Sabtu, 09 April 2011

Sebuah Misi

Malam beranjak naik, gerimis terus menciumi bumi menghadirkan sebuah rasa tersendiri. Selalu menyukai aroma hujan menciumi bumi, menikmati harmoni liris suaranya yang ritmis, mencintai hujan yang penuh keberkahan..bukti cintanya pada semesta. Detik ini, pada keheningan, pada secangkir teh manis hangat, pada hujan di luar jendela, pada lagu-lagu yang mengalun seirama, syukurku akan semuanya yang terasa sempurna. Kesempurnaan yang bukan terletak pada ketiadaan kekurangan, tapi sebuah rasa syukur yang ditempatkan pada hal yang ada pada kita.

Malam ini aku teringat pada sebuah percakapanku beberapa waktu lalu saat perjalanan ke Semarang. Sebuah percakapan ringan dengan seorang bapak yang duduk di sebelahku saat bis nusantara melaju. Biasanya aku lebih suka melihat kehidupan di luar jendela, lanskap-lanskap yang berganti-ganti rupa, atau lelap bila telah lelah mata. Tapi kali itu tak biasanya ngobrol dengan orang yang duduk di sebelah, mungkin karena beliau begitu cerewetnya ehehe-mungkin memang semua orang semarang cerewet ;p . Dan apa saja dikomentarin heuuu…

“ Kalau ngajar galak nggak mba?” tanyanya padaku. Aku tersenyum, dan kubalik saja dengan pertanyaan

“Kira-kira kelihatannya bagaimana pak?” ehehe..bapak ini lucu..

“Jemarinya panjang-panjang yah” komentar si bapak itu. Hedewww..apa maksudnya?aneh si bapak ini, apa saja dikomentarin. Waitt..kalian mungkin beranggapan si bapak ini tipe-tipe bapak-bapak perayu hohoho bukan, kujamin bukan. Nada kalimatnya lebih terdengar sebuah penyataan dibanding sebuah rayuan ehehe—

Lalu tahap wawancaranya pun berlanjut,

“ Kenapa memilih jadi dosen? Apa sih yang membuat mba memilih jadi dosen?” tanyanya dengan senyum ramahnya. Hedeww..pertanyaan susah-susah. Apalagi kata “memilih” tadi itu menyudutkanku. Apakah dulu aku memilih? Apa keadaan atau orang lain yang membuatku memilih?

“ Yah suka aja pak, asyik berinteraksi dengan mahasiswa-mahasiswa..yang spontan, yang penuh ide-ide kreatif…rasanya jadi bersemangat” jawabku sekenanya, dan memang begitulah pengalaman yang kurasa selama beberapa masa merasai profesiku ini.

“ Lalu apa lagi?” lanjut si bapak itu..haduuw..masa sih nggak cukup..

“Yah, profesi ini memungkinkan saya ketemu banyak orang pak, dari lingkungan yang berbeda, banyak pengalaman, dan bisa jalan-jalan sambil kerja kemana-mana ehehe” jawabku kemudian.

“ Trus apa lagi?” sergap si bapak itu lagi dengan lanjutan pertanyaannya. Hadoooh..harusnya si bapak ini menggantikan Putra Nababan di Seputar Indonesia ehehe..

Dan ternyata ceceran pertanyaannya membuatku menjawab dengan sebuah jawaban yang terlontar, yang sejujurnya membuatku mengingatkan diriku sendiri.

“ Itu karena misi hidup pak, setiap orang seharusnya punya misi dalam hidup. Dan hidup saya mempunyai sebuah misi..yakni ingin berjuang di dunia pendidikan. Apapun akan saya lakukan untuk misi itu” begitu spontan ungkapan itu keluar. Diri ini sebenarnya agak terkaget sendiri dengan jawaban selugas itu.

Si bapak itu tersenyum,

“ Naaah itu dia jawabannya, bila sudah dijawab begitu pertanyaannya selesai. Banyak orang yang tidak bisa menjawab pertanyaan seperti tadi pada intinya. Saya sudah mendapat jawaban intinya.”

Aku tersenyum, diam-diam merasa bersyukur juga ketemu si bapak yang rada “cerewet ini. Setidaknya ia mengingatkanku lagi akan sebuah misi. Yap, sebuah misi yang kucanangkan setelah terbentur pada saat ditanya,

“ Setelah keinginan-keinginanmu terkabul, lalu apa?setelah impianmu terwujud, lalu apa?untuk apa?” pada saat itulah aku mulai merumuskan sebuah misi hidup. Karena sebuah misi hidup mampu menjawab pertanyaan “Untuk apa sih kau hidup? Apa sih tujuan hidupmu?” saat tataran orang mencapai suatu titik tertentu, pikirannya akan berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Misi hidupku yang sederhana itu, tapi semoga mampu berkontribusi bila kulakukan sepenuh hati. Sesederhana apapun, sebuah misi layak untuk diperjuangkan, karena bila suatu saat nanti bila Tuhan tak lagi memberikan waktu di bumi, takkan pernah ada penyesalan bila kita terus berjalan untuk mewujudkan misi. Entahlah, itu pemikiranku saja…

Sebaiknya tulisan ini kuakhiri, dan kubiarkan kalian berefleksi sendiri. Apakah sudah kau rumuskan misi hidupmu? Semoga***

Senin, 28 Maret 2011

Se-keping Ke-ikhlasan

Pencarianku akan sebuah keikhlasan membawaku ke tempat-tempat yang jauh

Dalam beraneka rasa yang berlabuh

Pada subur pengingkaran akan takdir, dan sebuah cerita yang sumir

Dan gejolak tuntutan inginku, terkadang membuat hatiku beku

Pencarian akan sebuah keikhlasan menghantarku padaMu

Dalam sujud-sujud panjangku, dalam doa-doa bisuku

Karena doa-doaku tak lagi bisa menyebut jelas inginku

Kubilang padaMu, aku hanya ingin bersujud..mendekatiMu

Agar hilang gundahku, walau doaku masih saja bisu, tapi Engkau bisa membaca hatiku

Belajar tentang sebuah keikhlasan mengantarkanku pada sebuah perjalanan

Tentang pengakuanku sebagai manusiaMu, tunduk akan takdirMu

Tentang perih yang bertranformasi menjadi sebuah rasa haru

Tentang ketidakrelaan menjadi sebuah kebesaran hati

Tentang sebuah kelegaan yang membebaskan

Tuhanku…walau doaku masih saja bisu, aku ingin selalu mendekatiMu

Walau kini ku masih tak tahu, aku selalu yakin akan rencanaMu

27 march 2011.8.05 pm


Permainan Suka Cita Alla "Pollyana"


Judul Buku : Pollyana

Penulis : Eleanor H Potter

Penerbit : Orange Books

Halaman : 300 halaman

Genre : Novel anak

“ Lagi di Togamas nih, pengen beli buku. Kira-kira ada rekomendasi buku baguskah?” suara di ujung telepon di seberang sana. Heuuu…selera baca orang kan beda-beda, masa minta rekomendasi bahan bacaan padaku. Banyak sahabatku bilang selera bacaanku rada-rada “berat” seperti bukunya Paulo Coelho, Gede Prama, De’e—selain bacaan popular seperti karyanya Andrea Hirata, Tasaro GK dan beberapa penulis Indonesia lainnya. Tapi selintas di kepalaku, ada sebuah buku yang penasaran ingin kubaca.—dua buah buku lebih tepatnya.

“ kayaknya buku Pollyana bagus deh..itu loh, yang dulu pernah diceritain di kelas pas aku nggak masuk. Aku minggu lalu ke Gramed..lihat bukunya, tapi belum beli..nggak tau di Togamas ada atau enggak” Jawabku di sela-sela mengurusi kegiatan magang mahasiswa kala itu.

Jujur saja, aku penasaran seperti apa kisah si Pollyana—yang sering diistilahkan “positive pollyana--. Dulu saat ada pembahasan tentang buku ini di kelas PDEC sayangnya aku tidak masuk, jadi hanya dipaksa puas dengan komentarnya saja.

Dan bagaimana buku itu ada di tanganku? Beberapa hari setelah telepon itu, ada paket berwarna ungu yang tertuju padaku. Tersenyum melihat nama pengirimnya—hoho anak nakal itu pasti berulah—kubuka segera, walau sebenarnya ada undangan rapat jam 13.30 tapi penasaran dengan isinya. Terbeliak kaget bercampur senang, ada dua –eh tiga buah buku-dihadiahkannya untukku. Katanya sih buat yang lagi ulang tahun hehe—paketan datang sehari lebih awal ahaha. Dan posting ini, melunasi janjiku untuk menceritakan isi buku itu—dasar oportunis, nggak mau duduk diam membaca, maunya diceritain. Tapi tetep kuceritakan dengan tulisan loh, jadi harus baca ;p

Genre novel anak memang jarang kubaca, tapi kurasa saat ini otakku sedang sulit mencerna kalimat yang terlalu berat—terakhir kali membaca si lelaki tua dan laut-nya Ernest Hemmingway yang tipis saja..kubaca sambil lalu, dan tak jua masuk di otakku ehehe, mungkin tengah terjadi kekacauan program. Hoho bukan kekacauan kurasa, mungkin tengah mengupdate program baru hihi..Jadi kurasa, Pollyana merupakan pilihan yang tepat, ringan bahasanya namun tetap tak kurang makna yang ingin dihadirkannya.

Dan ternyata ku tak salah menerka, setengah hari di akhir pekan kuhabiskan dengan kegiatan reading for pleasure—bukan reading yang terpaksa seperti reading ielts, reading jurnal de el el..ehehe: sebenarnya ingin memainkan permainan suka cita agar kegiatan-kegiatan itu menjadi menyenangkan ehehe, nanti kupikirkan caranya;p

Yah, permainan suka cita! Akan kuperkenalkan kalian dengan permainan baru, permainaan suka cita ala Pollyana. Sungguh brilian dan menyenangkan!

Cerita bermula dari pengadopsian Pollyana, si gadis cilik berwajah bintik-bintik yang telah yatim piatu, oleh bibinya—Bibi Polly yang serius, dingin dan kadang tak manusiawi. Kedatangan Pollyana dengan sikap cerianya membawa perubahan di rumah Bibi Polly. Pollyana yang penuh spontanitas, keceriaan, jenaka dan sikap positive thinkingnya sering kali membuat Bibi Polly kewalahan—tak sanggup untuk tidak sayang padanya. Walau awalnya bibi polly bersikap keras dengan menempatkan Pollyana di sebuah kamar loteng yang sempit dan panas tanpa perabotan. Tapi komentar Pollyana adalah,

“ Dan aku senang di sini tidak ada cermin, sebab tidak ada kaca yang memperlihatkan bintik-bintik mukaku”

“ Oh, Nancy..lihat jauh di sana, pohon-pohon, rumah-rumah dan menara gerja yang indah itu, dan sungai berkilauan seperti perak, Wah Nancy, pemandangan seperti itu membuat kita tidak butuh lukisan. Oh, kini aku senang dia memberikan kamar ini.” Begitu komentar Pollyana akan kamarnya yang sederhana, tanpa cermin, tanpa lukisan dan perabotan.

Sikap pollyana ini akhirnya sedikit demi sedikit mencuri hati Bibi Polly yang dingin. Pollyana yang polos lucu itu mengetuk pintu-pintu hati Bibi Polly yang telah lama tak tersentuh

--Oh tentu saja selama ini aku bernafas sambil melakukan semua itu, Bibi Polly, tapi aku tidak hidup. Anda bernafas selama tidur, tapi tidak sedang hidup. Yang kumaksud hidup—melakukan apapun yang anda mau : bermain di luar, membaca, mendaki bukit, mengobrol dengan Mr Tom lalu mencari tahu tentang segalanya. Itulah yang kusebut hidup, Bibi Polly. Sekedar bernafas bukan hidup! (p 60)

Selain Bibi Polly, Pollyana juga selalu mengajarkan permainannya pada semua orang yang ditemuinya, yang dinamakan “permainan suka cita” yang diajarkan oleh mendiang ayahnya dulu. Inti dari permainan ini yakni :

Memainkannya cukup dengan menemukan sesuatu yang bisa membuat kita senang dalam segala hal, tak pedulli apapun itu (pollyana, p 44).

Awalnya, saat Pollyana kecil ingin boneka namun yang didapatnya dari kotak sumbangan adalah tongkat. Maka, ayahnya bilang “bergembiralah karena kau tidak membutuhkannya!” begitu ujar ayah Pollyana. Semenjak saat itu, Pollyana bermain permainan suka cita dengan berusaha menemukan kegembiraan dalam semua hal

--Aku sedang memainkannya—tapi kurasa tadi itu spontan saja. Tahu kan, jika kau lakukan sesuatu sangat sering, kau terbiasa jadinya…untuk bersuka cita. Dan biasanya selalu ada sesuatu yang menyenangkan dalam segala hal, bila kau berusaha cukup keras untuk menemukannya (p. 66)

Begitulah permainan Pollyana, yang dia sebarkan pada orang-orang di sekelilingnya. Pada Nancy, pembantu bibi Polly, Mr Tom-si tukang kebun, Jimmy bean-seorang yatim piatu, Mrs Snow-seorang yang sakit lumpuh hingga tak bisa kemana-mana. Permainan suka cita bisa dilakukan siapa saja, bagaimanapun keadaaannya. Misalnya saja Mrs Snow yang tadinya selalu murung karena tak bisa melakukan aktivitas sebab harus selalu berbaring karena penyakit lumpuhnya, sekarang bersemangat dengan berdandan, memakai gaun berenda baru, dan menyulam

“ Bergembiralah karena setidaknya engkau masih mempunyai tangan yang sehat untuk menyulam”

Atau pada Mr Tom-si tukang kebun-suatu hari dia merintih karena bungkuk dan capai. Tebak apa kata anak itu?

“ Seharusnya kau senang karena tak perlu membungkuk terlalu jauh untuk menyiangi rumput karena sudah setengah bungkuk”

Ahahaha, dasaaaar!!

Kemudian Pollyana juga bertemu Mr. John Pedleton, seorang laki-laki misterius yang mengasingkan diri, tak mau bicara dengan orang lain dan sifatnya sangat tertutup. Tapi Pollyana adalah Pollyana, yang tak pernah ada seorangpun yang sanggup mengindahkannya. Dengan tanpa henti menyapa tiap hari,

“ Hari ini tidak terlalu cerah ya? Tapi aku senang hujan tidak selalu turun” serunya riang.

Atau—

“ Apa kabar? Aku senang hari ini tidak seperti kemarin. Anda bagaimana?

Si lelaki itu sekonyong-konyong berhenti. Wajahnya dijalari amarah

“ Begini nona cilik, sebaiknya kita buat kesepakatan mulai sekarang. Di luar cuaca, ada hal-hal lain yang harus kupikirkan. Aku tidak tahu apakah matahari bersinar atau tidak.” Nada ketus terlontar dari lelaki itu.

“ Tidak, Sir. Kurasa juga begitu. Karena itulah aku memberitahu anda” jawab Pollyana berseri-seri.

Ehehe..aku hanya ingin mengutip adegan dari kisah ini…yang mengesankan betapa menggemaskannya si Pollyana, hingga tak seorangpun kuasa untuk tak memedulikannya..

Dan ternyata lelaki itu, John Pedleton adalah lelaki yang dulu mencintai ibunya, namun ditolak karena ibunya memilih lelaki lain untuk menjadi suaminya-Ayah Pollyana.

Kisah bergulir, dengan kecelakaan yang menimpa Pollyana hingga ia tak bisa berjalan. Di sinilah saat “permainan suka cita” itu diuji. Apakah dalam keadaan yang sangat tidak menyenangkan karena Pollyana yang biasanya hiperaktif, bertemu dengan banyak orang dan pergi ke banyak tempat, sekarang harus berbaring lemah tak berdaya. Tapi, justru saat keadaan lebih tidak mengenakan, permainan menjadi semakin mengasyikan, untuk berusaha menemukan kegembiraan pada semua hal.

Kurasa Eleanor H Potter berhasil menyampaikan misi di balik tokoh Pollyana ini dengan bahasa yang lugas, ringan namun mengena. Plotnya sederhana, namun tetap indah untuk diruntuti lembar demi lembar. Pesannya sangat jelas, permainan suka cita itu seharusnya dimainkan oleh lebih banyak lagi orang di dunia. Bayangkan bila manusia memainkan permainan ini, bukankah hidup akan terasa lebih ceria dan berwarna?

Falsafah permainan suka cita ini menurutku serupa dengan ruh “berpikir positif” tapi dibungkus dengan gaya bertutur untuk novel anak. Tapi rasanya menyenangkan juga untuk dibaca orang dewasa. Banyak yang bilang, orang dewasa semakin sulit untuk cerah ceria, karena dibelit urusan-urusan yang menurut mereka penting seperti urusan pekerjaan, bisnis, relasi, dan seabrek aktivitas lainnya. Mereka kehilangan spontanitas, kehilangan keriangan kanak-kanak, --atau mungkin mereka telah melabel usia mereka menjadi usia serius yang tak perlu keceriaan—hingga hidup terasa hambar. Kau melihat wajah-wajah seperti itu di sekelilingmu?kuyakin banyak sekali..ehehe..jadi, kisah si Pollyana dengan permainan suka citanya seharusnya meniupkan pesan satu hal, bahwa selalu ada kegembiraan dalam segala hal, bila kita mau berusaha keras untuk menemukannya.

Jadi teringat seseorang yang pernah pagi-pagi mengirimkan sms :

arep mangkat isuk malah olahraga dhisik..motor-e bane keno paku..so, isuk-isuk wis nyurung-nyurung motor..bener-bener menyehatkan hihii” ehehe Pollyana banget!

Untuk si pemberi paket ungu itu--Terimakasih untuk bukunya, kau..Pollyana nyataku..dimana aku belajar permainan mengasyikkan ini….untuk sebuah hidup yang luar biasa, untuk terus berusaha membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik..lebih cerah ceria. Salam signal hati satu jiwa!

Everyone, Let’s play the game!—mainkan permainan suka cita..karena hidup adalah sebuah perayaan ***

3.05 pm 26 march 2011