Senin, 15 April 2013

Tips Mencari Akomodasi (How to Survive in UK-1)



Tulisan ini saya buat karena entah kali keberapa calon student yang akan melanjutkan studinya menanyakan pada saya by email, message facebook ataupun komen di blog tentang persiapan untuk hidup di Glasgow atau kota-kota lain di UK. Yah, sebagai koordinator mahasiswa University of Glasgow (UoG) mungkin saatnya saya harus menjalankan salah satu peran saya untuk memberikan info secara lebih sistematis dalam bentuk tulisan utuh. Selama ini saya hanya menjawab secara pribadi pertanyaan-pertanyaan tersebut, mungkin lebih enak bila suatu saat saya bisa menunjukkan link blog saya untuk bisa dibaca *pemalas yaa hihii ;p
Bagi teman-teman yang belum pernah tinggal di luar negeri, ataupun pernah tapi harus tinggal di negara baru, pastilah tetap membutuhkan informasi untuk bisa mempersiapkan diri dengan baik. Saya akan share beberapa info mendasar yang biasanya dibutuhkan oleh mahasiswa baru yang akan melanjutkan studi di UK
Nah, pertama adalah tentang...Akomodasi atau tempat tinggal!
Urusan pertama yang akan dipikirkan dan paling krusial dalam tentang tempat tinggal. Nggak mungkin dong nggak mikir soal tempat bernaung di negeri antah berantah, dan nggak etis juga untuk numpang kelamaan di flat anak indo yang sudah tinggal di kota yang akan kamu tempai terlalu lama. Pertama yang mungkin kamu lakukan untuk dapat info soal tempat tinggal yakni bergabung dengan PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) di kota yang akan kamu tempati. Misalnya saja di Glasgow, ada PPI Glasgow yang biasanya saling berbagi info baik soal akademis, soal acara-acara budaya ataupun olahraga ataupun soal cari flat, barang-barang kebutuhan mahasiswa, pengajian ataupun sekedar silaturahmi. Dengan kontak ini, kamu bisa nanya-nanya mungkin ada flat kosong pada saat periode studimu akan mulai. Memang lebih gampang untuk menggantikan posisi orang yang sudah kita kenal sebelumnya dibanding mencari flat ke agen dari awal. 
Selain itu, kamu bisa mencari lewat agen-agen residential. Setiap kota pasti ada banyak agen-agen penyewaan flat. Namun biasanya memang tetap saja dimanapun urusan prosedur dan administrasi merupakan hal yang sedikit merepotkan namun tetap harus diselesaikan. Misalnya saja untuk flatku dikelola oleh agen KPM residential, dengan biaya pengurusan awal sebesar 120 GBP. Kemudian biasanya juga ada uang deposit yang harus disetor dulu (sayangnya saya lupa jumlahnya, tapi lumayan mahal juga per flatnya). Deposit fee itu bertujuan sebagai uang jaminan bila kita kabur, eh maksudnya kalau ada kerusakan-kerusakan di fasilitas flat tersebut. Di akhir masa sewa, uang deposit itu akan dikembalikan kok, tapi katanya kalau ada kerusakan akibat pemakaian, uang deposit tersebut akan dikurangi.
Selain lewat agen, bisa juga seacrhing lewat website yang menawarkan untuk share room. Biasanya orang nggak akan menempati flat sendirian, jadi akan membutuhkan orang untuh share  tinggal di flat tersebut. Oh ya, biasanya flat terdiri dua 2 bedroom, 1 kitchen, dan 1 bathroom. Info ini berdasarkan pengalaman saya di Glasgow ya, mungkin beda kota akan beda juga bentuk flatnya. Nah, karena inilah biasanya orang akan nyari flatmate. Misalnya saja di Glasgow, ada website seperti www.gumtree.com, kalian bisa melihat-lihat iklannya disini, ada gambarnya, deskripsinya, waktu availability-nya. Dulu saya juga pasang iklan kamar flat saya di web ini, untuk disewakan selama saya di Indo, kan lumayan nggak usah bayar sewa selama saya pergi. Untuk kota-kota lainnya, tinggal googling saja pasti info-infonya banyak untuk ditelusur. Ini nih tampilannya gumtree :


Bagaimana dengan biayanya? Nah pasti ini menjadi pertimbangan. Biasanya letak flat menentukan harganya. Semakin dekat dengan area kampus, harganya relatif sedikit lebih mahal. Misalnya saja flat saya hanya 5 menit saja dari Main Building, sewa flat 1 bulannya 750 GBP. Karena saya berbagi dengan 2 flatmate saya lain, maka untuk sewa sebulan 750 GBP dibagi bertiga, disesuaikan dengan luas kamar karena memang tidak sama. Bila mau lebih murah, bisa mencari yang agak jauh dari kampus. Namun mungkin perlu dipertimbangkan tentang tambahan biaya transportasi menuju kampus, sedangkan bila flat dekat kampus bisa jalan kaki saja. Tentu saja ada plus minusnya masing-masing. 

Atau bisa juga yang mau memanfaatkan tinggal di akomodasi kampus, yang dikelola langsung oleh kampus. Misalnya untuk UoG juga menyediakan akomodasi kampus untuk mahasiswa-mahasiswanya terutama untuk International Student. Infonya bisa dilihat di http://www.gla.ac.uk/services/residentialservices/



Menurut pandangan saya, harganya relatif sedikit lebih mahal, luasnya standar, fasilitasnya cukup untuk hidup awal student baru., dan biasanya harus share kitchen dan bathroom dengan banyak orang. Tergantung level-levelnya juga sih, kalau ambil yang lebih mahal tentu saja fasiltasnya lebih bagus. Tinggal pilihanmu sendiri mau tinggal di flat atau di akomodasi kampus. Monggo kerso.
Oh ya, ada flat yang biayanya sudah include bil gas, listrik ada yang belum. Telitilah sebelum memutuskan untuk menyewa, apakah include atau exclude gas, listrik dll.
Oke, kali ini mungkin cukup dulu ya share-nya..sudah ngantuk, mata sudah semakin menyipit. Posting lain waktu, saya akan coba share hal-hal lainnya.
Semoga bermanfaat

Ndalem Pogung, Jogya. 14 April 2013. 2.52 am. 




Minggu, 07 April 2013

Mencinta atau Dicinta?


            
         “Ibuku, bila harus memilih mencinta atau dicinta, engkau memilih yang mana?” pertanyaan ini seingatku bukan hanya sekali ditanyakan anakku itu. Dia sepertinya tengah dilanda bimbang. Kadang bila ia tengah bimbang, ia mengetuk pintu pembicaraan kami berdua. Jawaban saya masih sama seperti jawaban yang saya lontarkan beberapa bulan lalu, saat dulu ia menanyakan pertanyaan itu pada saya ditemani secangkir kopi lumbung vanilla. Saya pernah mencinta, pernah dicinta, pun pernah mencinta dan dicinta. Kali ini, singkirkan dulu “mencinta dan dicinta”, siapapun pasti setuju begitulah kondisi ideal yang diharapkan setiap manusia. Namun kadang manusia dihadapkan pada pilihan yang mungkin tak diinginkannya.
            Tapi mencinta kadang lebih menyakitkan, bu” ungkap anakku. Tentu saja saya setuju. Mencinta mempunyai risiko untuk terpapar pada hal-hal yang menyakitkan lebih banyak daripada posisi “dicinta”.  Tapi bukankah hidup adalah tentang pilihan yang kita ambil? Dan jangan lupa risiko-risiko yang runtut mengikut di belakangnya. Sebenarnya bukan masalah mencinta atau dicinta yang lebih baik, paling benar. Ini soal kemantapan hatimu untuk memilih. Setiap orang dengan sejarahnya sendiri mempunyai seribu alasan untuk memilih mencinta atau dicinta. Sama benarnya.

            Tapi apa untungnya buat aku, mba? Untuk apa aku harus selalu ada buat dia? Sedang gampang aja dia lupain aku kalau dia lagi nggak butuh, ” kali ini seorang sahabat yang tengah dalam dilema yang sama. Tuhan sepertinya  banyak sedang memberikan soal-soal yang sama pada hambaNya.
Sedangkan seorang sahabat dekat saya lainnya pun tengah menjalani proses penyembuhan. Mencinta ternyata pada suatu titik menjadi terlalu menyakitkan untuknya. Bila harapnya tidak linear dengan nyata. Manusia dan belajar menerima nampaknya membuka banyak laku-laku pembelajaran yang tidak mudah. Dan dia memutuskan untuk “menghilang”. Memutuskan tali-tali, lalu bersembunyi dan menyembuhkan diri. Mungkin waktu sedang menawarkan mantra ajaib penyembuh untuknya, semoga. Itu pilihnya, siapa yang bisa memaksa?
            Hidupku kini tak berasa. Biarlah saja aku hidup untuk membahagiakan orang-orang terdekatku. Orang tua, saudara, keponakan-keponakannya, itu cukup” ujarnya saat dia kadang  keluar dari “gua persembunyian”nya untuk kadang berbicara denganku.
Tak apa, jalani saja. Bahkan saat terakhir kali dia berkata,
            Aku belum sanggup menghadapinya”.
Jalani saja, berjalanlah sampai suatu saat engkau ada dalam satu titik mengerti bahwa kunci mencintai dan membahagiakan orang lain yakni mencintai dan membahagiakan diri kita sendiri. Bila kita masih tergantung pada orang lain untuk menjadi subjek sumber energi yang membahagiakan kita, sedikit berhati-hatilah.
Ada sebuah dialog singkat yang saya temukan di tulisan Paulo Coelho. (Hehe bosan ya, PC lagiiii...lah bagaimana, saya kalau baca tulisannya, kok pas aja nemu jawaban). Seperti sebuah kisah analogi yang begitu jeniusnya dia tuangkan.
Ada setangkai bunga mawar mengharapkan datangnya kumbang untuk menemaninya. Dia menunggu dan terus menunggu. Lalu matahari bertanya :
            “ Apakah kamu lelah menunggu?”
Lalu si bunga mawar menjawab :
            iyah” kata si bunga mawar perlahan.
            Tapi bila bila aku menutup kelopakku, aku akan layu dan mati
Anakku, saya mencintai orang yang saya cintai karena saya mencintai diri saya sendiri. Kadang apa yang paling menyesakkan dalam perjalanannya bukanlah orang yang kita cinta tidak membalas, atau bertindak tidak sesuai dengan harap kita. Tapi menurut saya, yang paling menyesakkan yakni saat kita sendiri mau menjalani ataupun diperlakukan dalam kondisi yang sebenarnya bukan refleksi bahwa kita mencintai diri kita sendiri. Tapi sekali lagi, hidup adalah tentang pilihan. Dalam banyak hal, cinta adalah urusan saya dan diri saya sendiri. Bila saya sudah merasa selesai dan penuh dengan diri saya, saya akan lebih terfokus untuk membebaskan diri mencintai orang lain dengan penuh.
Sahabatku, bila kau tanya apa untungnya untuk selalu ada untuk orang yang kita cinta? entahlah, saya bodoh tentang matematika, apalagi bila harus menghitung untung rugi. Bagi saya, saya melakukan itu untuk saya sendiri. Saya mencinta, artinya saya ingin mengada. Ada, selalu ada. Terkadang, hal itu adalah urusan standar kualitas cinta yang saya tetapkan. Bila suatu titik tindakan mengada itu menjadi bumerang yang kadang terlalu sakit, kau tahu bagaimana cara menyembuhkan dirimu sendiri. Cukup mengada dalam doa. Satu hal yang saya selalu percayai yakni Tuhan selalu luar biasa.
            “Jawaban saya masih sama, mencinta,” jawab saya pada anakku itu. Bukan berarti jawaban saya tak akan berubah. Dunia dan hidup begitu cair, karena perubahan adalah kepastian itu sendiri. Sedetik kemudian, seminggu, setahun, sepuluh tahun ke depan, semuanya bisa berubah.  Mengalirlah, jalanilah, beranilah. Bukanlah hidup yang sesungguhnya adalah hidup di detik ini?

Salam cinta untuk anakku, dan sahabat-sahabatku. Cintailah dirimu sendiri, dengan begitu engkau bisa penuh mencintai orang-orang yang kalian cintai. *lagi sok waras ;p

Salam cinta dari saya.

6 April 2013. 2.21 am.

Kamis, 04 April 2013

The Change In Me


            “Kamu banyak berubah,” ujar sahabat saya. Saya dan sahabat saya ini hampir 6 tahun lebih tidak bersua. Bila kita bersama seseorang terus dan melaju bersama perubahan-perubahannya setiap hari, mungkin laju perubahan kadang tak disadari. Namun orang yang lama tak selintasan lagi dengan hidup kita, lalu kemudian bersua lagi, mungkin lebih bisa menilik sebuah perubahan. Akhir-akhir ini saya memikirkan perkataannya tersebut. Saya banyak berubah? Untungnya saya sadar kalau saya berubah ehehe. Lah kalau enggak sadar kan bahaya#jreng.
Dulu dia tak kan pernah bisa menemukan penampilan saya dengan rok bunga-bunga, sepatu perempuan flat, tas bertali dan pilihan-pilihan warna seperti oranye, merah marun, kuning seperti foto di atas. Kemana larinya celana jeans belel, kaus casual atau kemeja, dan tas punggung serta sepatu kets? Ahaha..Tenang, saya masih tetap memakai atribut tersebut, kadang-kadang. Namun tetap feminin kok #plak. 
Saya sendiri tidak begitu sadar semenjak kapan saya suka berpenampilan feminin dan sangat perempuan. Sebenarnya sadar, tapi tidak ingin membuat seseorang yang pasti kadang diam-diam membacai blog ini menjadi besar kepala # hehe ambil tisue tutup muka sambil malu-malu.
See...saya tidak akan menulis dengan gaya bicara seperti ini sebelum-sebelumnya.#hadooh!
Perubahan pertama, penampilan saya yang lebih perempuan. Entah mengapa saya sekarang menjadi suka memakai rok, dengan pilihan warna cerah, baju berlipit atau berenda. Plus sudah bisa make-up lumayanlah, cukup untuk modal ngursusin singkat sahabat-sahabat bala kurawa saya yang dari dulu sama-sama nggak terlalu perempuan. Mungkin kini sisi “perempuan” saya berhasil diaktifkan hihi. Semenjak lama saya lebih cenderung tampil maskulin, bukan hanya penampilan saja dalam pribadi saya juga maskulin. Sebagai anak pertama, dituntut harus mandiri, urat manja sudah putus lama, tomboy dan pas kecil hobi berkelahi dengan laki-laki. Sedangkan kini, sepertinya ibu saya tidak salah melahirkan anak perempuan, karena sekarang benar-benar terlihat seperti perempuan. #apa sih. Duh ibu saya sepertinya menanti cukup lama untuk yakin anaknya benar-benar anak perempuan ehehe.
Perubahan kedua saya yakni bagaimana cara saya berinteraksi dengan orang lain. Saya masih ingat sebuah perbincangan saya dulu saat masih kuliah S1 dengan teman-teman.
            “ Apa ya, pekerjaan yang nggak usah banyak ketemu sama orang?” tanya saya.
            “ Jadi pegawai perpus aja. Kamu kan suka buku tuh, trus nggak banyak ketemu banyak orang. Cocok deh pasti,” sahut teman saya dulu,
Saya dulu memang tidak terlalu suka berinteraksi dengan orang lain. Sulit membangun komunikasi, menyampaikan ide, kaku, garing kecuali dengan orang-orang tertentu yang masih sudah biasa kontak dengan saya, misalnya sahabat-sahabat inner circle saya.
            “ kamu sekarang enggak jutek lagi. banyak senyum, ketawa. Lucu. “ saya ingat komentar sahabat yang baru ketemu saya lagi itu.
Saya sadar saya banyak sekali berubah dalam cara saya berinteraksi dengan orang lain. Sekarang saya senang berinteraksi dengan orang lain. Orang lain berarti sesuatu yang baru, cerita baru, pengalaman baru, pembelajaran baru. Saya berubah menjadi seorang “people observer” yang suka mengamati dan berinteraksi dengan orang. Saya juga terasa lebih nyaman untuk berkomunikasi dengan mereka semua. Saya banyak belajar dari orang lain. Perubahan-perubahan saya sedikit banyak bersumber dari picuan hasil berinteraksi dengan orang lain. Orang-orang yang beraneka ragam sifat, pemikiran, gaya hidup ataupun sisi spiritualitasnya. Saya merasa jauh merasa lebih “hidup” dengan berinteraksi dengan orang-orang.
Dan lucunya, sekarang saya seperti “keranjang sampah” yang orang-orang sepertinya gampang sekali untuk bercerita/curhat pada saya. Dan tanpa sadar saya belajar hidup dari cerita-cerita mereka semua. I’m so grateful for that.
Selain itu pemikiran-pemikiran saya tentang hidup juga berubah, humm bertumbuh lebih tepatnya. Nampaknya gen “sok filosofis” memang mendarah daging dalam diri saya. Dan kini makin menggila ahaha. Ada banyak perubahan lain dalam diri saya, dan saya menyadarinya. Tapi mungkin ada perubahan-perubahan lain yang tak saya sadari.
Trus apa yang memicu perubahan saya? Iya, memicu. Bukankah menurut saya tidak ada yang sanggup mengubah seseorang kecuali  diri orang itu sendiri? 
Hummm..bila ditelaah, tonggak perubahan saya mulai saat saya berhasil mewujudkan impian saya yang pertama. Dunia memperlihatkan pada saya banyak kejutan-kejutan yang membuat “otot hidup” saya semakin melentur. Ada banyak kejadian yang bagi saya masuk dalam kategori “luar biasa” yang otomatis mengubah saya. Bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang yang “berbeda” membuat syaraf-syaraf otak saya mengembang. Saya merasa setelah saat itu, saya mulai agak berubah.
Lalu, selain kejadian-kejadian luar biasa dalam hidup, perubahan saya juga dipicu buku-buku yang saya baca. Berapa lama orang hidup bila harus hanya belajar dari pengalaman dan pengetahuannya sendiri? Buku-buku yang saya baca mengajarkan saya banyak hal. Buku-buku itu ada di sepanjang perjalanan pertumbuhan diri saya.


Kemudian, perubahan itu juga semenjak saya bertemu orang yang sanggup memicu sifat-sifat saya yang selama ini ter-nonaktifkan. Kamu #uhuk..barangkali ;p
Saya menemukan apa yang tidak ada pada saya, ada padamu. Ada transformasi bawah sadar yang pelan-pelan membawa laju saya untuk semakin bertumbuh. Saya yang dulu hanya mempunyai percaya diri yang minim, dan saya temukan itu padamu, walau kadang berlebih #glek!
Dan kini saya curi (biar keliatan usaha) ilmu itu sedikit demi sedikit. Ada beberapa kemajuan bila saya jujur merefleksikan pertumbuhan saya. Kadang seseorang hanya perlu diyakinkan untuk bisa melakukan sesuatu, dan bagi saya itu kamu. Perlu upaya membangun percaya diri yang luar biasa bagi saya yang tak biasa berbicara di depan publik, di panggung, menjadi pembicara di acara dengan peserta yang cukup banyak. Sejarah hidup saya sedikit sekali mengajarkan itu. Tapi saya mau nekad mencobanya, dan ternyata saya bisa.
            “ Maju. Bukan hanya melangkah. Melangkah itu bisa saja mundur. Maju” katamu waktu itu. Trus kenapa pula saya mau-mau saja? Ahaaha #garuk-garuk
Pun saat saya  mantap untuk memilih dunia kepenulisan sebagai dunia saya, bukan lagi sebagai hobi. Dulu dengan tameng alasan sebagai hobi, menjadikan saya kurang berani berkarya, kadang malas karena sudah terbunuh rutinitas pekerjaan. Saya belum cukup mempunyai keyakinan untuk mengambil langkah.
Tapi, lihatlah tahun-tahun belakangan ini. Saya kini yakin untuk menghidupi dan berjalan di dunia kepenulisan saya. Saya penulis, dan untuk itu saya harus buktikan dengan karya-karya saya. Passion without creation is NOTHING!
Saya berani akhirnya menerbitkan buku walau baru self publishing, berani bicara dalam launching, menjadi pembedah buku. Kemudian menerbitkan beberapa antologi setelahnya. Saya merasakan pertumbuhan dalam kepenulisan saya. Kamu, membuat saya tidak pernah takut lagi bermimpi #ayayay gedubraks!
Kebersamaan dengan seseorang mampu membuat kita semakin bertumbuh. Karena kita berbagi hidup, bukan hanya berbagi keseharian dan rutinitas. 
Tidakkah semakin hari semakin kau lihat, dirimu ada dalam diriku? Kau kini bisa melihat jejak-jejak dirimu ada padaku.
You’ve downloaded in me. Malam ini saya memeluk diri saya sendiri
Bau kamu !



Sejenis tulisan gombal ahaha. Ndalem Pogung, Jogya. 4 April 2013. 0.14 am




Selasa, 02 April 2013

Bahagiaku




Iseng sebenarnya saya menjelajahi lagi folder-folder foto saya beberapa tahun lalu. Terkadang gambar bisa menceritakan peristiwa dengan begitu pintarnya. Sekaligus kenangan terbawa serta. Saya bukan sedang ingin ber-mellow ria mengenang masa lalu. Saya tak sengaja menemukan video lama yang terselip di antara folder foto-foto tersebut. Saat saya putar video tersebut, mata saya terbelalak, seakan baru kali pertama melihat video tersebut.
Siapa perempuan itu? Dengan muka polos, berkerudung sederhana berwarna merah bata, malu-malu, pipi semerah dadu? Sayakah?
Saya hampir tak bisa mempercayai diri saya sendiri. Perempuan polos itu, saya. Benar-benar saya. Tapi ada satu hal yang tak bisa disembunyikan. Saya tidak bisa mengelabui siapapun bahwa mata saya hampir tak sanggup lagi menampung kebahagiaan. Binar itu, sinar itu, berkali-kali saya putar ulang video itu. Memastikan bahwa saya pernah sebahagia itu.

Beberapa jenis kebahagiaan tak bisa diulang, hanya bisa dikenang (Fadh Djibran)

Gambar yang bergerak ternyata membuat kita tak bisa menyembunyikan apapun. Mimik muka, kegugupan, pipi merona, celotehan, langkah kaki, ataupun tingkah malu-malu. Sebuah foto terkadang hanya sebuah gambar mati yang bercerita saat kamera ditekan tombol klik. Mungkin kadang dengan senyum yang dipaksakan, atau memang senyum yang benar-benar senyuman. Tapi gambar hidup ternyata mampu bercerita lebih banyak.
Dan kali ini bercerita tentang kebahagiaan.
Kadang bahagia dalam hidup bisa berupa penaklukan-penaklukan, bahwa apa yang kita inginkan akhirnya ada dalam genggaman. Kadang bisa anugerah berupa hal-hal indah yang terjadi dalam hidup. Atau kadang bahagia bisa berupa kebersamaan dengan orang-orang tercinta.
Atau pula, bahagia bisa sesederhana kesyukuran kita masih diberi sehat dan hidup yang baik. Menghirupi udara segar, menikmati rinai hujan, masih bisa menikmati sinar matahari, atau hal-hal yang kita anggap biasa, namun sebenarnya penuh hal yang perlu kita syukuri.
Tapi jenis bahagia yang saya tangkap dalam video beberapa menit itu membuat saya tersenyum. Saya seharusnya teramat bersyukur diberi anugerah berupa kebahagiaan seperti itu. Sederhana. Tuhan selalu maha baik.  Dia pernah menganugerahi saya kebahagiaan semanis itu. Kebahagiaan yang bukan penaklukan, bukan kemenangan, bukan sesuatu yang jatuh bangun untuk saya dapatkan. Tapi sejenis bahagia yang mengada. Mengada begitu saja. Tanpa perlu saya tarik, tanpa perlu pura-pura, atau reka-reka. Sejenis bahagia yang begitu sederhana. Ia hanya membuncahi hati saya dengan kebahagiaan yang terpancar dari mata saya. Bahagia ada, hanya cukup dengan menjadi diri saya sendiri. Dengan cinta yang mengada di hati saya. Bahagia. Saya benar-benar bahagia.

Yang menjadikan bahagiaku, belum tentu juga menjadikan bahagia bagimu, atau bagi kalian. Begitupun pula sebaliknya. To feel happiness, there’s no universal recipe. Define our own happiness.

3 Maret 2013.
Tulisan bulan lalu, dan karena beberapa alasan baru “bisa” saya posting.  Selamat berbahagia semuanya. Tuhan berkati kita semua dalam cinta dan kasihNya yang selalu berlebih.

Senin, 01 April 2013

Solitude is not the absence of love



Pagi ini membuka kicauan di linimasa twitter dan menemukan link dari Paulo Coelho, penulis dan pemikir favorit saya yang berjudul “Solitude is not the absence of love”. Saya baca dan sangat mengena. 
Sesuai dengan postingan saya sebelumnya tentang jeda di .http://www.marsdreams.blogspot.com/2013/03/memberi-spasi-mengada-jeda.html
Tulisannya PC cerdas sekali mengungkapkan tentang jeda, dan kepenuhan diri yang bermakna. Kali ini saya ingin mengutip tulisannya di sini, untuk bisa kalian bacai. Semoga bermanfaat !
Selamat merayakan hidup penuh makna :

Solitude is not the absence of Love

Without solitude, Love will not stay long by your side.

Because Love needs to rest as well, so that it can journey through the heavens and reveal itself in other forms.

Without solitude, no plant or animal can survive, no soil can remain productive for any length of time, no child can learn about life, no artist can create, no work can grow and be transformed.

Solitude is not the absence of Love, but its complement.
 Solitude is not the absence of company, but the moment when our soul is free to speak to us and help us decide what to do with our life.

Therefore, blessed are those who do not fear solitude, who are not afraid of their own company, who are not always desperately looking for something to do, something to amuse themselves with, something to judge.

If you are never alone, you cannot know yourself.
 And if you do not know yourself, you will begin to fear the void.

But the void does not exist. A vast world lies hidden in our soul, waiting to be discovered. There it is, with all its strength intact, but it is so new and so powerful that we are afraid to acknowledge its existence.

Just as Love is the divine condition, so solitude is the human condition. And for those who understand the miracle of life, those two states peacefully coexist.
 
 
taken from MANUSCRIPT FOUND IN ACCRA
by Paulo Coelho on March 29, 2013

The Last Battle




Pandangannya menelitik ke arahku. Meneliti perubahan-perubahan yang terjadi padaku setelah lama kami tak bertemu. Mas Dias kemudian tersenyum.
            “You’ve changed a lot, El. Perempuan sekali kau sekarang,” katanya sambil terus mengamatiku. Aku yang datang menemuinya dengan rok lebar berwarna merah pastel yang lembut, dipadu dengan atasan berenda dengan jilbab senada. Musim semi tengah mengakrabi Birmingham, coat tebal mulai sering ditanggalkan.
Aku tersenyum. Sambil juga mengamati raut mukanya yang terakhir kali kutemui dua tahun lalu,  saat kami terlibat bersama-sama dalam sebuah pendirian sekolah Alam di daerah pinggiran kota Bandung. Tak banyak berubah, selain tubuhnya yang lebih tegap dan jambang yang mulai menumbuhi janggutnya.
            “ Yeah, dunia terus berubah. Juga kadar hormon estrogenku. “ kilahku. Kami berdua sudah terbiasa dengan perbincangan ala kosakata kami sendiri. Dan secara otomatis kami berdua saling paham apa yang hendak disampaikan.
            “ Cantik sekali, El,” jarang dia memujiku seterus terang itu. Aku kembali tersenyum, dan aku melihatnya memandangi mataku. Entah bermakna apa.
            “ He changed you a lot, right?” Tanyanya kemudian, kemudian tangannya memainkan tali kamera Sony Nex 7 yang super seksi itu. Mas Dias mulai terlihat tidak nyaman dengan mengalihkan perhatian dengan bermain-main dengan kameranya itu, sepertinya dia tak suka dengan pertanyaan yang baru saja ia lontarkan.
            “ Siapa sih manusia yang begitu powerfulnya bisa mengubah seseorang, Mas? Enggaklah. Dia nggak merubahku. Aku yang berubah, ya mungkin setelah bersamanya. Semacam triger, pemicu barangkali. Oh ya, katanya kau sudah bertunangan Mas, congrats ya. Siapa nih  perempuan yang beruntung itu?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Dia berhenti memainkan tali kamera kesayangannya itu setelah mendengar pertanyaanku. Lalu matanya mencari mataku lagi.
            “Mungkin kamu kali ini bersedia menjadi perempuan yang beruntung itu, El?” tanyanya dengan matanya yang lurus-lurus memandangku. Aku agak merasa jengah dibuatnya.
            “ Come on Mas Dias, I knew you. Kamu nggak akan segila itu, ehehe” candaku mencoba mencairkan suasana. Lalu kemudian kami tertawa bersama, namun ada garis pias yang tertangkap di wajahnya. Lalu dia buru-buru menyesap kopi yang dipesannya.
Pertemuan tadi malam di Cafe Amore, sebuah sudut kota Birmingham itu berlanjut dengan ngobrol seperti reunian dua sahabat yang lama tak bertemu. Dua sahabat? Tidak bisa murni dibilang sahabat. Semenjak Mas Dias menyatakan ingin membangun sebuah hubungan serius denganku sekitar dua tahun lalu. Tapi dulu aku menjawabnya, menjadi sahabat nampaknya lebih menyehatkan bagi kami.
            “ Mas, aku merasa lebih nyaman jadi sahabat aja. Kita terlalu mirip. Laju kita nanti akan sangat terprediksi. Kita butuh ruang, dan butuh orang yang menantangi kita untuk terus bertumbuh, bukan?” jawabku kala itu. Sebenarnya hal itu untuk menambahkan alasan bahwa aku memang tidak mengalami loncatan-loncatan reaksi kimia apapun bila bersama Mas Dias.
Dan kedatangan Mas Dias ke Birmingham selama dua hari ini dengan alasan mampir dari konferensinya di London, untuk menanyakan kembali untuk terakhir kalinya kesediaanku mendampinginya. Dan itu dilakukannya setelah dia sudah memutuskan bertunangan dengan Arina, teman sekantornya di LSM tempat kerjanya di Jakarta. Kenapa laki-laki seperti Mas Dias bisa mengambil langkah segila itu?
            “ El, this is my last battle, my last chance. Kau tidak tau selama ini aku selalu terus mengikuti lajumu? I knew everything’bout you. Termasuk keputusan konyolmu untuk bertahan dengan lelaki yang nggak pasti itu.” Kali ini Mas Dias memaksa kembali bertemu di sela-sela jadwal makan siangku. Sudah setahun ini aku bekerja sebagai auditor di KPMG cabang Birmingham, dan hidupku baik-baik saja. Aku hanya kontak dengan Mas Dias beberapa kali saja via skype. Mungkin dia stalking membacai blogku, kicauanku di twitter atau racauanku di facebook. Jejaring dan media sosial membuat dunia begitu sempit.
            “Elia, you don’t have much time anymore. Kamu bukan lagi perempuan yang banyak waktu lagi untuk memilih. Kita masih bisa sama-sama, so would you?” Nada dalam perkataan Mas Dias kali ini terdengar lebih menyudutkanku.
Aku memandangi raut mukanya lagi. Aku sangat mengenali laki-laki yang ada di hadapanku ini. Kami lama bersama-sama, bertumbuh bersama, tapi itu bukan cinta. Bila otak logikaku yang banyak bicara, atau rayuan teman-reman untuk menerima saja lamarannya, pastilah sudah semenjak dulu kami bersama. Tapi mengapa ia tak juga mengerti, hingga harus terbang sebegini jauhnya, untuk menanyakan kembali pertanyaan yang sama kepadaku.
            “ Mas, aku hidup sampai hari ini artinya waktu masih memberi kesempatan padaku. Maukah kau kupilih karena aku merasa sudah tak punya banyak waktu lagi? “ aku ingin memberinya jeda dengan kalimat yang kuucapkan perlahan.
            “ Kita bisa hidup bersama dengan baik, aku percaya itu. Tapi aku ingin berbagi hidup mas, bukan hanya berbagi rutinitas dan keseharian. Kamu lihat aku sekarang Mas? Bila kau bilang kau mengikuti laju hidupku selama ini, kau pasti tahu bagaimana pertumbuhanku sampai sekarang. Bukan kamu nggak cukup baik untuk aku, Mas. Cuma kita butuh seseorang yang mampu mengimbangi dan memacu laju kita masing-masing. Dan kita bukan seseorang yang pas satu sama lainnya,” jawabku. Semoga ia paham maksudku.
            “ Jadi benar, dia si lelaki secangkir teh hangat manis itu? Kamu masih tetap mau lelaki biasa aja yang bisa kamu ajak ngobrol sampai lupa waktu sambil minum teh manis hangat?” kali ini entah mengapa ketegangan di raut mukanya mencair.
Aku tergelak, lalu tersenyum. Aku mengangguk kecil.
            “ Ngobrol itu maksudnya “berbagi hidup” tapi tetap menikmati rutinitas hidup seperti halnya minum teh hangat manis. Sok filosofis ya aku,” ungkapku.
            “That’s you, El. That’s makes you different. Well, trus kamu begini mau sampai kapan? Ini seperti bukan kamu yang pakai logika dalam mengambil keputusan.” Telisiknya, sambil mencari-cari jawab pada mataku.
            “ You did your last battle. Aku juga ingin begitu, Mas. I will do my last battle. Biarkan aku memutuskan kali ini berdasarkan...semacam firasat.. pertanda barangkali.” Jawabku, sambil ragu memilih kata-kata yang tepat.
            “ Kamu gila El, gimana ntar kalau firasat atau pertanda kamu itu ternyata salah?” sergahnya. Tangan kanannya memperbaiki letak kaca mata minusnya.
            “ Ya terima kenyataan kalau aku salah lah, Mas. Bukankah hidup juga tentang belajar menerima? “ jawabku singkat. Sebenarnya kalimat itu juga menjawab keraguan pada hatiku sendiri. Mas Dias tersenyum padaku. Dia sedang belajar hal yang sama pada detik terakhir setelah kalimatku terucap. ***

Flash Fiction—
Ndalem Pogung, Jogya 1 April 2013. 1.34. am. Ampun deh ini kepala kalau udah mau nulis, enggak mau tidur kalau belum kelar jugaaa...baiklah, saatnya zzzz.



Minggu, 31 Maret 2013

Memberi Spasi, Mengada Jeda




Jogya disapu gerimis rintis, kami berdua duduk berhadapan sambil menikmati secangkir kopi di Starbuck, Amplas Jogya. Malam sudah beranjak naik. Sahabatku kali ini dengan pesanan double espresso, sedangkan aku dengan secangkir coffee latte vanilla. Kami bertemu lagi di Jogya setelah hampir 6 tahun tak bertemu, semenjak kelulusan studi master kami di UGM. Dan kini kami sering melewatkan waktu bersama, makan, nonton atau hanya sekedar nongkrong minum kopi dan ngobrol.
            “ Kamu banyak sekali berubah sejak 6 tahun lalu,” kata-kata ini beberapa kali terucap darinya semenjak kami dipertemukan kembali.
            “Yang jelas enggak jutek lagi, ahaha,” begitu tawanya renyah, lalu disesapnya double espressonya lagi.
Iyah, saya banyak berubah. Saya menyadari perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri saya. Dan pula mengetahui hal-hal apa, peristiwa apa dan siapa yang memicu perubahan dalam diri saya.
Dia sendiri bagi saya tidak terlalu banyak berubah, terkecuali bahwa sekarang dia telah berubah menjadi seorang ibu dari seorang putri cantik yang sangat hiperaktif. Namun ada beberapa hal yang kutemukan dalam dirinya, yang dulu saat kami studi bersama-sama tak pernah muncul di permukaan. Kami sekarang bisa melihat lebih dalam, bukan lagi teman permukaan.
Kami ngobrol kesana kemari, dari karier, spiritualitas, sampai obsesi-obsesi pribadi. Obrolan-obrolan yang dulu hampir tak pernah menjadi opsi saat kami kuliah dulu. Karena dulu kami paling-paling membicarakan tentang kuliah, tugas, ataupun penelitian. Tapi sekarang kami bicara soal hidup.
            “ Sepertinya saya telat menyadari, saya telat bangun” katanya. Hidupnya terbilang sempurna. Karirnya sebagai dokter dan dosen tergolong bagus walau belum bisa dibilang luar biasa, jodohpun ditemukannya dengan mulus lalu mempunyai seorang buah hati yang cantik.
            “ So, you’ve a perfect life, right?” godaku. Dia tersenyum.
            “ May be, tapi ada sesuatu yang belum terpenuhi. Pas ngobrol sama kamu, saya baru menyadari itu. Tapi sepertinya saya telat menyadarinya.” Ucapnya lagi.
Saya tersenyum, menimpalinya bahwa tidak ada yang yang terlambat. Saya pun bila harus menengok beberapa teman saya yang jauh lebih muda, dan sudah menyadari tentang hal ini, kadang merasa iri. Iri dalam artian positif, tapi kemudian menyadari bahwa dalam perjalanan, ritme dan jalur-jalur hidup manusia sudah ada kecepatannya masing-masing. Dengan suatu alasan tertentu pastinya.
Saya merasa beruntung telah menemukan jalur perjalanan saya sendiri. Dan ingin terus berjalan, berlari terkadang, namun tetap ingin mengambil jeda agar menyadari sampai dimana perjalanan saya.
Manusia butuh sesuatu selain kebutuhan bahwa hidup berjalan baik-baik saja. Butuh kemaknaan yang lebih dalam untuk mengerti sebenarnya untuk apa sih hal-hal yang dilakukannya dalam 24 jam sehari, kemudian hidup berganti minggu, berganti bulan dan tahun?. Ataukah engkau suatu saat akan menemukan dirimu tersesat ataupun hilang? Apa yang engkau mau? Apa yang ingin engkau capai? Lalu untuk apa itu semua? Apa sebenarnya mau Tuhan dalam peranmu sebagai manusia? Siapa sebenarnya engkau? Apa yang membuatmu merasa “penuh”? apa kontribusimu pada semesta?
Apa kalian pikir sederetan pertanyaanku tadi begitu absurb? Namun saya yakin suatu saat engkau akan tiba pada pertanyaan-pertanyaan itu.  Kalian punya pekerjaan, rutinitas, suami, pacar, atau istri, keluarga, untuk apa? Punya rumah, mobil atau apapun yang kalian inginkan. Apakah masih ada yang terasa kosong dalam jiwamu? Siapa tau dirimu jarang-jarang engkau bincangi.
Apakah engkau menyibukkan diri dengan berbagai aktivitasmu, bekerja setengah mati, atau kemudian bersenang-senang sampai lupa diri? Lalu sebenarnya untuk apa engkau jalani itu semua?
Ah, saya terlalu banyak bertanya.
Tapi engkau tak bisa memindai hidupmu sendiri bila engkau terus menerus berlarian tiada henti. Seperti huruf-huruf yang berlarian kuketik inipun tidak akan mempunyai arti bila tak ada spasi.

Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tidak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tidak ada spasi? (Spasi, Dee).

Apa yang Dee maksudkan adalah bagaimana hidup bermakna apabila tidak ada jeda untuk menyadari maknanya? Apakah hidup bisa dimengerti esensinya jika tidak ada spasi? Maka bincangilah dirimu. Bincangi! Jangan biarkan dia menjadi asing bagi dirimu sendiri. Jangan biarkan ia kesepian di pojokan tanpa pernah engkau tanyai, engkau bincangi, engkau perangi, kau damai.
Saya kini tahu alasan-alasan saya melakukan banyak hal dalam hidup. Termasuk mengapa saya sering sekali menulis tentang tema ini dalam blog saya. Dan saat saya mendengar beberapa orang berkata :
            “ Tulisanmu menampar saya, dan membangunkan saya. Terimakasih ya,” kata seorang sahabat.
            “ Aku hutang energi, hutang keberanian dalam tulisan-tulisanmu” kata seorang lagi. Beberapa orang-orang tak dikenal yang membaca tulisan-tulisan saya, baik lewat blog atau lewat buku-buku saya sering mengirimkan pesan pada saya. Ada juga yang meminta saya untuk menulis dalan bahasa Inggris agar bukan hanya orang Indonesia yang bisa membacainya, tapi nulis dalam bahasa inggris sekarang ini masih menjadi pekerjaan yang susah untuk saya. Suatu saat nanti, semoga.
Kenapa saya seringkali meracau lewat tulisan-tulisan saya? Karena saya menulis juga untuk mengingatkan diri saya sendiri, memindai gerak hidup saya.
Karena saya juga berharap tulisan saya bisa dibaca orang-orang, karena dalam hidup nyata saya hanya bisa berinteraksi dengan sebatas orang yang hadir secara langsung dalam hidup saya. Tapi lewat tulisan, saya bisa menghampiri orang di sudut-sudut Cafe di Barcelona, atau di sebuah daerah di Nusa Tenggara, meja belajar mahasiswa saya, atau di pedalaman kalimantan sekalipun.
Dan dengan menulispun, secara otomatis saya mengambil jeda. Memberi jejak lagi dalam hidup saya.
Selamat sore dari Jogyakarta !
 

Ndalem Pogung, 31 Maret 2013. 17.29.