnya diri ini dipenuhi kecemasan akan “ketidaksiapan” akan sebuah kehilangan. Konsekuensi-konsekuensi yang harus dihadapi atas nama kehilangan.

“ Pasti saat ini kau tengah ada dalam zona “menuntut”, harimu menjadi mendung tanpa sapaannya, tanpa canda cerianya, tanpa perhatiannya. Dan kau tengah cemas setengah mati, karena kau tahu akan segera kehilangannya, begitukah?”dengan hati-hati kuajukan pertanyaan.

Dan yang kudengar di ujung telepon sana, adalah suara parau, dan isak tangis..heuheuu..ah rasa, apapun rasa itu, kadang aku mengaguminya, bahwa dunia dan hidup pasti akan begitu hambarnya tanpa satu kata ‘rasa”.

Untuk itulah, kalimat “sayangilah dirimu dengan kasih yang cukup”nampaknya menjadi kalimat sederhana dengan artian yang mendalam. Mungkin dengan kalimat itu, kita menjadi tak terlalu cemas akan kehilangan-kehilangan dalam hidup.

Sayangilah dirimu dengan kasih yang cukup. Bahwa dunia akan cerah ceria bila kita tersenyum, menghadiahi diri sendiri dengan melakukan hal-hal yang membahagiakan, mengajak bicara diri sendiri, dan memberikan yang terbaik untuk diri sendiri. Bagaimana engkau akan menyayangi orang-orang di sekitarmu tanpa engkau menyayangi diri sendiri terlebih dulu?

* karena kasih tak pernah berbatas, maka limpahkanlah pada dirimu, pada orang-orang terkasihmu atau juga orang-orang yang bahkan tak kau kenal…dan juga karena kasih adalah memberi bukan menuntut..

--untuk sahabatku, bila kehilangan itu akhirnya datang..rasailah rasa itu, lalu ingatlah kalimat tadi, dan hidupmu akan tetap berjalan dengan kasih yang cukup—kalau masih berat..bila masih terasa perih..just call me..ehehe..ready 24 hours for emergency call. Special service for a friend ehehe…karena hidup harus terus berjalan, dengan kasih dan cinta yang cukup..ehehe..

*20 Feb 2011. 23.29—di antara menulis proposal risetku.. dan tiba-tiba berpikir, bila disertasi adalah sebuah novel, sebuah tulisan-tulisan spontan seperti tulisanku di atas, mungkin dengan cepat bisa kuselesaikan ahaha..selamat hidup dengan kekinian, dalam detik ini, untuk menjadikannya detik yang terbaik.


Jumat, 18 Februari 2011

Sebuah Percakapan..

“ Aku lelah denganmu. Sudahlah, kau tak perlu aku lagi. Berjalanlah sendiri, seperti maumu, seperti inginmu, seperti rasa yang selalu kau perturutkan itu.”

Aku mendengar suara-suara itu. Lamat-lamat namun semakin jelas kudengar. Aku mengerutkan kening sejenak mendengar kalimat-kalimat itu, huuum, sepertinya Si Kepala sepertinya tengah marah.

“Tidak begitu, percayalah. Aku hanya terkadang tidak bisa memilih, ada kekuatan ajaib yang seperti merasukiku. Tapi, aku masih selalu butuh pertimbanganmu” Suara Si Hati terdengar sedikit merajuk, mencoba menenangkan Si Kepala.

“ Kau tak pernah mendengar kata-kataku lagi, sebenarnya kau tau, tapi tak mau tahu. Kau selalu menentukan maumu sendiri.” Si Kepala berteriak dengan keras. Kulihat Si Hati terdiam sebentar, sepertinya ia tahu kata-kata yang diucapkan Si Kepala benar adanya.

“Sebenarnya tidak seperti itu, sungguh.. tidak seperti yang kau pikirkan. Aku mendengar kata-katamu” kata hati mencoba menyanggahnya.

“ Kau memang mendengar, tapi hanya mendengar. Semua kata-kataku mentah, apa kau benar-benar mendengar?tidak, kau tetap berjalan dengan maumu sendiri”. Si Kepala nampaknya kali ini sungguh telah kehilangan kesabarannya.

Hening sejenak, tak ada seorangpun yang berkata. Aku bingung harus berbuat bagaimana, harus berpihak pada siapa.

“ Tapiii…kau tidak pernah tahu, betapa sulitnya menjadi aku.” Tiba-tiba Si Hati berkata dengan nada suaranya yang sedikit parau, sebuah kalimat yang lebih terasa seperti sebuah keputusasan dibanding sebuah pembelaan.

“Sebenarnya kau bisa, tapi kau tak mau. Selama ini kita bisa berkompromi, berdamai, kita bisa beriringan bersama, tapi ada apa akhir-akhir ini dengan kita?”. Si Kepala nampaknya sedikit melemahkan nada suaranya.

Si Hati dengan lemah mendongak, memandang si kepala, lalu memandang padaku dengan tatapan dengan makna yang tak kumengerti. Matanya berair, sepertinya ia menanggung beban yang berat. Aku iba, tapi tak tahu harus bagaimana.

Kulihat dari kejauhan ada seorang kakek tua renta berjalan, kerut-kerut di wajahnya terlihat nyata. Dia berjalan menghampiri kami,

“ Adakah yang bisa kubantu?.kudengar ada sesuatu yang diperdebatkan” Suaranya parau, suara yang dihasilkan dari pita suara yang tinggal sisa-sisa karena termakan usia.

Kami menoleh padanya, menatapnya dengan tidak yakin. Dia tersenyum, entah apa makna di balik senyumnya itu. Tapi sepertinya senyumnya itu menawarkan pertolongan.

“Kalian tak percaya padakukah?” Ia berucap sambil tersenyum. Ooww..ternyata ia mengerti jalan pikiran kami. Huumm, sepertinya ia punya penerawangan yang bagus.

“ Apa yang bisa kautawarkan untuk membantu kami?” tantang si kepala dengan arogan.

“Kau tahu pasti bahwa aku tidak akan merubah apapun, walau kau bujuk aku dengan cara apapun!” kata si hati menimpali.

Aku bimbang, hanya menatap si hati dan kepala dengan pandangan yang tak jua mengerti mengapa mereka kali ini sulit sekali berkompromi.

Si kakek tua itu kembali tersenyum.

“ Berjalanlah seiring denganku. Itu saja..aku tidak pernah berniat memaksakan apapun kehendak kalian. Silahkan memperturutkan apapun yang masing-masing kalian inginkan. Tapi mari berjalan beriringan denganku..” kata kakek tua itu dengan nada suara yang tenang.

Si hati dan kepala terdiam, mereka nampak memandang tajam pada si kakek tua, mungkin tengah mencerna apa yang dikatakan kakek tua tadi. Tak menyangka “hanya’ itu solusi yang ditawarkan si kakek tua, sesederhana itu.

Aku membisu..bingung sejenak. Harus bagaimana ku jawab, kutoleh si kepala, ia hanya terdiam. Lalu kuminta pertimbangan pada si hati, ia juga membisu.

“ Apa kau bisa menjamin jalan ini akan berhasil ?” fiuuh kenapa pertanyaan itu yang keluar dari mulutku, kalimat yang tak bisa menyembunyikan keputusasan di baliknya.

“Apa engkau punya pilihan lain?” si kakek tua ini hanya menjawabku dengan pertanyaan balik.

Aku berpikir sejenak..memandangnya lagi, seakan meminta kepastian darinya. Tapi kepastian itu milik siapa, bila tak ada yang pasti..dan bila yang pasti adalah perubahan.

“ Baiklah..kuberi waktu engkau sejenak..aku akan menghampirimu lagi. Walau aku tahu pasti apa yang akan kau putuskan” fiuuhh sial, si kakek tua nampak sangat percaya diri.

Si kakek tua itu beranjak pergi meninggalkan kami, berjalan terus..dan terus..aku mengingat-ingat, nampaknya ia terasa familiar dalam ingatanku. Setelah punggungnya tak terlihat lagi, aku baru mengingat sesuatu dengan pasti. Ia..benar..aku baru ingat, si kakek tua itu..adalah variabel waktu..waktu yang terus berputar, berjalan bersama detik yang sebenarnya tak pernah sama itu.

“ Berjalanlah beriringan denganku.itu saja” kembali terngiang tawarannya beberapa saat yang lalu. Aku memandang si hati dan si kepala, mereka nampak masih saling bersitegang. Aku menghela nafas sebentar, dan menyadari kepercayaan diri di balik kata-kata si kakek tua ada benarnya.

“Berjalanlah beriringan denganku. Jangan pernah merasa aku memaksamu memahami sesuatu yang belum bisa kaupahami kini. Karena aku yakin, kau akan memahaminya suatu saat nanti. Jangan pula bimbang bagaimana caranya, karena semesta mempunyai mekanismenya sendiri. Percayai saja dirimu dan mari berjalan beriringan denganku” suara lamat-lamat si kakek tua itu terdengar lagi.

Kali ini aku tersenyum mendengarnya, memandang si hati dan si kepalaku dan ingin segera mengatakan sesuatu pada mereka. ***

14 Feb 2011. 0.06 am

Selasa, 08 Februari 2011

Karena Perubahan adalah Pasti


Purwokerto di saat hujan rinai, 5.02.2011.07.07 a.m

Hujan rinai sedari semalam betah berlama-lama menciumi bumi, dan beginilah Purwokertoku, yang telah lama kutinggalkan setelah mencicipi pesona kota Malang sejenak. Malang, seperti sebuah sekilasan jalur hidup yang singkat tapi mampu memercikkan aura perubahan hidup. Hingga hidup terasa semakin berwarna saja.

Walau memang kuakui perubahan terkadang membawakan kegamangan tersendiri, memerlukan sedikit waktu untuk berefleksi, dan mengharuskanku memencet tombol “berhenti sejenak” agar tidak membuatku merasa hilang. Tapi sebuah perubahan adalah kepastian, karena semesta akan menggerus apa saja yang diam. Kehidupan di luar kotak sana tetap berjalan sesuai dengan mekanismenya, tanpa pernah peduli apa yang terjadi pada diri kita. Seperti sebuah variabel independen yang acuh. Dan adalah kepastian bahwa diri manusia terkadang bersinggungan dengan banyak titik-titik di luar kotak itu, lalu memicu adanya sebuah perubahan.

Teringat aku akan obrolan dengan para sahabat “Bala kurawa” beberapa saat lalu, sahabat-sahabat yang telah kukenal puluhan tahun. Komentar yang tak jarang terlontar bila kami bertemu adalah…

Rasanya hidup kita kok yo gini-gini saja ya..”kata seorang sahabat. Mungkin pernyataannya mengacu pada kabar teman-teman lain yang telah beraneka macam kabar beritanya. Yang bisa dipantau paling tidak lewat dunia maya.

Kuberpikir sejenak, benarkah begitu?benarkah hidup kita gini-gini saja..?

Tidak…tentu saja tidak. Karena setiap saat kita berevolusi, dengan kecepatan masing-masing, dan mungkin juga menerapkan hukum relativitas. Dan mungkin kecepatan perubahannya tergantung pada seberapa sering kita mengabsorpsi pertemuan kita dengan agen-agen perubahan. Dan satu hal lagi, kebermaknaan perubahan bagi setiap orang juga berbeda, tak ada teorema manapun yang bisa mengukurnya, jadi saranku lupakan saja rumus-rumus matematik untuk mencoba menganalisisnya.

Apa yang bisa kujawab dari lontaran pernyataan seorang sahabat bala kurawa itu, mungkin hanya bisa begini :

Karena selama ini kita masih saling memantau perkembangan kita masing-masing, jadi perubahan itu terjadi seiring dengan berjalannya waktu..berjalannya persahabatan, dan jalur-jalur hidup yang masih sering bersinggungan. Jadi perubahanmu, perubahan mereka..semuanya terpantau setapak demi setapak..kita berevolusi bersama-sama, walau dengan peta yang berbeda. Karena itu, bila kita melihat.. rasanya tidak ada perubahan yang berarti, padahal tidak begitu kenyataannya

Humm sok tau??mungkin..ehehe..tapi siapa peduli :D

Komentar terakhir beberapa sahabat tentang “ kau terasa lebih manusiawi!” Jiaahahahay komentar yang dahsyat ;p

Apapun perubahan itu, aku tetaplah aku…yang terus berubah mengabsorpsi pilihan-pilihan hidup. Karena mau tidak mau, suka atau tidak suka, kita harus memilih. Karena hidup adalah tentang pilihan. Dan engkau..memilih menjadi seperti apa?menjadi apa?berkarya apa?kebahagiaan seperti apa?tapi apapun itu.. engkau adalah “pencipta” hidupmu sendiri.

Dan perubahan walaupun adalah kepastian, tapi perubahan yang seperti apa, itu juga pilihan kita sendiri. Setuju??ehehe..kenapa harus menanyaimu….aneh..(tapi aku tahu engkau tengah mengangguk-angguk dan mengatakan setuju dalam hati hahaha).

Agen perubahanku, biasanya adalah bila bersentuhan dengan sebuah buku yang “mengejutkan hati atau kepala”, bila mengalami peristiwa yang memaksa untuk beradaptasi dengan dunia di luar kotak, dan bila bersinggungan hidup dengan orang-orang yang membuatku menabrakkan konsep-konsep hidup, lalu memilah-milah dan memilihnya. Dan rasanya baru-baru ini, aku merasai semuanya.

Diriku, mari kita terus bergerak..dengan kecepatan kita sendiri…dengan pilihan kita sendiri.

Sahabat, teman, dan orang-orang yang menemukan tulisan ini..selamat berevolusi ke arah yang lebih baik…untuk sebuah dunia yang lebih baik***

** Hujan rinai di luar jendela telah berhenti…mari kembali berkarya menantang dunia…


Rabu, 05 Januari 2011

Sebuah Resolusi Awal Tahun

-31 december 2010, Camplong Beach Pamekasan Madura--someday we'll remember that moment

Malam telah larut, orionku yang bertahta di langit sana pasti sudah bergerak melewati horizon tua. Alunan nada dari jetaudioku masih terus mengalun, sementara secangkir kopiku telah habis tersesap sedari tadi. Mataku tak mau juga kupicingkan, padahal biasanya mantra-mantra telah membiusku untuk memilih bergabung dengan bantal dan guling ehehe…

Entahlah, mungkin karena ingin “menghentikan hidup sejenak” karena akhir-akhirnya serasa waktu terbang. Semuanya mengalir, hari berganti, tahun juga ternyata sudah berganti. Ingatanku kembali pada malam tahun baru beberapa hari yang lalu. Di tepi Pantai Camplong, Pamekasan Madura, duduk berjajar bersama sahabat-sahabat kelas PDETC A. Menikmati riak kecil di kejauhan, temaram suasana, dan riuh rendah perayaan tahun baru di kejauhan. Sungguh suasana yang tak biasa, karena hampir setiap tahun kuhabiskan bersama keluarga, tapi kali inipun aku menemukan keluarga yang lain, yeaap kebersamaan bersama sahabat PDETC.

“ Ayo kita berbagi resolusi, mengevaluasi tahun kemarin dan merencanakan apa yang kita inginkan tahun depan” kata Mba Lintang—salah satu provokator kelas ehehe..

Saat itu juga aku disadarkan, apa resolusiku tahun 2011?biasanya setiap malam tahun baru kuhabiskan dengan menuliskan resolusi dengan baris-baris yang detail dan terencana. Tapi kali ini, aku harus mempertanyakan lagi pada diriku,” Hal-hal besar apa yang ingin kau lakukan di tahun 2011?”

“hai aku, ingin bergerak menjadi manusia seperti apakah engkau?”

Bicara soal target-target hidup rasanya aku telah menetapkan peta yang masih tetap konsisten. Hidupku ke depan adalah tentang melanjutkan studi S3ku—kata lain dari mewujudkan salah satu mimpi besarku, dan merasai hidup di tempat-tempat yang aku inginkan—Edinburg, can I be there someday? Dan hal selanjutnya adalah tentang jalur-jalur menulis-bagian yang tak terpisahkan dari hidup. Sudah saatnya aku memberinya lebih banyak ruang untuk bisa bernafas, menghidupinya dengan memberikan cukup waktu dan juga energi. Yang tak kalah penting, memberinya lebih banyak kepercayaan, bahwa aku bisa melakukannya.

Lalu ada hal lain yang terasa lebih “seksi” untuk segera diwujudkan. Yakni saat aku melongok lagi peta yang kuberi nama “perjalanan ke dalam diri sendiri”, aku tersenyum bahwa jalur-jalur hidup telah membawaku pada perjalanan ke dalam diri yang serasa terus beranjak, bergerak, dan terus menapak. Bahwa persinggungan hidup dengan beberapa orang, dengan peristiwa, dengan keadaan bisa menimbulkan loncatan-loncatan pencerahan dalam hidup. Hidup, aku terus belajar..melihat, mengenal, merasai dan mengalami. Untuk alasan itu, rasanya salah satu resolusi tahun ini adalah memberikan bahan bakar yang cukup untuk bisa terus bergerak dengan kecepatan yang seharusnya, bermetamorfosis ke arah yang lebih baik, dan berusaha melakukan hal yang selama ini menolak untuk kuupayakan ehehe..yakni mau di******, yang bagi sebagian besar orang adalah hal yang paling diinginkan, tapi bagiku untuk beberapa kasus berubah menjadi “ancaman”.

Yap, sebuah resolusi yang sangat sederhana—jauh dari detail-detail berderet panjang seperti tahun sebelumnya. Aku ingin belajar mau di******, sebuah keahlian yang tak pernah kukuasainya sebelumnya ehehe…

Sebuah hal sederhana yang aku yakin bisa berefek domino pada banyak hal dalam hidup.

** terimakasih pada sahabat-sahabat yang bersinggungan hidup dengan membekaskan pembelajaran yang teramat dalam :)


Malang, 5 january 2011. 1.07 a.m