Kamis, 10 Maret 2016

Secangkir Kopi dan Hari ini





Halo, lama tidak mengunjungi rumah ini. Hidup masih terasa belum begitu tertata sejak kepulangan saya dari Glasgow, walaupun sekarang ini sudah lumayan settle. Hidup banyak sekali berubah, ada banyak kehilangan-kehilangan. Perubahan selalu saja membawa banyak hal yang tidak nyaman, tapi mungkin dengan peristiwa-peristiwa itulah jiwa terus bertumbuh, semoga. Rupanya PR yang dulu saya prediksi akan muncul, terjadi juga.
Perasaan “I wish...I still in Glasgow bla bla blaa...sering kali muncul, terutama ketika menghadapi banyak hal yang kurang mengenakkan. Ahaha adaptasi itu pahit, jenderaaal!!
Membutuhkan usaha yang ekstra untuk kembali lagi mengingatkan diri sendiri, untuk belajar menerima apapun, belajar mensyukuri..aih, susah ketika bicara dalam tatanan praktik yah. Terus belajar dan teruuuus belajar.

Ah iya, hari ini saya ulang tahun. Bertambah lagi usia, semoga bertambah lagi kemauan untuk belajar hidup.
Kadang ketika memandang kehidupan ke belakang, rasanya waktu berjalan begitu cepat. Namun adakalanya juga, merasa telah banyak sekali lika liku yang mewarnai perjalanan. Saya juga banyak sekali berubah. Dan orang-orang di sekeliling saya juga berubah. Atau saya yang berubah sehingga melihat semuanya terasa berbeda? Entahlah.
            “Kita yang berubah, dan mungkin orang-orang sekeliling kita tidak siap melihat kita yang berubah. Atau kita yang tidak siap untuk menerima bahwa kita tidak lagi “cocok” dengan sekeliling,” kata seorang sahabat dalam perbincangan ketika saya menginap di rumahnya di Jakarta bulan lalu.
Dia yang bahkan sudah lebih dari 1 tahun pulang dari Glasgow, masih saja merasakan hal yang demikian, padahal dia cuma studi satu tahun saja di Glasgow.
            “Pada akhirnya, aku kebanyakan menarik diri, sendirian. Rasanya lebih tenang.” Terusnya lagi.

Sebenarnya hal yang hampir sama juga terjadi dalam hidup saya. Akhir akhir ini semakin merasa lebih nyaman sendirian, dan berkomunikasi dengan orang-orang tertentu saja. Orang orang terdekat saja. Rasanya energinya sudah  males untuk dihabiskan untuk terlibat dalam sosialisasi yang tidak penting, dalam pembicaraan-pembicaraan yang tidak penting, ataupun energi-energi negatif yang menggerogoti energi positif hidup. I don’t interested anymore. Kecuali, saya memang memilih untuk “memaksakan” untuk terlibat di dalam beberapa komunitas yang tetap saya hadir karena alasan-alasan tertentu. Di situlah, saya memang memilih dimana saya ingin tetap terlibat, dimana saya memilih untuk menarik diri.

Saya juga banyak menarik diri dari hingar bingar “publik”. Sebenarnya sudah cukup lama, saya sudah tidak “sevokal” dulu lagi ketika saya aktif di sosmed. Dulu, saya “muda” masih terobsesi untuk menginspirasi banyak orang. Sekarang, sudah tidak terlalu lagi. Dulu, saya berusaha untuk “tampil” ataupun mencitrakan diri yang penuh semangat, positif, pengejar mimpi, penantang takdir. Pencitraan? Haha semua orang juga pasti mencitrakan dirinya kan?. Berhasil? Saya rasa demikian.*ahaha ampuuun sombong!

Tapi dulu saya masih berada dalam tataran “teori”. Saya bicara lantang soal positivisme, ketika belum merasakan bagaimana harus bergulat dengan energi energi negatif yang begitu dahsyat membombardir diri. Saya bicara tentang kebahagian, ketika belum tahu rasanya hidup dibolak balikkan dalam waktu singkat sedemikian rupa, ketika bahkan sampai perlu alasan untuk melanjutkan hidup. Saya bicara soal hal hal yang menginspirasi, ketika hidup hanya berfokus pada impian-impian, saya belum tahu rasanya ketika mimpi mimpi itu benar benar mati.  

Tahun tahun belakangan sebenarnya saya banyak bergulat dalam praktik-praktik berlatih. Ada banyak hal-hal sulit yang harus dilewati. Mungkin itulah ada banyak perubahan pula yang terjadi dalam diri saya. Saya kini tidak lagi terobsesi untuk menginspirasi banyak orang. Aih siapalah saya? Bukan siapa-siapa. Lebih baik berfokus pada tindakan-tindakan nyata dan karya.

Saya juga nggak tertarik lagi to impress others. Makin terasa semakin ke sini, makin  nggak tertarik untuk berusaha demikian. Apalagi di tengah orang-orang yang kian sibuk berupaya to impress others. Rasanya dimana-mana orang sibuk ingin terlihat kaya, terlihat keren, terlihat pintar, terlihat sempurna, dan terakhir..terlihat bahagia.
Oiya, sekarang ini orang-orang juga punya kebutuhan untuk terlihat “paling benar”. Lihat kan perang argumen di sosmed?  
Saya pikir ada dorongan keinginan yang luar biasa besar sehingga membuat orang-orang ingin terlihat demikian. Saya juga pernah ingin terlihat demikian. Paling tidak, saya pernah ingin terlihat bahagia.

Pernah kamu ingin “mengkomunikasikan” atau menunjukkan pada dunia bahwa kamu bahagia? Orang beda-beda caranya. Ada yang menunjukkan dengan foto foto selfie yang penuh senyum, ada yang  menunjukkan foto foto keluarga bahagia, bersama pasangannya yang mesra bahagia. Atau dengan sahabat-sahabat dengan selalu membersamai. Atau dengan status status yang dituliskan, ataupun dengan segala pencapaiannya. Salahkah? Nggak juga. Mending sih menurut saya, at least masih positif, daripada membanjiri timeline dengan keluh kesah, share berita negatif, hoax, atau adu argumen...errrrr,

Iya, saya pernah ingin terlihat bahagia. Terutama ketika saya merasa bahagia, namun kebahagiaan versi saya mungkin berbeda dengan “nilai/cara bahagia orang-orang”, kemudian saya berupaya untuk menunjukkan bahwa saya bahagia dengan nilai/cara saya sendiri.
Kenapa orang menjadi candu untuk menunjukkan dirinya menjadi orang yang keren, kaya, pintar, menginspirasi, bahagia..ataupun apalah yang penting bagi setiap masing-masing orang? Because it’s feels good ketika orang lain kagum, memuji atau mungkin ada orang yang puas ketika membuat orang lain iri.
Tapi dalam perjalanan, semakin lama saya berjalan..saya sampai pada titik pertanyaan, pentingkah dan perlukah berupaya untuk terlihat bahagia?
            “Belum komplit lho gelarnya, belum jadi nyonya”—owh jadi menikah untuk semacam pencapaian ya?
            “ Ya masih kurang lah, ayo biar lengkap, cepetan nikah biar bahagia”---owh jadi menikah itu sumber kebahagiaan ya? Owh berbahaya sekali pemikiran tersebut.

Semakin lama saya menyadari, nggak penting dan nggak perlu lagi untuk menunjukkan pada orang lain bahwa saya bahagia dengan menerima apa yang ada pada saya and make the best of it.
Satu satunya yang perlu saya yakinkan, adalah diri saya sendiri.

Tapi nggak nyalahin orang lain juga sih, saya aja pernah kok “membandingkan kebahagiaan” versi saya. Ketika saya merasa bahagia bersama pasangan, saya pernah kok membandingkan kebahagiaan saya saat saya masih sendirian dulu. Kayaknya nggak banding banget haha. Saya merasa jauuuhh merasa bahagia, dibandingkan saat “dulu saya merasa bahagia banget ketika nonton bola trus MU menang”, atau saat keterima beasiswa, atau saat jalan bareng temen-temen kos”. Padahal, ya sama sama bahagia, hanya saja bahagia yang berbeda.
Mungkin sama aja kayak orang menikah, trus menganggap orang yang belum menikah itu belum bahagia.
Kayak orang udah punya anak, trus menganggap orang yang belum punya anak belum bahagia.
Daaaan lain-lain sebagainya...

Dari situ, saya semakin menyadari bahwa kebutuhan saya untuk “dianggap bahagia” atau kebutuhan saya “to impress others”  menjadi semakin mengecil. Menghabiskan energi, dan tidak perlu.

Selamat ulang tahun, semoga terus bisa meyakinkan diri sendiri bahwa saya bahagia dengan apa yang telah ada dalam hidup saya. Saya tahu Tuhan selalu memberikan berkecukupan dalam hidup saya, bahkan keberlimpahan. Terimakasih.

Bersama secangkir kopi dan waktu yang masih diberikan hingga hari ini.

Salam,
10 Maret 2016. 

Rabu, 24 Februari 2016

Tentang Cerita si Tukang Kulkas




Hujan tengah mengguyuri langit Purwokerto kali ini, memang hampir tiap sore hujan selalu saja menghampiri kota ini. Secangkir kopi dan pisang goreng menemani saya sore ini di ruang baca, kebetulan hari ini pulang agak awal dari kampus. Minggu ini masih belum aktif perkuliahan, jadi masih agak santai. Beginilah hidup saya sekarang ini, sepulang dari Glasgow, yakni kembali ke dunia kampus.

Ah iya, saya ingin bercerita tentang si tukang kulkas yang datang ke rumah hari selasa kemarin. Ceritanya kan pas hari minggu lalu saya membeli kulkas, karena repot euy nggak ada kulkas. Susah kalau belanja bahan makanan, cepat kondisinya nggak bagus kalau tidak segera disimpan dalam kulkas. Nah, setelah cocok tipe, warna, dan harga, akhirnya saya pun membeli kulkas di sebuah pusat kebutuhan rumah tangga di Purwokerto. Ternyata yah, pelan-pelan ngisi perabotan dan menata-nata semuanya seru juga yah. Beda banget rasanya dengan pas ngekos atau ngontrak. Sekarang rasanya bebas menata ruangan-ruangannya sesuai dengan keinginan. Yang nggak bebas duitnya sih hahahah lumayan juga pengeluaran untuk memulai semuanya.

Kata si pegawai tokonya kulkas akan diantar ke rumah sekitar 2 hari, katanya sih karena banyak pesanan. Okelah, tidak masalah menunggu hingga dua hari. Makanya saya agak kaget ketika ada telpon di hari senin dan mengatakan kalau yang mengantar kulkas sudah sampai di depan rumah. Wiw cepet juga! Saya buru-buru melajukan sepeda motor pulang ke rumah. Untung saja hanya sekitar 15 menit saja dari kampus ke rumah. Begitu sudah mendekat, mobil pengantar kulkas sudah keliatan di depan rumah. Kemudian masuklah si tukang pengantar kulkas itu ke dalam rumah. Dalam keadaan memanggul kulkas yang segede gaban itu, si tukang terlihat melihat lihat kondisi rumah, matanya menengok ke sana kemari. Nggak mencurigakan sih saya kira, cuma si tukang terlihat mengamati kondisi rumah. Sambil membuka kardus, si tukang kulkas tadi bertanya,
            “Masih sendirian ya mbak?” kayaknya si tukang kulkas tadi mengira demikian soalnya rumah kosong, dan baru setelah ditelpon, saya pulang.
            “Iya pak,” jawab saya singkat , sembari menunjukkan tempat dimana si kulkas tadi ditaruh.
           “ Udah mapan begini, masih sendirian. Pasti targetnya tinggi ya mbak?” lanjut pertanyaan si tukang kulkas tadi. Tentu saja maksud “targetnya tinggi” itu kriteria si calon pendamping. Eaa..ahaha bayangkan si tukang kulkas yang baru ketemu beberapa menit lho, bisa komentar demikian. Welcome to Indonesia!
            “Ah enggak pak, biasa saja. Masih disuruh sabar,” jawab saya diplomatis *tanda-tanda sudah sangat terbiasa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang serupa ahaha.
Si tukang kulkas itupun usai meletakkan kulkas sesuai dengan tempatnya, dan merapikan kardus-kardusnya, masih sempat melihat sekeliling ruang tengah rumah saya. Matanya mengamati foto wisuda S2 saya.
            “ Ini wisuda pas apa mbak?” dan si tukang kulkas itu melanjutkan pertanyaan demi pertanyaan. Karena kesannya si bapak bapak tukang kulkas tadi polos lugu dan tidak terkesan nyinyir ataupun nyebelin, saya tetap menjawab pertanyaan-pertanyaan si bapak tadi dengan biasa saja.

Begitulah fenomena yang biasa di Indonesia, si para perempuan belum menikah pasti pernah mengalami hal-hal yang serupa ahah. Seringnya saya sih bereaksi santai saja, kecuali ada beberapa yang terasa annoying, pun saya tanggapi dengan “lebih santai” lagi. Tiba-tiba saya bayangin, hihi saya dalam posisi masih pengen menikah lho, coba orang-orang tadi tanya ke temen saya yang emang belum mau menikah. Gimana coba kalau dia jawab : “ lho saya emang belum mau menikah kok
Pastilah gubrak yang tanya ehehe.. Teman saya itu orang Indonesia kok, bukan bule. Dia belum mau menikah sebelum dia jadi professor. Well, it’s her choice anyway.

Kayaknya memang sendirian di usia sebegini dianggap aneh oleh sebagian banyak orang. Reaksi yang sama seringkali saya jumpai dari orang-orang yang tahu saya sekarang menempati rumah sendirian, di daerah sepi, deketnya sawah pula. “yang bener kamu sendirian?” “Kamu di sana ditemani siapa?”
Begitu pula kalau ada teman ketemu pas saya lagi makan di luar sendirian,  “Kok sendirian?” “Sama siapa?”
Well, padahal saya sih santai santai saja. Kadang makan di luar sama teman sekantor, atau kalau nggak lagi pas jadwalnya, saya juga nyaman-nyaman saja makan di luar sendirian. Apa anehnya sih?
Eit, sendirian bukan berarti kesepian lho ya. Orang bisa kesepian di keramaian, ataupun saat dia dikelilingi banyak orang, bahkan bisa kesepian dalam pernikahan.
--
Sementara itu beberapa saat kemudian,
            “ Kalau bisa sih, kulkas langsung ke sumber listrik saja, dan sambungan diambil dari sumber colokan lain dan magic jarnya ngikutin sambungan.
            “Atau beli T, yang merk ***** tuh yang bagus. Yang model ada kantung buat colokannya ya supaya kepala jacknya tidak gerak-gerak, karena kalau gerak gerak bisa menghasilkan bunga api dan bahaya. Jangan beli yang model gini..”
.lalu srruut beberapa gambar terkirim..

Saya nggak harus kasih pengumuman kan kalau saya tidak sendirian? Hihiih..karena kehadiran tetap bisa terasakan walaupun belum bisa bersama di tempat yang sama.

Salam,
Purwokerto yang masih diguyur hujan



 

Jumat, 12 Februari 2016

Merasa "Asing" di negeri sendiri

Kangen orang-orang ini



Setidaknya sudah lebih dari seminggu saya menginjakkan kaki lagi di tanah air. Lagi lagi, baru kali ini bisa menyempatkan kembali menulis. Sejak kepulangan, saya direpotkan dengan urusan rumah. Pindah rumah dari rumah orang tua saya di Kebumen ke rumah saya di Purwokerto. Alhamdulillah, sejak kamis kemarin saya sudah menempati rumah saya di Purwokerto.
Apa kabar adaptasi?
Haha ternyata perjuangannya luar biasa. Mulai dari adaptasi tubuh yang jetlag plus adaptasi lingkungan sosial. Satu aja misi saat-saat adaptasi yakni “jangan ngeluh” dan itu ternyata susah banget. Rasanya Indonesia panasnya luar biasa, berangkat dari Glasgow yang sedang bersuhu sekitar 3 celcius ke Indonesia yang suhunya berkisar 30 C, tambah nol doang sih tapi efeknya bikin badan rasanya sangat tidak nyaman. Ditambah lagi jam tidur yang kacau balau gara-gara perbedaan waktu. Panas dan istirahat kurang, itulah highlight utama penyesuaian tubuh di awal-awal kepulangan. Nah, akibat badan yang terasa nggak enak itulah upaya menjaga mood agar tetap baik memerlukan upaya ekstra.
Kemudian perubahan yang sangat terasa adalah "kebisingan". Rasanya hidup berubah menjadi bising. Baik bising dengan artian sebenarnya yakni banyak orang dimana-mana, crowded di jalanan, bising suara orang, dan juga bising dalam artian hidup rasanya nggak sesimpel dulu saat di Glasgow ehehe. Pantesan saja sahabat yang dulu ketika pulang ke Indonesia sempat berkata betapa kangennya dia dengan "hidup simpel dan sederhana ala Glasgow". Dan sekarang saya merasakan hal yang sama.
Penyesuaian dengan lingkungan sosial juga butuh usaha. Ada beberapa terasa "kenapa kok merasa nggak sreg atau nggak pas dengan lingkungan sekitar?"
Apa saya yang telah banyak berubah? atau lingkungan yang berubah? atau apa?
Rasanya asing. Yah, kadang-kadang ada rasa seperti itu. Kenapa sih dimana-mana orang hobi berkomentar tentang orang lain? gemar ngata-ngatain orang lain? kenapa sih kebanyakan yang terdengar adalah negative talk? sedih. Kalau sudah begitu, melipir deh menghindari. Risikonya adalah terkesan menjadi "pendiam" atau menarik diri (mungkin lebih tepat menjaga jarak) dengan beberapa komunitas. Males aja sih kalau kebanyakan terpolusi energi negatif..
Memang tak semuanya demikian tentu saja. Namun ada kegelisahan di hati saya, bagaimana mengubah energi-energi negatif ini mengarah ke energi positif, kalau cuma "menghindari" saja nanti hasilnya tidak akan memberikan perubahan positif apa-apa. Tapi gimana caranya ya? ehehe.
Dan begitulah, hidup saya berubah. Di awal-awal kepulangan, saya bertanya pada diri sendiri : "Are you happy?" saya tersenyum getir.
Betapa bahagia yang berasal dari dalam diri dan tidak terpengaruh oleh lingkungan luar atapun realita adalah pelajaran yang tidak mudah. 
Rindu Glasgow? bangeeeet. Saya menyadari kehidupan saya di Glasgow adalah salah satu saat terbaik dalam hidup saya. Kadang-kadang bila kita terlalu bahagia, kita menjadi berat untuk melepaskan apa yang kita kira membuat kita bahagia. Mungkin demikian adanya..
Tapi saya harus realistis, hidup adalah hari ini, apa yang harus kita hadapi. Hari-hari selanjutnya adalah upaya saya untuk meneruskan menjalani hidup dengan penuh kebersyukuran. Latihan menerima dan bersyukur, mungkin itulah pelajaran-pelajaran yang terus mengikuti perjalanan hidup manusia. 

Salam