Senin, 14 April 2014

Dua Perempuan


         Di meja berbentuk bundar di sudut cafĂ©  itu terlihat pemandangan yang sama tiap kali mereka ke sini, secangkir coffee latte dan kopi hitam pekat. Coffee latte tentu saja milik Gayatri, sementara Anggia dipastikan pemilik secangkir kopi hitam pekat itu. Pesanan mereka berdua memang jarang berubah, termasuk camilan yang menemani mereka, croissant dan pie susu.
          “ Berarti dokumennya sudah kelar semua, Aya?” tanya Anggia dengan matanya yang menatap lurus pada sahabatnya, Gayatri yang biasa dipanggilnya Aya itu.
Gayatri mengambil secangkir coffee latteenya yang kemudian disesapnya perlahan, kemudian menjawab.
          “Iya, sudah. Pengacaraku akan kirim dokumen finalnya esok hari,” jawab Aya singkat. Matanya masih terlihat sayu.
       “Sabar ya, semuanya akan kembali baik-baik. Yakinlah,” Anggia mencoba menenangkan Aya, lalu menggeser tubuhnya mendekati sahabat yang telah dikenalnya lebih dari 10 tahun itu. Diusap-usap punggung Aya, mencoba memberikan penghiburan.
Aya terdiam, matanya tiba-tiba merah memanas dan bulir-bulir airmata tak tertahankan jatuh dari pelupuk matanya.
        “Aku merasa sendirian, Nggi,” isak Aya dalam tangisnya. Suaranya parau menahan gejolak perasaannya.
Perjalanan pernikahannya bersama Bimo yang hampir 4 tahun akhirnya kandas.     Entah kemana perginya cinta yang dulu menjadi alasan bagi Aya dan Bimo untuk menikah dulu.  Pernikahan sudah tidak menjadi sebuah ikatan yang nyaman lagi bagi mereka berdua. Ada laju yang timpang, ada pertumbuhan diri yang tak selaju. Komunikasi sudah tidak lagi berjalan dalam harmoni, namun lebih sering dialog yang berakhir dengan saling tidak mengerti. Rasanya ikatan pernikahan bukanlah wadah yang tepat lagi bagi mereka. Tiga bulan lalu, Aya mengajukan permohonan cerainya yang baru saja dikabulkan pengadilan minggu lalu.
        “Ah Aya, kamu kan selalu ada aku. Apapun yang terjadi. Kita hadapi bersama,” kata Anggia mencoba kembali menentramkan sahabat itu.
Bagi Gayatri, tentu saja ada kecemasan akan kesendirian, tentang tekanan psikologis dari masyarakat, bahkan pertentangan dari keluarganya sendiri tentang keputusannya itu.
           “Hidupmu itu bukan tentang kata orang kan Nggi?” kaliat itu meluncur dari Anggia.
Dan Gayatri kembaki terkenang, bahwa kalimat itu adalah kalimat sama yang diucapkannya dulu saat Anggia memutuskan untuk melanjutkan studinya ke luar negeri sementara hitungan umurnya memicu pertanyaan-pertanyaan yang mengusik. Pertanyaan seperti : Kapan menikah Nggi? Jangan karier melulu lah yang dikejar? Setinggi-tingginya karir dan pendidikan perempuan ya ujung-ujungnya harus patuh pada suami. Jangan cari lelaki yang sempurna, Nggi, nggak ada yang sempurna, Nggi atau pernyataan seperti, Kamu sih terlalu pilih-pilih.
“Hidupmu itu bukan kata orang, Nggi. Hidup itu pilihanmu sendiri kan, dan kamu tahu pasti konsekuensi dan risikonya. “ Aya masih ingat kalimat-kalimatnya saat menghibur Anggia yang tengah galau karena pilihannya tersebut. Ah, sekarang kalimatnya itu berbalik dialamatkan untuk dirinya sendiri.
“Iyah sih, tapi kadang sebel tahu sama orang-orang itu. Rese amat, memangnya nggak ada bahasan lain apa? Seneng banget gitu kalau ngurusi urusan orang lain,” Anggia menjawabnya dengan raut muka yang sedikit ketus.
“Kalau semua orang penuh pengertian, baik, memahami bahwa setiap orang punya jalan hidup dan ujiannya masing-masing, kayaknya dunia nggak bakalan seru ya?” goda Aya melihat Anggia yang sedikit ketus.
Percakapan itu terjadi sekitar dua tahun yang lalu. Tempatnya sama, di Rumah kopi ini. Mereka bertemu di tempat yang sama, dengan pesanan kopi yang sama, namun dengan cerita-cerita hidup yang berbeda. Jarak di antara mereka pun tidak pernah menjadi masalah bagi persahabatan mereka. Gayatri di Yogya, sementara Anggia di New Castle, Inggris. Tapi bila mereka punya kesempatan untuk bertemu, Cafe Rumah Kopi di Jalan Kaliurang km 5.4 ini selalu menjadi pilihan mereka untuk menghabiskan waktu bersama. 

                                                            ***
“ Bimo sakit, Nggi. Katanya ada gangguan pada ginjalnya. Aku dapat kabar dari Mbak Meda. Aku bingung mesti jenguk dia atau enggak,” gambar bergerak di layar monitor itu tersendat-sendat. Layanan skype dua negera itu memang sering ditentukan bagus tidaknya koneksi.
“ Hatimu yang tahu, kau harus jenguk dia atau enggak. Dan dalam kapasitas apa kau kesana,” jawab Anggia. Kadang kala perempuan sebenarnya tahu apa yang ingin mereka putuskan, mereka hanya perlu didengarkan.
“Jangan-jangan, kau takut jatuh cinta lagi padanya ahaha,” canda Anggia memecahkan kebekuan di antara mereka.
“ Hush, cintaku padanya kan sudah bermetamorfosa,” jawab Gayatri diakhiri tawa
“Memangnya kupu-kupu, bermetamorfosa, sok gaya. Memang apa maksudnya cintamu sudah bermetamorfosa?” tanya Anggia sambil mencibir.
Sejak bercerai lima bulan lalu, Gayatri seperti memasuki kehidupan yang baru. Ketunggalannya setelah pernah menjalani hidup berdua, jauh berbeda dengan kesendiriannya saat belum menikah dulu. Tidak mudah memang, ia kini harus menghidupi dirinya sendiri dengan kembali menekuni dunia desain grafis yang dulu sempat ditinggalkannya. Ditambah lagi tekanan psikologis masyarakat dengan perkataan yang terkadang bising menghampiri telinganya. Kenapa menjadi janda selalu menjadi konotasi negatif. Ini hanya jalur dan pilihan yang semua orang bisa pilih.
            “ Hei, kok malah bengong. Apaan itu tadi metamorfosa?” tanya Anggia mengagetkan Gayatri.
            “ Ya bukan lagi cinta sebagai pasangan. Entahlah apa namanya, semacam rasa terhadap sahabat baik. Itu saja. Mungkin kami lebih cocok jadi sahabat, bukan pasangan.” Jawab Gayatri.
            “Nggak ngerti ah, absurb.” Jawab Anggia seenaknya.
            “ Ah kamu. Makanya jatuh cinta dong. Yang lain udah pada belajarin anaknya ngaji, kamu belajar jatuh cinta aja belum, ” Ejek Gayatri. Begitulah keajaiban antar sahabat, mau ngejek tingkat tinggi bagaimanapun, nggak bakal tersinggung. Coba kalau yang ngomong begitu tetangga sebelah, sudah berubah pasti raut muka jadi merah menahan amarah.
“ Ahaha sialan. Memangnya kamu nggak inget aku pernah jatuh cinta?” sergah Anggia.
Kadang-kadang jarak memang hanya soal relativitas. Demikian juga waktu. Perbedaan enam 6 jam antara Indonesia-Inggris tak pernah menyurutkan komunikasi mereka berdua. Padahal tiap hari mereka berdua bisa bertemu dengan sahabat-sahabat nyata lain yang bisa bertemu muka. Tapi memang ada daya ajaib dari rasa persahabatan. Aku tak pernah khawatir kau akan pergi kemanapun, bertemu sahabat-sahabat baru berapapun, manusia dalam hidupnya mungkin memang ditakdirkan hanya memiliki beberapa sahabat sejati. Dan kau sudah menemukanku, aku sudah menemukanmu. Anggia paling sok yakin dengan teorinya tersebut.
                                                            ***
Gayatri seperti melihat sesosok Bimo yang lain saat memasuki kamar Rumah Sakit dimana Bimo dirawat. Tubuhnya kurus, wajahnya tampak lebih tirus dan kuyu dibandingkan terakhir kali dilihatnya. Lelaki itu, yang pernah menghabiskan hidup bersamanya selama hampir empat tahun lamanya. Gayatri tercekat, dilanda kebimbangan apa yang harus diucapnya. Bimo tersenyum dalam raut mukanya yang pucat.
“Terimakasih sudah datang menjenguk,” akhirnya dalam suaranya yang parau Bimo memecahkan kebekuan. Mungkin tak mudah juga baginya untuk bertemu lagi dengan Gayatri, perempuan yang dulu pernah menemani hidupnya itu.
“Formal amat, kayak pejabat,”sahut Gayatri menyahut dengan bergurau. Keduanya tergelak. Entah kenapa kebekuan dan kekakuan karena kisah pernikahan mereka yang tamat rasanya mencair seketika.. Kemudian mereka bercakap-cakap layaknya dua sahabat yang kembali saling bertemu.
“Oh ya, apa kabar Anggia sekarang?”tanya Bimo dengan suara yang kini jauh lebih jelas.
“Masih belum selesai studinya, tapi kayaknya masih asik jalan-jalan melulu tuh anak. Eh dia mau mudik ke Indo sebentar, mau nikah bulan depan.” Jawab Gayatri, sambil menggeser letak kursinya agar lebih dekat pada ranjang tempat Bimo berbaring.
What? Kok tiba-tiba sekali. Siapa laki-laki yang sanggup menaklukkannya?” Bimo mengenal Anggia sebagai sosok perempuan mandiri, yang tahu apa yang dia mau, dan ia jarang melihatnya bersama laki-laki.
“Mas Danar. Hihi jodoh memang ajaib. Lama banget lho Anggia nunggu, tapi kan nggantung gitu sejak lama. Akhirnya si Anggia yang melamar duluan, ahaha dasar gokil itu anak,” Rasanya pembicaraan cair seperti ini justru jarang mereka dapatkan saat memasuki tahun ketiga pernikahan mereka. Saat komunikasi berakhir pada satu sisi, saat ego masing-masing terlalu kuat untuk saling mengerti.
Melamar duluan? Ahaha mantap. Kadang-kadang perempuan itu memang harus kayak gitu. Apalagi kayak Anggia, laki-laki kadang-kadang nggak pede mau lamar dia. Ah, seneng dengarnya,” Ah itu Bimo yang dikenalnya dulu. Spontan, ceria dan apa adanya. Bahkan Gayatri merasa menemukan lagi Bimo yang dulu dikenalnya setelah tak bersamanya dalam ikatan pernikahan.
Ada perasaan lega saat Gayatri meninggalkan rumah sakit tempat Bimo dirawat. Semoga hidupmu baik-baik saja. Mungkin itu kalimat yang tak terucap dari keduanya, namun sorot mata mereka telah cukup jelas mengatakannya. Mungkin cinta terkadang adalah kemampun untuk saling membebaskan.
                                                            ***
Anggia mengancingkan coatnya dan mengenakan syal senada dengan jilbab ungu yang dikenakannya. Hawa dingin masih menyelimuti New Castle Bulan Februari ini, apalagi kalau disertai angin, rasanya tubuh kecilnya mau terbang tersapu angin. Lelaki itu di sampingnya, sibuk mengamati pemandangan di luar jendela bis yang akan membawa mereka ke Alnwick Castle, kastil dimana salah satu syuting film Harry Potter diambil.
            “Indah ya?” tanya Anggia mencoba mengalihkan perhatian lelaki itu dari lanskap cantik di luar jendela.
            “Ehehe iyah, walau ada yang lebih indah. Perempuan di sampingku ehehe.” Jawab Mas Danar sambil tergelak, memperlihatkan barisan giginya yang rapi.
            “Ish gombal. Kalau lebih indah, kok lihatnya ke sana terus, nggak kemari,” kata Anggia dengan pipinya yang berubah merona. Salahkan semua orang yang tengah jatuh cinta, entah hilang kemana kewarasannya.
            “ Kalau dilihat terus, takut terjadi gempa bumi beruntun di sini, jawab Mas Danar sembari menunjuk ke arah dadanya sambil tersenyum penuh cinta. Oh, salahkan juga laki-laki yang pandai membumbui kalimatnya dengan bahasanya yang berbunga, dan celakanya semua perempuan suka mendengarnya.
Anggia hanya tersenyum dengan pipinya yang kemerahan. Terkadang dalam hidup selalu memberinya kejutan. Seperti saat ini, lelaki yang ditunggunya selama lebih dari tiga tahun lamanya tiba-tiba menghampirinya. Mas Danar tengah menghadiri konferensi di New Castle dan sepertinya semesta merestui mereka berdua.  Hingga entah dengan keberanian macam apa, Anggia melamarnya. Mungkin hatinya sudah terlalu lama yakin bahwa lelaki itu mencintainya.
            “Kenapa sih nggak bilang dari dulu? Kan bisa jadi sekarang anak kita sudah satu?” ledek Mas Danar menggodainya.
            “Ishh..heloow. Aku kan perempuan, kamu dong harusnya yang bilang duluan. Ini malah aku yang harus bilang duluan. Malu tau, ntar dibilang agresif ehehe,”sergah Anggia
Bis terhenti sejenak di perempatan, terlihat orang-orang menyeberang tetap dengan pakaian hangatnya, boots dan syal yang melilit leher. Matahari memang menjadi barang langka di negeri itu.
            “Kirain kamu maunya sama bapak-bapak mapan, pejabat, yang banyak duit, kedudukannya mantap, keren gitu.” Timpal Mas Danar.
            “Memangnya aku ini materialistis?aku bisa menghidupi diriku sendiri, nggak punya ketergantungan finansial sama orang.” Balas Anggia.
            “Makanya itu. Jadi nggak pede tahu, kamu kan manis, karir melangit, pendidikan tinggi, penggemar banyak, follower bejibun. Eh ternyata maunya sama aku ahaha, “ ledek Mas Danar lagi. Yang dibalas dengan cubitan kecil di pinggangnya.
Kadang hidup memang membutuhkan manusia pemberani yang mengungkapkan apa yang diinginkannya dalam hidup. Tidak pernah ada lagi, What If.

                                                            ***
The Bay Bali, sensasi menikmati makanan di tepi Pantai Nusa Dua (pic taken from The Bay Bali FB Pages)

Semilir angin Pantai Nusa Dua Bali menyibakkan rambut sebahu milik Gayatri dan jilbab merah marun milik Anggia. The Bali Bay memang pilihan yang menyenangkan, menggabungkan dua hal yang mereka gilai sekaligus, makanan enak dan pantai. Gayatri antusias dengan pilihan menu Asianya dengan Aya lebih memilih Bebek Bengil kegemarannya.
“ Nggi, cobain deh Bebek Bengilnya uuuuh, the best pokoknya. Bumbunya meresap sampai ke dalam. Susah banget dapet ini di New Castle,” ujar Anggia dengan sigap mencomot bebek bengil dan menaruh sambel matah ke dalam piringnya. Penggila bebek dan sambel serba pedas.

Maknyusnya Bebek Bengil-The Bay Bali (pic taken from : The Bay Bali FB Pages)

 Kesempatan bertemu nyata antara dua perempuan ini sungguhlah hal yang istimewa. Walau mereka paham, kebersamaan bukanlah soal tempat, tapi lebih pada soal rasa. Namun ada yang lebih istimewa pada pertemuan mereka ini, kali ini bukan lagi Rumah Kopi. Mereka menghabiskan liburan di Nusa Dua Bali.
“ Kamu tinggal dimana sekarang ? tanya Anggia di sela-sela keasikannya mencicipi Bebek Bengil di piringnya.
“ Nomad ahaha, kantor sih tetap di Jogya, tapi kerjaanku tergantung projek juga. Jadi memang harus sering  pindah-pindah,”
“Nggak berasa capek hidupmu kayak gitu?”
“ Ehehe capek fisik sih kadang iya, Tapi hatiku, jiwaku baik-baik saja. Bahkan terasa lebih segar kalau pindah ke tempat yang baru. Mungkin manusia memang butuh perubahan, perpindahan. Rasanya aku sudah menemukan rumah, hatiku dan jiwaku sudah padu. Bukankah kemanapun pergi terasa pulang bila kita telah menemukan rumah di dalam diri,”
“ Hadeeeh minum..mana minum, ngomong apa sih kamu.” Kata Anggia meledek.
“ Ahaha,. Aku merasa bahagia aja bisa berbagi dengan banyak orang. Kayaknya hidup jadi lebih bermakna gitu. Ah, pantesan aja kamu suka keliling-keliling, dulu kupikir kau sinting mau-maunya ngajar di pedalaman Kalimantan, jadi anggota komunitas-komunitas macam-macam. Aku dulu melewatkan itu semua”,
 “ Hihi baguslah, Tapi sejak bersama Mas Danar, Aku sudah tak ingin kemana-mana lagi. Yunani, Maldives, Turki, nggak ada artinya lagi. Aku cuma pengen ada di samping Danar, itu saja. Wah nggak tau kenapa, rasanya berubah total jadi orang rumahan banget deh aku”
“Jiaah yang pengantin baru. Eh tapi serius kamu kan gatel pengin jalan-jalan lagi?” tanya Gayatri dengan dengan nada hampir tak percaya. Anggia dan kegemarannya menjelajah dunia adalah hal yang sudah dimakluminya
“Iyalah, tapi kalau keliling dunianya sama Mas Danar sih mau-mau aja ahaha,” kata Anggia sambil tergelak.
“ Beuhh dasaar. Ajaib ya, kamu kan kayak burung terbang-terbang mulu sekarang penginnya mendekam terus di rumah. Belajar masak, bikin kue.” Kenang Gayatri.
Dan sekarang kamu yang terbang-terbang ahaha, aneh ya,” timpal Anggia.
“ Well, Life is a choice. Our own choice, tergantung pilihan masing-masing ,” kata Gayatri kemudian,
“ Bukan pilihan orang lain dan bukan nurut kata orang lain ya kan? Sebelum keduluan kamu bilang gitu ahaha,” penggal Anggia cepat.
“What which make us happy juga beda-beda masing-masing orang.” Kemudian mereka berdua tergelak dalam tawa, larut dalam suara riuh ombak di tepi Pantai Nusa Dua Bali.
Eh, ketemu di sini lagi ya nanti. Mas Danar dateng jam 7 malam nanti. Ada Art Show, macam tari-tari tradisional Bali gitu di The Bay Bali. Sambil kita makan malam bareng-bareng di tepi pantai, lama kan nggak ketemu. Kita godai Mas Danar dengan sensasi maknyusnya bebek bengil.
“Yups, eh kita foto dulu dong. Lama nih nggak foto berdua, ada tripod gurita punyaku tuh bisa dipakai,” ajak Anggia, sembari mengeluarkan tripod kecil berbentuk gurita yang dengan mudah bisa  menopang kamera dengan mengaitkannya pada papan.
Klik! Ada wajah dua perempuan yang berbahagia dengan masing-masing pilihan hidupnya. 

Nusa Dua Bali (pic taken from : The Bay Bali FB Pages)


***
Blogpost ini dibuat dalam rangka mengikuti proyek menulis Letter of Happiness : Share your happiness with The Bay Bali and Get discovered !


Senin, 07 April 2014

Nevis Range Trip : Bad stories make good stories!




Sekitar pukul 4 pagi dengan hawa dingin yang masih menyelimuti Glasgow, kami menuju Queen Street Station, untuk berangkat jalan-jalan ke Nevis Range. Yeii impian kami berempat hari itu sama : ingin memeluk-meluk dan bermain salju puas-puas di Nevis Range!
Manusia-manusia tropis ini merindu salju. Musim dingin kali ini sangat pelit menghadiahkan salju pada kami. Salju hanya turun sejenak saja, bulir-bulir putihnya hanya sebentar saja menghiasi Glasgow kemudian menghilang. Aih, padahal kami menanti-nanti salju, membayangkan berfoto narsis dengan bulir-bulir putihnya atau siapa tahu bisa membuat boneka salju yang lucu. Memang musim dingin ini bukan pengalaman pertama bagiku, tapi tetap saja merasai salju dan melihat bulir-bulirnya jatuh dari langit merupakan pengalaman yang mengesankan. Nah karena di Glasgow saljunya turun malu-malu, maka kami berencana pergi ke Nevis Range untuk bisa bermain-main dengan salju puas-puas.
Nevis Range terletak di daerah Scotland atas, dekat dengan Fort Williams yang sayangnya pilihan transportasinya terbatas. Maka kami menggunakan kereta api Scotrail untuk menuju ke Nevis Range. Di dalam backpack kami sudah siap sarung tangan waterproof yang cocok untuk salju, pun sahabat saja sudah memakai pakaian dobel-dobel entah berapa banyaknya ehehe.
            “Jangan lupa bawa sirup, biar ntar tinggal bikin es setup,” begitu pesan teman kami yang tidak ikut dalam perjalanan ini.
Aih, bayangan bermain salju sudah di depan mata. Apalagi sepanjang perjalanan, di balik jendela kereta kami sudah disuguhi lanskap salju yang indah.
            “Lihat deh di sebelah sana, cantik banget,” teriak mas basid di sebelah, sambil menunjuk ke luar jendela. Saya mengerjapkan mata, rupanya saya tertidur di dalam kereta. Kemudian melongok ke luar jendela. Bukit-bukit yang tertutupi salju serta rumah-rumah yang tampak berundak-rundak tampak dengan susunan yang rapi di luar jendela. Ah, pemandangan highland memang tidak pernah membosankan untuk dilihat. Setiap musim menghadirkan keindahannya sendiri-sendiri. Indahnya selalu saja berbeda tiap musimnya. Bunga-bunga yang bersemi saat musim semi ataupun musim panas, salju di musim dingin ataupun daun-daun gugur kekuningan saat musim gugur.
Sekitar pukul 09.55, kereta kami sampai di Fort Williams. Hujan gerimis masih tetap saja mengguyuri langit Skotlandia. Memang sulit mengharapkan cuaca cerah di sini. Kemudian dari sana kami segera mencari bis ke arah Nevis Range. Hanya berjalan keluar dari station, kami menemukan papan-papan petunjuk bis serta jadwal keberangkatannya. Humm, nampaknya jadwal bisnya hanya 1 jam sekali, sedangkan kami hanya bepergian satu hari, akan membuang waktu kalau harus menunggu sekitar 1 jam. Maka kami memutuskan untuk naik taksi menuju ke Nevis Range. Dengan harga 15 GBP, kami berempat menuju ke Nevis Range menggunakan taksi. Kanan kiri terlihat lengang, hanya barisan pohon-pohon besar dan bukit-bukit yang memutih karena salju di kejauhan.
            “ Di sana, ada restoran di atas bukit. Tapi mungkin hari ini tutup. Ah, tapi coba saja,” demikian kata supir taksi saat kami hampir sampai ke Nevis Range. Tapi mungkin hari ini tutup ? Ew ew apa maksudnya heuheeu kami sudah menangkap gelaja yang tidak beres. Lalu setelah membayar ongkos taksi, si supir taksi tersebut memberikan kartu namanya pada kami.
            “Siapa tahu kalian butuh untuk kembali ke Fort Williams nanti,” kata si supir taksi itu dan kembali melajukan taksinya kembali ke Fort Williams.
             Kemudian kami segera melangkah, namun sekeliling nampak sepi. Hujan masih belum reda, suara angin nampak jelas terdengar dari suara-suara pepohonan yang riuh disapu angin. Humm ternyata lokasi tersebut berbeda dengan yang ada dalam bayangan saya. Sebelumnya, saya membayangkan kalau begitu sampai di Nevis Range, maka di sekelilingnya sudah penuh salju. Tapi tadaaa…ternyata untuk sampai daerah yang bersalju, kami harus naik gondola ke atas bukit. Dan berita buruknya adalah penanda CLOSED yang besar-besar tertampang di depan loket tiket. Glek, kami menelan ludah begitu mengetahui tempat tersebut tutup. Huhuhu bayangan bermain-main dengan salju perlahan semakin menghilang. Setelah mencari informasi dan bertanya kepada petugas,  maka memang dipastikan tempat itu tutup seharian karena cuaca buruk. Memang hujan masih saja turun dan angin kencang sehingga mungkin membahayakan bila tetap beroperasi. Ah, kami harus menerima kenyataan kalau seharian tempat ini bakalan tutup huhu. Kami pun mencari kemungkinan untuk mencari alternatif lain, misalnya ke Glen Finnan yang bisa ditempuh dari Fort williams, tapi lagi-lagi susahnya transportasi dan waktu tunggu yang lama membuat hal tersebut tidak memungkinkan dilakukan. Akhirnya satu-satunya pilihan adalah tetap tinggal di tempat ini, kemudian menunggu bis kembali ke Fort Williams.
            Kami akhirnya ke cafĂ© yang terletak di samping loket tiket dan memesan minuman hangat. Pesanan saya jarang berubah, pastinya secangkir coffee latte regular lumayan untuk menghangatkan badan. Lalu kami ngobrol-ngobrol sambil menikmati minuman hangat.


duo caffe latte
Foto bersama di cafe ehehe
            “ Aku sering lho mbak, pergi jalan-jalan cuman duduk-duduk, minum kopi, pokoknya yang penting lepas lah dari rutinitas biar tetep waras,” begitu kata mba yayuk. Mba yayuk ini jauh-jauh datang dari Newcastle untuk bereuni dengan mas basid, sesama staff pengajar Kimia Undip. Ia sengaja berkunjung ke Glasgow sebelum pulang ke Indonesia karena studi doktoralnya sudah selesai.
Pernyataan tersebut mungkin kembali mengingatkan kembali esensi jalan-jalan. Ngapain sih kita jalan-jalan? Setiap orang punya alasannya sendiri-sendiri. Dan salah satunya untuk melepaskan diri dari rutinitas, menyegarkan kembali pikiran dan melihat-lihat tanah-tanah yang belum pernah dijejaki.
           Usai ngobrol-ngobrol dan hujan sudah mereda, kami memutuskan untuk jalan-jalan di sekitar Nevis Range. Mulai dari foto-foto gila sampai memutuskan untuk mendaki. What mendaki? hihi iyah kami memutuskan untuk mendaki ke atas. Memang salju di atas sana cuma bisa merayu-rayu dari kejauhan. Semacam pesona yang tak terjamah ahaha. Maka kami mendaki pelan-pelan saja, menikmati sekeliling dan foto-foto gokil. Ah, cuma begitu saja rasanya sudah bahagia kok. Sampai ketinggian tertentu akhirnya kami kelaparan, maka kami membuka bekal. Wah benar-benar seperti camping nih. Dengan menggelar perbekalan kami, dan tentu saja bisa tertebak, selera Indonesia. Nasi dan ayam bakar, cleguk. Dengan mencuci tangan di aliran air, kemudian melahap nasi dan ayam bakar dengan tangan. Kebayang nggak sih rencana mainan salju berubah jadi camping? Hihi. Di tengan-tengah perbukitan, dengan suara angin yang gemuruh, ada sepiring nasi dan ayam bakar ahaha sejenis jalan-jalan yang aneh tapi  menyenangkan.

Mari makaaaan
             Setelah mengecek kembali papan penunjuk jadwal keberangkatan bis, ternyata untuk kembali ke Fort Williams, ternyata jadwalnya masih cukup lama.
            “Gimana kalau jalan saja ke sana? Capek nggak?,” usul Mas Basid.
Ekeke dasar semua pelancong nekad, tanpa babibu kami jalan ke arah kami tadi dihantarkan dengan taksi. Jalan sambil ngobrol, dan setiap kali nemu spot bagus trus foto-foto hadeeeh. Tapi lihatlah, bukankah tidak rugi bila menemukan spot sebagus ini? Perbukitan yang memutih di kejauhan, pohon-pohon menghijau yang sebagian tertutupi salju. Rasanya speechless menemukan pemandangan secantik ini. Narsis dong kami langsung sambil berebut berfoto.
berlatar pegunungan yang ditutupi salju
hihi horaaay narsis
Nah gara-gara kebanyakan narsis, saat melongok jarum jam, wih jadwal bis berikut dari Nevis Range segera datang nih. Akhirnya dengan satu komando kami berbalik kembali ke Nevis Range untuk bisa naik bis menuju Fort Williams. Bis yang akan kami tumpangi sudah terlihat di kejauhan, jadi kami berlari agar bisa mengejar bis tersebut. Dengan terengah-engah akhirnya kami bisa naik juga ke bis tersebut. Huaaaaah mantap juga lari-larinya.
            “weeh ternyata jauh juga ya kalau jalan” begitu komentar Mas Basid, disambuk geli tawa kami. Dasar pelancong-pelancong nekad semua. Mungkin bisa-bisa baru sampai besok kalau jalan kaki kembali ke Fort Williams.
 Setibanya di Fort Williams kami istirahat di stasiun lalu jalan-jalan di City Center-nya Fort Williams. Tidak banyak yang bisa dilihat di kota kecil ini tapi melihat-lihat tempat yang baru lumayan juga. Yang jelas tetap foto-foto gokil membuat suasana tetap cerah ceria.


berlatar danau di dekat Fort Williams


City center-Fort Williams

Ehehe jalan-jalan santai di Fort Williams

Rencana jalan-jalan boleh saja gagal, tapi acara-acara jalan-jalan tetap cerah ceria dan menyenangkan. Itulah enaknya kalau jalan-jalan dengan teman seperjalanan yang asik asik, entah bagaimanapun kondisinya, jalan-jalan tetap asik.
Jalan-jalan nggak selalu sesuai dengan kita rencanakan, bisa saja masalah transportasi, masalah cuaca seperti yang kami alami ataupun banyak kendala-kendala lain yang membuat rencana perjalanan kita tidak sesuai dengan perkiraan semula.
Kami mungkin tidak bisa memeluki salju, tapi acara jalan-jalan kami tetapkan berkesan dengan pengalaman-pengalaman baru yang tak terduga sebelumnya.
Yeaah bad stories can make a good stories. Pokoknya, tetap jalan-jalan anti mati gaya, guys. Happy Travelling.

(Catatan Perjalanan Nevis Range-8 Maret 2014)

Selasa, 01 April 2014

Lelah Raga, Segar Jiwa



 Ehehe dari judulnya saja, ketahuan saya lagi ingin leyeh-leyeh di “rumah “ saya ini. Iyah, akhir-akhir ini memang terasa melelahkan. Raga saya seringkali tidak mendapat istirahat yang cukup. Beberapa minggu ini sibuk menyiapkan acara Indonesian Cultural Day (ICD) bersama rekan-rekan PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) Glasgow. Rapat ataupun latihan nari sampai larut malam, sedangkan seharian harus tetap dengan aktivitas studi saya. Kerjanya pun serampangan, mulai dari performer nari, panitia, bagian promosi dan publikasi tulisan ehehe. Tapi saya sangat menikmatinya, jadi walaupun raga rasanya lelah lungkrah tapi jiwa terasa segar bersinar *halaaah. Inilah salah satu kontribusi kecil saya untuk Indonesia, membantu rekan-rekan PPI sesuai dengan kemampuan saya untuk bersama-sama menyelenggarakan acara ini. Mengenalkan budaya, wisata, tarian dan lagu tradisional serta ada juga permainan tradisional. Alhamdulillah acaranya berlangsung sukses dan super meriah. Itu semua tentu saja berkat kerja keras dan kekompakan seluruh pendukung acara. Ada rasa gembira, haru, bangga yang beradu. Usai acara tersebut, saya sebagai tim redaksi PPI Glasgow harus menyiapkan tulisan untuk publikasi acara. Tulisan yang saya buat sampai hampir menjelang pagi ini bisa dibaca di sini

Saya memang bukan tipe penulis cepat yang bisa menyelesaikan tulisan yang tempo yang singkat. Humm tergantung jenis tulisannya juga sih, kalau rada serius memang butuh waktu untuk mencari detail tambahan dan agak lama editingnya. Selain itu saya banyak intermezzonya saat nulis, bisa stop nyemil makan *duuuh liat itu pipi, bisa sambil buka-buka FB ataupun ngetweet di twitter ahaha parah.  Tapi kalau jenis tulisan seperti yang sedang kalian bacai ini bisa cuman beberapa menit, jreng jadi soalnya nggak banyak mikir hihi.

Namun memang menulis tetap saja aktivitas yang tak bisa lepas dari saya. Memang kadang kala bingung mau nulis apa, tapi kadang rasanya kepala belum ringan kalau belum menuliskan apa yang ada melintas di pikiran. Dan tentu saja ada semacam inner contentment saat tulisan saya semakin dibaca banyak orang. Memang rasa “surga”nya penulis itu adalah apresiasi dari pembaca pada tulisan kita. Itulah mengapa walaupun sebenarnya raga yang lelah, waktu yang terbatas namun tetap mendorong saya untuk tetap menulis. Jiwa terasa jauh lebih segar, mungkin karena ternyata menulis mempunyai efek “rejuvenating” dengan cara melahirkan produk-produk pemikiran dan rasa, kemudian mencipta lagi karya-karya yang baru. Entahlah, saya sering merasa jiwa saya terasa segara kembali saat kembali menulis. Makanya saya nulis di sini biar jiwa makin segar bugar, walau raga sepertinya butuh tidur dan makan ekstra *eits makan ekstra? Ehehe.

Usai ICD, kembali ke aktivitas studi seperti biasa, namun tetap saja saya  masih ikut terlibat untuk persiapan seminar Islamic Finance Management (IFM) yang diadakan PPI Glasgow Tanggal 5 April sabtu depan. Rasanya memang saya terbawa semangat anak-anak muda yang aktif melakukan kegiatan-kegiatan positif. Semakin ingin memberikan banyak karya dan kontribusi sebaik yang saya bisa.

Iyah, mungkin memang raga masih akan banyak lelah dalam waktu-waktu ke depan, tapi semoga semangat yang ada akan menjadikan saya tetap cerah ceria *halaah.


Semangat berkarya ya semuaaaa