Rabu, 25 Februari 2015

Menunggu


Saya tiba-tiba teringat sebuah kejadian yang beberapa saat yang lalu di daerah East Kilbride. Kala itu kali pertama saya ke sana, Glasgow ternyata luas juga. Masih banyak area-area yang belum dikunjungi. Kami jalan-jalan di East Kilbride Park-entah apa nama tepatnya saya sungguh lupa. Kala itu dunia saya sedang gulana, tak tentu apa yang saya lihat dan apa yang saya pikirkan. Kamera yang tersimpan di tas punggung juga enggan kukeluarkan. Kadang-kadang hidup memang begitu, tak selamanya langit biru biru cerah, kadangkala juga muram durja.
East Kilbride memang lumayan jauh dari pusat kota, akses bisnya saja lumayan lama waktu tunggunya. Busnya lewat setengah jam sekali. Namun sebenarnya daerahnya sangat indah, semacam daerah pedesaan dengan hijau. Bus yang kami tumpangi melewati jalanan kecil yang sepertinya hanya cukup untuk badan bus saja. Meliuk liuk di antara hamparan rumput-rumput yang masih keliatan hijau di akhir musim dingin.  Park di East Kilbride yang kami kunjungi juga cantik sebenarnya. Ada domba-domba lucu di kejauhan, lalu ada danau luas yang airnya membeku. Kau bisa bayangkan kalau si bebek-bebek itu berdiri di atas air karena air danaunya membeku. Pemandangan yang menarik sekali sebenarnya, namun sekali  hal itu tidak menghapus keenggananu untuk mengeluarkan kamera dan memfotonya.
“ Jadi mau ke museumnya nggak?” tanya teman seperjalanan saya. Museum –yang saya pun lupa apa namanya- itu terletak sekitar 10-15 menit jalan kaki dari taman itu. Mungkin pas untuk sekalian jalan-jalan di area itu.
Namun rasanya enggan kemana-mana. Saya menggeleng,
            “Pulang saja yah” kata saya. Diapun mengiyakan. Lalu kami berjalan menuju bus stop terdekat. Bus stopnya di area antah berantah, sepi. Hanya seorang nenek yang tengah menunggu bis di bus stop itu.
            “Busnya barusan lewat, aku ketingalan bus. Busnya baru akan datang setengah jam lagi,” kata si nenek itu.
Yah begitulah hidup, kadang-kadang kita merasa “terlambat”.
            “ Wait, yeah wait. Kadang-kadang apa yang bisa kita lakukan adalah menunggu, tetap menunggu,” kata si nenek itu bicara sendiri.
Kadang-kadang saya merasa curiga Tuhan sedang mengirimkan pesan lewat si nenek tua itu.
Nenek itu kemudian mengajak mengobrol, suaranya sudah parau tak begitu jelas kutangkap. Ditambah lagi suasana hatiku yang sedang mendung, makin tak kutangkap maksud pembicaraannya. Teman seperjalananku yang lebih sering menimpali obrolan si nenek itu.
Kerut di wajahnya sudah banyak, tubuhnya sudah bongkok. Tapi si nenek masih bisa bepergian kemana-mana sendirian. Salut juga.
Saya menunggu bus stop sementara pikiran saya berkeliaran kemana-mana. Sementara si nenek itu terus saja bergumam sendirian di sebelah saya.
            “ 5 minutes left,” katanya.
            “ owh, sebentar lagi. Kalian membuat penantian saya terasa cepat,” kata si nenek itu sambil tersenyum.
Ah, ternyata memang kita bisa “menciptakan” semuanya,  termasuk waktu.
Saya kira kecurigaan saya benar, Tuhan tengah menyampaikan sesuatu lewat si nenek itu.
Kadang-kadang kita memilih menunggu sesuatu yang layak kita tunggu. Waktu punya keindahan misterinya tersendiri.
“ God speak to everyone. But not everyone listen "  (Conversation with God) Neale Donald Walsch.

Rabu, 11 Februari 2015

Bagaimana Caranya Mendapatkan Supervisor untuk Studi S3?


Ada banyak orang-orang yang selama ini mengontak saya untuk menanyakan tentang bagaimana langkah untuk melanjutkan studi S3. Mungkin bermanfaat bila saya jadikan satu postingan, dan mungkin saja lebih simpel dalam menjawab pertanyaan sama yang diajukan suatu saat.
Dalam tulisan ini akan saya bahas mengenai langkah-langkah untuk mendapatkan supervisor. Untuk studi doktoral (S3), mendapatkan supervisor merupakan langkah yang sangat penting apabila hendak melanjutkan S3. Peran supervisor juga sangat krusial karena dialah teman seperjalanan selama menempuh perjalanan panjang studi doktoral. Perlu diketahui, untuk studi S3 tidak ada kuliah sama sekali, tidak seperti kuliah S1 ataupun S2. Mungkin ada program yang ada kuliah di tahun pertama, kemudian full riset di tahun berikutnya. Namun sepengetahuan saya, sebagian besar studi S3 adalah program full riset dari awal. Oleh karena itu, peran supervisor di sini sangat penting dalam menentukan kelancaran studi S3, karena dia lah yang membimbing jalannya penelitian kita dari awal hingga akhir.
            Yang akan saya bahas di sini adalah cara mencari supervisor untuk studi di luar negeri, berdasarkan pengalaman saya. Karena untuk supervisor S3 dalam negeri akan berbeda pula prosesnya.
Berikut langkah-langkah yang perlu untuk disiapkan.
1. Menyusun Proposal Riset S3
Langkah pertama ketika berencana melanjutkan S3 adalah menentukan topik riset serta membuat proposal. Kita harus memutuskan akan meneliti apa selama studi S3 tersebut. Pada langkah ini, banyak yang dihantui kecemasan bahwa riset S3 harus benar- benar “baru”, harus ekstra keren dan canggih dan beberapa ketakutan lainnya yang justru menyusutkan niat untuk memulai langkah. Nggak gitu kok ternyata, asal kita punya ide kemudian kita mulai membuat proposal tersebut, banyak membaca tentang subjek yang akan kita ambil, coba saja untuk dibuat. Intinya sih nggak usah kebanyakan mikir, kerjakan..kerjakan. Ya memang nekad itu bagian dari langkah-langkah besar heheh.
Untuk menyusun proposal riset, cobalah banyak browsing contoh-contoh proposal riset dari internet ataupun meminta rekan yang sudah S3. Poin yang saya ingin bagikan di sini adalah, buatlah proposal yang ringkas, padat, berisi. Karena proposal tersebut adalah “jualan” yang harus menarik si supervisor tanpa harus banyak membacanya. Itulah kenapa proposal jangan terlalu banyak halaman, karena bayangkan si supervisor yang tiap hari menerima banyak sekali email mana mau menghabiskan terlalu banyak waktu untuk menengok email dan proposal kita.
Berikut contoh proposal riset saya saat mencari supervisor bisa diunduh di sini . Eh sebenarnya saya sih pas nyolek supervisor belum punya ide, belum punya proposal, cuma modal nekad doang.  Dan untungnya diterima. Tapi tentu saja saya mencoba menuliskan langkah-langkah di sini dengan runtutan yang “seharusnya”. Jangan ikuti saya :D
Saran : Topik ini akan kalian geluti selama 3-4 tahun, pastikan kalian menyukainya, atau PhD akan berubah seperti neraka *eh eh..ini serius. Topik itu adalah komitmen jangka panjang, walaupun tentu saja bisa berubah ataupun berkembang seiring perjalanan. Memangnya apa yang tidak bisa berubah? *malah curcol ;p
2. Buatlah CV singkat
Buatlah CV singkat yang menjelaskan tentang informasi personal singkat, riwayat pendidikan cukup mulai S1 saja, penelitian yang sudah pernah dilakukan dan publikasi yang pernah dibuat.
3. Mencari Supervisor Potensial
Langkah berikutnya yakni mencari supervisor potensial yang pas untuk membimbing riset kalian. Nah bagaimana caranya?
- Kalau kalian sudah punya inceran negara yang dituju, pncarian akan menjadi lebih spesifik.  Misalnya saja saya dari dulu S3 cuma mau di Inggris, nggak ada opsi untuk negara lain. Nah, itu juga pasti tergantung preferensi kalian pengen dimana, setelah itu bisa cari universitas yang kalian tuju. Misalnya saja, saya dari dulu cuma ngincer dua : London School of Tropical Hygiene dan University of Edinburgh. Nah kalau kalian tahu apa yang kalian mau, pencarian akan semakin spesifik dan sempit. Kemudian cari saja via website universitas, biasanya di situ ada informasi staff-nya. Informasinya biasanya lengkap dengan interest topik si supervisor, daftar publikasinya, daftar grant ataupun daftar anggota labnya. Dan tentu saja alamat kontaknya. Jadi kalau kalian merasa pas dengan background si supervisor, silahkan kontak saja.
- Kalian juga bisa lihat nama-nama peneliti di jurnal acuan kamu. Peneliti yang memang sudah lama meneliti tentang topik yang kamu maui selama S3. Nah dengan begitu kalian tahu peneliti mana yang kompeten untuk menjadi supervisor kamu. Begitu kalian tertarik pada suatu nama, tinggal di browsing saja informasi mengenai supervisor inceran itu.
- Kalau punya temen yang sedang S3 dan kebetulan satu jurusan, bisa juga minta informasi dan direkomendasikan. Biasanya mahasiswa S3 punya informasi mengenai lowongan PhD di jurusannya, atau bisa memberikan email kontak professor yang menurut dia pas dengan topik yang kamu pilih.
3. Kontak Supervisor
Setelah menemukan supervisor inceran, tinggal kontaklah dia. Banyak cerita temen-temen yang mengontak banyak sekali supervisor inceran tapi no response sama sekali. Ada juga yang sekali kontak trus langsung nyantol. Yah, memang beraneka macam ceritanya. Mungkin ada yang bilang tentang keberuntungan, tapi mungkin saya bisa bilang Tuhan Maha Tahu apa, siapa, dan kapan yang tepat untuk kita *jleb jleb. Intinya, coba..coba, jangan pernah terhenti. Untuk pengalaman saya, saya pernah mengirim beberapa email ke supervisor dengan bahasa yang rapi jali hasil browsing contoh-contoh di internet, dan nggak ada yang direspon. Tapi sekali saya email iseng cuma tanya kemungkinan apakah bisa bergabung di lab-nya sebagai mahasiswa PhD, eh langsung disamber dan jodoh sampai sekarang. Saya juga pernah iseng mengirimkan proposal atas nama sahabat saya, dan langsung direspon dan berjodoh sampai sekarang. ini contoh cover letternya bisa diunduh di sini . Cover letter yang pernah saya buat lainnya bisa diunduh di sini Jadi berdasarkan pengalaman sih, lebih prefer gunakan cover letter yang ringan, informal tapi sopan dibandingkan dengan coverletter yang kaku dan bertele-tele. Intinya sih si supervisor itu supersibuk yang males baca email dari antah berantah kalau isinya banyak-banyak.
Saat kontak dengan supervisor, sertakan proposal dan CV kalian  di attachment.
Nah, itu beberapa langkah untuk mencari supervisor untuk melanjutkan studi ke jenjang S3, Good Luck ya..semoga infonya bermanfaat.

Glasgow,11 Februari 2015.

 



Senin, 09 Februari 2015

Mati



Aku tahu harapku sudah mati
Mimpi-mimpiku pupus dalam hitungan detik
Perjuangan panjang itu rasanya terhenti, terpaksa terhenti
Kau tahu Tuhan punya kuasa atas apapun bukan?
Mengubah semua rencana-rencana, mengubah apapun
Aku pun tahu itu.
Hilang harap, ternyata tidak ada yang lebih memedihkan daripada itu
Aku melihat diriku mati perlahan, hilang binar daya hidup yang biasanya ada di mataku
Hilang harap yang biasanya aku di hatiku. Hilang semangat yang biasanya ada dalam langkahku.
Aku tau,
Hidup terkadang memberi sebuah kesempatan yang tak pernah terduga
Kesempatan menguji seberapa kau percaya Tuhan, ketika semuanya hilang
Dalam hening kubilang : Tuhan, Kau berhutang sebuah penjelasan
Dan Kau tahu aku tak pernah terhenti, tidak akan berhenti. Tidak akan pernah. Tidak akan pernah. Tidak akan pernah.
Itu satu-satunya yang aku percayai dariMU.
Aku akan bertanya, aku akan berjalan, aku akan berlari kemanapun agar Engkau beritahu aku.
Aku, masih percaya Kau.
--
Ada suara-suara kecil dalam hatiku yang masih terdengar
Jangan hilang upayamu tetap mencoba selalu dalam kebaikan,
Jangan menjadi orang yang bukan dirimu, apapun kondisinya. Betapapun beratnya hidup.
Jangan biarkan kehilangan-kehilanganmu, mengubahmu menjadi orang yang bukan kamu.  
Berjalanlah, walau sekarang ini tanpa arah, tanpa harap, tanpa apapun..
Kau pikir semuanya hilang, kau pikir semuanya mati. Tapi kau tahu ada yang masih hidup.
Ada yang masih hidup, kau percaya Tuhankan? Kau masih percaya?
Mungkin itu cukup.

Mungkin.

Glasgow, saat semuanya terasa mati.

Jumat, 06 Februari 2015

We only see what we wanted to see



Saya masih ingat pembicaraan sederhana di bis yang saya tumpangi bersama orang tercinta saya. Seperti biasa, saya pasti duduk di dekat jendela. Dan orang di samping saya pun sudah mahfum dan selalu mempersilahkan saya menempati tempat duduk favorit saya yang dekat jendela. Saya lebih suka menjelajahi pemandangan di luar jendela, sementara yang di sebelah saya lebih suka membaca berita-berita politik via handphonenya.
Kami memang berbeda.
            “ Cantik juga ya bangunan itu, sering kali lewat tapi seperti baru pertama kali ngeliat,” kata saya pada sebelah saya. Yang kemudian mengalihkan perhatiannya dari handphonenya kemudian memandang bangunan yang saya maksud.
Bangunan dengan atap membulat dan patung malaikat di atasnya, nampak gagah di latari langit yang membiru.
            “ Kan kita pernah kesana” sahutnya
            “ Iyah, tapi kayaknya baru pertama kali liat. Kita melihat tapi kadang-kadang tidak benar-benar melihat,” jawab saya.
Iya, kita melihat namun seringkali hanya sekedarnya, atau memang kita hanya melihat apa yang ingin kita lihat. Entahlah, saya sering mengalami dan merasakannya. Walau sudah berapa kali melewati jalan yang sama, namun sering mendapati pemandangan yang baru. Detail-detail yang terlewatkan. Motif-motif di bangunan-bangunan, simbol-simbol di pinggir jalan, warna-warna atap rumah, dedaunan ataupun banyak hal lainnya.
            “eh lihat, ternyata di situ ada jembatan gantung ya..baru lihat juga” kata orang yang di samping saya. Mata saya kemudian mengamati, dan baru sadar juga kalau ada jembatan gantung yang melintasi jalan.
We only see what we wanted to see.
Mata kadang semacam indera yang begitu mekanis mengerjakan perintah otak. Tapi apa yang ditangkap oleh mata dan diterima otaklah sang pembeda.
Mungkin selama ini banyak hal-hal yang terlewatkan terlihat. Mungkin detail-detail istimewa yang terlewatkan mata.
Tapi saya masih terus ingin melihat banyak hal-hal istimewa bersama. Kamu. Yang kala itu di samping saya.

 


Selasa, 27 Januari 2015

Apa yang kau tahu tentang bahagia?


Ah bahasan bahagia lagi. Dan judul posting saya kali ini lagi-lagi sebuah pertanyaan. Ah, biarlah.
Saya tiba-tiba kembali tertarik untuk bertanya,
Apa yang kau tahu tentang bahagia?
Lagi-lagi pula saya menanyakan pertanyaan itu pada diri saya sendiri. “Hey, apa yang kau tahu tentang bahagia?”
Tadinya saya berpikir bahwa saya cukup banyak tahu tentang bahagia. Tema tentang bahagia lumayan banyak di blog saya ini. Saya juga seringkali bicara tentang bahagia. Iya, saya mengira saya tahu banyak tentang kebahagiaan.
Tapi benarkah demikian?
Bahagia yang saya tahu : rasa yang bisa saya ciptakan sendiri, kapan saja, tanpa syarat apapun. Bahagia, satu-satunya yang bertanggungjawab atas kebahagiaan saya ya diri saya sendiri. Saya tidak bisa membuat orang lain bahagia *walaupun saya telah berupaya. Siapa yang bisa menjamin mampu membuat orang lain bahagia? Tidak ada. Karena kebahagiaan orang lain itu pula dikarenakan orang lain itu sendiri. Kita mungkin bisa mengupayakan membuat orang lain bahagia, ataupun pula berbagi kebahagiaan.
Ah, saya terlalu banyak bicara.
Lalu apa bahagia?
Ah, apa itu bahagia? Apa itu seperti halnya rasa senang, gembira, tidak ada masalah, berkecukupan?
Saya jadi teringat suatu peristiwa. Kala saya menangis, sedih. Kemudian orang tercinta saya berkata :
“ Maaf, belum bisa membuatmu bahagia,” begitu katanya.
Lama ada jeda,
“I’m happy” kata saya, tanpa keraguan. Saya melihat ada tanya di air muka orang tercinta saya,
Lalu saya mengulang lagi kalimat saya,
“I’m happy”
“Bahagia itu bukan berarti nggak ada sedih, nggak ada susah,” itu kata-kata yang keluar dari mulut saya kala itu.
Lalu kalau begitu bahagia itu apa? Bagaimana?
Saya tiba-tiba menyadari satu hal. Saya tidak tahu apa-apa.
Saya tidak tahu apa-apa.
Atau kata-kata gagal mampu menjelaskannya.
Sepertinya juga cinta. Apa itu cinta? Apa itu bahagia?
Kita gagap menjawabnya, namun dengan yakin kita merasainya. Kita merasainya.
Lalu kamu, apa yang kau tahu tentang bahagia?


Senin, 26 Januari 2015

Memangnya Kau Cari Bahagia Kemana?


Bahagia. Kata ini kadang telah berubah menjadi berhala. Banyak manusia segenap upaya mencarinya, meraihnya. Namun dalam selintasan pikirku, tiba-tiba saja saya berpikir. Bukankah bahagia itu “hanya” sebuah rasa?
Ia bukan rumah mewah, bukan liburan ke tempat-tempat yang mengagumkan, ia bukan mobil seharga ratusan juta.
Bahagia itu rasa. Entah kenapa kalimat sederhana ini menggugahkan kembali sebuah pemahaman lama.
Apakah kita sadar bahagia yang seringkali kita damba itu “hanya” sebuah rasa? Yang sebenarnya bisa kita cipta kapan saja?
Rasa itu hasil kerjasama kepala dan hati kita. Kita bisa cipta rasa apa saja. Itu yang seringkali kita lupa. Menyangka bahwa bahagia ada di luar sana. Ada yang mencarinya pada pencapaian-pencapaian mengagumkan hidupnya, ada yang mendefinisikannya dengan barang barang mewah, ada yang mencoba menemukannya pada rekening gendutnya, atau ada pula yang menggantungkan bahagia pada orang-orang tercintanya.
Ya, seringkali kita lupa, bahagia ada di dalam diri kita. Memangnya kau cari ia kemana?
Bahagia itu rasa. Kuncinya ada di dalam pikir dan hati diri kita. Memangnya kau cari bahagia kemana? Pada siapa atau pada apa?
Selamat bertanya.

Salam

Glasgow, 26 January 2015

Mau Kau Tukar Masa Sulitmu?


Ketika kau ditanya sebuah pertanyaan “Mau kau tukar masa sulitmu?” apa yang kira-kira kau pikirkan dan kemudian kau jawab apa?
Pernah kau menanyai dirimu sendiri pertanyaan seperti itu?
Misalnya saja kita ditanya “Mau kau tukar masa bahagiamu? Masa senangmu?” mungkin jawabannya bisa ditebak. Kita pasti menggeleng dan tidak mau menukar masa-masa yang menyenangkan, menggembirakan dan membahagiakan.
Namun, jika pertanyaan sebaliknya yakni : Maukah kau tukar masa sulitmu? Bisa jadi masa sulit tersebut ditukar dengan kemudahan seketika lalu dihapus dari perjalanan hidupmu. Atau bisa jadi masa sulitmu itu ditukar dengan masa sulit orang lain.
Bagaimana? Kira-kira kau jawab apa?
Dan setelah saya menanyakan pertanyaan tersebut pada diri saya sendiri, ternyata jawabannya, saya menggelengkan kepala, Tidak. Saya tidak ingin menukar masa sulit saya.
Pertama, misalnya masa sulit saya ditukar dengan masa sulit orang lain? Phew jelas saya tidak mau. Kenapa?
Karena masa sulit saya pastilah dikarenakan pilihan-pilihan yang saya buat sendiri selama perjalanan hidup saya. Misalnya saja saat ini saya tengah menghadapi masa-masa sulit dalam lab work untuk studi PhD saya. Tapi toh melanjutkan studi doktoral adalah pilihan saya sendiri, dan saya lah yang paling bertanggung jawab atas risiko-risiko penyertanya.
Tentu saja saya tidak mau menukar masa sulit saya dengan masa sulit orang lain. Saya tidak mau menghadapi masa sulit karena pilihan-pilihan orang lain. Betapapun beratnya masa-masa sulit yang saya hadapi terkadang, ada suara-suara yang muncul “ Hey, that’s my choice anyway”, ini risiko pilihanku sendiri, hadapi!
Setidaknya kalimat tersebut menguatkan kala masa sulit itu datang.
Kedua, bila masa sulit itu dihapus atau ditiadakan. Anehnya, pada akhirnya saya memilih untuk menggelengkan kepala juga. Ternyata saya butuh masa-masa sulit itu. Ternyata ketangguhan tidak dibentuk oleh kemudahan-kemudahan, namun justru oleh kesulitan-kesulitan. Kekuatan juga banyak dibentuk oleh tantangan, hambatan dan masalah. Masa sulitpun membuat kemudahan yang kita terima terasa begitu mudah untuk kita syukuri.
Masa-masa sulit mungkin seperti guru yang kita benci. Namun pada akhirnya kita menyadari, kita membutuhkannya, jiwa dan kehidupan kita ternyata banyak dibentuk olehnya.
Kapanpun engkau menghadapi masa sulit, mungkin bisa kau tanyai dirimu sendiri pertanyaan tadi. Mau kau tukar masa sulitmu? Mungkin itu bisa membantumu memperoleh lagi semangatmu, kekuatanmu, ketangguhanmu. Semoga.  



Glasgow, 26 January 2015

Kamis, 08 Januari 2015

How Good You Know Yourself?



“Kayaknya aku harus ke psikolog lagi deh,” kata sahabat saya. Kalimat “ ke psikolog” mungkin bagi sebagian orang terdengar mengerikan, seperti sakit jiwakah?
Padahal tak semengerikan itu. Mungkin memang awareness masyarakat kita terhadap kesehatan mental masih belum begitu baik. “Sehat” seringkali hanya dimaknai oleh sehat raga saja, namun melupakan kesehatan jiwa. Padahal kesehatan jiwa tak kalah pentingnya, kadangkala pula kesehatan raga pun dipengaruhi oleh kesehatan jiwa kita.
Sepanjang perjalanan hidup saya, saya pernah menjumpai dua kasus ekstrim teman yang menurut saya kesulitan mengenali dan menerima dirinya sendiri. Satu kali saat kuliah S1 dulu dan yang satu lagi saat ada di dunia kerja, dan dua-duanya bisa dibilang dekat dengan saya (dahulu). Ada persamaan kasus di antara dua teman saya tadi, yakni dua-duanya menciptakan dunianya yang dikarangnya sendiri sedemikian rupa sehingga orang-orang disekitarnya percaya bahwa itu adalah realita. Bahkan mungkin dia meyakinkan dirinya sendiri kalau cerita dan kondisi yang dikarangnya adalah benar adanya.
Saya dan teman-temannya lainnya dengan polosnya meyakini bahwa apa yang diceritakannya mengenai diri teman saya itu adalah benar. Selama beberapa tahun lamanya. Dan yang membuat saya kaget adalah ketika pada akhirnya mengetahui bahwa semua itu adalah cerita karangan saja. Gila, gimana bisa? Pikir saya. Tapi that’s is it. It happened.
Dan pernah saya juga mendengar cerita dari sahabat saya kalau ada temannya yang “kekeh” banget meyakinkan semua orang bahwa saat ini dia sedang tinggal di Paris. Baik posting-posting-nya, foto-foto yang diunggahnya, ataupun cerita saat ngobrol. Dan sahabat saya itu tahu kalau sahabatnya itu nggak lagi tinggal di Paris.
Phew, look. Itu menurut saya sih kasus-kasus ekstrim sih bagaimana manusia-manusia kesulitan menerima dan mengenali diri mereka sendiri. Tapi dalam rate yang sedang-sedang, mungkin kita sering mendengar kalimat,
            “Apa sih sebenarnya yang aku mau?”
            “ Aku nggak tahu maunya diriku sendiri itu kayak apa,”
Pernah mendengar kalimat-kalimat tersebut? Atau bahkan pernah mengalaminya?
Banyak manusia melupakan memperhatikan seseorang di dalam dirinya sendiri. Mungkin ada yang terlalu sibuk dengan dunia di luar dirinya.
            “Mungkin selama ini kamu lebih tertarik dengan hal-hal menarik dan keren di luar, tapi lupa mencari hal-hal yang keren dan menarik yang ada pada dirimu,” bincangku dengan sahabat saya suatu kala. Dia terkekeh mendengarnya.
Saya juga seringkali alpa. Alpa membincangi diri saya yang terus berubah seiring kala. Kadang-kadang ada laju perubahan yang saya harus kerja keras untuk mengenalinya.
Kadangkala saya menjumpai sisi diri yang “tidak saya kenali” sebelumnya. Ada emosi-emosi rasa yang sebelumnya belum pernah saya rasai. Diri terus berubah dengan pemikiran dan perasaan seiring dengan laju perjalanan hidup yang dilewati. Kadangkala relationship banyak mengubah seseorang, ataupun pengalaman hidup, trauma, depresi, buku-buku yang dibaca, sahabat. Ada banyak hal dalam perjalanan yang memapar manusia tiap detiknya.
Seberapa baik engkau kenali dirimu sendiri?
Mungkin pada akhirnya, perjalanan ini adalah tentang bagaimana kita mengenali diri kita sendiri. Jangan terhenti berbincang.
Membincangi dirimu. Dirimu sendiri.

Salam.
 






(Kaca) Mata Kita



Kadangkala, terjadilah percakapan kita yang membersitkan senyuman ketika mengingatnya lagi.
            “ Look, bagus ya.” Katamu sambil telunjuk tanganmu mengarah pada sesuatu. Mataku mengikuti arah telunjuk tanganmu itu. Mengamati sejenak dan berucap pula,
            “ ih iyaa..baguus,” kataku mengiyakan apa yang kau pandang bagus itu, bagus juga menurutku.
Namun, sedetik kemudian lahirlah tanyamu.
            “Apanya coba yang bagus?” tanyamu.
Tak menunggu lama, spontan saja aku menjawab
            “ Balkonnya kan?” memang dari bangunan yang aku lihat, aku melihat sebuah balkon yang bagus. Aku selalu suka balkon, mungkin karena balkon memberikan kemungkinan untuk duduk berdua menikmati secangkir teh dan kopi, serta camilan buatanku. Balkon itu romantis, itu versiku. Jadi perhatianku langsung terpaku pada balkon saat telunjuk tanganmu mengarah pada bangunan itu.
            “ Ehehe bukan, maksudku muralnya,” katanya sambil tersenyum.
Mataku terbeliak saat mendengar jawabanmu. Whaaat..muralnya? Lalu kemudian kutengok lagi untuk melihat lebih seksama. Ternyata bangunan kuno yang bertingkat-tingkat itu ada mural di bagian bawahnya, sedangkan mataku lebih fokus pada balkon yang ada di lantai atasnya.
Ah, lihatlah. Kita bisa memandang pada arah yang sama, namun menangkap keindahan yang berbeda.
Walau begitu, tetaplah searah denganku. Tetaplah berjalan bersamaku..
Mungkin aku bisa menunjukkan keindahan lain yang tak kau lihat sebelumnya,
Dan kau, mungkin bisa menunjukkan keindahan lain yang tak terlihat olehku..

Henry Welcome Building 5th Floor, Glasgow 8 jan 2015. Di sela-sela makan siang.

 

Senin, 05 Januari 2015

2014 : Seperti Kembang Api

Momen Indonesian Cultural Day

Tahun 2014 sudah lewat. Waktu terasa terbang, cepat melesat. Seperti juga kembang api, melesat, berpijar pendar indahnya, lalu menghilang. Tapi, indahnya selalu saja berkesan. Begitu pulalah yang saya rasakan pada tahun 2014. Seperti kembang api.
Tuhan sepertinya telah menyiapkan semesta kecil saya di Glasgow dengan kehadiran orang-orang yang menyemarakkan hidup. Kalian pernah merasakan ada dalam lingkungan yang terasa “klik”, terasa “satu frekuensi”?
Saya pernah merasakannya beberapa kali. Kelas 3 saat saya SMA, kelas saya jaman kuliah S1, kelas prajab saya, kelas bahasa di Malang..dan mungkin juga PPI Glasgow 2013/2014. Kenapa semesta begitu rapi menempatkan orang-orang dalam satu tempat tertentu dan saling menjadikannya pijar satu sama lainnya?
Pernah mengalaminya?
Hati saya sangat bisa membedakan rasanya. Misalnya saja, saya dengan lingkungan rekan-rekan lab memang baik-baik saja, namun terasa plain, biasa saja.
Tentu saja saya sangat bersyukur tahun 2014 semesta dengan begitu baiknya menghadiahkan orang-orang yang sangat menyenangkan hadir. Tahun 2014 memang bukan tahun yg terbaik dalam deretan tahun-tahun saya. Tak ada pencapaian super yang mencolok, tapi bisa dibilang tahun yang sangat membahagiakan.
Bahagia yang sederhana, yang beberapa mungkin tak saya kenali rasanya sebelumnya. Saya sebagai diri pun terasa sangat tampil apa adanya, dalam artian saya menjadi diri saya yang biasa saja. Yang bahagia saat masakan saya disantap dengan lahap. Yang menghabiskan sore dengan secangkir teh atau kopi. Yang melewatkan weekend dengan jalan-jalan bersama sahabat, kumpul-kumpul makan,  mencobai resep resep masakan baru ataupun mencobai ide-ide craft yang saya sukai.
Jalan-jalan saya pun tak terlalu banyak tahun lalu, tapi selalu membahagiakan. Kadang tak perlu jauh-jauh, dan tak harus tujuan wisata yang terkenal. Biasa saja yang bahagia.
Studi saya pun berjalan biasa saja, tetap dengan onak duri dan liku-liku yang harus dilewati satu per satu. Tapi sampai saat ini pun saya baik baik saja, tengah menyiapkan naskah paper saya yang kedua dan juga tentu saja menulis thesis.
Tahun 2014, lebih saya rasakan tahun yang semarak dengan sahabat-sahabat. Kumpul-kumpul seru, nonton apapun sampai larut, masak dan makan-makan. Tentu saja disibukkan dengan berbagai kegiatan, dari Indonesian Cultural Day yang kita harus latihan nari (gurunya youtube), ada KAG (Kibar Autumn Gathering) ataupun Charity Brew untuk membantu petani kopi di Lombok.
            “ Pas jaman-jamannya ICD itu pas saat-saat paling bahagia jiwa dan raga deh,” kata Mona, sabahat saya. Karena raganya gerak (latihan nari) dan juga pastinya makan-makan terus kalau kita kumpul, dan jiwa bahagia soalnya ngobrol kesana kemari ketawa ketiwi.
Tapi kebersamaan kami dalam satu tempat pun usai seiring dengan selesainya studi mereka satu per satu. Memang tak semua, karena yang PhD masih ada yang tertinggal. Namun kebanyakan satu per satu mereka pergi. Entah berapa kali saya melepas kepergian mereka di Bandara Glasgow. Ada rasa-rasa kehilangan tentu saja, tapi hidup harus terus berjalan.
Memang seperti kembang api, berpijar pendar, kemudian hilang.
Namun indahnya selalu tersimpan.
Terimakasih untuk semua yang membuat saya begitu bahagia.
Semoga begitu pula tahun-tahun berikutnya, walau mungkin dengan rasa yang berbeda, dengan cara yang berbeda.
Mari berbahagia.

Glasgow, 5 Januari 2015