Kamis, 11 Juli 2013

Sebuah Alasan



Kenapa dalam tata bahasa manusia mengenal kata “alasan”? “reason”? Untuk apa? Kata tersebut pastilah diciptakan manusia terdahulu dengan maksud tertentu. Pernahkah terpikir oleh kalian?
Secara bawah sadar ternyata alasan/latar belakang/motif menjadi salah satu yang penting dalam nilai hidup saya. Bahkan untuk mencintai tanpa alasanpun setidaknya saya tahu bahwa itulah alasan saya mencintai seseorang ahaha. Aneh? Entahlah. Saya juga belum menyadarinya terlalu lama. Kadang saya melontarkan pertanyaan ini secara spontan pada beberapa teman/rekan/kenalan saya. Setelah beberapa kali, akhirnya saya menyadari hal ini.
Seorang rekan dosen di Unsoed yang beberapa saat yang lalu akan segera pulang ke Indonesia, karena dia memang bolak balik Belanda-Indonesia selama studi doktoralnya. Risetnya bidang sosial yang bisa memungkinkan dikerjakan dimana pun. Jadi menjelang puasa ia memilih pulang untuk berpuasa bersama keluarganya. Lalu dia berbincang :
            Kalau balik, kita bikin yuk omong-omong sastra. Ntar kita yang cuap-cuap. Anak-anak yang bikin acaranya,” katanya begitu dengan gaya bicaranya yang cenderung asal dan santai. Begitulah memang tipikal teman saya itu.
            “ Hiyaah mau cuap-cuap? ngomong apaan? Tapi okelah. Keren juga,” timpal saya waktu itu.
Saya tidak menanyakan buat apa? Untuk apa? Karena di balik jawaban saya untuk “okelah” saya tahu pasti alasan saya mau melakukan hal tersebut. Passion saya di bidang tulis menulis sudah cukup menjelaskan pada diri sendiri kenapa saya gampang saja bilang “oke”.
Lain waktu, teman saya lain lagi tiba-tiba berkata :
eh gimana kalo kita merintis penerbitan ?aku sih udah kepikiran sejak lama, dimulai dengan menulis sendiri, diterbitkan sendiri (dengan nama penerbit sendiri tapi mesin terbitnya bisa ke yg lain), dijual sendiri dll. serba sendiri. nanti2 juga bisa ke gramedia dkk." ungkap temanku itu.
Nah, dirimu kan keren, ya tulisannya #ehm.. jadi bisa lah kita jual #ngajakSerius” tambahnya dalam chat kali itu.
Lalu  secara spontan saya bertanya :
“ humm motifnya apa?” Tanya saya singkat. Tik tok tik tok.
“Nah itu dia belum nemu ahaha”, dia cuma ngakak.
 Saat itu saya butuh alasan dan sebuah penjelasan yang meyakinkan diri saya apakah saya akan bilang”ya atau tidak”.
Lalu dia tidak bisa memberikan penjelasan yang meyakinkan. Dan bagi diri saya juga tidak mempunyai alasan cukup untuk mencoba ide tersebut. Saya tidak tertarik pada teknis dunia penerbitan, pemasaran. Paling tidak itu yang saya rasai sekarang, entah nanti. Saat ini saya lebih cenderung tertarik pada proses menulis, pada tulisan dan produk-produk tulisan lainnya.
Saya juga masih ingat, pembicaraan saya dengan seorang gadis dari China yang secara kebetulan bertemu di acara makan-makan di flat Eliza, teman saya di Glasgow. Awalnya saya agak canggung karena beberapa orang yang datang tidak saya kenal. Sedangkan mereka sudah kenal satu sama lain karena kuliah di program yang sama.  Saya duduk berdekatan dengan seorang perempuan bermata sipit yang kalem. Awalnya saya agak enggan untuk memulai pembicaraan, lebih memilih berkonsentrasi pada nasi briyani di piring saya. Tapi beberapa saat kemudian saya berbasa basi menyapanya. Lalu dia bertanya pada saya,
            Are you moeslem?” tanyanya dengan suaranya yang lembut pelan. Tentu saja kujawab sambil menganggukkan kepala. Lalu sebuah penyataan yang membuat saya sungguh tertarik yakni dia bilang bahwa ia baru saja menjadi seorang muslim dan sedang belajar beribadah. Hati saya terkejut. Dan tidak bisa menahan kespontanan saya untuk bertanya kenapa dan bagaimana prosesnya? Maksud saya bagaimana ia sampai dalam titik tersebut pastilah ada alasan atas keputusannya tersebut. Kita yang terlahir sebagai muslim mungkin tidak pernah mengalami proses tersebut.
Saya hanya yakin bahwa seseorang melakukan sesuatu dengan alasan tertentu. Bukankah begitu? Karena alasan itulah yang menjadikan energi pendorong di balik setiap tindakan. Paling tidak bila itu tindakan-tindakan besar. Dan bagi saya itu penting.
Bagaimana manusia menjalankan sesuatu tanpa alasan?
Bahkan saya pikir seseorang bingung bila ditanya : kenapa kau mencintaiku? Lalu orang tersebut menjawab : “entahlah. Aku hanya mencintaimu. Mungkin tanpa alasan” #aih ini ngarang banget dialognya ahaha.
Nah bahkan dalam konteks seperti itu, saya berpikir bahwa oang tersebut hanya tak mampu mendefiniskan alasannya dengan pasti. Pasti tetaplah ada alasan.
            Apa motivasimu melakukan itu? Untuk apa?” pertanyaan itu seringkali saya lontarkan secara tidak sengaja. Dan kadang ada beberapa yang terbeliak kaget menerima pertanyaan tersebut, ada yang tampak biasa saja, dan yang begitu antusias menjelaskannya. Nampaknya saya pun bisa menebak seberapa banyak passion yang diinvestasikan pada aktivitas/tindakan seseorang sesuai dengan responnya. Yah, kira-kira mungkin tak jauh meleset.
Saya pernah melontarkan pertanyaan tersebut pada seseorang  yang memutuskan bekerja jauh dari bidang keilmuannya, atau berganti haluan atau saat seseorang yang melakukan hal yang bagi saya masih terasa asing atau aneh. Menjadi menarik untuk mengetahui motif orang untuk melakukan hal tertentu. Teman saya di group GRAD school beberapa waktu lalu, riset doktoralnya di bidang matematika mengukur jarak benda-benda. Bagi saya aneh, buat apa? Pasti ada alasannya? motivasinya untuk apa?
Menurut saya, alasan pula yang bisa merubah perspektif orang akan sesuatu. Anggap saja saya mengetahui seseorang melakukan sebuah tindakan X. Persepsi saya hanya sebatas aksi dari tindakannya saja. Tapi begitu orang tersebut menjelaskan alasannya, persepsi saya tentu saja berubah. Bisa sama atau menguatkan persepsi saya sebelumnya tentang tindakan orang tersebut atau bisa juga merubah sama sekali persepsi saya dengan menciptakan persepsi yang baru.
Bukankah kalian pikir alasan itu menarik dan unik?
Ah saya meracau lagi. Ahaha mungkin karena cuaca yang panas di luar sana.
            complicated” begitu sering kali kamu berkomentar akan isi tulisanku.
Ahaha biarlah, maka teruslah datang dalam hidupku dengan kesederhanaanmu. Dengan senyum dan canda sapamu itu. Dan mungkin begitulah harmoni.

Lab CVR usai eksperimen. 12 July 2013. 3 pm.

Ramadhan Kedua



Memang  tak ada bedug yang ditabuh semarak untuk menyambut Ramadhan, tak ada hingar bingar euforia menyambut bulan suci ini, tapi rasanya hati bersiap menyambut Ramadan dengan suka cita. Ini kali ramadan kedua yang saya jalani di negeri yang jauh ini. Bila dulu ada rasa mellow, rindu rumah dan suasana Ramadan yang hangat, kini sudah tak terlalu lagi. Seorang sahabat yang baru kali pertama menjalani puasa Ramadan di Australia curhat dilanda galau mellow menjelang Ramadan. Kangen suasana rumah pastinya. Siapapun pasti menginginkan untuk menjalani puasa dan suasana Ramadan dengan orang-orang tercinta. Tapi keadaan kadang tidak memungkinkan, seperti posisi saya misalnya. Tapi daripada bermellow ria, saya lebih baik berpikir bahwa “tidak semua orang bisa mengalami pengalaman berpuasa di luar negeri, di tempat yang mayoritas masyakarat non muslim”. Jadi anggap saja kesempatan Ramadan kedua ini menjadi sebuah pengalaman yang berharga dan mungkin hanya bisa terasai beberapa kali saja dalam hidupku. Jadi anggap saja sebuah pengalaman yang seru!
Memang seru karena jadwal puasanya yang jumpalitan dengan jarak antara buka puasa dan sahur yang sangat pendek ehehe. Imsak di sini mulai pukul 2.30 menurut Masjid Al Furqan (salah satu masjid di Glasgow, sementara menurut Glasgow Central Mosque, beda satu jam (1.30) dengan). Nah lho, ikut yang mana coba?
            Kalau lagi ngantuk pengen segera tidur, ikutan yang jam 1.30, kalau lagi nggak ngantuk ikut jam 2.30 aahaha,” kataku sambil becanda pada Ari, flatmate-ku saat membahas tentang jadwal imsak. Aih, cara ibadah macam itu? Oportunis ahaha.
Pasalnya kami berbuka pukul 10.00 malam (magrib lebih tepatnya) dan jarak waktunya dengan sahur sangat pendek. Jadi saya harus tetap terjaga sampai subuh, baru kemudian tidur. Itulah mengapa kukatakan jadwalnya bikin jumpalitan itu. Tapi daripada jadwal imsaknya ikutan model oportunis, mending saya ikut satu aliran deh (aliran jadwal imsak ahaha). Saya seterusnya selama ramadhan ikut yang jam 2.30, kan selama menanti sahur bisa sambil ngerjain sesuatu, nulis barangkali biar lebih produktif #gaya.
Iyah, kami di UK harus menjalani puasa selama sekitar 19 jam lamanya dan pas di musim panas yeaah komplit. Apalagi cuaca sekarang ini lagi panas-panasnya. Bahkan aku yang seorang manusia tropis berasa gerah dan kepanasan. Tapi so far, tidak terlalu masalah dan lancar-lancar. Ya masa iya enggak kuat puasa?hihi
Jadwal bisa diatur-atur dengan tidur setelah pulang dari lab, baru bangun untuk masak menjelang maghrib, lalu terjaga sampai subuh, baru tidur lagi. Kalau jadwal puasa jumpalitan, kita juga harus punya strategi untuk bisa mengatasinya.
Orang-orang di sini memang hanya segelintir saja yang tahu bahwa sedang bulan puasa ramadhan. Aura ramadhan itulah yang tak bisa kami dapatkan di sini. Pastilah sangat berbeda dengan di Indonesia dengan beraneka ragam pernak pernik ramadhan. Menjelang berbuka pasti sudah berjajar para penjual camilan menu untuk berbuka puasa seperti pasar tiban yang memanjakan para pembeli dengan segala variasi pilihan menunya. Spanduk-spanduk ucapan selamat menunaikan ibadah puasa di mana-mana ataupun iklan-iklan tivi berjejalan. Sebagai negara dengan mayoritas beragama islam, maka tentu wajar saja bahwa bulan Ramadan ini menjadi seperti pesta. Kadang mencuatkan ironi, puasa yang sejatinya seharusnya menahan diri malah berubah menjadi aksi “main hajar” dengan makan kalap saat berbuka. Atau mungkin lazim, bila “yang biasanya tak ada menjadi ada”. Tengok saja, biasanya menu makan sederhana, namun bila bulan puasa tiba lihatlah setiap rumah pasti menyajikan sajian-sajian yang sehari-hari mungkin tidak ada. Bukankah malah saat bulan puasa dana untuk belanja malah membengkak? Ironi yang menjadi lumrah. Asal tidak terlebihan, saya menganggapnya sebuah hal yang wajar. Walau pasti lebih baik bila puasa ini termaknai dengan sebuah hakikat, bukan sebuah rutinitas ibadah belaka yang mengedepankan bungkus tapi isinya kosong.
Suasana ramadahan di sini memang tak terlalu berbeda dengan suasana biasanya. Hanya seperti mengganti waktu makan saja. Tapi ada rindu yang menyelinap dalam hati pastilah tetap ada. Rindu tarawih di masjib bersama bapak ibu, karena di sini tarawih hanya bisa sendirian di flat, karena masjid jauh dan waktunya sehabis maghrib saja jam 10.30an lalu mau pulang tarawih tengah malam? Tapi begitulah keadaannya. Rindu memasak menyiapkan menu untuk berbuka dan sahur, sedangkan di sini masak untuk diri sendiri saja, paling-paling berbagi dengan teman satu flat. Sementara bila di rumah kami selama bulan puasa biasa berbuka puasa dan sahur bersama. Di rumah saya, ada meja makan yang posisi duduk setiap anggota keluarga saat makan bersama hampir tak pernah berubah. Kemarin saya hanya bisa mengontak mereka untuk mengucapkan selamat berpuasa Ramadhan Ah rindu kadang biarlah menjadi rindu. Merasai rindu menjadi bagian dari katalog rasa yang ditawarkan pada manusia. Bukankah dengan rindu suasana Ramadan di tanah air kini saya lebih menghargai apa yang dulu saya alami? Bahwa ada banyak hal untuk dirindukan. Pun saya bersyukur dengan apa yang saya punya dan alami sekarang. Pengalaman yang lain dari kebanyakan orang-orang di Indonesia dan semoga bisa menarik pembelajaran darinya.
Ada banyak berkah menjelang ramadhan yang membuat hati saya suka cita. Outline buku ilmiah saya diterima oleh penerbit dan kini sedang menyiapkan naskah lengkapnya. Dan hari ini menerima email dari editor Wego Indonesia bahwa saya diterima sebagai salah satu kontributor situs travelling terkenal di Indonesia tersebut. Rasanya ada suntikan semangat baru untuk menjalani hari-hari saya melakukan riset dan studi, serta berusaha menyeimbangkan dengan aktivitas menulis.
Selamat menunaikan ibadah puasa, kawanku. Semoga kita bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.
Glasgow, 11 July 2013. Menanti waktu sahur.


Sabtu, 06 Juli 2013

Melentur




Banyak orang berusaha untuk terus menerus menggengami kebahagiaan. Melekatkan bahagia menjadi berhala, dan memaksa bahwa tujuan hidupnya adalah untuk berbahagia terus menerus.
Kadang tak bisa kita pungkiri, secara naluriah manusia, yang kita rindu adalah sebuah zona nyaman. Manusia menginginkan kenyamanan. Hidup yang biasa, dengan sarapan pagi, secangkir teh atau kopi lalu menjalani hari dan diakhiri dengan sebuah doa sebelum tidur. Atau apalah yang kau sebut zona nyamanmu. Misalnya pekerjaan yang telah kau jalani bertahun-tahun, pernikahan yang lama-lama terasa menjadi kebiasaan atau banyak macam hal lainnya. Manusia merindu kenyamanan, zona nyaman itu.
Tapi manusia-manusia “tercerahkan” bilang bahwa keajaiban baru akan terasai bila kita mau meninggalkan zona nyaman kita? Beberapa dari pemikiran mereka merasuki kita dengan konsep, zona nyaman akan membuatmu tertidur, kepalamu menjadi beku, tanpa perubahan, hampa.
Lalu sebenarnya apa yang kita cari? Kenyamanan atau keajaiban?
Banyak orang tetap tinggal di zona nyamannya, ada pula yang beranjak.
Lalu kemudian saat kita memutuskan melangkah meninggalkan zona nyaman ini, mulailah ketidaknyamanan demi ketidaknyamanan terjadi. Perubahan seringkali menyulitkan dan menempatkan manusia dalam fase yang tak stabil, sedangkan zona nyaman menawarkan kestabilan. Tapi dengan ketidakstabilan, kejutan demi kejutan terus terjadi, keajaiban-kejaiban yang mungkin tak pernah terencanakan dan tak pernah terbayangkan terjadi dalam hidup kita mulai menjejali hidup kita. Lalu kemudian kita mulai terbiasa dengan perubahan baru tersebut. Pelan-pelan perubahan itu akan menjadi zona nyaman bagi kita. Selimut hangat yang menyamankan hidup, karena manusia mempunyai naluri untuk membuat hidupnya sendiri nyaman. Dipenuhinya kebutuhan biologis, rekreasi dan mungkin spiritual.
Lalu bukankah keluar dari zona nyaman pun akan mengalami tiba di zona nyaman juga? Tapi dia beranjak, bergerak, naik kelas. Entahlah, mungkin begitu pikirku. Dan mungkin berbeda dengan pikir kalian.
Tapi apakah hidup akan terhenti? Tidak, sebelum kita mati.
Manusia senang jika ia merasakan bahagia, gembira, merasakan kemenangan, dicintai, mencintai, kesuksesan, sehat, banyak rejeki. Tentu saja hal yang alamiah dirasai manusia. Di pihak lain, manusia merasa tidak senang merasakan kesedihan, luka, galau, sakit, dibohongi, dikhianati, berpisah, kehilangan orang-orang yang kita cintai ataupun kehilangan hal-hal yang berharga dalam hidup kita. Normal, wajar, tentu saja. Siapa yang ingin sakit? Siapa yang ingin terluka? Tentu saja manusia yang normal tidak ada.
Tapi siapa manusia yang tak pernah bersedih? Tak pernah terluka? Tak pernah sakit? Tidak ada bukan?
Jadi di antara sekian banyak manusia untuk merasa nyaman dan bahagia, tetaplah tak bisa menghindari sisi lainnya bukan? Semesta terus berjalan, terus berubah, sepertinya ia tak mengenal kemelekatan.
Amatilah siklus hidupmu dalam satu hari ataupun satu minggu. Pernahkah dalam satu minggu engkau merasa bahagia terus menerus? *ini pertanyaan iseng yang serius ehehe. Sepertinya tidak bukan? Kadang cuaca tanpa sadar mempengaruhi mood, kadang kondisi pekerjaan membuat penat, kadang hubungan dengan orang tercinta sedang tidak begitu baik, ataupun sedikit flu atau batuk. Begitukan siklus hidup normal manusia?
Maka ide untuk menggengami kebahagiaan sebagai berhala terus menerus sepertinya sebuah ide konyol bukan? Saya kembali hanya bertanya, seperti biasa.
Ada banyak kekecewaan, kesedihan yang panjang dan intens justru karena kegagalan manusia berupaya menggegami bahagia terus menerus tanpa siap menghadapi bahwa kehidupan begitu cair. Hidup berubah dalam beberapa menit, dalam detik, dalam hari, dalam minggu, dalam waktu. Kejadian pun berubah, perasaan pun bisa berubah, orang-orang di sekitar kita pun berubah. Lalu bukankah sepertinya konyol untuk terus menerus mengusung ide tentang keabadian?
Sedangkan manusia cenderung menyukai ide tentang keabadian, saya – kamu, saling mencintai, menikah, bersama sampai mati, harus begitu”. Misal taruh saja begitu sebuah contoh simpelnya begitu. Sedangkan setiap manusia juga berubah, orang lainpun berubah, hubungan pun bisa berubah. Sepertinya konsep menggengami terus menerus apapun itu akan terasa seperti kungkungan, pembatasan, kaku.
Ide memaksa keabadiaan atau bergerak dengan kelenturan pada perubahankah yang kalian pilih?
Dosen saya yang saya ikuti tulisannya, pernah menulis : 

 Anggap saja bahagia itu seperti kupu-kupu, menikmati indahnya bila dia tengah datang padamu, tanpa takut ia akan segera pergi karena toh ia akan pergi, biarkan saja ia pergi karena ia akan datang lagi. Jangan kau genggam kebahagiaan, biarkan dia datang dan pergi, memberimu harapan, tantangan, kerinduan, inspirasi. Bahwa galih kehidupan selalu berubah seperti ombak lautan. Jika kau tak sanggup tegar seperti karang, jadilah ganggang. Sesekali kau hanyut, layu, kering, namun kau tetap bertahan hidup di sela batuan, tak peduli air surut maupun pasang.

Saya pikir, ini konsep yang menarik. Sangat realistis, tapi juga filosofis. Realis, karena memang realitanya hidup terus saja berubah dan kita manusia belajar menjadi lentur terhadap perubahan.
Bukankah kita tidak ingin semakin sering mendengar anak SMP atau SMA yang bunuh diri karena tidak lulus, atau bahkan karena tidak dikasih uang jajan.? Atau putus asa karena putus dengan pacar?. Hidup membutuhkan lebih banyak lagi manusia yang lentur dan tangguh menghadapi hidup.
Bisakah kita belajar untuk menerima dualitas hidup dengan sama mesranya? Sakit-sehat, senang-susah, gembia-nestapa. Saya sudah pernah mendengar tentang konsep ini beberapa tahun lalu, tentang bagaimana berjalan di pusat roda, tapi lagi terengah-engah karena merasa hidup seperti roda yang kadang  di atas kadang di bawah. Tapi saat kita terpusat, kita semakin lentur menghadapi hidup entah sedang di “bawah” ataupun “ di atas”. Tapi kadang konsep yang pernah kita yakini kadang terlupa, lupa, hilang, tapi kadang menghampiri lagi dengan memberikan kedalaman yang sama, mungkin berkurang atau mungkin saja lebih.
Mungkin kita harus menengok ide tentang kelenturan akan kehidupan daripada memaksakan keabadian. Mungkin.

Glasgow dini hari, 6 July 2013 3.am

Selasa, 02 Juli 2013

Sebuah Sudut Ruang dan Aku



Aku tak bisa menahan jemariku untuk tidak menari-nari di tuts keyboardku saat melihat gambar ini di timeline Facebookku. Akhir-akhir ini memang aku agak “minggir” dari Facebook personalku, lebih cenderung menjadi pengamat, memantau dan sesekali melakukan bawah tanah dengan mengirim message-message yang kebanyakan berhubungan dengan risetku. Tapi melihat gambar ini di timeline yang dishare nulisbuku.com aku merasai aura yang entahlah kunamai apa.
Hanya saja gambar ini seperti membahasakan dengan visual suasana yang dekat dengan hatiku.
Deretan buku-buku di rak itu, bau lembar-lembar halamannya, covernya, dan isinya yang siap membawaku kemana saja. Aku selalu jatuh cinta dengan buku. Kemudian lihatlah bangku kayu dan sebuah meja bundar. Aku ingin duduk-duduk berlama-lama, dengan secangkir teh hangat atau kopi, membaca buku atau berbincang denganmu atau sahabat dekat. Lalu lihatlah jendela yang luas itu, menawarkan semacam tawaran “ kau bisa melihat dunia luar kapan saja”. Bahwa dunia bukan hanya ada dalam tulisan dalam buku atau dalam ruangan saja, tapi dunia luar juga memberimu kehidupan yang berwarna. Bayangkan bila ruangan itu gelap, tertutup, pengap. Jiwamu, jiwaku tak bisa bernafas. Jendela itu seperti memberikan ruang lain yang bisa kita lihat, dan kehijauan di luar jendela itu menawarkan ketentraman. Dan lihatlah bila engkau sempat memperhatikan, sepeda yang bersandar itu. Sepeda lebih cocok denganku dibanding banyak alat transportasi lainnya. Aku masih ingat tes speaking IELTS dulu, dua kali tes dengan pertanyaan yang sama. Kendaraan apa yang ingin kau beli? Jawabanku sama, sepeda. Sepeda itu memberikan kesempatan kita untuk mengayuh, menentukan arah, upaya menyeimbangkan dan menikmati harmonisasi dari itu semua. Tak ada mesin, hanya aku dan sepeda itu saja menentukan laju kami. Bukankah begitu mesra? Ahahaha.
Ah kalian mungkin bilang aku berlebihan. Entahlah, hanya saja gambar ini terasa “aku banget” ehehe. 
Buku, bangku kayu, jendela, kehijauan, sepeda. Kadang tiap diri merasa dekat dengan benda-benda atau suasana tertentu. Dan aku dalam sedetik saja melihat gambar itu bisa merasakan kedekatan itu.
Bagaimana dengan kalian? Benda atau suasana apa yang mewakilimu?
Selamat menikmati pilihan masing-masing kita dan merajut kisah kita masing-masing.

Posting singkat menanti subuh di Glasgow. 2 July 2013.

Lesson from Glasgow GRADSchool



My team
Sore itu group kami sampai pada final group review, mengevaluasi kegiatan selama tiga hari dan memberikan feedback pada masing-masing anggota tim. Kemudian tutor kami, Amanda dan Anke menyuruh kami mendekati meja yang berisi banyak sekali kartu yang sudah berjajar, kemudian kami berlima disuruh memilih masing-masing kartu yang merefleksikan masing-masing anggota group. Aku memilih 4 kartu dan kuletakkan di kursi orang aku maksud. Lalu tibalah memeriksa 4 tumpukan kartu yang dipilih empat orang teman satu group itu untukku. Jreng-Jreng!
1. Open (aihh..hummm...ada benarnya. Mungkin akan berbeda bila mereka bertemu denganku lima tahun yang lalu ;p)
2. Enthusiastic (ahaha keliatan kali ya dari mukaku kalau ada apa-apa yang menarik langsung mendelik)
3. Good Tempered ( jadii...kalau ada seseorang yang bilang aku galak, pasti galakku hanya spesial padanya ahaha#abaikan)
4. Level headed. (dahiku berkerut, apa pula maksudnya. Aku kemudian bertanya pada Amanda tentang maksudnya. Katanya level headed person itu sejenis tipikal orang yang punya spiritualitas yang seimbang, tidak gampang panik menghadapi apapun).  Aih, benarkah aku begitu?
Semua anggota group diminta berkomentar atas kartu-kartu yang didapat dan kemudian menuliskan surat untuk diri sendiri di sebuah kertas. Aih, kertasnya terlalu sempit..coba dikasih folio hihi memangnya mengarang bebas. Kemudian surat tersebut dinamai dan diberi alamat kami masing-masing, dilem dan akan mereka akan mengirimkannya pada kami September nanti. Hihi course ini memang super unik!
Iyups, aku mengikuti 7th Local Glasgow GRADSchool yang diadakan di Glasgow Caledonian University (GCU). Tadinya hanya iseng sekedar “escaping from routinity” ahahaha, eh ternyata coursenya benar-benar keren. Selama 3 tiga diisi dengan kegiatan bermacam-macam dan sangat menarik. Tujuan course ini untuk lebih mengenali potensi diri, mengembangkan personal effectiveness, dan meningkatkan communication skills. Kegiatan course ini lebih kebanyakan beraktivitas, game, memecahkan masalah, bikin sesuatu yang menarik. Seperti bagaimana mempresentasikan riset dengan media yang berbeda agar dimengerti oleh kalangan umum. Sebelumnya dari 5 orang dalam group diminta mempresentasikan riset masing-masing selama 2 menit. Kami berlima berasal dari bidang yang sangat berbeda, tantangannya adalah dalam 2 menit, topik utama risetmu harus dimergerti oleh anggota group. Pokoknya hampir semua tugas sangat menantang, dan setelah aku dengan modal nekad (kayaknya ini aji-ajiku yang paling pamungkas deh) mempresentasikan dalam 2 menit tentang risetku. Begitu aku selesai, mendadak hening, dan tiba-tiba tutor kami, Amanda langsung berkomentar :
            What an excellent presentation!” katanya, lalu disambut tepuk tangan group kami, bikin aku blushing-blushing.
Di antara kami berlima, yang terpilih untuk masuk seleksi group adalah risetku dan riset Murray tentang optimasi pesawat terbang. Dan karena kami harus mempresentasikan sesuatu yang lebih mudah dipahami, akhirnya kami sepakat memilih project Murray untuk dipresentasikan mewakili group kami.  Dan waktu presentasi masing-masing group itu 2 menit dan boleh memilih presentasi dengan cara apa saja. Then, kami memilih teater untuk presentasi. Aku jadi api dengan rumbai-rumbai warna merah (yang tiap orang akan melirik padaku dan senyum-senyum #fiuh), lalu 3 lainnya (Andrew, Amir dan Ceri) jadi helikopter dan Murray jadi naratornya. Jadilah kami sukses seperti playgroup ahaha. Tapi tepukan tangan keras sehabis presentasi group kami adalah kepuasan yang terbayar tuntas.
            Banyak project lainnya yang sungguh unik. Seperti aku harus jadi team leader bagaimana caranya melempar telur dari atas gedung dan mengusahakan agar telur itu sampai bawah dengan aman, tidak pecah. Caranya hanya boleh dengan memanfaatkan bahan yang ada di dalam amplop yang tersedia. Hihii inti hampir setiap kegiatan ini bukan pada hasil akhirnya, tapi bagaimana proses dalam tim itu sendiri. Bagaimana komunikasi antar anggota, bagaimana peran leader, management tim, planning, action..gitu-gitu deh.  Benar-benar course yang sangat recommended untuk diikuti. Dan di hari terakhir ini, setelah kami mengumpulkan surat pada diri sendiri itu, tibalah saatnya main tebak-tebakan!
Jadi pada hari pertama, masing-masing kami (termasuk tutor) menuliskan 2 hal yang benar/jujur dan 1 hal yang bohong tentang diri kami sendiri. Ditulis besar-besar di kertas yang disediakan kemudian ditempel di dinding untuk ditebak mana yang bohong pada akhir course. Kami segroup baru mengenal satu sama lain di course tersebut, jadi main tebak-tebakkan ini jadi seru karena tak ada yang kenal satu sama lainnya.
Mau tahu 2 hal jujur dan 1 hal bohongku? Ini dia
1. I am a writer
2. I love football games
3. I have my first date  in 16 yearsold
Hihi..dan saat ditebak, ada yang nebak aku bukan penulis, ada pula yang mengira aku sama sekali bukan tipikal penggemar bola, tapi sebagian besar mereka menebak bahwa tentang “first date” itu bohong. Ah, aku memang bukan pembohong yang baik. Gampang ketebak ahaha. Nah saatnya menebak 1 hal bohong dari Amanda, tutor kami.  Pada bagian statement : “I am married” sebagian besar kami menebak itulah hal yang bohong/salah. Ternyataaaa..jreng :
            I am married. Saya megkategorikan bahwa saya menikah, My wife bla bla...” aku bengong sejenak, berusaha untuk bermuka datar untuk menutupi kekagetanku. Selama tiga hari ini aku menyangka Amanda itu seorang perempuan!! Dan mungkin memang perempuan. Aku hanya mengira kalau Amanda itu seorang perempuan dengan penampilan yang tomboy. Pakaiannya memang ala lelaki dengan jeans dan kemeja, potongan rambutnya cepak, tubuhnya memang tak terlalu perempuan, namun wajahnya walaupun tak kentara masih sedikit menampakkan sisi feminimnya. Jadi tak ada keraguan sedikitpun tentang gender tutorku ini. Makanya sedikit kaget dengan penuturan Amanda tadi.
            I am so happy with my life, my family can accept my choice. Kalau ada orang yang mempermasalahkannya. So that’s their problem, not mine” katanya dengan ringan dan jelas pada kami. Tak ada nada  ingin menutup-nutup ataupun sungkan. Bahkan dirinya sendiri yang begitu terbuka dengan identitasnya tersebut. Aku beberapa detik tak bisa berkata apa-apa. Banyak hal di sini yang membuat aku harus mengerti bahwa banyak perbedaan yang mesti dipahami, dimengerti, bukan untuk dicaci atau diperdebatkan. Ngapain, menghabiskan energi. Apa dengan begitu kita bisa mengklaim kalau Amanda nggak akan masuk surga karena memilih jalan itu? Mau berdebat dengan dalil-dalil agama juga seperti debat kusir, karena melihat dari kacamata yang berbeda. Mungkin bila ini terjadi di Indonesia akan menjadi polemik dan perdebatan panjang (atau masuk infotainment #ups).
Hal seperti inilah yang melatih diri untuk “Judge Less”, meminimalisir untuk “menghakimi” orang lain. Di mataku  Amanda tetaplah seorang yang luar biasa. Dari awal aku lihat orang ini punya energi positif yang luar biasa. Dia sangat ahli untuk melihat setiap hal positif dalam “setiap apapun”. Ini skill yang luar biasa bagi kehidupan, pun bagi orang-orang di sekitarnya. Dia kadang menghampiri kami yang tengah sibuk memikirkan strategi dalam menghadapi sebuah tugas group, lalu tiba-tiba berkata “ Listen, I want you to know one thing. You do Great!!” dengan mukanya yang mantap, dengan gerakan tangannya yang bersemangat dan nada suaranya yang berapi-api. Dia sejenis orang yang mampu membuat orang lain mengeluarkan sisi terbaik yang kita punya. Sebagai tutor, dia sungguh luar biasa.
Begitulah, perbedaan kadang memberikan kesempatan bagi kita untuk lebih mengerti dan belajar tentang penerimaan. Lihat saja sisi-sisi positif darinya, bila ada pilihannya yang tak sesuai denganku, that’s her/his own bussiness right?

Murray-Amanda-Ceri asyik ngobrol

Acara santai sehabis course

Maka ditutuplah course ini dengan menampilkan foto-foto selama 3 hari course, kemudian dilanjutkan sajian minum (tentu saja bagianku minum jus) dan snack sambil berbincang-bincang. Lalu saat ada kesempatan aku berbincang dengan Amanda. Dia sedari siang sibuk dengan anak-anak yang mengantri untuk berkonsultasi hingga aku tak ada kesempatan berkonsultasi. Aku berbincang sejenak mengkonsultasikan sedikit dilema dalam pekerjaanku, tentang jenjang karir, pilihan menjadi pejabat struktural atau tidak, passion bla.bla..lalu dia menjawab dengan singkat.
            “ Life is short. Why you should spent it to do things that you really don’t want to do? Just listen to the sing of your heart!” dia menjawab diakhiri dengan tersenyum.
Jleb! Huaaah keren ini orang!. Walaupun aku sudah pernah mendengar ungkapan tersebut walau dengan kalimat yang berbeda, namun ketika mengajukan pertanyaan riil dan tiba-tiba seseorang menjawabnya dengan statement itu. Jawaban telak pada sasaran!
Aku pulang dari course itu dengan membawa banyak “bekal” untuk perjalanan berikutnya. Kadang memang hidup membawakan orang-orang yang membawakan pesanNya pada kita.
Salam semangat

Glasgow, Awal Juli  2013 yang hangat.
 

Senin, 01 Juli 2013

Glasgow = Home

Sinar mentari menelusup lewat jendela flatku-pagi yang mahal di Glasgow


Malam sudah cukup menua di Glasgow, sementara subuh mulai merayapi waktu Indonesia. Aku sudah semakin terbiasa dengan dua waktu ini. Dan kubiarkan diriku bersantai sejenak setelah hari ini submit second year report yang telah menguras pikirku beberapa minggu ini. Sedikit menyegarkan otak dengan jalan-jalan sore sendirian ke sekitar Byres Road dan mampir Tesco untuk membeli belanja mingguan. Glasgow benar-benar sudah terasa seperti rumah, telah kukenali aromanya, jalanannya. Jalan ke Byres Road itu seperti aku hendak ke arah kentungan di Jogya atau perempatan MM. Semakin lama hidup di Glasgow, rasanya semakin betah saja. Apalagi kini sedang musim semi menjelang musim panas hingga cuaca cukup menyenangkan. Pagi Glasgow biasanya diawali dengan cericit burung dan sinar mentari yang menyelusup masuk lewat gorden jendela flatku. Iyah, kurasa waktu pagi adalah waktu favoritku. Menikmati pagi cerah yang mahal dan secangkir kopi. Iyah mahal, karena pagi dengan mentari yang cerah bahkan untuk musim semi atau panas-pun termasuk hal yang langka. Ada teman yang menceritakan hal yang lucu tentang Glasgow. Dia bertanya pada seorang temannya yang orang Glasgow.
            Berapa lama musim panas berlangsung di Glasgow?”
            “ Umm...yah, sekitar dua mingu” begitu jawabnya.
Hahaha benar-benar deh Glasgow. Tapi cuacanya yang galau itupun semakin lama juga semakin biasa. Menjelang musim panas ini Glasgow cukup hangat. Di antara ke empat musimnya, mungkin musim yang paling menyenangkan untuk tinggal memang musim panas. Tidak terlalu panas, juga tidak terlalu dingin, pas untuk manusia tropis sepertiku. Tapi setiap musim mempunyai kekhasannya sendiri, dan aku masih merasa Glasgow sungguh tempat yang sangat nyaman untuk tinggal.
Sejak pertama kali menginjakkan kaki di daratan Glasgow, ada semacam rasa bahwa kota ini serasa “akrab” di hati, maka hampir tak ada kesulitan berarti untuk beradaptasi. Kesulitan yang banyak kuhadapi lebih pada masalah studi doktoralku, namun tentang penyesuaian diri dengan Glasgow berjalan begitu mulus. Empat musimnya sudah kurasai, walau kurasa hanya ada satu musim di Glasgow : musim hujan ahaha...
Tapi benar, Glasgow sudah terasa rumah. Apalagi setelah mengunjungi beberapa kota seputar UK, aku merasai bahwa Glasgow memang kota yang “pas” untukku. Kadang ada kota-kota tertentu yang memang sesuai dengan karakteristik orang masing-masing. Ada yang suka metropolis, ada yang campuran, ada yang suka benar-benar pedesaan. Semua orang dengan pilihannya masing-masing tentu saja.
Glasgow, aku bersyukur bisa mempunyai kesempatan hidup di tanah ini. Penuh warna, penuh rasa, penuh cerita, dan aku bersiap merajut kisah-kisah berikutnya.
Glasgowku//rumahku.

Di penghujung bulan Juni, 2013. 11.45 pm.