Rabu, 03 Agustus 2011

Mada, Rasa, Tuhan dan Cinta

Namanya Mada. Dia selalu berkata bila arti namanya itu “pengenggam hujan” –hujan itu berkah bagi seluruh umat, jadi aku ingin menjadi berkah setidaknya bagi ibuku, bapakku dan orang-orang sekelilingku” begitu katanya dengan lugas, mungkin karena memang tak pernah ia bisa berbasa basi. Tapi, bagiku, nama Mada yang berarti pengenggam hujan itu menyebabkan kenapa bila kami bertemu, hujan sering kali turun, dan dia berkata “ romantis ya..hujan rinai rinai” fiuh…kenapa dia selalu mengucapkan apa yang dirasakan? tidakkah dia berpikir bagaimana bila nanti aku tak akan bisa lupa setiap apa yang pernah dikatakannya?

Tak pernah kuceritakan padanya, dalam hidupku ini setidaknya ada tiga hal yang selalu kupertanyakan, yakni rasa, Tuhan dan cinta. Mungkin dia tak pernah sempat membaca unek-unek Dee (Dewi Lestari) tentang semangkok acar untuk cinta dan Tuhan,
Itulah cinta, Itulah Tuhan. Pengalaman, bukan penjelasan. Perjalanan, bukan tujuan, Pertanyaan apa itu cinta dan Tuhan, adalah pertanyaan yang sungguh tidak berjodoh dengan jawaban” sebaris kalimat Dee, yang entah mengapa menjadikanku seperti penulis kacangan, yang hanya mampu menulis roman picisan.

Tentang Tuhan, mungkin ia tak pernah membaca kisah Tuhan berhala Al Lata dan Al Uzza, konsep trinitas kekristenan, atau Budhha Maitreya, sampai konsep monoteisme. Berlembar-lembar tulisan tentang pencarian kepenasaranan manusia akan TuhanNya yang membiusku bertahun tahun, untuk memahami sebuah hidup. Bukan untuk memenangkan logika dalam beragama, tapi menggunakan logika sesuai batasannya. Tapi toh tersungkur semua konsep-konsep itu saat ia mengirimiku sms pendek,

“ Bangun Key, salat malam yuk..semoga segala urusan diperlancar” kutatapi layar Hpku, merasa aneh mengapa apa yang dia ingatkan selalu saja kukerjakan. Sialnya, dengan senang hati.. Segera bangkit, kuambil wudhu dan ber-shalat padaNya. berTuhan, adalah mengalami ke-manusiaan. Bukan untuk membaca doa-doa magis yang tak kumengerti artinya, dan berharap masuk surga nantinya. Aku hanya ingin merasai kemanusiaanku, membaca waktu dan aku berTuhan padaNya. Sedetik kemudian, aku memahami apa yang pernah dirasai Syekh Siti Jenar, walau mungkin tak seluruhnya sama.

Oh ya, namaku Keyra, kupikir tadinya namaku tak bermakna. Bila saja bermakna, kuharap maknanya begitu dalam atau secanggih seperti “perempuan pembawa kedamaian..atau cinta barangkali”. Tapi ternyata, Keyra, sebuah nama celtic yang berarti “kegelapan”. Apakah namaku adalah sebuah pertanda buruk? Orang selalu mengidentikkan kegelapan dengan keburukan, sepertinya mereka lupa tak akan ada terang bila tak ada gelap.

Tentang cinta, dari dulu aku selalu gagap bila harus menjawabnya. Bertahun-tahun memaknainya, aku terjebak dalam kumparannya, semuanya berbeda, mungkin karena cinta selalu baru. Tapi ingin pula kukatakan, cinta itu soal mengalami, bukan berhala yang diagungkan, sejauh itulah tatarannya. Aku dan dia, Kau dan Dia-mu, itu saja.
Dari Mada pula, cinta bertransformasi menjadi bentuk-bentuk nyata, yang mengalami, yang merasai.

Obrolan panjang lebarku dengannya bukan tentang reaksi PCR, stem cell, pola transmisi dan prediksi penyakit, atau tentang graphen serta nanoteknologi, tapi lebih tentang menu buka puasa, acara akhir minggu sampai sekedar sambel teri.

Dan rasanya pertanyaan paling penting dalam hidup ini adalah “Sudah mandi Key?” kenapa semua orang tak pernah menanyakan hal itu kecuali dia?

Bila kalian ingin meregister pertanyaan-pertanyaan yang tersering ditanyakan orang-orang padamu, mungkin “apa kabar” akan menjadi pemenang. Yang kemudian serta merta dijawab “kabar baik” seperti mesin jawab otomatis. Walau entah bagaimana harimu berjalan, cerah atau gelap. Mungkin manusia memang harus menjawab begitu. Tapi pertanyaannya itu, membuatku merindu. Aku mendapati pertanyaan yang paling kurindui bukan pertanyaan tentang hal-hal yang bombastis seperti kapan kau akan naik pangkat?bagaimana proyek yang tengah kau kerjakan? Sialnya pertanyaan yang paling membuatku merindu adalah jenis pertanyaan macam, “Sudah makan Key?’ pertanyaan yang membuatku bergetar-getar. Bagaimana dalam rentang waktu hidup seseorang bisa mengingat dan menanyakan seseorang lainnya, ia sudah makan atau belum? Pertanyaan yang membuatku kehilangannya bila tak kudengar pertanyaan itu darinya. mungkin kasih justru lahir dari hal yang dianggap remeh temeh, begitukah?entahlah..

Sialnya, Mada juga mengenalkanku akan rasa cemas, khawatir, dan merindu. Bila ditambah lagi, cemburu, sedikit. Cemburu pada dunia selingkup tempatnya hidup, yang tak pernah bisa kumasuki sepenuhnya. Tapi biarlah, karena bukankah karena berjarak dua tumbuhan yang berdampingan bisa bertumbuh dengan baik? Karena terlalu dekat terkadang bisa mematikan.

Padanya, Mada-ku, aku menemukan rasa, Tuhan dan cinta.

· Ini benih yang mulai kukandung…masih terus kuhidupi, doakan segera lahir sehat dan bisa memberi makna bila dibaca utuh suatu saat.

-3 August 2011, di suatu pagi yang tak terlampau cerah, tapi hidup tetap saja meriah***

Senin, 01 Agustus 2011

Rasaku, Sebelum aku pergi..

Layang-layang itu kulihat bebas melayang di udara, diciumi angin, merajai langit yang membiru itu. Di lapangan dekat rumahku itu, tiba-tiba aku melihat “aku kecil” berumur 5 tahunan dengan rona penuh keriangan menerbangkan layang-layang, dengan rambutku yang dipotong cepak dan pipi endutku, mengenakan baju dari kain sisa jahitan ibuku.

Jelas aku melihat lagi diriku saat kecil dulu, bermain layang-layang di lapangan, bersama adik-adik dan saudara sepupu yang kini telah tenang beristirahat di sisiNya. Bayangan itu terlintas lagi sore tadi, saat aku melihat anak-anak kecil itu menerbangkan layang-layang, dan memoriku berbalik melesat ke belakang.

Rasanya aku ingin bermain layang-layang lagi. Mungkin aku seperti layang-layang itu, akan terbang jauh..jauh..dari tempatku dilahirkan, jauh dari akar dimana aku ditumbuhkan. Tapi seperti juga layang-layang yang mempunyai tali tak terlihat, yang akan membawanya selalu kembali, seperti juga aku. Tali cinta tak terlihat itu, akan selalu membawaku kembali.

“Bu.kapan-kapan pengen jalan-jalan sama ibu..sebelum pergi ehehe..maaf bu, jika terlalu berlebihan permintaannya Ica bu “ (16.56. 30 July 2011).

Aih…sms dari mahasiswiku, terasa mellow di hati. Ia juga September ini akan menyelesaikan studinya, berpisah adalah kata yang sebenarnya enggan ia pikirkan. Sama sepertiku.

“Kalau mbah meninggal nanti, apa yayan bisa pulang?” kalimat itu diucapkan simbah putriku, memang tak langsung diucapkan padaku, tapi pada ibuku. Betapa tidak trenyuh menyergapku tiba-tiba mendengar pertanyaan semacam itu.

Aku dilanda sebuah rasa yang tak dikenali, dulu pernah kualami rasa seperti ini, sewaktu “tak sadar akan pulang ke Indonesia” tahun 2008 silam saat di Itali. Kali ini aku diracuni rasa “tak sadar akan segera pergi”. Rasa yang membuatku enggan untuk mengurus dokumen-dokumen keberangkatanku, menghindari pikiran bahwa aku akan segera pergi. Tiap kali ingin kuperangi rasa itu, semakin tak jelas rasa di hati. Kau tahu rasa macam apa itu?

aku suka mendengar tawa renyahmu, jadi nanti bawa headset ya ke Glasgow..biar bisa tetap mendengar suaramu” kata seseorangku, yang sedetik kemudian membuatku membisu.

Jangan bicarakan itu dulu” selalu itu kataku. Penyangkalan, penghindaran diri, terus dan terus meracuniku. Membuatku berperang dengan diriku sendiri. Lelah terkadang…

Tapi matahari dan bulan terus bergantian menjalani perannya, mengingatkanku akan waktu. Dan ternyata aku sudah sampai di penghujung Juli. Menjelang tanggal 1 Agustus, rasanya hatiku ingin bilang “andai September itu adalah dua atau tiga bulan berikutnya”, tapi andai, adalah kata yang penuh racun. Hingga jarang sekali kupilih, karena jika kata itu kupilih, tak pernah bisa merubah nyata. Satu-satunya pilihan, semuanya harus kuhadapi dengan berani, walau dengan rasa yang tak jelas ini..

Perlahan-lahan kubincangi diriku sendiri, apa mauku, apa inginku, mau apa langkahku, mau bagaimana langkah kutapaki selanjutnya. Kubagi rasaku dengan sahabat dan orang-orang terdekatku. Aku memang harus pergi, demi impian-impianku, demi suatu alasan yang baik, demi menuntaskan perjuangan dan memulai perjuangan berikutnya, demi sebuah pergerakan, demi sebuah perubahan yang tak pernah bisa ditawar.

Pergi, pergi kali ini memang terasa berbeda dengan kepergianku yang sebelumnya. Pergi ke tanah-tanah yang jauh, dengan rentang waktu yang tak sebentar. Keberangkatanku kini tak seperti kala itu, tiga bulan saat itu adalah tamasya, seperti mata yang terus terpesona, hati yang selalu terkejut bertanya. Petualangan yang menggembarakan keingintahuanku akan perabadan di negeri antah berantah sana. Tapi kini bukan lagi tiga bulan, tapi tiga tahun.

Sebenarnya/ada sebagian dari diriku..yang tak ingin pergi//

Bisa saja aku memilih, menjalani hari yang biasa yang rutinitas pagi yang sejuk di purwokerto, sarapan mendoan hangat dan berangkat ke kampus. Menjumpai anak-anak dengan segala macam polah tingkahnya, dan menerima gaji tiap bulan. Pulang ke rumah setiap minggu. Bisa menjumpai sahabat-sahabat bila ada waktu, mengatur jadwal liburan bersama. Bisa saja, bisa saja aku memilih untuk itu. Tapi aku memilih untuk pergi, walau harus melewati fase “rasa tak jelas” ini.

Aku telah rindu kini/bahkan jauh sebelum aku pergi//

Sebagai manusiaMu, aku akan terus melakukan rihlah (perjalanan untuk belajar) thalabul ilmi, seeking knowledge and wisdom, karena bukankah salah satunya manusia diciptakan untuk itu?jadi kini ingin lebih banyak lagi kubincangi diriku sendiri, agar perlahan-lahan aku akan bisa pergi dengan ketegaran, dengan ketangguhan.

Sebuah pesan dari Mba nuk (sahabat saat kursus pre-departure English Course di Malang) di milis, semakin menguatkan tekadku,

Ibn Taimiyyah Rahimahullah mengatakan: "Carilah Ilmu, karena mencari ilmu semata-mata dengan niat karena Allah swt adalah ibadah; memahaminya meningkatkan taqwa; berjuang memperolehnya adalah jihad; mengajarkannya kepada mereka yg belum tahu adalah kedermawanan; dan mengkajinya adalah seperti bertasbih. Melalui ilmu maka kebesaran Allah swt semakin kita pahami dan ibadah kita makin baik."

Jadi, aku pergi semoga untuk sebuah alasan yang baik…

*usai sahur pertama ramadhan tahun ini--