Senin, 22 April 2013

Mengunjungi Malang/Mengulang Kenang (Day 1)



04.00. Jum’at. 12 April 2013. Terminal Arjosari, Malang

            Gerimis rintis menyambut kami begitu sampai di Terminal Arjosari, Malang. Hawa dingin khas Malang langsung menghampiri kulitku. Saya langsung menyalangkan mata ke sekitar terminal yang aku tinggalkan sekitar dua tahun yang lalu. Mengira-ngira perubahan bilakah ada, memutar lagi rekaman lama dan mencipta rekaman baru. Ini kali pertama saya mengunjungi Malang lagi, dan ada getar-getar hati yang tak bisa kupungkiri. Bahwa saya memang mencintai kota ini. Dengan bis Zena yang berangkat jam 20.00 semalam dari Terminal Giwangan, Jogyakarta, saya kembali mengunjungi kota apel nan sejuk ini. Saya sengaja mengambil opsi transportasi yang persis sama saat dulu saya terbiasa bolak balik ke Malang untuk pelatihan bahasa Inggris. Saya pun mengulang ritual yang sama, menaiki bis Zena, dan tiba di Terminal Arjosari menjelang subuh. Semuanya hampir sama. Terminalnya yang masih “buluk”, berantakan dan banyak calo-calo premannya. Tapi aroma sejuk kota ini juga masih sama. Ingin saya hirup udaranya dalam-dalam hingga memasuki tubuh saya bersama kenang lama. Suara adzan subuh dari masjib terminal pun sepertinya masih seperti dulu, dan membawa saya dan sahabat saya melangkahkah kaki ke arah masjid. Badan terasa sedikit penat, tapi mungkin raga saja sudah terbiasa dengan perjalanan, ia menikmatinya.
Kami tiba di masjid yang terletak  di bagian belakang terminal, dan masjid pastilah tempat yang nyaman dan aman untuk menunggu terang, begitu pikirku. Setelah sholat subuh, kami menunggu terang sambil leyeh-leyeh di masjid. Eh leyeh-leyeh itu maksudnya saya tidur hehe, sementara sahabat saya duduk bersandar ke tembok sambil mendengarkan lantunan ayat-ayatNya lewat headset sambil menjagai barang-barang kami. Namun ada insiden yang cukup tidak menyenangkan terjadi, yakni saat sahabat saya ternyata ketiduran sambil duduk, dan seseorang mengambil tas selempangnya yang berisi dompet, kartu atm dll. Untung saja, sahabat saya langsung sadar beberapa saat setelah kecurian dan mengejar orang tersebut. Beruntunglah tas itu beserta isinya berhasil kembali ke tangannya dengan selamat. Ah memang, dimanapun kita harus berhati-hati walaupun itu di dalam masjid. Apalagi bila di area terminal antar kota begini. Alhamdulillah, tas teman saya masih aman.
Hari sudah mulai terang, kami memutuskan untuk mencari kopi dan sarapan di kedai-kedai terminal, sambil memikirkan mau kemana setelah ini. Ah ah mau kemana? ehehe selamat datang pada duniaku, dunia serba tak terduga hihi. Gila aja ya, jauh-jauh ke Malang terus nggak tau mau kemana. Sebenarnya niat utama kedatanganku ke Malang kali ini untuk menghadiri resepsi kakaknya sahabat saya. Sahabat saya dan keluarganya sudah saya anggap seperti saudara, jadi pengen sekali hadir pada acara istimewa tersebut. Apalagi sahabat saya itu, Nuning, sengaja pulang dari Wageningen, Belanda di sela-sela studi masternya dengan diam-diam tanpa bilang dulu pada keluarga. Ceritanya dia mau bikin kejutan dengan tiba-tiba muncul di depan pintu rumahnya. Aish, kejutan memang selalu menyenangkan, termasuk saya pun senang dengan terlibat memesankan tiketnya dari Jakarta-Malang lalu Malang-Jakarta. Jadi, misi saya ke Malang memang untuk ketemu lagi dengan Nuning, sahabat saya itu, setelah lama tak bertemu sekalian mengulang kenang mengunjungi Malang. Rindu saya pada kota ini sudah menggila rasanya.
Sebenarnya tadinya saya dan Nuning ingin sekali bereunian di Eropa, karena saya kini tengah melanjutkan studi di University of Glasgow, UK sementara dia mengambil master di Wageningen University, Belanda. Tapi waktunya belum sempat, dan akhirnya kami bereunian dulu di Malang. Semoga terlaksana untuk reunian di benua biru itu suatu saat.
Tadinya saya akan berangkat sendirian, jadi memang saya tidak terlalu mempersiapkan rencana, kecuali sudah booking penginapan di Enny’s Guest House jauh hari. Niat saya hanya keliling-keliling sendirian lalu ketemu sahabat saya hari jumatnya, lalu sabtu ke acara resepsi, lalu ada janji dengan Mba Nurhay, dosen pelatihan saat saya pelatihan dulu lalu pulang kembali ke Jogya.
Tapi saya dan rencana memang selalu saling mengejutkan, karena perubahan adalah kata yang terlalu akbab bagi saya. Siang sebelum malamnya saya berangkat, sahabat saya, Mba rahmi tiba-tiba ingin juga ikut jalan-jalan. Mba rahmi itu sahabat saya saat menempuh master di Tropical Medicine UGM dulu, dan kini satu lab lagi di Mikro UGM. Hidup memang penuh kejutan kan? Maka saya pun memesankan tiket bis segera dan malamnya berangkat bersamanya. Dan karena ada partner jalan, sepertinya sayang bila cuma muter-muter nggak jelas di Malang. Maka saat Zena melintasi Pasuruan dengan kerlip bintang gemintang di luar jendela, saya bbm beberapa teman untuk mensuggest tempat wisata di Malang yang asik untuk dikunjungi. Rizka, teman saya menyarankan saya ke Selecta. Setelah sebelumnya dia terus menerus menggodai saya untuk pergi ke Bromo.
Ayo mba, sekalian ke Bromo, nanggung udah deket lho” godanya. Aih, saya sebenarnya sudah lama ingin sekali ke Bromo, dan dia sangat tahu itu, maka tak henti dia menggodaiku. Huhu, Bromo, salah satu wishlist wisata saya, tapi belum juga kesampaian. Rute ke sana sepertinya harus dipersiapkan dengan matang karena agak uniknya jalan. Jadi saya tidak terlalu berani nekad untuk ke sana tanpa persiapan. Bromo, tunggu saya untuk menjejakkan kaki suatu saat nanti!
Rizka, itu mahasiswi kedokteran unsoed dan saya dosen unsoed tapi hubungan kami tak pernah seperti dosen dan mahasiswi. Selain saya memang tidak  pernah mengajarnya, kami memang dipertemukan karena kesamaan interest akan eropa, buku, wisata dan filsafat. Beberapa kali kami nongkrong di cafe es krim, atau cafe coklat sambil ngobrol. Baiklah, saya akhirnya memutuskan untuk ke Selecta sesuai rekomendasinya sambil menunggu waktu check-in hotel tiba.
Masalahnya, bagaimana caranya menuju Selecta? #jreng.
Sambil menikmati secangkir kopi pertama pagi itu, saya bertanya pada si mba penjual kopi itu tapi dia menggelengkan kepala tidak tahu. Lalu sambil menunggu pesanan bakso Malang untuk sarapan, saya ke toilet dan nanya-nanya jalur ke Selecta pada si penjaganya.
            “Muter-muter mba kalau pakai kendaraan umum, nyewa mobil saja. “ terangnya. Sambil serta merta memanggil si bapak-bapak setengah baya dengan kaus hitam yang menawarkan jasa anter jemput.
            “ Anter aja atau anter jemput mba? Gampang nyewa mobil mba. Kalau seharian 300an lah. Kalau cuma anter 100 ribu. Jauh soalnya mba,” kata si bapak itu.
Weih, mahal juga. Kalau rombongan mungkin masih ok untuk sewa mobil, tapi kalau cuma berdua sepertinya kemahalan. Setelah berbasa basi dengan si bapak penyewa mobil saya kembali ke kedai untuk menikmati bakso Malang menu sarapan saya. Tapi otak saya masih berpikir, nanya ke siapa yang kira-kira menyebutkan informasi yang membantu.
Nah ada ibu-ibu yang keliatan baik (ahaha sok bisa baca muka orang) yang mau sarapan juga di kedai yang sama. Lalu dengan berbasa basi (aih, saya kebanyakan basa basi), saya nanya cara menuju ke Selecta pada si ibu itu. Eh, ternyata beneran si ibu itu baik.
            “ dari sini ke Terminal Landungsari dulu mba, trus dari situ naik angkot oranye ke arah Mbatu (Batu-red), nah ntar tanya-tanya di terminal angkot yang menuju Selecta,” Jawab si ibu itu.
Ah ah, sepertinya dengan keterangan itu maka Selecta bakal bisa dijangkau. Itung-itung jalan-jalan beneran pakai angkot.
08.30. Angkot A-L menuju Terminal Landungsari.
Cus, kita berangkat menuju angkot-angkot kecil mencari plat A-L (Arjosari-Landungsari). Eits dulu saya kalau mau ke kos saya dulu di Jalan jember no 5 juga naik angkot plat ini. Hiyaaa dan angkot AL membawa saya melintasi rute yang sama, jalan-jalan yang sama, dan kenangan kembali berhamburan. Termasuk saat saya lihat Jalan Jember dan kos saya dari jauh, jalan saya biasa jalan kaki menuju kampus pagi-pagi, Matos (Malang Town Square) tempat saya nge-mall dan makan bersama teman-teman, sementara tempat saya pelatihan dulu sudah pindah ke gedung yang baru. Saya benar-benar menikmati perjalanan menuju Terminal Landungsari walaupun saya belum mandi ahaha. Dengan ongkos Rp. 3500/per orang kami tiba di terminal Landungsari.
Nah dari terminal Landungsari, kami naik angkot berwarna oranye yang ke arah batu. Udara mulai terasa lebih sejuk, semilir anginnya bikin betah dan nuansa hijau-hijaunya sungguh memanjakan mata. Angkot kota Malang ini memang tidak terlalu nyaman, karena kecil, tempat duduknya sempit dan berdempet-dempetan. Hampir sama dengan angkot kota Purwokerto. Tapi memang itulah satu-satunya pilihan transportasi yang ada, kecuali kamu bawa mobil sendiri, naik taksi atau sewa mobil. Selain itu, memang harus sabar sedikit karena kadang lama, berhenti dulu menunggu penumpang penuh. Yaaah, nggak apa-apalah, itung-itung beneran jalan-jalan keliling pakai angkot ehehe,
Nah dengan ongkos Rp 3000/orang kami tiba di terminal batu. Nah, di terminal batu, kamu tinggal memilih jurusan mana sudah ada labelnya masing-masing. Hampir semua wisata kota Malang terkonsentrasi di daerah batu, jadi ada banyak sekali pilihan yang bisa kamu coba.
Nah, kami kemudian menaiki angkot berwarna ungu menuju Selecta. Saya sendiri belum pernah ke Selecta, dulu saat di Malang jarang juga jalan-jalan, lebih sering berwisata kuliner bersama teman-teman. Semakin menanjak, udaranya makin sejuk, hijaunya menentramkan. Saya melihat beberapa penginapan asri di sana, aih sepertinya sangat menyenangkan bila bisa menginap. Saya memang maniak dengan suasana asri, hijau, udara sejuk di dataran tinggi seperti di Batu, di Dieng-Wonosobo, Tawangmangu, ataupun Baturaden-Purwokerto. Betaaaaah pokoknya.
            “ Coba ya, nginep di sini, pagi-pagi di balkon, menghirupi udara segar, sambil minum secangkir kopi atau teh manis hangat. Atau nulis-nulis sambil memandangi perbukitan yang menghijau. Ditemani kamu,” kata hati saya bisik-bisik. Aih, abaikan ahaha.
Nah sampailah kami di Selecta akhirnya. Dengan ongkos Rp 3000/orang saja. Aih kalau dihitung-hitung murah ya, dibandingkan dengan sewa mobil yang 100 rebu tadi itu hihi *ngirit. Sesampainya di gerbang kami membeli tiket seharga Rp. 15.000/orang sambil menitipkan tas-tas kami. Hehe maklumlah kami langsung dari terminal ke sini jadi barang bawaannya cukup berat. Si bapak penjaga yang ramah itupun menyilahkan untuk menitipkan tas kami.
Dan kalian tahu apa yang saya lakukan begitu sampai? Mandi! Ahaha
            “ Ya ampun, jauh-jauh kemari cuma numpang mandi,” ledek Mba rahmi.
Aih, saya cuma ketawa-tawa saja. Badan lengket nggak enak, dan pula ingin ganti baju untuk siap-siap foto-fotoan di Selecta *haish tetep. Hawanya yang sejuk, airnya yang sedingin es sungguh sukses menyejukkan badan sekaligus hati saya. Dan kami bersiap keliling Selecta. Yipieee..
Ah, memang indah tempat ini. Cocok untuk refreshing ala saya. Asal aja ijo-ijo, asri, udara sejuk, dijamin saya susah pulang hehe. Dan selecta menawarkan itu semua. Lihat fotonya cantik bukan?





Kami puas berpose, foto-foto dan melihat-lihat sekeliling dengan bebas karena tidak terlalu banyak pengunjung. Nah, salah satu yang saya hindari saat pergi jalan-jalan justru pada saat hari libur. Saya sering merasa nggak nyaman kalau di tempat wisata terlalu banyak orang dan ramai. Jadi kali ini, pas sekali waktunya, hari jumat dijamin jarang yang ke tempat wisata.
Saya akui penataan dan pengelolaan tempat ini cukup yahud. Ada banyak pilihan wisata, ada taman bunga, ada bungalow lapang pandang yang bisa untuk bersantai, ada restoran atau tempat makan, tempat permainan anak-anak ataupun wisata air. Saya harus bilang tempat ini sungguh reccomended untuk dikunjungi.
Tempatnya masih banyak yang alami, seperti foto saya di depan air mancur kecil ini. Salah satu hobi saya adalah foto-foto dengan latar yang tak biasa dilihat orang. Artinya, orang bisa saja datang ke tempat yang sama, tapi foto saya mengambil lokasi dengan sudut yang tidak biasa *somboooong haha. Nah, untung saja saya jalan bersama Mba Rahmi yang dengan murah hati menjepret jepret saya, yaaah terpuaskanlah hasrat foto-foto saya ehehe.

Sayangnya kalau sudah begitu, saya jadi males belajar fotografi. Karena ternyata masih menikmati jadi objek jepretan daripada subjeknya. Saya dulu beli kamera rasa seriusan niatnya untuk belajar fotografi, karena saya suka travelling. Tapi sampai sekarang belum juga serius belajar mengutak atik kamera Nikon D 5100 saya itu, karena masih menikmati jadi modelnya LOL.
Nah, tibalah kami di taman bunga yang mirip taman bunganya Keukenhof, Belanda *kayaknya sih, soalnya belum sempet kesana ahaha. Begitu mau foto-foto mengambil latar belakang bunga-bunga warna itu, tiba-tiba hujan rinai-rinai turun perlahan. Saya dan hujan rinai rinai memang jodoh. Kami akhirnya berteduh di kursi-kursi sambil memandangi hamparan kebun bunga dan hujan rinai-rinai. Aih, momen yang magis.
Saya paling menyukai hujan rinai-rinai, bulirannya lembut hampir tak terlihat, seperti terbang-terbang menuju hatimu. Suara hujannya nya rintis lirih, tapi gemanya begitu terasa di dada. Udara sejuk, hujan rinai-rinai,dan hamparan bunga. What a perfect combination!
Ternyata hujan rinai-rinai itu betah lama-lama menciumi bunga-bunga itu, sementara perut mulai protes kelaparan, maka kami beranjak menuju tempat makan yang tak jauh dari kebun bunga. Tapi sebelum makan siang, secangkir kopi pastilah pas untuk memadukan suasana. Hummm sebuah jalan-jalan yang begitu menyenangkan, kecuali resahku karena kau menghilang #eh.
Setelah minum kopi, pesanan kami selanjutnya adalah makan siang. Nasi, ayam bakarnya sungguh maknyuusss. Apalagi sambelnya bikin makan lahap hap hap.
Usai makan siang, hujan mulai reda..maka kami menyusuri kebun bunga sehabis hujan dan foto-foto di sana. Sayangnya indahnya pandangan mata ternyata tak bisa tertangkap indahnya sempurna dalam kamera. Jadi kalian harus ke sini sendiri untuk menikmati indahnya.
Termasuk bila ingin berpose jadi sok putri bunga seperti ini  hihi :


Oh ya, di sini juga ada flying fox bila kalian mau berwisata adrenalin. Sayang saat itu, tidak buka jadi kami tak bisa mencoba. Kami melanjutkan jalan-jalan sebelum pulang dengan terus mengarahkan lensa. Seperti pada pemandangan maha indah seperti ini :



Memandangi lukisan alam maha sempurna dari ketinggian, ah cantiknya tiada tara. Rasanya rehat jiwa, sejuklah raga karenanya. Saya selalu terpikat dengan lanskap seperti ini, favorit banget untuk saya.
Setelah puas, saya dan sahabat saya pulang menuju hotel tempat saya menginap. Dan yes! Hotelnya reccomended juga, saya akan cerita di catatan saya selanjutnya. Hari itu ditutup dengan istirahat sebentar dan sholat di guest house. Kemudian selepas maghrib kami menuju Matos dengan becak! Yeiiih mbecak melewati jalan-jalan yang dulu saya lewati membuat hati saya dilanda badai kecil-kecil (ahaha mana ada badai kecil-kecil). Tiba di Matos, saya mencari kado buat Dik Dian (kakaknya Nuning), lalu makan di food courtnya. Dengan menu yang selalu sama saat saya makan di food court Matos dulu. Kwetiew goreng pedas, menunya sama seperti dulu, rasanya juga masih seenak dulu, walau saya kini adalah saya yang berbeda saat menginjakkan kaki lagi di kota ini. Saya mengulang kenang, dan mencipta terus sejarah dalam kekinian. Hidup bagi saya adalah kekayaan masa lalu, keberkahan hari ini dan harapan masa depan. Malamnya, dengan suara lamat-lamat Mikha Angelo yang menyanyikan “What makes you beautiful” di X Factor Indonesia, saya terlelap. Sambil berharap kamu terbawa serta ke dalamnya.

Catatan -Antara Banjarnegara-Kebumen dan Jogyakarta-


Rabu, 17 April 2013

The Woman I Love



Kupandangi dia dari jauh, mengenakan rok motif bunga-bunga warna merah marun, dipadu padan dengan atasan casual namun tak menghilangkan kesan femininnya. Raut mukanya nampak serius membacai buku yang dipegangnya, seperti takut ada yang terlewatkan barang sebarispun. Angin senja menerbangkan pelan ujung-ujung jilbab meran marunnya. Rasanya mataku ingin merekam semuanya pelan-pelan, agar tak satupun adegan yang terlewatkan. Walau bila tengah begitu, aku, lelakinya, seperti tak pernah ada dalam dunianya. Asing.
Dia, perempuanku dan buku di tangannya. Dia sudah terbang kemana-mana, bersama kata-kata, spasi, deksripsi, prosa atau puisi. Sementara aku memandanginya, tak paham dengan itu semua. Dan entah kenapa aku selalu ingin mengusili untuk menyelip memasuki dunia abstraknya. Menjadi pengacau paling mempesona dalam hidupya. Lalu benar saja, raut muka seriusnya itupun akan bersungut-sungut, marahnya padaku yang selalu pura-pura. Aku tergelak, dan dia tersenyum merona, campuran pura-pura marahnya dan bahagia hatinya. 

Maybe I annoy you with my choices
Well, you annoy me sometimes too with your voice
But that ain't enough for me
To move out and move on
I'm just gonna love you like the woman I love

Dia, yang berlari-lari dalam dunianya. Aku kadang tersuruk-suruk mendampinginya. Spontanitasnya yang meledak-ledak seperti bunga api. Nekad dan tidak rapinya membuatku sering menggelengkan kepala. Hidupnya seperti merambah hutan belantara, entah perampok, entah mahaguru yang ditemuinya, tak pernah terduga. Tapi apapun, hanya padaku ia selalu mempercayakan keluh kesahnya. Sedangkan aku, pun berlarian, sering hilang ditelan ritme lariku yang membuat hidupku seperti tanpa jeda. Dan dia lah yang menjadi jedaku, spasiku. Perempuanku.

We don't have to hurry
You can take as long as you want
I'm holdin' steady, My heart's at home
With my hand behind you
I will catch you if you fall
Yeah I'm gonna love you like the woman I love

Dari jauhpun aku bisa mengenalinya. Aromanya vanilla. Sepertinya aroma memang lebih digdaya dibandingkan mata. Kadang angin membawanya serta, memberi sedikit kemurahan pada keangkuhan jarak. Aroma vanillanya kadang tiba-tiba menyeruak seperti hadirnya yang tiba-tiba.
Aku tak perlu menghapal, namun selalu tahu ia selalu meletakkan ikat rambutnya di bawah bantal, lalu dia uring-uringan mencarinya kemana-mana. Dia, yang masih mencuri-curi minum kopi walau aku pernah bilang untuk menguranginya. Dia, yang mengaku-ngaku memakai mantel hujan, namun nyatanya membiarkan hujan kecintaannya itu menciumi tubuhnya. Aku cemburu setengah gila. Dia, perempuanku, dengan segala tingkah menyebalkannya. Tapi hidupku berwarna karenanya.

Sometimes the world can make you feel
You're not welcome anymore
And you beat yourself up
You let yourself get mad, And in those times when you stop lovin'
That woman I adore
You can relax, Because, babe, I got your back
Uh, I got you, Uh, Yeah

Lalu apa yang membuatmu tak nyaman? Yang menyebalkan? Tanyanya suatu kala. I don’t wish to change you, kataku. Cinta mungkin juga tentang hal-hal menyebalkan yang entah mengapa terasa menyenangkan. Tentang kesalahan-kesalahan yang entah mengapa terasa termaafkan. Tentang kesalahpahaman yang selalu bisa diluruskan. Tentang kemarahan yang bisa diredakan.
Genduuuuuut, maafin adek ya, rajuknya suatu ketika. Dan semua baik-baik, saja.

I don't wish to change you, You've got it under control
You wake up each day different
Another reason for me to keep holdin' on
I'm not attached to any way you're showing up
I'm just gonna love you like the woman I love
Oh, Yeah I'm gonna love you
'Cause you're the woman I love

Lalu kupandangi dia kini, dengan bilah-bilah uban yang semakin banyak menghiasi rambut panjang hitam legamnya. Dulu, dia selalu memintaku mencabuti ubannya saat muda. Tapi bersama kami belajar sedikit-sedikit mengenai aturanNya.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا تنتفوا الشيب فإنه نور يوم القيامة ومن شاب شيبة في الإسلام كتب له بها حسنة وحط عنه بها خطيئة ورفع له بها درجة

Janganlah mencabut uban karena uban adalah cahaya pada hari kiamat nanti. Siapa saja yang beruban dalam Islam walaupun sehelai, maka dengan uban itu akan dicatat baginya satu kebaikan, dengan uban itu akan dihapuskan satu kesalahan, juga dengannya akan ditinggikan satu derajat.” 

Perempuanku, engkau tetap mempesona dengan uban-ubanmu, dengan pipimu yang kini tak sebakpia dulu.
Dia, masih tekun membacai buku-buku di rak buku rumah kami yang hampir kekurangan tempat. Dia, yang masih saja tenggelam dalam dunianya,  di antara kata-kata, prosa, dan puisi yang ditulisnya. Tapi dia masih saja duniaku. Perempuanku. 


Inspired by “The Woman I Love” Jason Mraz. *kapan saya dinyanyiin lagu ini? #eh

Ndalem Pogung kala senja, dan gerimis rintis di luar jendela. 17 Apr 2013. 17.30. 

Selasa, 16 April 2013

Kuantar Kau ke Gerbang




Kuantar Kau ke Gerbang
Seperti kau// burung yang hendak terbang, mengawang, menuju terang
Kuantar Kau ke Gerbang
Seperti kau// prajurit yang hendak berlaga ke medan perang
Kuantar Kau ke Gerbang
Menitipimu bekal, sayap dan pedang
Karena perjuangan masih panjang
Kuantar kau ke gerbang
Dari gelap menuju benderang
Kuantar kau ke gerbang,
Berjuanglah, bertarunglah, bermainlah, belajar hiduplah dengan riang
Kuantar kau ke gerbang
Dengan lapang


Mengambil judul yang sama dengan buku : Kuantar Kau ke Gerbang (Ramadhan KH).
Ndalem Pogung, 16 April 2013. 0.58 am

Senin, 15 April 2013

Tips Mencari Akomodasi (How to Survive in UK-1)



Tulisan ini saya buat karena entah kali keberapa calon student yang akan melanjutkan studinya menanyakan pada saya by email, message facebook ataupun komen di blog tentang persiapan untuk hidup di Glasgow atau kota-kota lain di UK. Yah, sebagai koordinator mahasiswa University of Glasgow (UoG) mungkin saatnya saya harus menjalankan salah satu peran saya untuk memberikan info secara lebih sistematis dalam bentuk tulisan utuh. Selama ini saya hanya menjawab secara pribadi pertanyaan-pertanyaan tersebut, mungkin lebih enak bila suatu saat saya bisa menunjukkan link blog saya untuk bisa dibaca *pemalas yaa hihii ;p
Bagi teman-teman yang belum pernah tinggal di luar negeri, ataupun pernah tapi harus tinggal di negara baru, pastilah tetap membutuhkan informasi untuk bisa mempersiapkan diri dengan baik. Saya akan share beberapa info mendasar yang biasanya dibutuhkan oleh mahasiswa baru yang akan melanjutkan studi di UK
Nah, pertama adalah tentang...Akomodasi atau tempat tinggal!
Urusan pertama yang akan dipikirkan dan paling krusial dalam tentang tempat tinggal. Nggak mungkin dong nggak mikir soal tempat bernaung di negeri antah berantah, dan nggak etis juga untuk numpang kelamaan di flat anak indo yang sudah tinggal di kota yang akan kamu tempai terlalu lama. Pertama yang mungkin kamu lakukan untuk dapat info soal tempat tinggal yakni bergabung dengan PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) di kota yang akan kamu tempati. Misalnya saja di Glasgow, ada PPI Glasgow yang biasanya saling berbagi info baik soal akademis, soal acara-acara budaya ataupun olahraga ataupun soal cari flat, barang-barang kebutuhan mahasiswa, pengajian ataupun sekedar silaturahmi. Dengan kontak ini, kamu bisa nanya-nanya mungkin ada flat kosong pada saat periode studimu akan mulai. Memang lebih gampang untuk menggantikan posisi orang yang sudah kita kenal sebelumnya dibanding mencari flat ke agen dari awal. 
Selain itu, kamu bisa mencari lewat agen-agen residential. Setiap kota pasti ada banyak agen-agen penyewaan flat. Namun biasanya memang tetap saja dimanapun urusan prosedur dan administrasi merupakan hal yang sedikit merepotkan namun tetap harus diselesaikan. Misalnya saja untuk flatku dikelola oleh agen KPM residential, dengan biaya pengurusan awal sebesar 120 GBP. Kemudian biasanya juga ada uang deposit yang harus disetor dulu (sayangnya saya lupa jumlahnya, tapi lumayan mahal juga per flatnya). Deposit fee itu bertujuan sebagai uang jaminan bila kita kabur, eh maksudnya kalau ada kerusakan-kerusakan di fasilitas flat tersebut. Di akhir masa sewa, uang deposit itu akan dikembalikan kok, tapi katanya kalau ada kerusakan akibat pemakaian, uang deposit tersebut akan dikurangi.
Selain lewat agen, bisa juga seacrhing lewat website yang menawarkan untuk share room. Biasanya orang nggak akan menempati flat sendirian, jadi akan membutuhkan orang untuh share  tinggal di flat tersebut. Oh ya, biasanya flat terdiri dua 2 bedroom, 1 kitchen, dan 1 bathroom. Info ini berdasarkan pengalaman saya di Glasgow ya, mungkin beda kota akan beda juga bentuk flatnya. Nah, karena inilah biasanya orang akan nyari flatmate. Misalnya saja di Glasgow, ada website seperti www.gumtree.com, kalian bisa melihat-lihat iklannya disini, ada gambarnya, deskripsinya, waktu availability-nya. Dulu saya juga pasang iklan kamar flat saya di web ini, untuk disewakan selama saya di Indo, kan lumayan nggak usah bayar sewa selama saya pergi. Untuk kota-kota lainnya, tinggal googling saja pasti info-infonya banyak untuk ditelusur. Ini nih tampilannya gumtree :


Bagaimana dengan biayanya? Nah pasti ini menjadi pertimbangan. Biasanya letak flat menentukan harganya. Semakin dekat dengan area kampus, harganya relatif sedikit lebih mahal. Misalnya saja flat saya hanya 5 menit saja dari Main Building, sewa flat 1 bulannya 750 GBP. Karena saya berbagi dengan 2 flatmate saya lain, maka untuk sewa sebulan 750 GBP dibagi bertiga, disesuaikan dengan luas kamar karena memang tidak sama. Bila mau lebih murah, bisa mencari yang agak jauh dari kampus. Namun mungkin perlu dipertimbangkan tentang tambahan biaya transportasi menuju kampus, sedangkan bila flat dekat kampus bisa jalan kaki saja. Tentu saja ada plus minusnya masing-masing. 

Atau bisa juga yang mau memanfaatkan tinggal di akomodasi kampus, yang dikelola langsung oleh kampus. Misalnya untuk UoG juga menyediakan akomodasi kampus untuk mahasiswa-mahasiswanya terutama untuk International Student. Infonya bisa dilihat di http://www.gla.ac.uk/services/residentialservices/



Menurut pandangan saya, harganya relatif sedikit lebih mahal, luasnya standar, fasilitasnya cukup untuk hidup awal student baru., dan biasanya harus share kitchen dan bathroom dengan banyak orang. Tergantung level-levelnya juga sih, kalau ambil yang lebih mahal tentu saja fasiltasnya lebih bagus. Tinggal pilihanmu sendiri mau tinggal di flat atau di akomodasi kampus. Monggo kerso.
Oh ya, ada flat yang biayanya sudah include bil gas, listrik ada yang belum. Telitilah sebelum memutuskan untuk menyewa, apakah include atau exclude gas, listrik dll.
Oke, kali ini mungkin cukup dulu ya share-nya..sudah ngantuk, mata sudah semakin menyipit. Posting lain waktu, saya akan coba share hal-hal lainnya.
Semoga bermanfaat

Ndalem Pogung, Jogya. 14 April 2013. 2.52 am. 




Minggu, 07 April 2013

Mencinta atau Dicinta?


            
         “Ibuku, bila harus memilih mencinta atau dicinta, engkau memilih yang mana?” pertanyaan ini seingatku bukan hanya sekali ditanyakan anakku itu. Dia sepertinya tengah dilanda bimbang. Kadang bila ia tengah bimbang, ia mengetuk pintu pembicaraan kami berdua. Jawaban saya masih sama seperti jawaban yang saya lontarkan beberapa bulan lalu, saat dulu ia menanyakan pertanyaan itu pada saya ditemani secangkir kopi lumbung vanilla. Saya pernah mencinta, pernah dicinta, pun pernah mencinta dan dicinta. Kali ini, singkirkan dulu “mencinta dan dicinta”, siapapun pasti setuju begitulah kondisi ideal yang diharapkan setiap manusia. Namun kadang manusia dihadapkan pada pilihan yang mungkin tak diinginkannya.
            Tapi mencinta kadang lebih menyakitkan, bu” ungkap anakku. Tentu saja saya setuju. Mencinta mempunyai risiko untuk terpapar pada hal-hal yang menyakitkan lebih banyak daripada posisi “dicinta”.  Tapi bukankah hidup adalah tentang pilihan yang kita ambil? Dan jangan lupa risiko-risiko yang runtut mengikut di belakangnya. Sebenarnya bukan masalah mencinta atau dicinta yang lebih baik, paling benar. Ini soal kemantapan hatimu untuk memilih. Setiap orang dengan sejarahnya sendiri mempunyai seribu alasan untuk memilih mencinta atau dicinta. Sama benarnya.

            Tapi apa untungnya buat aku, mba? Untuk apa aku harus selalu ada buat dia? Sedang gampang aja dia lupain aku kalau dia lagi nggak butuh, ” kali ini seorang sahabat yang tengah dalam dilema yang sama. Tuhan sepertinya  banyak sedang memberikan soal-soal yang sama pada hambaNya.
Sedangkan seorang sahabat dekat saya lainnya pun tengah menjalani proses penyembuhan. Mencinta ternyata pada suatu titik menjadi terlalu menyakitkan untuknya. Bila harapnya tidak linear dengan nyata. Manusia dan belajar menerima nampaknya membuka banyak laku-laku pembelajaran yang tidak mudah. Dan dia memutuskan untuk “menghilang”. Memutuskan tali-tali, lalu bersembunyi dan menyembuhkan diri. Mungkin waktu sedang menawarkan mantra ajaib penyembuh untuknya, semoga. Itu pilihnya, siapa yang bisa memaksa?
            Hidupku kini tak berasa. Biarlah saja aku hidup untuk membahagiakan orang-orang terdekatku. Orang tua, saudara, keponakan-keponakannya, itu cukup” ujarnya saat dia kadang  keluar dari “gua persembunyian”nya untuk kadang berbicara denganku.
Tak apa, jalani saja. Bahkan saat terakhir kali dia berkata,
            Aku belum sanggup menghadapinya”.
Jalani saja, berjalanlah sampai suatu saat engkau ada dalam satu titik mengerti bahwa kunci mencintai dan membahagiakan orang lain yakni mencintai dan membahagiakan diri kita sendiri. Bila kita masih tergantung pada orang lain untuk menjadi subjek sumber energi yang membahagiakan kita, sedikit berhati-hatilah.
Ada sebuah dialog singkat yang saya temukan di tulisan Paulo Coelho. (Hehe bosan ya, PC lagiiii...lah bagaimana, saya kalau baca tulisannya, kok pas aja nemu jawaban). Seperti sebuah kisah analogi yang begitu jeniusnya dia tuangkan.
Ada setangkai bunga mawar mengharapkan datangnya kumbang untuk menemaninya. Dia menunggu dan terus menunggu. Lalu matahari bertanya :
            “ Apakah kamu lelah menunggu?”
Lalu si bunga mawar menjawab :
            iyah” kata si bunga mawar perlahan.
            Tapi bila bila aku menutup kelopakku, aku akan layu dan mati
Anakku, saya mencintai orang yang saya cintai karena saya mencintai diri saya sendiri. Kadang apa yang paling menyesakkan dalam perjalanannya bukanlah orang yang kita cinta tidak membalas, atau bertindak tidak sesuai dengan harap kita. Tapi menurut saya, yang paling menyesakkan yakni saat kita sendiri mau menjalani ataupun diperlakukan dalam kondisi yang sebenarnya bukan refleksi bahwa kita mencintai diri kita sendiri. Tapi sekali lagi, hidup adalah tentang pilihan. Dalam banyak hal, cinta adalah urusan saya dan diri saya sendiri. Bila saya sudah merasa selesai dan penuh dengan diri saya, saya akan lebih terfokus untuk membebaskan diri mencintai orang lain dengan penuh.
Sahabatku, bila kau tanya apa untungnya untuk selalu ada untuk orang yang kita cinta? entahlah, saya bodoh tentang matematika, apalagi bila harus menghitung untung rugi. Bagi saya, saya melakukan itu untuk saya sendiri. Saya mencinta, artinya saya ingin mengada. Ada, selalu ada. Terkadang, hal itu adalah urusan standar kualitas cinta yang saya tetapkan. Bila suatu titik tindakan mengada itu menjadi bumerang yang kadang terlalu sakit, kau tahu bagaimana cara menyembuhkan dirimu sendiri. Cukup mengada dalam doa. Satu hal yang saya selalu percayai yakni Tuhan selalu luar biasa.
            “Jawaban saya masih sama, mencinta,” jawab saya pada anakku itu. Bukan berarti jawaban saya tak akan berubah. Dunia dan hidup begitu cair, karena perubahan adalah kepastian itu sendiri. Sedetik kemudian, seminggu, setahun, sepuluh tahun ke depan, semuanya bisa berubah.  Mengalirlah, jalanilah, beranilah. Bukanlah hidup yang sesungguhnya adalah hidup di detik ini?

Salam cinta untuk anakku, dan sahabat-sahabatku. Cintailah dirimu sendiri, dengan begitu engkau bisa penuh mencintai orang-orang yang kalian cintai. *lagi sok waras ;p

Salam cinta dari saya.

6 April 2013. 2.21 am.

Kamis, 04 April 2013

The Change In Me


            “Kamu banyak berubah,” ujar sahabat saya. Saya dan sahabat saya ini hampir 6 tahun lebih tidak bersua. Bila kita bersama seseorang terus dan melaju bersama perubahan-perubahannya setiap hari, mungkin laju perubahan kadang tak disadari. Namun orang yang lama tak selintasan lagi dengan hidup kita, lalu kemudian bersua lagi, mungkin lebih bisa menilik sebuah perubahan. Akhir-akhir ini saya memikirkan perkataannya tersebut. Saya banyak berubah? Untungnya saya sadar kalau saya berubah ehehe. Lah kalau enggak sadar kan bahaya#jreng.
Dulu dia tak kan pernah bisa menemukan penampilan saya dengan rok bunga-bunga, sepatu perempuan flat, tas bertali dan pilihan-pilihan warna seperti oranye, merah marun, kuning seperti foto di atas. Kemana larinya celana jeans belel, kaus casual atau kemeja, dan tas punggung serta sepatu kets? Ahaha..Tenang, saya masih tetap memakai atribut tersebut, kadang-kadang. Namun tetap feminin kok #plak. 
Saya sendiri tidak begitu sadar semenjak kapan saya suka berpenampilan feminin dan sangat perempuan. Sebenarnya sadar, tapi tidak ingin membuat seseorang yang pasti kadang diam-diam membacai blog ini menjadi besar kepala # hehe ambil tisue tutup muka sambil malu-malu.
See...saya tidak akan menulis dengan gaya bicara seperti ini sebelum-sebelumnya.#hadooh!
Perubahan pertama, penampilan saya yang lebih perempuan. Entah mengapa saya sekarang menjadi suka memakai rok, dengan pilihan warna cerah, baju berlipit atau berenda. Plus sudah bisa make-up lumayanlah, cukup untuk modal ngursusin singkat sahabat-sahabat bala kurawa saya yang dari dulu sama-sama nggak terlalu perempuan. Mungkin kini sisi “perempuan” saya berhasil diaktifkan hihi. Semenjak lama saya lebih cenderung tampil maskulin, bukan hanya penampilan saja dalam pribadi saya juga maskulin. Sebagai anak pertama, dituntut harus mandiri, urat manja sudah putus lama, tomboy dan pas kecil hobi berkelahi dengan laki-laki. Sedangkan kini, sepertinya ibu saya tidak salah melahirkan anak perempuan, karena sekarang benar-benar terlihat seperti perempuan. #apa sih. Duh ibu saya sepertinya menanti cukup lama untuk yakin anaknya benar-benar anak perempuan ehehe.
Perubahan kedua saya yakni bagaimana cara saya berinteraksi dengan orang lain. Saya masih ingat sebuah perbincangan saya dulu saat masih kuliah S1 dengan teman-teman.
            “ Apa ya, pekerjaan yang nggak usah banyak ketemu sama orang?” tanya saya.
            “ Jadi pegawai perpus aja. Kamu kan suka buku tuh, trus nggak banyak ketemu banyak orang. Cocok deh pasti,” sahut teman saya dulu,
Saya dulu memang tidak terlalu suka berinteraksi dengan orang lain. Sulit membangun komunikasi, menyampaikan ide, kaku, garing kecuali dengan orang-orang tertentu yang masih sudah biasa kontak dengan saya, misalnya sahabat-sahabat inner circle saya.
            “ kamu sekarang enggak jutek lagi. banyak senyum, ketawa. Lucu. “ saya ingat komentar sahabat yang baru ketemu saya lagi itu.
Saya sadar saya banyak sekali berubah dalam cara saya berinteraksi dengan orang lain. Sekarang saya senang berinteraksi dengan orang lain. Orang lain berarti sesuatu yang baru, cerita baru, pengalaman baru, pembelajaran baru. Saya berubah menjadi seorang “people observer” yang suka mengamati dan berinteraksi dengan orang. Saya juga terasa lebih nyaman untuk berkomunikasi dengan mereka semua. Saya banyak belajar dari orang lain. Perubahan-perubahan saya sedikit banyak bersumber dari picuan hasil berinteraksi dengan orang lain. Orang-orang yang beraneka ragam sifat, pemikiran, gaya hidup ataupun sisi spiritualitasnya. Saya merasa jauh merasa lebih “hidup” dengan berinteraksi dengan orang-orang.
Dan lucunya, sekarang saya seperti “keranjang sampah” yang orang-orang sepertinya gampang sekali untuk bercerita/curhat pada saya. Dan tanpa sadar saya belajar hidup dari cerita-cerita mereka semua. I’m so grateful for that.
Selain itu pemikiran-pemikiran saya tentang hidup juga berubah, humm bertumbuh lebih tepatnya. Nampaknya gen “sok filosofis” memang mendarah daging dalam diri saya. Dan kini makin menggila ahaha. Ada banyak perubahan lain dalam diri saya, dan saya menyadarinya. Tapi mungkin ada perubahan-perubahan lain yang tak saya sadari.
Trus apa yang memicu perubahan saya? Iya, memicu. Bukankah menurut saya tidak ada yang sanggup mengubah seseorang kecuali  diri orang itu sendiri? 
Hummm..bila ditelaah, tonggak perubahan saya mulai saat saya berhasil mewujudkan impian saya yang pertama. Dunia memperlihatkan pada saya banyak kejutan-kejutan yang membuat “otot hidup” saya semakin melentur. Ada banyak kejadian yang bagi saya masuk dalam kategori “luar biasa” yang otomatis mengubah saya. Bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang yang “berbeda” membuat syaraf-syaraf otak saya mengembang. Saya merasa setelah saat itu, saya mulai agak berubah.
Lalu, selain kejadian-kejadian luar biasa dalam hidup, perubahan saya juga dipicu buku-buku yang saya baca. Berapa lama orang hidup bila harus hanya belajar dari pengalaman dan pengetahuannya sendiri? Buku-buku yang saya baca mengajarkan saya banyak hal. Buku-buku itu ada di sepanjang perjalanan pertumbuhan diri saya.


Kemudian, perubahan itu juga semenjak saya bertemu orang yang sanggup memicu sifat-sifat saya yang selama ini ter-nonaktifkan. Kamu #uhuk..barangkali ;p
Saya menemukan apa yang tidak ada pada saya, ada padamu. Ada transformasi bawah sadar yang pelan-pelan membawa laju saya untuk semakin bertumbuh. Saya yang dulu hanya mempunyai percaya diri yang minim, dan saya temukan itu padamu, walau kadang berlebih #glek!
Dan kini saya curi (biar keliatan usaha) ilmu itu sedikit demi sedikit. Ada beberapa kemajuan bila saya jujur merefleksikan pertumbuhan saya. Kadang seseorang hanya perlu diyakinkan untuk bisa melakukan sesuatu, dan bagi saya itu kamu. Perlu upaya membangun percaya diri yang luar biasa bagi saya yang tak biasa berbicara di depan publik, di panggung, menjadi pembicara di acara dengan peserta yang cukup banyak. Sejarah hidup saya sedikit sekali mengajarkan itu. Tapi saya mau nekad mencobanya, dan ternyata saya bisa.
            “ Maju. Bukan hanya melangkah. Melangkah itu bisa saja mundur. Maju” katamu waktu itu. Trus kenapa pula saya mau-mau saja? Ahaaha #garuk-garuk
Pun saat saya  mantap untuk memilih dunia kepenulisan sebagai dunia saya, bukan lagi sebagai hobi. Dulu dengan tameng alasan sebagai hobi, menjadikan saya kurang berani berkarya, kadang malas karena sudah terbunuh rutinitas pekerjaan. Saya belum cukup mempunyai keyakinan untuk mengambil langkah.
Tapi, lihatlah tahun-tahun belakangan ini. Saya kini yakin untuk menghidupi dan berjalan di dunia kepenulisan saya. Saya penulis, dan untuk itu saya harus buktikan dengan karya-karya saya. Passion without creation is NOTHING!
Saya berani akhirnya menerbitkan buku walau baru self publishing, berani bicara dalam launching, menjadi pembedah buku. Kemudian menerbitkan beberapa antologi setelahnya. Saya merasakan pertumbuhan dalam kepenulisan saya. Kamu, membuat saya tidak pernah takut lagi bermimpi #ayayay gedubraks!
Kebersamaan dengan seseorang mampu membuat kita semakin bertumbuh. Karena kita berbagi hidup, bukan hanya berbagi keseharian dan rutinitas. 
Tidakkah semakin hari semakin kau lihat, dirimu ada dalam diriku? Kau kini bisa melihat jejak-jejak dirimu ada padaku.
You’ve downloaded in me. Malam ini saya memeluk diri saya sendiri
Bau kamu !



Sejenis tulisan gombal ahaha. Ndalem Pogung, Jogya. 4 April 2013. 0.14 am




Selasa, 02 April 2013

Bahagiaku




Iseng sebenarnya saya menjelajahi lagi folder-folder foto saya beberapa tahun lalu. Terkadang gambar bisa menceritakan peristiwa dengan begitu pintarnya. Sekaligus kenangan terbawa serta. Saya bukan sedang ingin ber-mellow ria mengenang masa lalu. Saya tak sengaja menemukan video lama yang terselip di antara folder foto-foto tersebut. Saat saya putar video tersebut, mata saya terbelalak, seakan baru kali pertama melihat video tersebut.
Siapa perempuan itu? Dengan muka polos, berkerudung sederhana berwarna merah bata, malu-malu, pipi semerah dadu? Sayakah?
Saya hampir tak bisa mempercayai diri saya sendiri. Perempuan polos itu, saya. Benar-benar saya. Tapi ada satu hal yang tak bisa disembunyikan. Saya tidak bisa mengelabui siapapun bahwa mata saya hampir tak sanggup lagi menampung kebahagiaan. Binar itu, sinar itu, berkali-kali saya putar ulang video itu. Memastikan bahwa saya pernah sebahagia itu.

Beberapa jenis kebahagiaan tak bisa diulang, hanya bisa dikenang (Fadh Djibran)

Gambar yang bergerak ternyata membuat kita tak bisa menyembunyikan apapun. Mimik muka, kegugupan, pipi merona, celotehan, langkah kaki, ataupun tingkah malu-malu. Sebuah foto terkadang hanya sebuah gambar mati yang bercerita saat kamera ditekan tombol klik. Mungkin kadang dengan senyum yang dipaksakan, atau memang senyum yang benar-benar senyuman. Tapi gambar hidup ternyata mampu bercerita lebih banyak.
Dan kali ini bercerita tentang kebahagiaan.
Kadang bahagia dalam hidup bisa berupa penaklukan-penaklukan, bahwa apa yang kita inginkan akhirnya ada dalam genggaman. Kadang bisa anugerah berupa hal-hal indah yang terjadi dalam hidup. Atau kadang bahagia bisa berupa kebersamaan dengan orang-orang tercinta.
Atau pula, bahagia bisa sesederhana kesyukuran kita masih diberi sehat dan hidup yang baik. Menghirupi udara segar, menikmati rinai hujan, masih bisa menikmati sinar matahari, atau hal-hal yang kita anggap biasa, namun sebenarnya penuh hal yang perlu kita syukuri.
Tapi jenis bahagia yang saya tangkap dalam video beberapa menit itu membuat saya tersenyum. Saya seharusnya teramat bersyukur diberi anugerah berupa kebahagiaan seperti itu. Sederhana. Tuhan selalu maha baik.  Dia pernah menganugerahi saya kebahagiaan semanis itu. Kebahagiaan yang bukan penaklukan, bukan kemenangan, bukan sesuatu yang jatuh bangun untuk saya dapatkan. Tapi sejenis bahagia yang mengada. Mengada begitu saja. Tanpa perlu saya tarik, tanpa perlu pura-pura, atau reka-reka. Sejenis bahagia yang begitu sederhana. Ia hanya membuncahi hati saya dengan kebahagiaan yang terpancar dari mata saya. Bahagia ada, hanya cukup dengan menjadi diri saya sendiri. Dengan cinta yang mengada di hati saya. Bahagia. Saya benar-benar bahagia.

Yang menjadikan bahagiaku, belum tentu juga menjadikan bahagia bagimu, atau bagi kalian. Begitupun pula sebaliknya. To feel happiness, there’s no universal recipe. Define our own happiness.

3 Maret 2013.
Tulisan bulan lalu, dan karena beberapa alasan baru “bisa” saya posting.  Selamat berbahagia semuanya. Tuhan berkati kita semua dalam cinta dan kasihNya yang selalu berlebih.

Senin, 01 April 2013

Solitude is not the absence of love



Pagi ini membuka kicauan di linimasa twitter dan menemukan link dari Paulo Coelho, penulis dan pemikir favorit saya yang berjudul “Solitude is not the absence of love”. Saya baca dan sangat mengena. 
Sesuai dengan postingan saya sebelumnya tentang jeda di .http://www.marsdreams.blogspot.com/2013/03/memberi-spasi-mengada-jeda.html
Tulisannya PC cerdas sekali mengungkapkan tentang jeda, dan kepenuhan diri yang bermakna. Kali ini saya ingin mengutip tulisannya di sini, untuk bisa kalian bacai. Semoga bermanfaat !
Selamat merayakan hidup penuh makna :

Solitude is not the absence of Love

Without solitude, Love will not stay long by your side.

Because Love needs to rest as well, so that it can journey through the heavens and reveal itself in other forms.

Without solitude, no plant or animal can survive, no soil can remain productive for any length of time, no child can learn about life, no artist can create, no work can grow and be transformed.

Solitude is not the absence of Love, but its complement.
 Solitude is not the absence of company, but the moment when our soul is free to speak to us and help us decide what to do with our life.

Therefore, blessed are those who do not fear solitude, who are not afraid of their own company, who are not always desperately looking for something to do, something to amuse themselves with, something to judge.

If you are never alone, you cannot know yourself.
 And if you do not know yourself, you will begin to fear the void.

But the void does not exist. A vast world lies hidden in our soul, waiting to be discovered. There it is, with all its strength intact, but it is so new and so powerful that we are afraid to acknowledge its existence.

Just as Love is the divine condition, so solitude is the human condition. And for those who understand the miracle of life, those two states peacefully coexist.
 
 
taken from MANUSCRIPT FOUND IN ACCRA
by Paulo Coelho on March 29, 2013

The Last Battle




Pandangannya menelitik ke arahku. Meneliti perubahan-perubahan yang terjadi padaku setelah lama kami tak bertemu. Mas Dias kemudian tersenyum.
            “You’ve changed a lot, El. Perempuan sekali kau sekarang,” katanya sambil terus mengamatiku. Aku yang datang menemuinya dengan rok lebar berwarna merah pastel yang lembut, dipadu dengan atasan berenda dengan jilbab senada. Musim semi tengah mengakrabi Birmingham, coat tebal mulai sering ditanggalkan.
Aku tersenyum. Sambil juga mengamati raut mukanya yang terakhir kali kutemui dua tahun lalu,  saat kami terlibat bersama-sama dalam sebuah pendirian sekolah Alam di daerah pinggiran kota Bandung. Tak banyak berubah, selain tubuhnya yang lebih tegap dan jambang yang mulai menumbuhi janggutnya.
            “ Yeah, dunia terus berubah. Juga kadar hormon estrogenku. “ kilahku. Kami berdua sudah terbiasa dengan perbincangan ala kosakata kami sendiri. Dan secara otomatis kami berdua saling paham apa yang hendak disampaikan.
            “ Cantik sekali, El,” jarang dia memujiku seterus terang itu. Aku kembali tersenyum, dan aku melihatnya memandangi mataku. Entah bermakna apa.
            “ He changed you a lot, right?” Tanyanya kemudian, kemudian tangannya memainkan tali kamera Sony Nex 7 yang super seksi itu. Mas Dias mulai terlihat tidak nyaman dengan mengalihkan perhatian dengan bermain-main dengan kameranya itu, sepertinya dia tak suka dengan pertanyaan yang baru saja ia lontarkan.
            “ Siapa sih manusia yang begitu powerfulnya bisa mengubah seseorang, Mas? Enggaklah. Dia nggak merubahku. Aku yang berubah, ya mungkin setelah bersamanya. Semacam triger, pemicu barangkali. Oh ya, katanya kau sudah bertunangan Mas, congrats ya. Siapa nih  perempuan yang beruntung itu?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Dia berhenti memainkan tali kamera kesayangannya itu setelah mendengar pertanyaanku. Lalu matanya mencari mataku lagi.
            “Mungkin kamu kali ini bersedia menjadi perempuan yang beruntung itu, El?” tanyanya dengan matanya yang lurus-lurus memandangku. Aku agak merasa jengah dibuatnya.
            “ Come on Mas Dias, I knew you. Kamu nggak akan segila itu, ehehe” candaku mencoba mencairkan suasana. Lalu kemudian kami tertawa bersama, namun ada garis pias yang tertangkap di wajahnya. Lalu dia buru-buru menyesap kopi yang dipesannya.
Pertemuan tadi malam di Cafe Amore, sebuah sudut kota Birmingham itu berlanjut dengan ngobrol seperti reunian dua sahabat yang lama tak bertemu. Dua sahabat? Tidak bisa murni dibilang sahabat. Semenjak Mas Dias menyatakan ingin membangun sebuah hubungan serius denganku sekitar dua tahun lalu. Tapi dulu aku menjawabnya, menjadi sahabat nampaknya lebih menyehatkan bagi kami.
            “ Mas, aku merasa lebih nyaman jadi sahabat aja. Kita terlalu mirip. Laju kita nanti akan sangat terprediksi. Kita butuh ruang, dan butuh orang yang menantangi kita untuk terus bertumbuh, bukan?” jawabku kala itu. Sebenarnya hal itu untuk menambahkan alasan bahwa aku memang tidak mengalami loncatan-loncatan reaksi kimia apapun bila bersama Mas Dias.
Dan kedatangan Mas Dias ke Birmingham selama dua hari ini dengan alasan mampir dari konferensinya di London, untuk menanyakan kembali untuk terakhir kalinya kesediaanku mendampinginya. Dan itu dilakukannya setelah dia sudah memutuskan bertunangan dengan Arina, teman sekantornya di LSM tempat kerjanya di Jakarta. Kenapa laki-laki seperti Mas Dias bisa mengambil langkah segila itu?
            “ El, this is my last battle, my last chance. Kau tidak tau selama ini aku selalu terus mengikuti lajumu? I knew everything’bout you. Termasuk keputusan konyolmu untuk bertahan dengan lelaki yang nggak pasti itu.” Kali ini Mas Dias memaksa kembali bertemu di sela-sela jadwal makan siangku. Sudah setahun ini aku bekerja sebagai auditor di KPMG cabang Birmingham, dan hidupku baik-baik saja. Aku hanya kontak dengan Mas Dias beberapa kali saja via skype. Mungkin dia stalking membacai blogku, kicauanku di twitter atau racauanku di facebook. Jejaring dan media sosial membuat dunia begitu sempit.
            “Elia, you don’t have much time anymore. Kamu bukan lagi perempuan yang banyak waktu lagi untuk memilih. Kita masih bisa sama-sama, so would you?” Nada dalam perkataan Mas Dias kali ini terdengar lebih menyudutkanku.
Aku memandangi raut mukanya lagi. Aku sangat mengenali laki-laki yang ada di hadapanku ini. Kami lama bersama-sama, bertumbuh bersama, tapi itu bukan cinta. Bila otak logikaku yang banyak bicara, atau rayuan teman-reman untuk menerima saja lamarannya, pastilah sudah semenjak dulu kami bersama. Tapi mengapa ia tak juga mengerti, hingga harus terbang sebegini jauhnya, untuk menanyakan kembali pertanyaan yang sama kepadaku.
            “ Mas, aku hidup sampai hari ini artinya waktu masih memberi kesempatan padaku. Maukah kau kupilih karena aku merasa sudah tak punya banyak waktu lagi? “ aku ingin memberinya jeda dengan kalimat yang kuucapkan perlahan.
            “ Kita bisa hidup bersama dengan baik, aku percaya itu. Tapi aku ingin berbagi hidup mas, bukan hanya berbagi rutinitas dan keseharian. Kamu lihat aku sekarang Mas? Bila kau bilang kau mengikuti laju hidupku selama ini, kau pasti tahu bagaimana pertumbuhanku sampai sekarang. Bukan kamu nggak cukup baik untuk aku, Mas. Cuma kita butuh seseorang yang mampu mengimbangi dan memacu laju kita masing-masing. Dan kita bukan seseorang yang pas satu sama lainnya,” jawabku. Semoga ia paham maksudku.
            “ Jadi benar, dia si lelaki secangkir teh hangat manis itu? Kamu masih tetap mau lelaki biasa aja yang bisa kamu ajak ngobrol sampai lupa waktu sambil minum teh manis hangat?” kali ini entah mengapa ketegangan di raut mukanya mencair.
Aku tergelak, lalu tersenyum. Aku mengangguk kecil.
            “ Ngobrol itu maksudnya “berbagi hidup” tapi tetap menikmati rutinitas hidup seperti halnya minum teh hangat manis. Sok filosofis ya aku,” ungkapku.
            “That’s you, El. That’s makes you different. Well, trus kamu begini mau sampai kapan? Ini seperti bukan kamu yang pakai logika dalam mengambil keputusan.” Telisiknya, sambil mencari-cari jawab pada mataku.
            “ You did your last battle. Aku juga ingin begitu, Mas. I will do my last battle. Biarkan aku memutuskan kali ini berdasarkan...semacam firasat.. pertanda barangkali.” Jawabku, sambil ragu memilih kata-kata yang tepat.
            “ Kamu gila El, gimana ntar kalau firasat atau pertanda kamu itu ternyata salah?” sergahnya. Tangan kanannya memperbaiki letak kaca mata minusnya.
            “ Ya terima kenyataan kalau aku salah lah, Mas. Bukankah hidup juga tentang belajar menerima? “ jawabku singkat. Sebenarnya kalimat itu juga menjawab keraguan pada hatiku sendiri. Mas Dias tersenyum padaku. Dia sedang belajar hal yang sama pada detik terakhir setelah kalimatku terucap. ***

Flash Fiction—
Ndalem Pogung, Jogya 1 April 2013. 1.34. am. Ampun deh ini kepala kalau udah mau nulis, enggak mau tidur kalau belum kelar jugaaa...baiklah, saatnya zzzz.