Senin, 15 Juli 2013

Ngabuburit ke Kampus Utama UoG




Bulan ramadan sudah menginjak beberapa hari terlewati. Nah berhubung menanti waktu berbuka memerlukan kesabaran yang berlebih, maka marilah saya ajak jalan-jalan ke kampus utama saya yang cantik itu. Selepas mengerjakan kerjaan lab sabtu lalu, saya iseng jalan-jalan di sekitaran kampus utama. Ini tempat favorit saya kalau pengen bengong, mikir, santai, atau sekedar jalan-jalan tidak jelas sambil memandangi bangunannya yang gigantis itu. Entah berapa kali saya mengunjungi tempat ini semenjak kali pertama datang sebagai mahasiswa baru sampai saat ini. Saya selalu saja terpesona dengan auranya. Bangunan itu seperti sebuah monumen tua, bertahan dari tahun ke tahun, menjadi saksi lahirnya para cendikia. Bisu, tapi menyimpan banyak sekali sejarah dan kisah. Seperti kuciumi bau para pengendus ilmu, aroma keingintahuan manusia, dan mungkin titik-titik kemenangan banyak orang-orang terdahulu yang mengenggam apa yang mereka perjuangan. James Watt, Adam Smith, Lord Kevin, mereka para pendahulu yang pernah belajar di Universitas keempat tertua di Inggris ini,  nama mereka sudah mengabadi meninggalkan karya-karya cendikianya.
Ah, marilah kubawa engkau melihat-lihat kampus utamaku sejenak. Sambil mencoba memotret dengan kameraku. Iyah, saya sedang belajar memaksimalkan kameraku ini. Kadang tulisan dan foto itu seperti pasangan yang saling melengkapi. Maka sudah waktunya sayapun belajar mencarikan pelengkap yang berkualitas bagi tulisan saya.
Baiklah, mari kita mulai jalan-jalannya dari bagian depannya. Kalau kalian mengunjunginya, siaplah terpesona dengan bangunan yang gagah dengan tema  arsitektur gothik ini. Pertama kali melihat bangunan ini pasti didominasi oleh ornamen mengkerucut menantang langit, inilah salah satu ciri desain arsitektur bertipe gothik. Katanya sih itu simbolisme bagaimana doa-doa dipanjatkan ke langit. Bangunan kampus utama ini didesain oleh Sir George Gilbert Scott dan dirampungkan oleh anaknya, Oldrid. Nah, karena kali ini sedang musim panas, jadi bagian depannya pun dihiasi oleh bunga-bunga kombinasi merah ungu yang tertata rapi jali. Lihatlah hasil jepretan saya di bagian depan main campus ini.
 
                                                              Bagian depan main building UoG

 Nah, kadang kalau tipikal orang Indonesia yang hobi banget foto di depan tulisan tempat, sayangnya kampus utama UoG tidak mempunyai tulisan yang menyebutkan UoG dengan cukup besar. Adanya hanya di bagian kiri yang biasanya menjadi tempat wajib berfoto para pelancong yang memburu tulisan sebagai bukti bahwa mereka pernah mengunjungi UoG hihi. Ini dia penampakan tulisan tersebut :


tuuuh...silahkan foto di depan papan nama sebagai bukti sejarah hidupmu hihi ;p

Bangku kayu dan lampu dengan desain antik merupakan salah satu ciri yang melengkapi bangunan ini, baik di depan ataupun di bagian lantai dua main campus menampilkan pemandangan ini. Dan tentu saja latar belakang yang bagus untuk berfoto ehehe, karena kali ini saya sendirian, saya akan menahan diri untuk bisa bergaya ahaha.

                                                             Bangku kayu dan lampu antik

Nah mari saya ajak ke dalam, di lantai pertama ada UoG shop yang menjual pernak pernak kampus, tapi harganya lumayan mahal euy. Menurut saya yang bikin mahal itu lagi-lagi tulisannya ahaha, gantungan kuncinya jadi mahal karena ada tulisan UoGnya, kaus dan jumpernya pun jadi mahal karena ada tulisannya tersebut hihi. Postcard UoG juga tersedia di sini yang memang agak susah didapat di tempat lain, jadi bila kalian ingin beli postcard khusus UoG datanglah ke university shop-nya.
Mari ke naik ke lantai keduanya. Dan ini spot paling favorit saya. Karena begitu memandang
bagian quadrangale ini mata kita akan dimanjakan dengan suasana abad pertengahan yang kental. Main building ini mempunyai dua quadrangale kembar, di bagian barat dan timur (west dan east qudrangale). Ornamen-ornamen yang mengerucut menantangi langit bisa dilihat dari bagian ini. Termasuk clock tower yang bisa dilihat dari kejauhan sebagai salah satu ciri skyline Glasgow. Ini beberapa foto saya yang saya jepret.
 
                                                               Hummm cantik kan?

Saya suka semburat sinar matahari di langit itu-tanpa editing-
Itu dia tower clocknya
 Hamparan rumput dan lagi-lagi pasangan bangku kayu dan lampu antik mencirikan tempat ini. Oh ya, ada satu tempat yang juga favorit karena keunikannya. The cloister yang terletak antara qudrangale timur dan barat ini unik sekali. Lihatlah bentuknya :


Cloister

Di bagian main building ini juga ada Hunterian Museum yang gratis masuknya. Lain kali saya ajak jalan-jalan kesana ya.
Dari semua bagian, mungkin bagian quadrangale inilah bagian paling favorit saya. Saya biasa duduk di bangku kayu di sisi area ini sambil memandangi detail bangunannya. Kadang sambil mendengarkan musik lewat earphone, kadang sambil baca buku, kadang bengong doang ahaha. Kalau lagi galau juga suka menyendiri di area ini #eh.
Sore ini kampus utama begitu sepi, jadi saya dengan leluasa menjepret-jepret sendirian. Ah mungkin karena saya datang sekitar pukul 8 malam (walau masih terang benderang). Puas menghabiskan waktu di bagian ini saya kemudian berpindah ke belakang. Ini juga salah satu bagain favorit saya lainnya. Karena bisa duduk-duduk dan tiduran di rumput sambil memandangi kampus dari belakang ataupun Kelvingrove musem di seberang. Main campus yang kadang disebut Gilmorehill campus ini, jaraknya cuma sekitar 5 menitan dari flat saya. Jadi maklum saja saya sering iseng dolan dan gegoleran di rumput belakang kampus di musim panas ini. Suasananya tenang, udaranya hangat jadi saya dengan nyaman tiduran sambil mendengarkan musik di earphone. Ah, entahlah saya merasa damai sejahtera bahagia sentosa hanya dengan cara sederhana macam begini hihi. Kadang kita harus berhenti berlari dan lebih mengamati hidup. Mungkin itu fungsinya mengambil jeda seperti saat ini. Mata saya terbeliak melihat rumput-rumput yang berayun lembut dengan beraturan diterpa angin. Saya seperti melihat keajaiban padahal hanya melihat hal sesederhana itu. Kita sering terlalu sibuk, hingga tak lagi memperhatikan daun-daun yang luruh, rumput yang disapu angin, rintik hujan, ataupun bintang-bintang. Kita kehilangan koneksi dengan alam. Maka dengan takjub saya mengamati gerak ayunan lembut rumput-rumput di dekat tiduran itu diterpa angin, kemudian kembali ke posisi semula lagi. Rumput itu mengajarkan saya tentang the art of allowing. Penerimaan. When you argue the reality, you lose!
Rumput itu mengajari bagaimana ia berubah, bergerak sesuai arah angin yang menerpanya. Ia menerima tanpa harus menyalahkan arah angin. Bahkan ia pun tak pernah tahu kapan angin itu akan berhembus menerpanya, angin mengajarinya tentang kekinian. Hidup tentang kesiapan menerima kenyataan dan bagaimana mensikapinya. Rumput yang berayun itu mengajari saya tentang harmoni. Menjadi lebih lentur terhadap hidup. Ah, jalan-jalan sore saya kok berubah jadi filosofis ahaha.
Ini dia foto hasil selftimer saat gegoleran di rumput belakang kampus.


Saya pulang karena segera memasak untuk menyiapkan buka puasa. Yuhuuu  begitu jalan-jalan sore di kampus utama saya. Kapan-kapan saya ajak jalan-jalan lagi.
Salam hangat di Glasgow yang terus menghangat.



Kamis, 11 Juli 2013

Sebuah Alasan



Kenapa dalam tata bahasa manusia mengenal kata “alasan”? “reason”? Untuk apa? Kata tersebut pastilah diciptakan manusia terdahulu dengan maksud tertentu. Pernahkah terpikir oleh kalian?
Secara bawah sadar ternyata alasan/latar belakang/motif menjadi salah satu yang penting dalam nilai hidup saya. Bahkan untuk mencintai tanpa alasanpun setidaknya saya tahu bahwa itulah alasan saya mencintai seseorang ahaha. Aneh? Entahlah. Saya juga belum menyadarinya terlalu lama. Kadang saya melontarkan pertanyaan ini secara spontan pada beberapa teman/rekan/kenalan saya. Setelah beberapa kali, akhirnya saya menyadari hal ini.
Seorang rekan dosen di Unsoed yang beberapa saat yang lalu akan segera pulang ke Indonesia, karena dia memang bolak balik Belanda-Indonesia selama studi doktoralnya. Risetnya bidang sosial yang bisa memungkinkan dikerjakan dimana pun. Jadi menjelang puasa ia memilih pulang untuk berpuasa bersama keluarganya. Lalu dia berbincang :
            Kalau balik, kita bikin yuk omong-omong sastra. Ntar kita yang cuap-cuap. Anak-anak yang bikin acaranya,” katanya begitu dengan gaya bicaranya yang cenderung asal dan santai. Begitulah memang tipikal teman saya itu.
            “ Hiyaah mau cuap-cuap? ngomong apaan? Tapi okelah. Keren juga,” timpal saya waktu itu.
Saya tidak menanyakan buat apa? Untuk apa? Karena di balik jawaban saya untuk “okelah” saya tahu pasti alasan saya mau melakukan hal tersebut. Passion saya di bidang tulis menulis sudah cukup menjelaskan pada diri sendiri kenapa saya gampang saja bilang “oke”.
Lain waktu, teman saya lain lagi tiba-tiba berkata :
eh gimana kalo kita merintis penerbitan ?aku sih udah kepikiran sejak lama, dimulai dengan menulis sendiri, diterbitkan sendiri (dengan nama penerbit sendiri tapi mesin terbitnya bisa ke yg lain), dijual sendiri dll. serba sendiri. nanti2 juga bisa ke gramedia dkk." ungkap temanku itu.
Nah, dirimu kan keren, ya tulisannya #ehm.. jadi bisa lah kita jual #ngajakSerius” tambahnya dalam chat kali itu.
Lalu  secara spontan saya bertanya :
“ humm motifnya apa?” Tanya saya singkat. Tik tok tik tok.
“Nah itu dia belum nemu ahaha”, dia cuma ngakak.
 Saat itu saya butuh alasan dan sebuah penjelasan yang meyakinkan diri saya apakah saya akan bilang”ya atau tidak”.
Lalu dia tidak bisa memberikan penjelasan yang meyakinkan. Dan bagi diri saya juga tidak mempunyai alasan cukup untuk mencoba ide tersebut. Saya tidak tertarik pada teknis dunia penerbitan, pemasaran. Paling tidak itu yang saya rasai sekarang, entah nanti. Saat ini saya lebih cenderung tertarik pada proses menulis, pada tulisan dan produk-produk tulisan lainnya.
Saya juga masih ingat, pembicaraan saya dengan seorang gadis dari China yang secara kebetulan bertemu di acara makan-makan di flat Eliza, teman saya di Glasgow. Awalnya saya agak canggung karena beberapa orang yang datang tidak saya kenal. Sedangkan mereka sudah kenal satu sama lain karena kuliah di program yang sama.  Saya duduk berdekatan dengan seorang perempuan bermata sipit yang kalem. Awalnya saya agak enggan untuk memulai pembicaraan, lebih memilih berkonsentrasi pada nasi briyani di piring saya. Tapi beberapa saat kemudian saya berbasa basi menyapanya. Lalu dia bertanya pada saya,
            Are you moeslem?” tanyanya dengan suaranya yang lembut pelan. Tentu saja kujawab sambil menganggukkan kepala. Lalu sebuah penyataan yang membuat saya sungguh tertarik yakni dia bilang bahwa ia baru saja menjadi seorang muslim dan sedang belajar beribadah. Hati saya terkejut. Dan tidak bisa menahan kespontanan saya untuk bertanya kenapa dan bagaimana prosesnya? Maksud saya bagaimana ia sampai dalam titik tersebut pastilah ada alasan atas keputusannya tersebut. Kita yang terlahir sebagai muslim mungkin tidak pernah mengalami proses tersebut.
Saya hanya yakin bahwa seseorang melakukan sesuatu dengan alasan tertentu. Bukankah begitu? Karena alasan itulah yang menjadikan energi pendorong di balik setiap tindakan. Paling tidak bila itu tindakan-tindakan besar. Dan bagi saya itu penting.
Bagaimana manusia menjalankan sesuatu tanpa alasan?
Bahkan saya pikir seseorang bingung bila ditanya : kenapa kau mencintaiku? Lalu orang tersebut menjawab : “entahlah. Aku hanya mencintaimu. Mungkin tanpa alasan” #aih ini ngarang banget dialognya ahaha.
Nah bahkan dalam konteks seperti itu, saya berpikir bahwa oang tersebut hanya tak mampu mendefiniskan alasannya dengan pasti. Pasti tetaplah ada alasan.
            Apa motivasimu melakukan itu? Untuk apa?” pertanyaan itu seringkali saya lontarkan secara tidak sengaja. Dan kadang ada beberapa yang terbeliak kaget menerima pertanyaan tersebut, ada yang tampak biasa saja, dan yang begitu antusias menjelaskannya. Nampaknya saya pun bisa menebak seberapa banyak passion yang diinvestasikan pada aktivitas/tindakan seseorang sesuai dengan responnya. Yah, kira-kira mungkin tak jauh meleset.
Saya pernah melontarkan pertanyaan tersebut pada seseorang  yang memutuskan bekerja jauh dari bidang keilmuannya, atau berganti haluan atau saat seseorang yang melakukan hal yang bagi saya masih terasa asing atau aneh. Menjadi menarik untuk mengetahui motif orang untuk melakukan hal tertentu. Teman saya di group GRAD school beberapa waktu lalu, riset doktoralnya di bidang matematika mengukur jarak benda-benda. Bagi saya aneh, buat apa? Pasti ada alasannya? motivasinya untuk apa?
Menurut saya, alasan pula yang bisa merubah perspektif orang akan sesuatu. Anggap saja saya mengetahui seseorang melakukan sebuah tindakan X. Persepsi saya hanya sebatas aksi dari tindakannya saja. Tapi begitu orang tersebut menjelaskan alasannya, persepsi saya tentu saja berubah. Bisa sama atau menguatkan persepsi saya sebelumnya tentang tindakan orang tersebut atau bisa juga merubah sama sekali persepsi saya dengan menciptakan persepsi yang baru.
Bukankah kalian pikir alasan itu menarik dan unik?
Ah saya meracau lagi. Ahaha mungkin karena cuaca yang panas di luar sana.
            complicated” begitu sering kali kamu berkomentar akan isi tulisanku.
Ahaha biarlah, maka teruslah datang dalam hidupku dengan kesederhanaanmu. Dengan senyum dan canda sapamu itu. Dan mungkin begitulah harmoni.

Lab CVR usai eksperimen. 12 July 2013. 3 pm.

Ramadhan Kedua



Memang  tak ada bedug yang ditabuh semarak untuk menyambut Ramadhan, tak ada hingar bingar euforia menyambut bulan suci ini, tapi rasanya hati bersiap menyambut Ramadan dengan suka cita. Ini kali ramadan kedua yang saya jalani di negeri yang jauh ini. Bila dulu ada rasa mellow, rindu rumah dan suasana Ramadan yang hangat, kini sudah tak terlalu lagi. Seorang sahabat yang baru kali pertama menjalani puasa Ramadan di Australia curhat dilanda galau mellow menjelang Ramadan. Kangen suasana rumah pastinya. Siapapun pasti menginginkan untuk menjalani puasa dan suasana Ramadan dengan orang-orang tercinta. Tapi keadaan kadang tidak memungkinkan, seperti posisi saya misalnya. Tapi daripada bermellow ria, saya lebih baik berpikir bahwa “tidak semua orang bisa mengalami pengalaman berpuasa di luar negeri, di tempat yang mayoritas masyakarat non muslim”. Jadi anggap saja kesempatan Ramadan kedua ini menjadi sebuah pengalaman yang berharga dan mungkin hanya bisa terasai beberapa kali saja dalam hidupku. Jadi anggap saja sebuah pengalaman yang seru!
Memang seru karena jadwal puasanya yang jumpalitan dengan jarak antara buka puasa dan sahur yang sangat pendek ehehe. Imsak di sini mulai pukul 2.30 menurut Masjid Al Furqan (salah satu masjid di Glasgow, sementara menurut Glasgow Central Mosque, beda satu jam (1.30) dengan). Nah lho, ikut yang mana coba?
            Kalau lagi ngantuk pengen segera tidur, ikutan yang jam 1.30, kalau lagi nggak ngantuk ikut jam 2.30 aahaha,” kataku sambil becanda pada Ari, flatmate-ku saat membahas tentang jadwal imsak. Aih, cara ibadah macam itu? Oportunis ahaha.
Pasalnya kami berbuka pukul 10.00 malam (magrib lebih tepatnya) dan jarak waktunya dengan sahur sangat pendek. Jadi saya harus tetap terjaga sampai subuh, baru kemudian tidur. Itulah mengapa kukatakan jadwalnya bikin jumpalitan itu. Tapi daripada jadwal imsaknya ikutan model oportunis, mending saya ikut satu aliran deh (aliran jadwal imsak ahaha). Saya seterusnya selama ramadhan ikut yang jam 2.30, kan selama menanti sahur bisa sambil ngerjain sesuatu, nulis barangkali biar lebih produktif #gaya.
Iyah, kami di UK harus menjalani puasa selama sekitar 19 jam lamanya dan pas di musim panas yeaah komplit. Apalagi cuaca sekarang ini lagi panas-panasnya. Bahkan aku yang seorang manusia tropis berasa gerah dan kepanasan. Tapi so far, tidak terlalu masalah dan lancar-lancar. Ya masa iya enggak kuat puasa?hihi
Jadwal bisa diatur-atur dengan tidur setelah pulang dari lab, baru bangun untuk masak menjelang maghrib, lalu terjaga sampai subuh, baru tidur lagi. Kalau jadwal puasa jumpalitan, kita juga harus punya strategi untuk bisa mengatasinya.
Orang-orang di sini memang hanya segelintir saja yang tahu bahwa sedang bulan puasa ramadhan. Aura ramadhan itulah yang tak bisa kami dapatkan di sini. Pastilah sangat berbeda dengan di Indonesia dengan beraneka ragam pernak pernik ramadhan. Menjelang berbuka pasti sudah berjajar para penjual camilan menu untuk berbuka puasa seperti pasar tiban yang memanjakan para pembeli dengan segala variasi pilihan menunya. Spanduk-spanduk ucapan selamat menunaikan ibadah puasa di mana-mana ataupun iklan-iklan tivi berjejalan. Sebagai negara dengan mayoritas beragama islam, maka tentu wajar saja bahwa bulan Ramadan ini menjadi seperti pesta. Kadang mencuatkan ironi, puasa yang sejatinya seharusnya menahan diri malah berubah menjadi aksi “main hajar” dengan makan kalap saat berbuka. Atau mungkin lazim, bila “yang biasanya tak ada menjadi ada”. Tengok saja, biasanya menu makan sederhana, namun bila bulan puasa tiba lihatlah setiap rumah pasti menyajikan sajian-sajian yang sehari-hari mungkin tidak ada. Bukankah malah saat bulan puasa dana untuk belanja malah membengkak? Ironi yang menjadi lumrah. Asal tidak terlebihan, saya menganggapnya sebuah hal yang wajar. Walau pasti lebih baik bila puasa ini termaknai dengan sebuah hakikat, bukan sebuah rutinitas ibadah belaka yang mengedepankan bungkus tapi isinya kosong.
Suasana ramadahan di sini memang tak terlalu berbeda dengan suasana biasanya. Hanya seperti mengganti waktu makan saja. Tapi ada rindu yang menyelinap dalam hati pastilah tetap ada. Rindu tarawih di masjib bersama bapak ibu, karena di sini tarawih hanya bisa sendirian di flat, karena masjid jauh dan waktunya sehabis maghrib saja jam 10.30an lalu mau pulang tarawih tengah malam? Tapi begitulah keadaannya. Rindu memasak menyiapkan menu untuk berbuka dan sahur, sedangkan di sini masak untuk diri sendiri saja, paling-paling berbagi dengan teman satu flat. Sementara bila di rumah kami selama bulan puasa biasa berbuka puasa dan sahur bersama. Di rumah saya, ada meja makan yang posisi duduk setiap anggota keluarga saat makan bersama hampir tak pernah berubah. Kemarin saya hanya bisa mengontak mereka untuk mengucapkan selamat berpuasa Ramadhan Ah rindu kadang biarlah menjadi rindu. Merasai rindu menjadi bagian dari katalog rasa yang ditawarkan pada manusia. Bukankah dengan rindu suasana Ramadan di tanah air kini saya lebih menghargai apa yang dulu saya alami? Bahwa ada banyak hal untuk dirindukan. Pun saya bersyukur dengan apa yang saya punya dan alami sekarang. Pengalaman yang lain dari kebanyakan orang-orang di Indonesia dan semoga bisa menarik pembelajaran darinya.
Ada banyak berkah menjelang ramadhan yang membuat hati saya suka cita. Outline buku ilmiah saya diterima oleh penerbit dan kini sedang menyiapkan naskah lengkapnya. Dan hari ini menerima email dari editor Wego Indonesia bahwa saya diterima sebagai salah satu kontributor situs travelling terkenal di Indonesia tersebut. Rasanya ada suntikan semangat baru untuk menjalani hari-hari saya melakukan riset dan studi, serta berusaha menyeimbangkan dengan aktivitas menulis.
Selamat menunaikan ibadah puasa, kawanku. Semoga kita bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.
Glasgow, 11 July 2013. Menanti waktu sahur.


Sabtu, 06 Juli 2013

Melentur




Banyak orang berusaha untuk terus menerus menggengami kebahagiaan. Melekatkan bahagia menjadi berhala, dan memaksa bahwa tujuan hidupnya adalah untuk berbahagia terus menerus.
Kadang tak bisa kita pungkiri, secara naluriah manusia, yang kita rindu adalah sebuah zona nyaman. Manusia menginginkan kenyamanan. Hidup yang biasa, dengan sarapan pagi, secangkir teh atau kopi lalu menjalani hari dan diakhiri dengan sebuah doa sebelum tidur. Atau apalah yang kau sebut zona nyamanmu. Misalnya pekerjaan yang telah kau jalani bertahun-tahun, pernikahan yang lama-lama terasa menjadi kebiasaan atau banyak macam hal lainnya. Manusia merindu kenyamanan, zona nyaman itu.
Tapi manusia-manusia “tercerahkan” bilang bahwa keajaiban baru akan terasai bila kita mau meninggalkan zona nyaman kita? Beberapa dari pemikiran mereka merasuki kita dengan konsep, zona nyaman akan membuatmu tertidur, kepalamu menjadi beku, tanpa perubahan, hampa.
Lalu sebenarnya apa yang kita cari? Kenyamanan atau keajaiban?
Banyak orang tetap tinggal di zona nyamannya, ada pula yang beranjak.
Lalu kemudian saat kita memutuskan melangkah meninggalkan zona nyaman ini, mulailah ketidaknyamanan demi ketidaknyamanan terjadi. Perubahan seringkali menyulitkan dan menempatkan manusia dalam fase yang tak stabil, sedangkan zona nyaman menawarkan kestabilan. Tapi dengan ketidakstabilan, kejutan demi kejutan terus terjadi, keajaiban-kejaiban yang mungkin tak pernah terencanakan dan tak pernah terbayangkan terjadi dalam hidup kita mulai menjejali hidup kita. Lalu kemudian kita mulai terbiasa dengan perubahan baru tersebut. Pelan-pelan perubahan itu akan menjadi zona nyaman bagi kita. Selimut hangat yang menyamankan hidup, karena manusia mempunyai naluri untuk membuat hidupnya sendiri nyaman. Dipenuhinya kebutuhan biologis, rekreasi dan mungkin spiritual.
Lalu bukankah keluar dari zona nyaman pun akan mengalami tiba di zona nyaman juga? Tapi dia beranjak, bergerak, naik kelas. Entahlah, mungkin begitu pikirku. Dan mungkin berbeda dengan pikir kalian.
Tapi apakah hidup akan terhenti? Tidak, sebelum kita mati.
Manusia senang jika ia merasakan bahagia, gembira, merasakan kemenangan, dicintai, mencintai, kesuksesan, sehat, banyak rejeki. Tentu saja hal yang alamiah dirasai manusia. Di pihak lain, manusia merasa tidak senang merasakan kesedihan, luka, galau, sakit, dibohongi, dikhianati, berpisah, kehilangan orang-orang yang kita cintai ataupun kehilangan hal-hal yang berharga dalam hidup kita. Normal, wajar, tentu saja. Siapa yang ingin sakit? Siapa yang ingin terluka? Tentu saja manusia yang normal tidak ada.
Tapi siapa manusia yang tak pernah bersedih? Tak pernah terluka? Tak pernah sakit? Tidak ada bukan?
Jadi di antara sekian banyak manusia untuk merasa nyaman dan bahagia, tetaplah tak bisa menghindari sisi lainnya bukan? Semesta terus berjalan, terus berubah, sepertinya ia tak mengenal kemelekatan.
Amatilah siklus hidupmu dalam satu hari ataupun satu minggu. Pernahkah dalam satu minggu engkau merasa bahagia terus menerus? *ini pertanyaan iseng yang serius ehehe. Sepertinya tidak bukan? Kadang cuaca tanpa sadar mempengaruhi mood, kadang kondisi pekerjaan membuat penat, kadang hubungan dengan orang tercinta sedang tidak begitu baik, ataupun sedikit flu atau batuk. Begitukan siklus hidup normal manusia?
Maka ide untuk menggengami kebahagiaan sebagai berhala terus menerus sepertinya sebuah ide konyol bukan? Saya kembali hanya bertanya, seperti biasa.
Ada banyak kekecewaan, kesedihan yang panjang dan intens justru karena kegagalan manusia berupaya menggegami bahagia terus menerus tanpa siap menghadapi bahwa kehidupan begitu cair. Hidup berubah dalam beberapa menit, dalam detik, dalam hari, dalam minggu, dalam waktu. Kejadian pun berubah, perasaan pun bisa berubah, orang-orang di sekitar kita pun berubah. Lalu bukankah sepertinya konyol untuk terus menerus mengusung ide tentang keabadian?
Sedangkan manusia cenderung menyukai ide tentang keabadian, saya – kamu, saling mencintai, menikah, bersama sampai mati, harus begitu”. Misal taruh saja begitu sebuah contoh simpelnya begitu. Sedangkan setiap manusia juga berubah, orang lainpun berubah, hubungan pun bisa berubah. Sepertinya konsep menggengami terus menerus apapun itu akan terasa seperti kungkungan, pembatasan, kaku.
Ide memaksa keabadiaan atau bergerak dengan kelenturan pada perubahankah yang kalian pilih?
Dosen saya yang saya ikuti tulisannya, pernah menulis : 

 Anggap saja bahagia itu seperti kupu-kupu, menikmati indahnya bila dia tengah datang padamu, tanpa takut ia akan segera pergi karena toh ia akan pergi, biarkan saja ia pergi karena ia akan datang lagi. Jangan kau genggam kebahagiaan, biarkan dia datang dan pergi, memberimu harapan, tantangan, kerinduan, inspirasi. Bahwa galih kehidupan selalu berubah seperti ombak lautan. Jika kau tak sanggup tegar seperti karang, jadilah ganggang. Sesekali kau hanyut, layu, kering, namun kau tetap bertahan hidup di sela batuan, tak peduli air surut maupun pasang.

Saya pikir, ini konsep yang menarik. Sangat realistis, tapi juga filosofis. Realis, karena memang realitanya hidup terus saja berubah dan kita manusia belajar menjadi lentur terhadap perubahan.
Bukankah kita tidak ingin semakin sering mendengar anak SMP atau SMA yang bunuh diri karena tidak lulus, atau bahkan karena tidak dikasih uang jajan.? Atau putus asa karena putus dengan pacar?. Hidup membutuhkan lebih banyak lagi manusia yang lentur dan tangguh menghadapi hidup.
Bisakah kita belajar untuk menerima dualitas hidup dengan sama mesranya? Sakit-sehat, senang-susah, gembia-nestapa. Saya sudah pernah mendengar tentang konsep ini beberapa tahun lalu, tentang bagaimana berjalan di pusat roda, tapi lagi terengah-engah karena merasa hidup seperti roda yang kadang  di atas kadang di bawah. Tapi saat kita terpusat, kita semakin lentur menghadapi hidup entah sedang di “bawah” ataupun “ di atas”. Tapi kadang konsep yang pernah kita yakini kadang terlupa, lupa, hilang, tapi kadang menghampiri lagi dengan memberikan kedalaman yang sama, mungkin berkurang atau mungkin saja lebih.
Mungkin kita harus menengok ide tentang kelenturan akan kehidupan daripada memaksakan keabadian. Mungkin.

Glasgow dini hari, 6 July 2013 3.am

Selasa, 02 Juli 2013

Sebuah Sudut Ruang dan Aku



Aku tak bisa menahan jemariku untuk tidak menari-nari di tuts keyboardku saat melihat gambar ini di timeline Facebookku. Akhir-akhir ini memang aku agak “minggir” dari Facebook personalku, lebih cenderung menjadi pengamat, memantau dan sesekali melakukan bawah tanah dengan mengirim message-message yang kebanyakan berhubungan dengan risetku. Tapi melihat gambar ini di timeline yang dishare nulisbuku.com aku merasai aura yang entahlah kunamai apa.
Hanya saja gambar ini seperti membahasakan dengan visual suasana yang dekat dengan hatiku.
Deretan buku-buku di rak itu, bau lembar-lembar halamannya, covernya, dan isinya yang siap membawaku kemana saja. Aku selalu jatuh cinta dengan buku. Kemudian lihatlah bangku kayu dan sebuah meja bundar. Aku ingin duduk-duduk berlama-lama, dengan secangkir teh hangat atau kopi, membaca buku atau berbincang denganmu atau sahabat dekat. Lalu lihatlah jendela yang luas itu, menawarkan semacam tawaran “ kau bisa melihat dunia luar kapan saja”. Bahwa dunia bukan hanya ada dalam tulisan dalam buku atau dalam ruangan saja, tapi dunia luar juga memberimu kehidupan yang berwarna. Bayangkan bila ruangan itu gelap, tertutup, pengap. Jiwamu, jiwaku tak bisa bernafas. Jendela itu seperti memberikan ruang lain yang bisa kita lihat, dan kehijauan di luar jendela itu menawarkan ketentraman. Dan lihatlah bila engkau sempat memperhatikan, sepeda yang bersandar itu. Sepeda lebih cocok denganku dibanding banyak alat transportasi lainnya. Aku masih ingat tes speaking IELTS dulu, dua kali tes dengan pertanyaan yang sama. Kendaraan apa yang ingin kau beli? Jawabanku sama, sepeda. Sepeda itu memberikan kesempatan kita untuk mengayuh, menentukan arah, upaya menyeimbangkan dan menikmati harmonisasi dari itu semua. Tak ada mesin, hanya aku dan sepeda itu saja menentukan laju kami. Bukankah begitu mesra? Ahahaha.
Ah kalian mungkin bilang aku berlebihan. Entahlah, hanya saja gambar ini terasa “aku banget” ehehe. 
Buku, bangku kayu, jendela, kehijauan, sepeda. Kadang tiap diri merasa dekat dengan benda-benda atau suasana tertentu. Dan aku dalam sedetik saja melihat gambar itu bisa merasakan kedekatan itu.
Bagaimana dengan kalian? Benda atau suasana apa yang mewakilimu?
Selamat menikmati pilihan masing-masing kita dan merajut kisah kita masing-masing.

Posting singkat menanti subuh di Glasgow. 2 July 2013.