Rabu, 11 Mei 2011

Tapak/Tapak/Mimpi


Malam beranjak naik, bersyukur karena masih diiringi kerik jangkrik—sebuah kemewahan di dunia yang makin penuh dengan kebisingan—serta kerlingan bintang salib selatan di kejauhan. Selesai membungkus kado untuk mahasiswa dengan nilai terbaik biologi kesehatan semester lalu, aku iseng membuka lagi buku 5 cm-nya Donny Dhirgantoro. Buku itulah yang kuhadiahkan padanya-mahasiswaku- karena selain bahasanya yang masih terasa “anak muda” tapi tetap sarat pesan di dalamnya. Untuk meniupkan semangat mengejar mimpi-mimpi.

Saat membolak balik halamannya dan membaca lagi, aku terkenang. Dulu aku membaca buku ini di Jogya, meminjam dari seorang teman kos, karena dulu membeli buku masih menjadi hal yang mewah untukku. Humm..isi buku ini, salah satu yang kuacungi jempol dari entah berapa buku yang pernah kubaca, dan layak memang bila menjadi bestseller..

Buku ini tentang mimpi/sesuatu yang ada dan patut untuk diperjuangkan//

Aku teringat beberapa saat lalu, saat sebuah sms yang masuk,

“ Mba..sepertinya Tuhan tidak merestuimu impianku. Rasanya kok setiap langkahku sepertinya dipersulit, rasanya ingin menyerah saja, aku lelah” begitu kira-kira sms yang kuterima.

Kupandangi layar hpku, kuruntuti tulisan itu. Padahal dalam hatiku berkata “humm..aku juga sama dalam kondisi yang agak “lelah” dengan perjuangan ini”. Kakiku ingin beristirahat sejenak, kepalaku berontak enggan memikirkan strategi apa yang harus kutempuh, dan hatiku telah penat/sebenaranya/. Tapi entah mengapa yang tertulis sebagai sms balasanku berupa kalimat :

“ Belum tentu lah..jangan salah membaca pertanda. Bukankah tidak pernah ada perjalanan meraih impian yang tidak sulit?” jawabku. Terkadang keajaiban sebuah persahabatan terletak pada bagaimana kami selalu berusaha untuk menguatkan satu sama lain.

Aku tahu begitu kuat tekadnya, begitu telah panjang perjalanannya, begitu banyak tangis, tawa, harap, doa, dan cerita yang telah dilaluinya. Tapi belum juga jalan menuju impian terasa terang untuknya.

“Lalu harus bagaimana mba?”tanyanya lagi..

“Teruslah berusaha dan berdoa. Bila belum saatnya kini, mungkin nanti. Karena perjalanan impian haruslah menyenangkan” kujawab sebisaku/dalam kondisi lelahku/sebenarnya/.

Aku sering sekali mendapati seorang manusia dalam posisi ini, dan berulang kali pula aku berada sama dalam posisi ini. Antara melepas harapan dan membelokkan arah, menyerah pada impian-impiannya, atau ada yang bernafas sejenak namun tetap memegangnya erat-erat, atau ada yang menabraknya, menerabas untuk terus melaju.

Banyak manusia yang hanya sampai pada tahap bermimpi/tapi tak pernah berani memperjuangkan mimpi-mimpi, karena berbagai macam alasan. Dan yang paling banyak sebenarnya adalah alasan yang dibuatnya oleh dirinya sendiri. Atau ada juga yang berani melangkah namun kemudian surut, karena terbentur jalanan berbatu, tak siap jatuh bangun. Beberapa kali terjatuh, kemudian ia mendapati tawaran pesona kenyamanan yang membuatnya berubah posisi dan berhenti berjalan.

Dan mungkin memang semua itu terjadi karena tak pernah ada perjalanan meraih impian yang mudah. Karena impian adalah ‘sebuah titik yang kita lempar jauh di depan kita” dan kita harus berusaha untuk meraihnya. Sama sesuai filosofi buku 5 cm yang tengah kubaca lagi kini. Kukutipkan beberapa baris kalimatnya untuk mengenang lagi semangatnya,

“ Jadi kalo kita yakin sama sesuatu, kita cuma harus percaya, terus berusaha bangkit dari kegagalan, jangan pernah menyerah dan taruh keyakinan itu di sini..” Zafran meletakkan telunjuk di depan keningnya…

Biarkan dia menggantung…mengambang…5 cm..di depan kening kamu!!!

“Jadi.. dia nggak akan pernah lepas dari mata kamu. Dan kamu bawa mimpi dan keyakinan kamu setiap hari, kamu lihat setiap hari dan percaya bahwa kamu bisa. Apapun hambatannya, bila percaya sama diri kamu sendiri, kalo kamu percaya sama keinginan itu dan kamu nggak bisa menyerah. Bahwa kamu akan berdiri lagi setiap kali kamu jatuh, bahwa kamu akan mengejarnya sampai dapat, apapun itu, segala keinginan, mimpi, cita-cita, keyakinan diri”

“Biarkan keyakinan kamu 5 sentimeter menggantung, mengambang di depan keningmu, dan sehabis itu kamu perlu..Cuma…”

“ Cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya. Lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja. Dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya..serta mulut yang akan selalu berdoa”

“Dan kamu akan selalu dikenang sebagai seorang yang masih punya mimpi dan keyakinan, bukan cuma seonggok daging yang hanya punya nama. Kamu akan dikenang sebagai seorang yang percaya pada kekuatan mimpi dan mengejarnya, bukan seorang pemimpi saja, bukan orang biasa-biasa saja tanpa tujuan, mengikuti arus dan kalah oleh keadaan”

Aku tersenyum meruntuti lagi baris-baris kalimatnya. Satu sisi menyadari sepenuhnya bahwa perjalanan meraih impian-impian memang tak pernah mudah. Aku pernah ada dalam perjalanan penuh naik turunnya hidup saat mengejar sebuah impian dulu, dan kinipun aku tengah ada dalam perjalanan yang sama, untuk sebuah titik yang berbeda. Karena aku melempar titik itu jauh ke depan lagi. Dan aku masih berada dalam langkah-langkah, tapak-tapaknya perjalanan menuju titik itu. Walau suatu saat (bila) aku sampai, akupun akan melempar titik impian itu lebih jauh lagi. Bukan untuk sebuah ambisi, tapi terlebih untuk memenuhi sebuah misi, karena anugerah berupa”hidup” ini harus kuisi dengan detik terbaik yang aku mampu. Jadi dalam perjalanan ini, aku terkadang lelah, terkadang jenuh, aku sering menabrak-nabrak dan terantuk, jatuh, tapi selalu ingat untuk bangkit lagi.

Karena aku ingin menjadi seorang manusia yang percaya dan berani mengejar impian-impianku. Bukan untuk dikenang orang lain, bukan untuk menunjukkannya pada orang lain, karena satu- satunya alasanku melakukan ini adalah untuk memberi bukti pada diriku sendiri. Bukan pada siapa-siapa/melainkan diriku sendiri//.

Tapi ada satu hal—sebenarnya ada banyak hal—tentang pembelajaran di setiap perjalanan impian. Ada yang berbeda pada perjalananku kini dengan perjalananku yang dulu. Kini, ada satu kalimat yang ingin selalu aku ingat, saat langkah mulai surut, saat semangat mulai sekarat, saat jalan kian mengabur, saat tawaran pesona-pesona zona nyaman datang mencoba menawan..

“Bahwa perjalanan meraih impian haruslah menyenangkan”

Sesederhana itu, tapi kukira dalam maknanya. Saat perjalanan dulu, aku menuruti aliran naik turun hidup, jatuh bangunnya peristiwa hingga lelah jiwa raga, berdarah-darah sampai titik yang hampir membuatku hampir menyerah. Dulu baru kusadari berwarnanya perjalanan itu setelah aku mencapai puncak, baru kutemui pembelajaran itu. Dan merasai bahwa yang paling menyenangkan, paling dahsyat rasa dirasai, paling mendekatkan diri denganNya, serta saat paling menjadi “manusia” justru ada dalam tapak-tapak perjalanan itu sendiri. Karena dalam perjalanan impian aku menemukan banyak ketidakpastian hidup, dan justru hal itulah yang membuatku menemukanNya. Ternyata bukan pada titik kemenangan itu, karena titik itu hanyalah kulminasi, garis akhir perjuangan yang akan segera digeser lagi oleh titik yang lain lagi. Simbolisasi tujuan yang akan ditempuh, yang sering mengaburkan tapak-tapak perjalanan itu sendiri.

Dan karena aku belajar/dan masih ingin terus belajar/maka aku berkata dan meyakinkan diriku sendiri, “bahwa perjalanan kali ini haruslah menyenangkan” Aku akan menjadi orang yang kalah bila mengutuk takdir bila ia belum berpihak padamu, aku juga akan menjadi orang yang kalah bila terlalu banyak mengeluhkan keadaan dan peristiwa yang belum juga seperti mauku. Jadi saat signal-signal “lampu” sudah mulai kedip-kedip pertanda kestabilan mulai goyah, kuucapkan saja mantra sakti itu “ perjalanan ini haruslah menyenangkan” dan detik itu juga aku mencoba menyadarkan diri kembali. And it’s works!! Ehehe..ajaib!

Di titik ini, aku yakin akan mencapai titik impian itu, entah kapan bukan urusanku. Kuyakin itu hanya masalah waktu. Hingga kunikmati saja setiap tapak-tapak perjalanan untuk sebuah impian itu, karena perjalanan ini harus menyenangkan. Mungkin karena itulah aku suka pada jalan—perjalanan—bahkan dalam artinya wujud fisik jalan yang sebenarnya. Entahlah, mungkin karena “jalan” membuatku membayangkan akan menuju suatu tempat ehehe…aneh, yap..that’s me ;p

Karena perjalanan meraih impian haruslah menyenangkan, maka melangkahlah dengan ringan/hadapi tantangan/anggap saja seperti sebuah permainan...
apapun yg terjadi, mari kita nikmati perjalanan ini…

**untuk semua sahabat yang selalu memberikan tangan untuk terus berjalan bergandengan, walau impian-impian kita mungkin berbeda-beda, tapi kita adalah pejalan yang sama. Terima kasih untuk setiap dukungan semangat dan kasih yang berlebih..


Selasa, 10 Mei 2011

Ada//Tiada


Sebenarnya aku ingin selalu ada/dalam ketiadaanku/karena keber-ada-anku masih antara ada dan tiada

Bukan hanya saat bahagiamu/dalam senyummu/berbagi dalam tawamu/dalam berwarnanya hidupmu/

Tapi justru terlebih lagi ada dalam getir hidupmu/pahit rasamu/lelah langkahmu/saat dunia tak menoleh padamu/saat engkau berada di tepian untuk melepaskan harapanmu/

Karena ingin kuusir gundahmu/kutepis resahmu/kuambilkan lagi harapanmu/kutiupkan lagi semangatmu/kumaniskan lagi pahitmu/

Karena sebenarnya/kuingin selalu ada/walau dalam ketiadaanku/karena keber-ada-anku masih antara ada dan tiada.

*Purwokerto menjelang malam, pertengahan Mei 2011, ditengah kerik jangkrik dan kerlingan bintang salib selatan


Sabtu, 09 April 2011

Sebuah Misi

Malam beranjak naik, gerimis terus menciumi bumi menghadirkan sebuah rasa tersendiri. Selalu menyukai aroma hujan menciumi bumi, menikmati harmoni liris suaranya yang ritmis, mencintai hujan yang penuh keberkahan..bukti cintanya pada semesta. Detik ini, pada keheningan, pada secangkir teh manis hangat, pada hujan di luar jendela, pada lagu-lagu yang mengalun seirama, syukurku akan semuanya yang terasa sempurna. Kesempurnaan yang bukan terletak pada ketiadaan kekurangan, tapi sebuah rasa syukur yang ditempatkan pada hal yang ada pada kita.

Malam ini aku teringat pada sebuah percakapanku beberapa waktu lalu saat perjalanan ke Semarang. Sebuah percakapan ringan dengan seorang bapak yang duduk di sebelahku saat bis nusantara melaju. Biasanya aku lebih suka melihat kehidupan di luar jendela, lanskap-lanskap yang berganti-ganti rupa, atau lelap bila telah lelah mata. Tapi kali itu tak biasanya ngobrol dengan orang yang duduk di sebelah, mungkin karena beliau begitu cerewetnya ehehe-mungkin memang semua orang semarang cerewet ;p . Dan apa saja dikomentarin heuuu…

“ Kalau ngajar galak nggak mba?” tanyanya padaku. Aku tersenyum, dan kubalik saja dengan pertanyaan

“Kira-kira kelihatannya bagaimana pak?” ehehe..bapak ini lucu..

“Jemarinya panjang-panjang yah” komentar si bapak itu. Hedewww..apa maksudnya?aneh si bapak ini, apa saja dikomentarin. Waitt..kalian mungkin beranggapan si bapak ini tipe-tipe bapak-bapak perayu hohoho bukan, kujamin bukan. Nada kalimatnya lebih terdengar sebuah penyataan dibanding sebuah rayuan ehehe—

Lalu tahap wawancaranya pun berlanjut,

“ Kenapa memilih jadi dosen? Apa sih yang membuat mba memilih jadi dosen?” tanyanya dengan senyum ramahnya. Hedeww..pertanyaan susah-susah. Apalagi kata “memilih” tadi itu menyudutkanku. Apakah dulu aku memilih? Apa keadaan atau orang lain yang membuatku memilih?

“ Yah suka aja pak, asyik berinteraksi dengan mahasiswa-mahasiswa..yang spontan, yang penuh ide-ide kreatif…rasanya jadi bersemangat” jawabku sekenanya, dan memang begitulah pengalaman yang kurasa selama beberapa masa merasai profesiku ini.

“ Lalu apa lagi?” lanjut si bapak itu..haduuw..masa sih nggak cukup..

“Yah, profesi ini memungkinkan saya ketemu banyak orang pak, dari lingkungan yang berbeda, banyak pengalaman, dan bisa jalan-jalan sambil kerja kemana-mana ehehe” jawabku kemudian.

“ Trus apa lagi?” sergap si bapak itu lagi dengan lanjutan pertanyaannya. Hadoooh..harusnya si bapak ini menggantikan Putra Nababan di Seputar Indonesia ehehe..

Dan ternyata ceceran pertanyaannya membuatku menjawab dengan sebuah jawaban yang terlontar, yang sejujurnya membuatku mengingatkan diriku sendiri.

“ Itu karena misi hidup pak, setiap orang seharusnya punya misi dalam hidup. Dan hidup saya mempunyai sebuah misi..yakni ingin berjuang di dunia pendidikan. Apapun akan saya lakukan untuk misi itu” begitu spontan ungkapan itu keluar. Diri ini sebenarnya agak terkaget sendiri dengan jawaban selugas itu.

Si bapak itu tersenyum,

“ Naaah itu dia jawabannya, bila sudah dijawab begitu pertanyaannya selesai. Banyak orang yang tidak bisa menjawab pertanyaan seperti tadi pada intinya. Saya sudah mendapat jawaban intinya.”

Aku tersenyum, diam-diam merasa bersyukur juga ketemu si bapak yang rada “cerewet ini. Setidaknya ia mengingatkanku lagi akan sebuah misi. Yap, sebuah misi yang kucanangkan setelah terbentur pada saat ditanya,

“ Setelah keinginan-keinginanmu terkabul, lalu apa?setelah impianmu terwujud, lalu apa?untuk apa?” pada saat itulah aku mulai merumuskan sebuah misi hidup. Karena sebuah misi hidup mampu menjawab pertanyaan “Untuk apa sih kau hidup? Apa sih tujuan hidupmu?” saat tataran orang mencapai suatu titik tertentu, pikirannya akan berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Misi hidupku yang sederhana itu, tapi semoga mampu berkontribusi bila kulakukan sepenuh hati. Sesederhana apapun, sebuah misi layak untuk diperjuangkan, karena bila suatu saat nanti bila Tuhan tak lagi memberikan waktu di bumi, takkan pernah ada penyesalan bila kita terus berjalan untuk mewujudkan misi. Entahlah, itu pemikiranku saja…

Sebaiknya tulisan ini kuakhiri, dan kubiarkan kalian berefleksi sendiri. Apakah sudah kau rumuskan misi hidupmu? Semoga***