Selasa, 27 Januari 2015

Apa yang kau tahu tentang bahagia?


Ah bahasan bahagia lagi. Dan judul posting saya kali ini lagi-lagi sebuah pertanyaan. Ah, biarlah.
Saya tiba-tiba kembali tertarik untuk bertanya,
Apa yang kau tahu tentang bahagia?
Lagi-lagi pula saya menanyakan pertanyaan itu pada diri saya sendiri. “Hey, apa yang kau tahu tentang bahagia?”
Tadinya saya berpikir bahwa saya cukup banyak tahu tentang bahagia. Tema tentang bahagia lumayan banyak di blog saya ini. Saya juga seringkali bicara tentang bahagia. Iya, saya mengira saya tahu banyak tentang kebahagiaan.
Tapi benarkah demikian?
Bahagia yang saya tahu : rasa yang bisa saya ciptakan sendiri, kapan saja, tanpa syarat apapun. Bahagia, satu-satunya yang bertanggungjawab atas kebahagiaan saya ya diri saya sendiri. Saya tidak bisa membuat orang lain bahagia *walaupun saya telah berupaya. Siapa yang bisa menjamin mampu membuat orang lain bahagia? Tidak ada. Karena kebahagiaan orang lain itu pula dikarenakan orang lain itu sendiri. Kita mungkin bisa mengupayakan membuat orang lain bahagia, ataupun pula berbagi kebahagiaan.
Ah, saya terlalu banyak bicara.
Lalu apa bahagia?
Ah, apa itu bahagia? Apa itu seperti halnya rasa senang, gembira, tidak ada masalah, berkecukupan?
Saya jadi teringat suatu peristiwa. Kala saya menangis, sedih. Kemudian orang tercinta saya berkata :
“ Maaf, belum bisa membuatmu bahagia,” begitu katanya.
Lama ada jeda,
“I’m happy” kata saya, tanpa keraguan. Saya melihat ada tanya di air muka orang tercinta saya,
Lalu saya mengulang lagi kalimat saya,
“I’m happy”
“Bahagia itu bukan berarti nggak ada sedih, nggak ada susah,” itu kata-kata yang keluar dari mulut saya kala itu.
Lalu kalau begitu bahagia itu apa? Bagaimana?
Saya tiba-tiba menyadari satu hal. Saya tidak tahu apa-apa.
Saya tidak tahu apa-apa.
Atau kata-kata gagal mampu menjelaskannya.
Sepertinya juga cinta. Apa itu cinta? Apa itu bahagia?
Kita gagap menjawabnya, namun dengan yakin kita merasainya. Kita merasainya.
Lalu kamu, apa yang kau tahu tentang bahagia?


Senin, 26 Januari 2015

Memangnya Kau Cari Bahagia Kemana?


Bahagia. Kata ini kadang telah berubah menjadi berhala. Banyak manusia segenap upaya mencarinya, meraihnya. Namun dalam selintasan pikirku, tiba-tiba saja saya berpikir. Bukankah bahagia itu “hanya” sebuah rasa?
Ia bukan rumah mewah, bukan liburan ke tempat-tempat yang mengagumkan, ia bukan mobil seharga ratusan juta.
Bahagia itu rasa. Entah kenapa kalimat sederhana ini menggugahkan kembali sebuah pemahaman lama.
Apakah kita sadar bahagia yang seringkali kita damba itu “hanya” sebuah rasa? Yang sebenarnya bisa kita cipta kapan saja?
Rasa itu hasil kerjasama kepala dan hati kita. Kita bisa cipta rasa apa saja. Itu yang seringkali kita lupa. Menyangka bahwa bahagia ada di luar sana. Ada yang mencarinya pada pencapaian-pencapaian mengagumkan hidupnya, ada yang mendefinisikannya dengan barang barang mewah, ada yang mencoba menemukannya pada rekening gendutnya, atau ada pula yang menggantungkan bahagia pada orang-orang tercintanya.
Ya, seringkali kita lupa, bahagia ada di dalam diri kita. Memangnya kau cari ia kemana?
Bahagia itu rasa. Kuncinya ada di dalam pikir dan hati diri kita. Memangnya kau cari bahagia kemana? Pada siapa atau pada apa?
Selamat bertanya.

Salam

Glasgow, 26 January 2015

Mau Kau Tukar Masa Sulitmu?


Ketika kau ditanya sebuah pertanyaan “Mau kau tukar masa sulitmu?” apa yang kira-kira kau pikirkan dan kemudian kau jawab apa?
Pernah kau menanyai dirimu sendiri pertanyaan seperti itu?
Misalnya saja kita ditanya “Mau kau tukar masa bahagiamu? Masa senangmu?” mungkin jawabannya bisa ditebak. Kita pasti menggeleng dan tidak mau menukar masa-masa yang menyenangkan, menggembirakan dan membahagiakan.
Namun, jika pertanyaan sebaliknya yakni : Maukah kau tukar masa sulitmu? Bisa jadi masa sulit tersebut ditukar dengan kemudahan seketika lalu dihapus dari perjalanan hidupmu. Atau bisa jadi masa sulitmu itu ditukar dengan masa sulit orang lain.
Bagaimana? Kira-kira kau jawab apa?
Dan setelah saya menanyakan pertanyaan tersebut pada diri saya sendiri, ternyata jawabannya, saya menggelengkan kepala, Tidak. Saya tidak ingin menukar masa sulit saya.
Pertama, misalnya masa sulit saya ditukar dengan masa sulit orang lain? Phew jelas saya tidak mau. Kenapa?
Karena masa sulit saya pastilah dikarenakan pilihan-pilihan yang saya buat sendiri selama perjalanan hidup saya. Misalnya saja saat ini saya tengah menghadapi masa-masa sulit dalam lab work untuk studi PhD saya. Tapi toh melanjutkan studi doktoral adalah pilihan saya sendiri, dan saya lah yang paling bertanggung jawab atas risiko-risiko penyertanya.
Tentu saja saya tidak mau menukar masa sulit saya dengan masa sulit orang lain. Saya tidak mau menghadapi masa sulit karena pilihan-pilihan orang lain. Betapapun beratnya masa-masa sulit yang saya hadapi terkadang, ada suara-suara yang muncul “ Hey, that’s my choice anyway”, ini risiko pilihanku sendiri, hadapi!
Setidaknya kalimat tersebut menguatkan kala masa sulit itu datang.
Kedua, bila masa sulit itu dihapus atau ditiadakan. Anehnya, pada akhirnya saya memilih untuk menggelengkan kepala juga. Ternyata saya butuh masa-masa sulit itu. Ternyata ketangguhan tidak dibentuk oleh kemudahan-kemudahan, namun justru oleh kesulitan-kesulitan. Kekuatan juga banyak dibentuk oleh tantangan, hambatan dan masalah. Masa sulitpun membuat kemudahan yang kita terima terasa begitu mudah untuk kita syukuri.
Masa-masa sulit mungkin seperti guru yang kita benci. Namun pada akhirnya kita menyadari, kita membutuhkannya, jiwa dan kehidupan kita ternyata banyak dibentuk olehnya.
Kapanpun engkau menghadapi masa sulit, mungkin bisa kau tanyai dirimu sendiri pertanyaan tadi. Mau kau tukar masa sulitmu? Mungkin itu bisa membantumu memperoleh lagi semangatmu, kekuatanmu, ketangguhanmu. Semoga.  



Glasgow, 26 January 2015

Kamis, 08 Januari 2015

How Good You Know Yourself?



“Kayaknya aku harus ke psikolog lagi deh,” kata sahabat saya. Kalimat “ ke psikolog” mungkin bagi sebagian orang terdengar mengerikan, seperti sakit jiwakah?
Padahal tak semengerikan itu. Mungkin memang awareness masyarakat kita terhadap kesehatan mental masih belum begitu baik. “Sehat” seringkali hanya dimaknai oleh sehat raga saja, namun melupakan kesehatan jiwa. Padahal kesehatan jiwa tak kalah pentingnya, kadangkala pula kesehatan raga pun dipengaruhi oleh kesehatan jiwa kita.
Sepanjang perjalanan hidup saya, saya pernah menjumpai dua kasus ekstrim teman yang menurut saya kesulitan mengenali dan menerima dirinya sendiri. Satu kali saat kuliah S1 dulu dan yang satu lagi saat ada di dunia kerja, dan dua-duanya bisa dibilang dekat dengan saya (dahulu). Ada persamaan kasus di antara dua teman saya tadi, yakni dua-duanya menciptakan dunianya yang dikarangnya sendiri sedemikian rupa sehingga orang-orang disekitarnya percaya bahwa itu adalah realita. Bahkan mungkin dia meyakinkan dirinya sendiri kalau cerita dan kondisi yang dikarangnya adalah benar adanya.
Saya dan teman-temannya lainnya dengan polosnya meyakini bahwa apa yang diceritakannya mengenai diri teman saya itu adalah benar. Selama beberapa tahun lamanya. Dan yang membuat saya kaget adalah ketika pada akhirnya mengetahui bahwa semua itu adalah cerita karangan saja. Gila, gimana bisa? Pikir saya. Tapi that’s is it. It happened.
Dan pernah saya juga mendengar cerita dari sahabat saya kalau ada temannya yang “kekeh” banget meyakinkan semua orang bahwa saat ini dia sedang tinggal di Paris. Baik posting-posting-nya, foto-foto yang diunggahnya, ataupun cerita saat ngobrol. Dan sahabat saya itu tahu kalau sahabatnya itu nggak lagi tinggal di Paris.
Phew, look. Itu menurut saya sih kasus-kasus ekstrim sih bagaimana manusia-manusia kesulitan menerima dan mengenali diri mereka sendiri. Tapi dalam rate yang sedang-sedang, mungkin kita sering mendengar kalimat,
            “Apa sih sebenarnya yang aku mau?”
            “ Aku nggak tahu maunya diriku sendiri itu kayak apa,”
Pernah mendengar kalimat-kalimat tersebut? Atau bahkan pernah mengalaminya?
Banyak manusia melupakan memperhatikan seseorang di dalam dirinya sendiri. Mungkin ada yang terlalu sibuk dengan dunia di luar dirinya.
            “Mungkin selama ini kamu lebih tertarik dengan hal-hal menarik dan keren di luar, tapi lupa mencari hal-hal yang keren dan menarik yang ada pada dirimu,” bincangku dengan sahabat saya suatu kala. Dia terkekeh mendengarnya.
Saya juga seringkali alpa. Alpa membincangi diri saya yang terus berubah seiring kala. Kadang-kadang ada laju perubahan yang saya harus kerja keras untuk mengenalinya.
Kadangkala saya menjumpai sisi diri yang “tidak saya kenali” sebelumnya. Ada emosi-emosi rasa yang sebelumnya belum pernah saya rasai. Diri terus berubah dengan pemikiran dan perasaan seiring dengan laju perjalanan hidup yang dilewati. Kadangkala relationship banyak mengubah seseorang, ataupun pengalaman hidup, trauma, depresi, buku-buku yang dibaca, sahabat. Ada banyak hal dalam perjalanan yang memapar manusia tiap detiknya.
Seberapa baik engkau kenali dirimu sendiri?
Mungkin pada akhirnya, perjalanan ini adalah tentang bagaimana kita mengenali diri kita sendiri. Jangan terhenti berbincang.
Membincangi dirimu. Dirimu sendiri.

Salam.
 






(Kaca) Mata Kita



Kadangkala, terjadilah percakapan kita yang membersitkan senyuman ketika mengingatnya lagi.
            “ Look, bagus ya.” Katamu sambil telunjuk tanganmu mengarah pada sesuatu. Mataku mengikuti arah telunjuk tanganmu itu. Mengamati sejenak dan berucap pula,
            “ ih iyaa..baguus,” kataku mengiyakan apa yang kau pandang bagus itu, bagus juga menurutku.
Namun, sedetik kemudian lahirlah tanyamu.
            “Apanya coba yang bagus?” tanyamu.
Tak menunggu lama, spontan saja aku menjawab
            “ Balkonnya kan?” memang dari bangunan yang aku lihat, aku melihat sebuah balkon yang bagus. Aku selalu suka balkon, mungkin karena balkon memberikan kemungkinan untuk duduk berdua menikmati secangkir teh dan kopi, serta camilan buatanku. Balkon itu romantis, itu versiku. Jadi perhatianku langsung terpaku pada balkon saat telunjuk tanganmu mengarah pada bangunan itu.
            “ Ehehe bukan, maksudku muralnya,” katanya sambil tersenyum.
Mataku terbeliak saat mendengar jawabanmu. Whaaat..muralnya? Lalu kemudian kutengok lagi untuk melihat lebih seksama. Ternyata bangunan kuno yang bertingkat-tingkat itu ada mural di bagian bawahnya, sedangkan mataku lebih fokus pada balkon yang ada di lantai atasnya.
Ah, lihatlah. Kita bisa memandang pada arah yang sama, namun menangkap keindahan yang berbeda.
Walau begitu, tetaplah searah denganku. Tetaplah berjalan bersamaku..
Mungkin aku bisa menunjukkan keindahan lain yang tak kau lihat sebelumnya,
Dan kau, mungkin bisa menunjukkan keindahan lain yang tak terlihat olehku..

Henry Welcome Building 5th Floor, Glasgow 8 jan 2015. Di sela-sela makan siang.

 

Senin, 05 Januari 2015

2014 : Seperti Kembang Api

Momen Indonesian Cultural Day

Tahun 2014 sudah lewat. Waktu terasa terbang, cepat melesat. Seperti juga kembang api, melesat, berpijar pendar indahnya, lalu menghilang. Tapi, indahnya selalu saja berkesan. Begitu pulalah yang saya rasakan pada tahun 2014. Seperti kembang api.
Tuhan sepertinya telah menyiapkan semesta kecil saya di Glasgow dengan kehadiran orang-orang yang menyemarakkan hidup. Kalian pernah merasakan ada dalam lingkungan yang terasa “klik”, terasa “satu frekuensi”?
Saya pernah merasakannya beberapa kali. Kelas 3 saat saya SMA, kelas saya jaman kuliah S1, kelas prajab saya, kelas bahasa di Malang..dan mungkin juga PPI Glasgow 2013/2014. Kenapa semesta begitu rapi menempatkan orang-orang dalam satu tempat tertentu dan saling menjadikannya pijar satu sama lainnya?
Pernah mengalaminya?
Hati saya sangat bisa membedakan rasanya. Misalnya saja, saya dengan lingkungan rekan-rekan lab memang baik-baik saja, namun terasa plain, biasa saja.
Tentu saja saya sangat bersyukur tahun 2014 semesta dengan begitu baiknya menghadiahkan orang-orang yang sangat menyenangkan hadir. Tahun 2014 memang bukan tahun yg terbaik dalam deretan tahun-tahun saya. Tak ada pencapaian super yang mencolok, tapi bisa dibilang tahun yang sangat membahagiakan.
Bahagia yang sederhana, yang beberapa mungkin tak saya kenali rasanya sebelumnya. Saya sebagai diri pun terasa sangat tampil apa adanya, dalam artian saya menjadi diri saya yang biasa saja. Yang bahagia saat masakan saya disantap dengan lahap. Yang menghabiskan sore dengan secangkir teh atau kopi. Yang melewatkan weekend dengan jalan-jalan bersama sahabat, kumpul-kumpul makan,  mencobai resep resep masakan baru ataupun mencobai ide-ide craft yang saya sukai.
Jalan-jalan saya pun tak terlalu banyak tahun lalu, tapi selalu membahagiakan. Kadang tak perlu jauh-jauh, dan tak harus tujuan wisata yang terkenal. Biasa saja yang bahagia.
Studi saya pun berjalan biasa saja, tetap dengan onak duri dan liku-liku yang harus dilewati satu per satu. Tapi sampai saat ini pun saya baik baik saja, tengah menyiapkan naskah paper saya yang kedua dan juga tentu saja menulis thesis.
Tahun 2014, lebih saya rasakan tahun yang semarak dengan sahabat-sahabat. Kumpul-kumpul seru, nonton apapun sampai larut, masak dan makan-makan. Tentu saja disibukkan dengan berbagai kegiatan, dari Indonesian Cultural Day yang kita harus latihan nari (gurunya youtube), ada KAG (Kibar Autumn Gathering) ataupun Charity Brew untuk membantu petani kopi di Lombok.
            “ Pas jaman-jamannya ICD itu pas saat-saat paling bahagia jiwa dan raga deh,” kata Mona, sabahat saya. Karena raganya gerak (latihan nari) dan juga pastinya makan-makan terus kalau kita kumpul, dan jiwa bahagia soalnya ngobrol kesana kemari ketawa ketiwi.
Tapi kebersamaan kami dalam satu tempat pun usai seiring dengan selesainya studi mereka satu per satu. Memang tak semua, karena yang PhD masih ada yang tertinggal. Namun kebanyakan satu per satu mereka pergi. Entah berapa kali saya melepas kepergian mereka di Bandara Glasgow. Ada rasa-rasa kehilangan tentu saja, tapi hidup harus terus berjalan.
Memang seperti kembang api, berpijar pendar, kemudian hilang.
Namun indahnya selalu tersimpan.
Terimakasih untuk semua yang membuat saya begitu bahagia.
Semoga begitu pula tahun-tahun berikutnya, walau mungkin dengan rasa yang berbeda, dengan cara yang berbeda.
Mari berbahagia.

Glasgow, 5 Januari 2015

 


Minggu, 04 Januari 2015

Tak ada Andaikata


Tahun berganti, waktu berlalu,
Perjalanan, perjuangan panjang pun harus tetap dilanjutkan
Kamu tahu kadangkala kita berjuang demi sebuah alasan,
Sebuah atau ribuan alasan lainnya yang bisa kita buat
Atau bila kita memilih untuk terus berjuang, kita bisa membuat alasan apa saja untuk tetap memilih melanjutkan perjuangan,
Bersama,
Kita
Kadangkala alasan itu sesederhana : Bahwa aku, tidak ingin ada kata “andaikata” dalam hidup saya.
Mari berdoa dan berjuang bersama.
Kita.

Glasgow, di awal tahun 2015.