Jumat, 12 Februari 2016

Merasa "Asing" di negeri sendiri

Kangen orang-orang ini



Setidaknya sudah lebih dari seminggu saya menginjakkan kaki lagi di tanah air. Lagi lagi, baru kali ini bisa menyempatkan kembali menulis. Sejak kepulangan, saya direpotkan dengan urusan rumah. Pindah rumah dari rumah orang tua saya di Kebumen ke rumah saya di Purwokerto. Alhamdulillah, sejak kamis kemarin saya sudah menempati rumah saya di Purwokerto.
Apa kabar adaptasi?
Haha ternyata perjuangannya luar biasa. Mulai dari adaptasi tubuh yang jetlag plus adaptasi lingkungan sosial. Satu aja misi saat-saat adaptasi yakni “jangan ngeluh” dan itu ternyata susah banget. Rasanya Indonesia panasnya luar biasa, berangkat dari Glasgow yang sedang bersuhu sekitar 3 celcius ke Indonesia yang suhunya berkisar 30 C, tambah nol doang sih tapi efeknya bikin badan rasanya sangat tidak nyaman. Ditambah lagi jam tidur yang kacau balau gara-gara perbedaan waktu. Panas dan istirahat kurang, itulah highlight utama penyesuaian tubuh di awal-awal kepulangan. Nah, akibat badan yang terasa nggak enak itulah upaya menjaga mood agar tetap baik memerlukan upaya ekstra.
Kemudian perubahan yang sangat terasa adalah "kebisingan". Rasanya hidup berubah menjadi bising. Baik bising dengan artian sebenarnya yakni banyak orang dimana-mana, crowded di jalanan, bising suara orang, dan juga bising dalam artian hidup rasanya nggak sesimpel dulu saat di Glasgow ehehe. Pantesan saja sahabat yang dulu ketika pulang ke Indonesia sempat berkata betapa kangennya dia dengan "hidup simpel dan sederhana ala Glasgow". Dan sekarang saya merasakan hal yang sama.
Penyesuaian dengan lingkungan sosial juga butuh usaha. Ada beberapa terasa "kenapa kok merasa nggak sreg atau nggak pas dengan lingkungan sekitar?"
Apa saya yang telah banyak berubah? atau lingkungan yang berubah? atau apa?
Rasanya asing. Yah, kadang-kadang ada rasa seperti itu. Kenapa sih dimana-mana orang hobi berkomentar tentang orang lain? gemar ngata-ngatain orang lain? kenapa sih kebanyakan yang terdengar adalah negative talk? sedih. Kalau sudah begitu, melipir deh menghindari. Risikonya adalah terkesan menjadi "pendiam" atau menarik diri (mungkin lebih tepat menjaga jarak) dengan beberapa komunitas. Males aja sih kalau kebanyakan terpolusi energi negatif..
Memang tak semuanya demikian tentu saja. Namun ada kegelisahan di hati saya, bagaimana mengubah energi-energi negatif ini mengarah ke energi positif, kalau cuma "menghindari" saja nanti hasilnya tidak akan memberikan perubahan positif apa-apa. Tapi gimana caranya ya? ehehe.
Dan begitulah, hidup saya berubah. Di awal-awal kepulangan, saya bertanya pada diri sendiri : "Are you happy?" saya tersenyum getir.
Betapa bahagia yang berasal dari dalam diri dan tidak terpengaruh oleh lingkungan luar atapun realita adalah pelajaran yang tidak mudah. 
Rindu Glasgow? bangeeeet. Saya menyadari kehidupan saya di Glasgow adalah salah satu saat terbaik dalam hidup saya. Kadang-kadang bila kita terlalu bahagia, kita menjadi berat untuk melepaskan apa yang kita kira membuat kita bahagia. Mungkin demikian adanya..
Tapi saya harus realistis, hidup adalah hari ini, apa yang harus kita hadapi. Hari-hari selanjutnya adalah upaya saya untuk meneruskan menjalani hidup dengan penuh kebersyukuran. Latihan menerima dan bersyukur, mungkin itulah pelajaran-pelajaran yang terus mengikuti perjalanan hidup manusia. 

Salam



 

Selasa, 09 Februari 2016

See you again, Glasgow





Deru halus Emirates terdengar, perjalanan dari Glasgow menuju Dubai untuk transit masih sekitar 4 jam lagi, tapi entah apa yang terlintas di pikiranku. Rasa di hati juga entahlah, bercampur aduk tak pasti. Dan akhirnya saya memutuskan untuk membuka laptop dan menuliskan sesuatu di sini. Saya selama ini gemar merangkai kata-kata, menyusunnya untuk menceritakan sesuatu, menggambarkan suasana atau mewakili perasaan. Namun ada saatnya ketika saya menemukan, bahwa kata-kata rasanya tak sanggup untuk mewakili perasaan yang ada. Dan mungkin saat inilah satu dari sekian saat-saat itu.
Ah, ada rasa penat, lelah, sedih, namun ada pula bahagia hendak bertemu lagi dengan keluarga, ah bercampur-campur. Ini kali pertama saya bisa meluangkan waktu untuk menulis setelah rempong dengan segala macam urusan kepulangan. Yang pernah tinggal lama di suatu tempat lalu pindahan, pasti tahu betapa repot dan melelahkannya saat-saat seperti itu.
Beberapa hari terakhir di Glasgow diisi dengan segala macam persiapan untuk pulang. Beres-beres flat, ke cash and clothes untuk meloakkan barang-barang, bertemu dengan beberapa sahabat sebelum pulang dan juga submit thesis. Akhirnya sehari sebelum kepulangan, saya submit final thesis (setelah selesai revisi), dan officially saya sudah selesai dengan segala urusan studi S3 saya di University of Glasgow. Memang rasanya sedikit antiklimaks, setelah selesai revisian, kemudian disetujui semua revisi yang telah saya lsayakan oleh internal examiner, lalu print jilid dan dikumpulkan 1 eksemplar ke kantor jurusan.
            “That’s all?” tanya saya.
            “ Yup, that’s all,” jawab staff yang menerima hard copy thesisku.
Ah, yaa..perjuangan selama 4 tahun itu memang terasa berakhir biasa saja. Tapi Alhamdulillah, semua berjalan lancar dan rasanya tanggung jawab saya telah selesai ditunaikan.
Tinggal menunggu wisuda saja, humm ada segunung harapan untuk menghadiri acara wisuda tersebut. Kembali ke Glasgow sungguh merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri. Namun entahlah, kantong sampai saat ini belum ada alokasi untuk balik lagi saat wisuda. Semoga saja ada jalannya.
Sabtu minggu lalu, saya mengadakan acara kumpul-kumpul menjelang kepulangan. Saya hanya mengundang beberapa sahabat dekat saja. Rasanya setelah sekian lama bersama mereka, sedih pula meninggalkan sahabat-sahabat yang telah membersamai saya selama ini. Mereka adalah keluarga selama saya berada di Glasgow. Berkat mereka lah hidup di Glasgow menjadi terasa hangat dan menyenangkan.
Pamitan ke lab juga sempat menghadirkan perasaan sedih (dan lega sekaligus sebenarnya). Lab itu adalah memori perjuangan saya selama menempuh PhD, dengan orang-orang yang telah membantu membimbing saya selama ini. Sayangnya supervisor sedang berada di Prancis selama seminggu ini, jadi tidak bisa bertemu untuk pamitan.

Ah, tiap kali perjumpaan dengan orang-orang dan mengucapkan “sampai jumpa lagi”, rasanya ada yang tercerabut dari dalam hati. Saat-saat terakhir di Glasgow itu mengajarkan saya banyak sekali tentang kehilangan-kehilangan, namun hidup harus tetap berjalan.
Glasgow, yang setiap sudutnya mengisahkan kenang. Sungguh kala terakhir pagi tadi melintasinya lagi saat menuju bandara, ada semacam perasaan yang sulit sekali kujelaskan. Meninggalkan Glasgow yang telah lebih dari 4 tahun kutinggali, yang selama ini serasa menjadi rumah. Ah, Glasgow. Baru beberapa jam saja meninggalkan tempat itu, saya telah merinduinya.
Dan merinduimu, pasti,
Jarak, memang tak pernah bisa memisahkan manusia-manusia yang masih ingin saling mengkaitkan hati.
Namun, sayangnya jarak berarti dua manusia harus menjalani dua kehidupan yang berbeda. Dua tempat, dua negara, dua waktu dan hidup berjalan di antara keduanya.
Ah. Mari hadapi. Mari jalani...
Glasgow, sampai jumpa lagi.
Katakan, bagaimana aku tak merinduimu? Ketika separuh aku masih tertinggal di situ,

Dalam perjalanan Glasgow-Dubai. 29 Januari 2016.

Rabu, 13 Januari 2016

Glasgow is (Still) my home

 
River cylde-Glasgow. Foto Koleksi Pribadi



Megabus menuju London yang saya tumpangi sudah jauh bergerak meninggalkan Buchanan Bus Station, Glasgow semenjak pukul 10.45 malam tadi. Kali ini terasa lebih berat dibandingkan saat pergi ke Belanda akhir Desember lalu. Mungkin karena kali ini saya sudah merasa waktu untuk tinggal di Glasgow sudah semakin sedikit. Sudah sedikit terasa ada sesak dan ngilu itu. Ah, ya Glasgow adalah rumah yang selalu memberi saya rasa pulang. 

Lebih dari empat tahun hidup di kota ini menjadikan kota ini menjadi salah satu bagian dalam hidup saya. Kau pernah mempunyai keterikatan tertentu pada suatu tempat? Seperti apa yang pernah dan masih saya rasakan pada Jogya. Dan ternyata saya tidak sendirian. Saya termangu saat membacai blognya Timo di posting yang berjudul Taize isnt my home di link ini

Saya nemu blog ini saat dulu mencari informasi mengenai Glasgow. Dulu dia pernah menjadi relawan di Glasgow. Nah ternyata dia juga mengalami gagal move on pada Taize, sebuah kota kecil di Paris. Butuh waktu tujuh tahun lamanya untuk dia bisa “move on” dari Taize. Ah, tujuh tahun tentu saja waktu yang cukup lama. Akankah saya juga akan mengalami hal yang sama dengan Glasgow? Entahlah.  

Kadang kadang untuk hidup dalam “kekinian” juga membutuhkan latihan dan kesungguhan. Ada tarikan tarikan pikiran yang selalu saja bisa mengombang ambingkan upaya untuk to live in the present. Tapi Glasgow bukan masa lalu, belum menjadi masa lalu. Nantinya ia akan menjadi kekinian yang berbeda, karena saya tidak lagi hidup di sana. Jadi PR yang harus saya taklukkan nantinya adalah bukan menghilangkan ataupun melupakan Glasgow dari hidup saya. Tentu saja bukan demikian. Namun lebih pada menghindari perasaan semacam “ Andai aku masih di Glasgow, pasti aku lebih bahagia”-ataupun sejenis pemikiran yang serupa lainnya.

Karena hal tersebut berarti menolak perubahan yang terjadi dan tidak bisa menikmati hidup dengan kekinian. Hidup kembali di tanah air dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Sepertinya tidak susah ya?hahah..yakin?jangan jangan nantinya akan banyak lahir tulisan nostalgia wkwkk. Sudahlah, bukankah hal yang paling nyata dalam hidup ini adalah hari ini, dan inilah yang harus kita hadapi.

Megabus sudah merapat di Victoria Coach Station. Hujan deras mengguyuri London dini hari menjelang pagi ini. Saya sudahi postingan ini, dengan sejumput rindu pada Glasgow.

-Dalam perjalanan Glasgow-London, 7 Januari 2016

 

Rabu, 06 Januari 2016

Catatan Awal Tahun 2016





Waktu sudah beranjak dari Tahun 2015 ke Tahun 2016. Salju belum turun juga di Glasgow, walaupun prediksinya akan datang akhir pekan ini. Namun rencananya akhir pekan ini saya habiskan di London, untuk mengurus keperluan ke KBRI sekalian bertemu dengan sahabat baik saya, Mita *plus jalan-jalan tentu saja. Pertemuan pertama bagi dua manusia boleh saja dibilang kebetulan, keajaiban, ketidaksengajaan atau entah apa istilah lainnya. Namun saya meyakini bahwa pertemuan berikutnya adalah cerita tentang kemauan untuk bertemu di antara dua manusia. Sahabat, saudara, guru, orang tua, kekasih..siapa saja, apakah engkau menyadari bahwa pertemuanmu dengan mereka pada akhirnya adalah cerita tentang seberapa upayamu untuk menciptakan pertemuan. Ah, memang sepertinya bagaimana hidup kita pun sedikit banyak adalah tentang cerita bagaimana upaya kita dalam menciptakannya.

Tahun 2015 telah berlalu, sederet peristiwa terjadi, dan tentu saja banyak cerita dan pelajaran yang datang menghampiri. Tahun lalu boleh dibilang tahun yang berat. Saat awal tahun 2015 lalu, saya sempat berpikir “melewati tahun 2015 dengan baik saja sudah bagus”—hal tersebut menggambarkan prediksi saya tentang tahun 2015 yang kemungkinan akan penuh dengan saat saat sulit. Nyatanya? Jauh lebih sulit dari apa yang saya siapkan sebelumnya. Dimulai dari awal tahun, saya harus mengembalikan energi, impian, rencana, harapan yang (rasanya) tiba-tiba karam. Sepertinya saat itu adalah salah satu saat yang paling berat pernah saya alami. Kemudian setelah itu, saya jatuh terpeleset di jalanan yang sudah berlapis es saat turun dari bus, hingga tangan kiri saya retak. Ke rumah sakit, check up dan recovery yang memakan waktu sekitar 1 bulan lamanya untuk tangan saya bisa berfungsi kembali. Kemudian kenyataan yang datang menghampir adalah bahwa perpanjangan beasiswa saya tidak diterima, membuat saya harus banyak memikirkan tentang bagaimana membiayai hidup saya sampai studi saya selesai. Studi PhD-saya juga banyak kesulitan, hasil di lab yang tak kunjung positif, writing yang lambat progressnya.

Tapi tahun yang berat bukan berarti tanpa kesenangan, kebahagiaan ataupun keberlimpahan. Tuhan tetap (selalu) saja memberikan saya banyak keberlimpahan. Ada orang orang yang selalu ada saat saya harus menghadapi masa-masa sulit. Keuangan yang sulit saat itupun malah mendorong saya untuk latihan berbisnis kecil-kecilan. Pengalaman jualan makanan di bazar, bikin bakso, tempe, jualan setiap minggu ke Edinburgh saat bulan Ramadan lalu,  semua itu sungguhlah membuat saya kaya pengalaman. Tahun lalu juga diisi dengan kebersamaan dengan rekan-rekan di Glasgow, ikut serta nari sama di ASEAN festival di Stratclyde University, ngamen saman bareng-bareng di Buchanan Street, ikutan ICD dan sebagainya. Semua itu juga kenangan yang luar biasa buat saya. Tahun 2015 pula banyak diisi dengan mencobai banyak resep-resep masakan baru. Hehe semenjak dua tahun terakhir memang memasak menjadi aktivitas yang mendatangkan kebahagiaan. Untuk menulis, sayangnya saya belum juga berhasil melahirkan karya lagi, hanya nulis mengisi blog dan juga ada proyek buku yang saya garap untuk PPI Glasgow, itupun belum selesai juga di akhir tahun kemarin. Memang fokus saya lebih pada riset, nulis dan thesis dan menyelesaikan PhD saya.

Dan highlight utama di Tahun 2015 tentu saja selesai PhD. Itu merupakan pencapaian dan kelegaan terbesar saya tahun lalu. Di saat harus menghadapi banyak masa masa sulit, saya bersyukur bisa menyelesaikan PhD dengan baik. Rasanya puas bisa memberikan dan mengupayakan yang terbaik di saat saat akhir studi saya. Dulu ternyata saya “terserang” penyakit excuse yang nggak saya sadari. Excuse semacam “mengkambinghitamkan” masa masa sulit yang hampir mewarnai perjalanan PhD saya sejak awal—untuk menjadi alasan untuk tidak menjadi high achiver-. Saya membaca tulisan mbak Fitri Ariyanti (yang akhirnya sekarang saya follow blognya) di link ini.  Dan juga saya banyak membaca tulisan-tulisan beliau lainnya. Menurut saya sangat bagus untuk yang ingin belajar parenting, psikologi dll.  Setelah membaca tulisan beliau, saya jadi semangat dan nggak mau excuse-excuse lagi lah. Kemudian highlight utama lainnya yakni akhirnya saya punya rumah ahaaay. Tentu saja bagi saya hal tersebut juga merupakan pencapaikan yang harus saya syukuri. InsyaAllah pulang ke tanah air, sudah ada rumah tinggal yang tetap.

Rencana Apa di Tahun 2016?
Awal tahun mungkin banyak orang membuat resolusi. Saya sendiri sudah tidak terlalu memusingkan tentang resolusi. “ Resolusi apa nih di tahun 2016?” tanya seorang sahabat yang menyapa via whataps. Di kepala saya, yang terlintas hanya ingin menikmati segala yang datang dalam hidup. Tentu saja bukan berarti tanpa rencana. Saya tetap membuat rencana rencana walaupun saya tahu Tuhan bisa membelokkan kapan saja, tapi membuat rencana dan mengupayakannya adalah hal yang bisa saya lakukan. Pulang ke tanah air di akhir bulan ini, rasanya seperti memulai hidup baru lagi. Akan ada banyak adaptasi, dan juga saya sudah mengantisipasi sindrom “gagal move on dari Glasgow” ahaha. Banyak sekali teman, sahabat yang mengalami hal ini, dan saya pun sepertinya akan mengalami hal yang sama. Untuk yang satu ini, saya ingin menghadapinya alami saja. Ada beberapa hal yang membuat saya  masih akan terikat dengan Glasgow selama beberapa tahun ke depan. Well, sepertinya tahun ini akan menjadi tahun yang menarik untuk dihadapi. We’ll see!