Rabu, 04 September 2013

(Lebih dari) Sempurna




Sempurna.
Utuh
Lengkap
Nyatanya mungkin bukan tiadanya kekurangan, ketidaksempurnaan, ataupun ketidaklengkapan.
Mungkin serupa adanya kekurangan, namun ada upaya untuk menaruh pemakluman.
Ketidaksempurnaan, namun ada kemauan untuk belajar tentang penerimaan.
Sempurna.
Mungkin seperti kondisi: apa adanya—setelah melakukan hal terbaik yang kita bisa.
Sempurna.
Mungkin pula bukan saling melengkapi
Mungkin pula bukan saling mengutuhkan
Mungkin pula bukan saling menggenapkan.
Tapi menemukan cermin dari keutuhan kita.
Menemukan seseorang yang membuat kita menyadari tentang keutuhan dan berbagi keutuhan bersama-sama.
Bukan saling tarik menarik, bukan kurang mengurangi atau menambahkan.
Sempurna
Serupa huruf O, serupa angka nol 0. Mungkin.
---

100
Seratus sempurna..seratus sempurna..
101...seratus satu.seratus satu....
Kamu (lebih dari) sempurna...( Malaikat Juga Tahu, Dee-Rectoverso)
---

Bersama secangkir coffee latte, For Always-nya Josh Groban dan dini hari Glasgow.
4 Sept 2013. 03.19 am.

Selasa, 03 September 2013

Tentang Kopi dan Rasa Hidup




Masih tentang kopi, dan saya menulis pun ditemani secangkir kopi di sorenya Glasgow yang sudah mulai dingin. Cuaca awal September sudah serupa dengan musim gugur,  karena memang sudah waktunya. Musim kali ini sepertinya datang tepat waktu. Langit sudah sering gloomy, hujan sudah sering kali mengunjungi dan yang paling khas tentu saja anginnya Glasgow yang mantap itu. Usai dari lab tadi anginnya sudah lumayan menampar-nampar muka, memang belum iseng mengaburkan badan sih. Tunggulah menjelang pertengahan atau akhir September, anginnya Glasgow pasti bertambah iseng.
Dan teman terbaik untuk cuaca seperti ini memang secangkir kopi hangat. Iyah, seakan menemukan semacam alibi yang tepat untuk melegalkan ritual minum kopi. Minum kopi bagi beberapa orang memang merupakan ritual tersendiri. Lihatlah bagaimana Dee dengan gemilangnya membuat Filosofi Kopi yang hampir siapapun membacainya. Kopi itu minuman yang sangat berkarakter-begitu tulisnya dalam filosofi kopi. Pilihan masing-masing pribadi akan jenis kopi favoritnya kadang kala pula mencerminkan kepribadian si peminum kopi itu sendiri. Kadang ada lho artikel yang menulis tentang hubungan karakter seseorang dengan jenis kopi yang diminumnya, ada pula yang melakukan studi ilmiah tentang hal tersebut. Iseng-iseng saya juga sering membacainya. Kadang ada pula yang sesuai, seru juga.
Saya pecinta coffee latte, dan sayangnya sulit yang mampu memuaskan lidah saya akan selera kopi saya. Seriusan! Menurut saya kopi paling enak itu ramuan sendiri, seperti hidup memang paling pas bila kita tahu apa yang kita mau. Dan yang tahu apa yang kita maui tentu saja diri sendiri. Seberapa bubuk kopi yang ditambahkan, seberapa sendok gula, berapa air panas serta berapa susu ataupun cream yang ditambahkan. Bahkan kopi seperti apa, susu jenis apa pun kadang sampai sespesifik itu. Repot? Tidak, saya hanya tahu apa yang saya maui. Akhir-akhir beberapa kali mencobai kopi baru, dan lidah mulai “manja” enggak mau lagi kopi biasa yang saya biasa saya beli dengan harga relatif murah. Kopi biasa sangat terasa asamnya, kadangkala rasa asam itu menganggu rasa pahitnya.
Kadang dengan melihat perpaduan warnanya di permukaan cangkir saja yang bisa mengira apakah susu yang ditambahkan sudah cukup atau belum. Warna setelah gula, kopi dan susu itu bercampur pun harus pas untuk mencipta paduan rasa yang orgasmik! Hihi. Saya membuatnya hampir setiap hari, telah menjadi bagian dari hidup seperti saya makan nasi, jadi jangan heran saya sudah hapal benar takaran dan paduan favorit saya.
Bahkan untuk cangkir kopi sendiripun saya punya preferensi sendiri. Saya jarang sekali membuat kopi untuk saya sendiri dengan menggunakan gelas. Saya suka membuat kopi dengan cangkir berbahan keramik, dengan bentuk yang bulat atau sejenisnya (bukan bentuk seperti gelas) dan sisi dalamnya berwarna putih/terang. Entah kenapa saya menggangap pilihan cangkir juga mempengaruhi rasa. Sisi dalamnya yang putih akan memudahkan saya untuk mendeteksi apakah campuran yang saya buat sudah pas atau belum. Dengan gampang bisa tahu apakah masih kurang susu, atau kebanyakan karena pastinya rasanya akan lain nantinya. Dan satu hal lagi, saya menikmati melihat perpaduan warna itu. Saya mahluk visual yang “terpuaskan” dengan memandangi terlebih dulu kopi yang akan saya sesap. Dan begitulah minum kopi bagi saya memang serupa serangkaian teori-teori yang memang hanya cocok untuk saya sendiri. Karena bagaimana saya menentukan seperti apa kopi kesukaan saya, persis seperti bagaimana saya menentukan hidup seperti apa yang saya inginkan.
Kadang kala ada pula cerita ataupun alasan di balik preferensi orang terhadap jenis kopinya. Semalam saya nonton Rectoverso lagi (entah untuk ke berapa kali), dan pada adegan “cicak di dinding” ada dialog yang pasti sangat diingat penonton :
            “ Kenapa si suka minum kopi pahit?” tanya Laras yang diperankan Sophia Latjuba dengan gayanya yang sensual pada Taja.
            “ Biar ingat masih ada yang manis di luar sana,” jawab si Taja dengan raut mukanya yang dingin.
Atau alasan si Randy (Boy Hamzah) dalam film “Kata Hati”  yang mengubah selera kopinya menjadi kopi item setelah ditinggal pergi kekasihnya.
            “ Seperti hidupku, hitam dan pahit semenjak ditinggal Dera,” begitu dalam salah satu dialognya.

Kau lihat? Kopi itu memang ikonik ehehe. Lalu kenapa aku suka coffee latte? Humm saya suka paduan rasa pahit, manis dan gurih dan satu sesapan. Kopi bukanlah kopi kalau tidak pahit bukan? Juga hidup kadangkala bukan menghindari kepahitan, tapi menghadapinya karena masih ada rasa manis yang ditawarkan hidup.
Saya suka pahitnya kopi, pahitnya pare, pahitnya rebusan daun pepaya ataupun kadang pahitnya jamu. Pahit itu juga sama seperti katalog rasa-rasa yang lain seperti manis, asin, gurih, asam, hambar. Seperti juga hidup, kita harus siap menghadapi rasa apapun. Dan untungnya kita selalu bisa memilih bagaimana kita mensikapinya. Jadi teringat kalimat Gede Prama dalam tulisannya :
“full of attachment to pleasure, and full of rejection to the pain. As a result, life continuously swing from one extreme to the other extreme without having any rest. This is the root of many diseases such as stress and depression”
Jadi, coffee latte bagi saya itu seperti bagaimana menghadapi pahit, manis dan gurihnya hidup dengan berani #eaaa...dududu..

Glasgow, 2 Sept 2013 menjelang tengah malam.

Minggu, 01 September 2013

Secangkir kopi dan Laki-laki


          


           “Pagiiii...(lalu di belakangnya ada ikon skype dengan gambar secangkir minuman panas),” sapa sahabatku via chat  skype.
            “ini lagi ngopi. Lagi nyobain kopi baru...enaaaak bangeet,” sambutku dengan membalas chatnya. Kubalas begitu karena melihat ikon minuman hangat mengepul itu langsung kuasumsikan dengan secangkir kopi. 
            “ Aku cukup teh atau coklat panas saja” katanya. Dan baru kusadari setelah sekian lama, ternyata memang dia tak pernah minum kopi. 
            “ Kau tahu? Kopi itu identik dengan laki-laki. Jadi aku masih merasa aneh kalau perempuan suka ngopi.” Begitu paparnya.
Dan jawaban tadi sungguh tak terduga. What? Jadi kopi itu menurutnya sejenis minuman bergender?hihihi..unik dan lucu menurutku. Sama sekali tak pernah terlintas di pikiranku ada orang yang berpersepsi begitu. Dan yang baru saja mengatakan itu sahabat yang hampir tiap hari kuajak ngobrol tentang apa saja, lebih dari 10 tahun lamanya. Dan baru saja dia bilang hal yang tak pernah kuketahui tentang persepsinya tentang kopi. Sungguh aku tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. 
            “Kalau kopi hitam mungkin identik dengan laki-laki, tapi aku minum kopi ditambah susu.” Aku melontarkan jawabanku.
            “ Tapi tetap saja itu kopi. Kopi itu identik dengan laki-laki. Itu opiniku sejak kecil, ” dengan polosnya dia menjawab begitu. 
Iyah persepsi tiap orang sungguh unik. Aku tak pernah terbayang ada orang yang berpikiran demikian. Aku tidak sedang bilang itu aneh, salah atau benar, ini masalah persepsi. Tiap orang bebas mempunyai persepsinya sendiri.
Tapi aku  jadi berpikir, kenapa kopi identik dengan laki-laki? Apa karena ia pahit? Atau karena warnanya yang hitam? Mungkin rasa pahit dan warna hitam inilah yang menurutnya identik dengan laki-laki. Mungkin ada simbolisme kejantanan dan kelelakian yang digambarkan dari kopi. Sedangkan perempuan lebih pas dengan minuman yang lebih “ringan” seperti teh, susu, coklat atau minuman yang lebih centil seperti cocktail. Ah persepsi memang menyimpan keunikannya tersendiri. 
Sedangkan bagiku kopi itu sejenis minuman universal yang diminum siapa saja, tidak ada preferensi gender. Lelakiku bukan penggila kopi, setauku dia minum apa saja. Teh, susu, bahkan bila makan di luar dia lebih tertarik untuk mencobai minuman-minuman yang namanya aneh dan belum pernah dicobanya. Sementara bapakku penggila kopi, lebih sering kopi hitam.
            “ Bapakku peminum kopi, sedangkan aku mirip sekali dengan bapakku, mungkin itu kenapa aku suka kopi” terangku.
            “ Hihi aneh juga ya, bapakku tak suka kopi. Sukanya teh pekat, dan akupun tak suka teh yang manis” jelas sahabatku. 
Wiw teori apalagi ini, apa kopi juga sejenis minuman yang diturunkan secara genetis? Ahaha tentu saja tidak. Mungkin hanya soal kebiasaan. Kita masing-masing ditumbuhkan dengan lingkungan sendiri-sendiri, dan ini pula yang terbawa sampai pada titik saat ini, mungkin kadang kita saja yang tidak menyadari.
Percakapan kecil tentang secangkir kopi ini menyadarkanku tentang persepsi. Tiap diri mewakili persepsi sendiri-sendiri. Banyak debat-debat di media dan dimana-mana tentang banyak hal yang sebenarnya semacam debat tak perlu karena berinti pada mendebat persepsi. Sedangkan persepsi lebih sering bersifat pribadi, namun orang kadang membuta menghakimi. Seperti halnya secangkir kopi yang identik dengan laki-laki milik persepsi sahabatku itu, bukan untuk didebat tapi untuk dimengerti. Dan satu hal lagi, percakapan tentang secangkir kopi dan laki-laki tadi kembali membuatku menyadari bahwa hubungan dengan orang lain sungguh bergerak dalam sebuah dinamika yang ajaib. Aku bersahabat dengannya sudah sekian lama, bahkan saat membuat CV untuk “keperluan khusus”pun, dia bilang,
            “ Kau sajalah yang buat, apa sih yang kau tak tahu dariku” dia dengan gampangnya bilang begitu.
Tapi nyatanya persepsi dia tentang kopi saja setelah lebih dari 10 tahun bersahabat baru aku tahu pagi tadi. Dan itulah yang aku sukai dari sebuah hubungan, baik dengan sahabat, orang lain ataupun dengan pasangan, ajaib!. Kita tidak pernah sampai pada titik “benar-benar tahu dan paham sepenuhnya dan seluruhnya”, karena tiap saat manusia selalu baru. Selalu bergerak, bertumbuh, ada laju masing-masing yang mencipta kebaruan. Dan aku merasa komunikasi antara dua manusia itu serupa keajaiban. Diri manusia juga keajaiban, karena ada yang terucap dan terungkap, tapi ada pula yang tak terucap dan mengendap. Dan komunikasi itu semacam jembatan untuk menghubungkan dua manusia.
Secangkir kopi bagiku juga keajaiban, karena ada kombinasi pahit dan manis dalam setiap sesapan. 

Glasgow, Dini hari di awal september, sudah hampir menjelang pagi...

Jumat, 30 Agustus 2013

Jendela


Saya mempunyai kedekatan tersendiri dengan jendela. Iyah, bila naik kendaraan seperti bis, kereta, ataupun pesawat saya pasti memilih untuk duduk di samping jendela. Dan kemudian dengan betah memandangi potret-potret hidup di balik jendela. Saya suka mengamati apa saja dari balik jendela. Jendela itu seperti cakrawala yang memberikan ruang pandang bagi mata sekaligus pikiran kita. Jendela pikir bagi otak agar tidak berpikiran sempit, bahwa hidup penuh beraneka macam warna.
Jendela bagi saya juga memberikan keluasan. Rasanya seperti ada ruangan tambahan tentang dunia luar, di luar diri. Jendela juga tentang kesempatan untuk melihat, mengamati, dan mungkin juga melahirkan bibit peduli. Bahwa hidup bukan hanya soal kita sendiri ataupun orang-orang yang dekat dengan kita. Hidup juga tentang orang lain. Jendela mengajarkan saya untuk bersosial, menalikan hati untuk peduli tentang hal-hal yang memang saya pedulikan. Walaupun kita tidak bisa seperti malaikat yang peduli pada semua hal bukan? Bukan pula mengiyakan apa saja untuk membuat senang orang lain, tapi diri kita sendiri sepi. Tapi menurut saya, ada hal-hal yang memang menjadi fokus kepedulian masing-masing orang. Sering saya mengamati tentang hal ini, dan mungkin kini sedikit menemukan jawab. Ternyata tiap orang mempunyai kepedulian akan hal yang berbeda-beda. Ada yang peduli tentang bagaimana  mengatur keuangan dengan lebih baik (finance) seperti Ligwina Hananto, ada yang peduli pendidikan seperti Bapak Anis Baswedan, Ada yang peduli pelestarian hewan-hewan langka dengan komunitasnya dan lain sebagainya. Banyak sekali, dan tiap orang mempunyai spesifik fokus kepeduliannya sendiri. Saya sendiri peduli pada pendidikan, personal development, serta dunia kepenulisan.
Jendela tadi membuat saya berpikir tentang kebhinekaan kepedulian. Bahwa perbedaan kepedulian itu pastilah untuk saling melengkapi, sebagai wujud kontribusi masing-masing pribadi. Lalu kamu, hal apa yang kamu pedulikan di luar dirimu?
Eh kok jadi serius begini, berat ya bacanya ehehe..iyah sepertinya berbanding lurus dengan kenaikan berat badan saya. Tapi memang saya suka jendela. Melihat dan mengamati pemandangan di luar jendela. Seperti yang saya lakukan kemarin saat melakukan day trip ke Harry Potter Bridge di Glenvinnan Viaduct. Memandang ke luar jendela itu memanjakan mata, dengan deretan pegunungan hijaunya, danau-danau khas Scotland, rumah-rumah mungil kecil yang lucu, ataupun domba dan sapi-sapinya. Itulah mengapa saya betah berada di dekat jendela. Jadi bisa memotret pemandangan cantik seperti foto-foto ini. Semua foto ini saya ambil dengan kamera dari tempat duduk saya di balik jendela bus. 

Ini foto ngambilnya super seru, pas si pak supirnya kasih aba-aba buat tengok kanan, sementara bis mulai menanjak melewati jembatan yang melengkung, sampai di puncak lengkungan..tengok kanan, semua penumpang spontan bilang : Ow..dan sepersekian detik kamera saya membidik!
 
Kalau ini suka banget karena ada rumah mungilnya itu, memang sering mengamati rumah-rumah lucu di sini. Indah yaaa...dududu

Kalau ini ladang anggur, lucu dengan buletan buletannya yang khas itu
Ini pemandangan tipikal Highland banget

Dari balik jendela di perjalanan pulang


Jendela meluaskan pandangmu dengan berbagai jendela-jendela dunia. Karena hidup itu beraneka, agar kaya akan cara pandang, dan pikir akan hidup.
Saya masih selalu suka jendela, seperti saat menjawab pertanyaanmu pagi ini :
            “ Adek sekarang lagi apa?” tanyamu menyapaku di pagi Glasgow yang gloomy.
            “ Lagi mandang-mandang jendela, flat sepi. Ari lagi pergi Eurotrip (sebutan utk jalan-jalan ke eropa)” jawabku
            “ Ntar jendelanya kalau diliatin terus jadi malu lho, ” begitu candamu.
Hehe hari ini indah, mungkin karena jendela, karena mendapat respon positif apply kerjaan part time saya, dan pastinya karena kamu.



Jumat, 16 Agustus 2013

Beranda




Ada yang istimewa dari beranda. Karena ada hidup yang terbuka, karena semestinya tak pernah ada sebuah beranda yang tertutup bukan? Beranda menawarkan udara seluas-luasnya agar alveoli bekerja sempurna. Beranda menyedia ruang yang cukup lapang agar engkau bisa duduk tenang tanpa sekat-sekat yang mengekang. Pernah kalian pikir, kenapa manusia dalam kelajuan peradabannya memikirkan untuk mencipta beranda saat mereka membuat rumah? 
Mungkin karena kadang manusia butuh ruang-ruang tak bersekat. Semacam naungan teduh, tapi tetap menyediakan cukup udara untuk bernafas. Nafas hidup terkadang membutuhkan sebuah beranda, untuk mengisi stok tangki udara. Udara hidup yang sanggup menghidupi hidupnya.
Bila rumah seperti diri, maka beranda bisa menyerupa ruang sosialisasi. Agar kepenuhan yang ada pada kita bisa dibagi. Diri yang tersekat sekat dalam ruang kadang terlalu pengap, lalu pelan-pelan udara yang ada yang lingkarannya menjadi jenuh.
Lalu sejenak marilah kita duduk di beranda, berbincang mungkin tentang cuaca, soal menu makan malam kita, tentang buku atau tempat tempat yang ingin kita kunjungi berikutnya.
Atau tentang sesederhana secangkir teh atau kopi yang menemani kita di beranda.
            “ Sekarang aku bisa lho minum teh panas banget, masih mengepul-ngepul,” begitu ceritamu memulai bicara. 
Aku mendongak, meneliti wajahmu bilakah engkau bercanda atau berkata memang begitu adanya. Karena kadang kala aku susah membedanya. Sungguh. 
            Seriously?” tanyaku sambil memandangmu lekat-lekat. Biasanya kau akan menunggu beberapa saat agar kadar panas di cangkirmu itu menurun.
            “ He-eh, jadi kalau minum pakai sedotan bisa melepuh lepuh tuh,” begitu ujarmu. Dan sedetik kemudian aku harus menebak-nebak lagi antara kau becanda atau bilang sebenarnya. Tapi kadang itu menjadi tak terlalu penting.
            “ Yeih, masa minum panas pakai sedotan. Kalau minum panas itu tepi cangkirnya harus nempel di bibir, untuk mendeteksi seberapa kadar panasnya.” Begitu kilahku. Dan memang menurutku begitu. Aku sama sekali tak pernah, sungguh..sama sekali tak pernah sekalipun minum panas menggunakan sedotan.
            “Memangnya harus gitu ya? Ribet amat?” begitu protesmu. Tapi aku tak heran karena kau selalu mencereweti apa saja yang kulakukan.  
Dan marilah kita berbincang di beranda, dengan secangkir teh hangat manis atau kopi. Dengan sejenak hidup tanpa bersekat-sekat agar sirkulasi udara hidup kita tetap sehat. Bilapun kita berdua seperti sebuah rumah, mari ciptalah beranda sejuk untuk berbagi dengan orang-orang lain di sekitar kita. Mungkin suatu saat kita undang sahabat, kerabat atau teman dekat. Kita sajikan minuman hangat dan camilan buatanku. Karena hidup akan tersekat dan pengap bila hidup harus selalu hanya tentang kita berdua. Kita pun harus bersirkulasi, kita bisa bergerak bila cukup berjarak. Seperti posisi duduk kita di beranda, kadang kala berjarak dan kadang pula kita saling mendekat. 

                 Communication is the air that relationship breathes.--Chopra—

Ruangan student, CVR. Setelah kata beranda terlintas, dan jadilan tulisan ini, Voila!


Selasa, 13 Agustus 2013

Tambah Tresno Jalaran Soko Kulino : Tentang Beda


Glasgow-George Square

Sore ini saya melintasi Glasgow lagi, hanya ingin pergi ke KFC untuk makan kenyang dengan hot wingsnya yang mantap surantap. Saat menuju ke sana, di balik jendela bis menuju city center, saya melihat sisi-sisi kota yang kian lama kian terasa akrab di hati saya. Dan entah kenapa pikiran saya kembali mengenang saat awal saya menginjakkan kaki di kota ini. Dari awal, memang kota ini sudah terasa klik untuk saya. Mungkin bukan sejenis cinta menggebu-gebu seperti cinta-nya saya pada Edinburgh kala itu. Tapi Glasgow sedari awal memberikan rasa seperti rumah. Rumah hati. Dan kini sudah 2 tahunan saya tinggal di sini, dan dilandai aura betah bahkan sangat tergoda untuk memperpanjang studi. Jadi Glasgow pun bagi saya bukan semacam cinta Witing Tresno jalaran soko kulino. Saya teringat tulisan seorang sahabat blogger saya yang menulis :
            “Cinta akan/bisa tumbuh dengan sendirinya nanti, TAPI kita harus punya benih cintanya dulu. Kalau gak ada benihnya, apanya yang mau tumbuh??"
Curcolnya di kalimat tadi sempat membuat saya tersenyum. Mungkin dia juga mengalami apa yang saya rasai. Dan wahai para pembaca yang merasa bisa tresno jalaran soko kulino, tentu saja itu hak kalian masing-masing. Mari kita membiasakan perbedaan, dan menempatkan pendewasaan dalam memahaminya.
Peribahasa orang jawa bilang “Witing Tresno Jalanan Soko Kulino” (cinta tumbuh karena terbiasa), tapi memang peribahasa itu nampaknya tidak cocok untuk saya. Kok? Ehehe bukankah biasa saja bila teori, peribahasa memang tidak sesuai dengan kita? Penciptanya pasti melontarkan kalimat atau pernyataan berdasarkan pengalamannya sendiri dan mungkin disertai dengan observasi atau pengalaman beberapa orang lainnya. Tentu saja ada yang cocok ada yang tidak.
Tapi saya lebih pas dengan kalimat yang saya ubah sendiri “ tambah tresno jalaran soko kulino”. Karena kebiasaan, karena tapak-tapak waktu yang telah banyak mencipta kenang dan kejadian, rasanya menjadi “tambah tresno”, tapi bukan “witing tresno”. Karena saya tipe manusia yang sulit belajar jatuh cinta, tapi saya sangat menikmati proses belajar mencintai apa dan siapa yang saya sudah “jatuh cintai”. Ada satu bidang yang sekarang menjadi bagian dari hidup saya, ataupun kota yang menjadi tempat kerja saya. Walau sudah bertahun-tahun bergelut di bidang yang saya tekuni, atau tinggal lama di kota tempat saya bekerja, rasanya biasa saja. Saya menjalaninya semacam sebuah komitmen dan tanggung jawab. Saya mampu membedakan rasa terhadap bidang lainnya yang memberi saya rasa “hidup” dan kota yang sanggup mencipta rasa “pulang”.
Seseorang memilih tindakan ataupun mengambil pilihan karena rada dan prinsip definitif antara dia dengan dirinya sendiri. Bukan melakukan sesuatu, berubah ataupun mengambil pilihan karena pemikiran, pemahaman dan rasa orang lain. Meminta pertimbangan atau saran bukan berarti mengikuti pilihan mereka.
Entahlah, saya hanya kadang menghadapi orang-orang yang “memaksa” ikut pemikiran mereka. Kalian pun pasti sering terpapar pengalaman yang sering saya alami. Wajar saja memang, hidup penuh tabrakan pemikiran. Tapi bukankah kita tak pernah punya kuasa untuk mengubah pemikiran seseorang? Bila seseorang berubah, pasti karena diri orang tersebut tadi yang “mau” untuk berubah.
Banyak motivator yang punya berbagai teori, yang merasa termotivasi tentu saja karena orang tersebut “menemukan sendiri” motivasi itu ada dalam kata-kata sang motivator. Dan bila pun beberapa orang mengaku terinspirasi dari tulisan saya, tentu saja karena orang-orang tersebut yang “menemukan”nya sendiri.
Kalian percaya bahwa tak satupun teori yang mampu menjawab kebutuhan setiap orang? Saya percaya. Setiap kalimat, penyataan, ataupun retorika menurut saya mempunyai kecocokan untuk masing-masing orang. Dan yang mengetahui cocok atau tidak, tentu saja hanya diri kita sendiri. Tak usahlah memaksa-maksakan orang lain bahwa teori yang cocok dengan kita adalah yang paling baik, paling benar, paling sesuai. Mengerti mana-mana yang sesuai dengan kita, bagi saya itu lebih penting esensinya. Karena masing-masing diri adalah makhluk dengan karakter unik sendiri-sendiri, mewakili rasa masing-masing, dan pikiran yang melekatinya.
Yang sering saya amati, manusia kemudian tak merasa puas dengan hanya mewakili pemikirannya sendiri, namun terkadang “memaksa” orang lain untuk sesuai dengan pemikirannya. Bila kau perhatikan, “pemaksaan” pikiran itu walaupun secara halus, mudah sekali tertangkap di status-status Facebook ataupun twitter. Entah apa yang mereka coba untuk puaskan.
Saya menulis, mewakili rasa dan pikiran saya sendiri. Hampir tak pernah ada niatan bahwa tulisan-tulisan saya bertujuan untuk “menyetir” ataupun “memaksa” pikiran-pikiran pembaca saya. Ada banyak yang kemudian sependapat, mungkin banyak pula yang tidak.  Bukankah hidup memang dihidupi dengan adanya perbedaan?
Hidup juga terkadang belajar untuk bisa menerima bahwa orang lain punya pandangan dan pemikirannya sendiri. Saya hidup dengan nilai, prinsip, pemikiran rasa yang saya pilih dan yakini sendiri. Mungkin berbeda ataupun kadang sama dengan kalian. Entahlah, saya melihat ada pembelajaran kedewasaan seseorang untuk menghargai perbedaan, dan melangkah dalam harmoni.
Selamat menghidupi pikiran dan rasamu sendiri.

Sebuah kilas pikir di bis Glasgow jalur 6 menuju city center. 11 August 2013.