Senin, 11 September 2017

Glasgow : Menyusuri Kenangan


 
Bisa merumput di Kampus UoG lagi


Aroma udara yang begitu lekat dulu kukenali kini bisa saya rasakan lagi. Hawa dingin permulaan Bulan September, hujan rintis rintis yang tak pernah lepas menghiasi hari hari Glasgow, serta angin yang berhembus menggidikkan kulit. Semuanya terasa dekat, terasa lekat. Ada rasa yang begitu saya kenali, pulang! Saya merasa pulang. 

Ada perjalanan dan perjuangan panjang sampai akhirnya saya bisa menjejakkan kaki kembali di Glasgow, walaupun tak lama. Tapi pulang kembali ke sini, seperti memberikan jeda yang istimewa buat saya. Sangat istimewa.
Dulu saat kuliah, berangkat ke Glasgow terasa biasa, ada banyak hal-hal yang saya anggap take it for granted. Tapi perjalanan kali ini lebih terasa istimewa, karena perjuangan untuk bisa kembali lagi tidaklah gampang. Semenjak pulang ke Indonesia, target rencana memang ingin kembali walaupun sebentar ke Glasgow. Hari hari kemudian yang penuh risak jadwal jadwal pekerjaan, serta kegiatan kegiatan dimana mana. Penat.

Hidup terasa sesak. Hari terus berlarian dengan jadwal jadwal, dengan pekerjaan. Saya memang menikmati berkegiatan, daripada bengong nggak jelas. Pasti jadi kangen Glasgow kalau udah bengong nggak jelas.
Tapi rasanya memang hidup butuh jeda, untuk memberikan jiwa nafas baru. Melihat lagi tapak tapak di belakang dan melihat perjalanan hidup dengan kacamata yang lebih utuh. Kadang bisa hidup terasa berlarian, kita tidak tahu kemana berlari, apa yang dikejar? Apa yang kita inginkan? Jeda dibutuhkan untuk melihat semua itu dengan lebih jernih.

Glasgow masih seperti dulu, dingin namun membuat hati hangat. Terasa sekali hidup menjadi berbeda, lebih terasa slow life. Kembali jalan kaki kemana mana, semoga saja berat badan bisa turun beberapa kilo nanti haha. Semuanya masih terasa sama. Ada aroma kota ini yang begitu lekat ketika dihirup, rasanya seperti menghirup kenangan. Terasa dekat di hati.

Hari ini sudah hari ke-6 di Glasgow. Hari hari awal masih disibukkan dengan konferensi, dan di sela sela nya masih harus mengerjakan kerjaan kampus juga. Saat ini sudah agak longgar waktunya. Sudah bisa masak masak, jalan jalan menyusuri Glasgow. Ah, menyusuri kenangan.
Saya belum tahu akan kemana saja untuk menghabiskan waktu sisa beberapa hari di Glasgow. Hanya rencana ke Lancaster untuk mengunjungi adik sepupu yang tengah kuliah di sana. Tapi kita lihat lah ke depan, bisa muter muter kemana.
Di Glasgow saja, rasanya sudah istimewa.

Semoga menjadi waktu jeda yang penuh makna.



Kembali mengunjungi Kelvingrove museum



Glasgow, Permulaan musim gugur 2017

 

Jumat, 27 Januari 2017

Balada Ira Koesno dan Perempuan Lajang





“Owh ternyata si mbak moderatornya masih single toh?” mungkin komentar ini dan disusul komentar-komentar lain, banyak kita dengar dan sempat menjadi trending topik di sosial media setelah debat pertama pilkada DKI Jakarta.  Si mbak Ira Koesno, moderator debat pilkada DKI tahap pertama kemarin memang mencuri perhatian. Tampil cantik, cerdas dan tegas, penonton banyak yang tidak tahu kalau si mbaknya ini usianya sudah 47 tahun. Lalu banyaklah komentar bahkan meme-meme yang berhamburan,
            “What! 47 tahun masih kinclong begitu?”
Saya juga takjub melihat si mbak ira yang masih terlihat cantik, dan sangat terjaga penampilannya di usia yang tak lagi dibilang muda.
            “Lha pantes lah lha wong belum nikah, belum turun mesin,” begitu beberapa komentar lain juga terdengar.
Eaalah belum nikah kemudian dibawa-bawa. Lihat itu lho sofia latjuba, dian sastro..yang sudah punya beberapa anak juga masih nampak mempesona kan?
Okelah, kalau komentar-komentar seperti di atas masih wajar. Namun sedih juga kalau denger/baca komentar-komentar bullying gara-gara status mbak ira yang masih melajang di usia yang sudah tak lagi muda. Seperti yang ada di post di FB berikut :


Kadang bikin geleng-geleng kepala baca-baca komentarnya. Tapi memang begitulah adanya. Saya bisa bilang kalau fenomena tersebut memang terjadi di Indo.
            "Perempuan itu belum dibilang sukses dan bahagia kalau belum nikah dan punya anak"
Hihihi..seriusan, stigma ini kental banget di masyarakat Indonesia. Jadi dengan sebegitu kerennya prestasi mbak ira koesno, ada aja yang dinyinyirin..."ah, buat apa cantik pinter kalau belum juga laku?" humm sedih sih dengernya.

Baca-baca tentang apa yang dialami mbak ira ini, jadi kerasa diri sendiri juga sih #eaaa. Sejak pulang, saya sudah bersiap diri sih bakal dinyinyirin orang ahah..walaupun siapalah saya dibanding Mbak Ira koesno, satu-satunya kesamaan hanyalah kesamaan status saja wkwk. Dan ternyata setahun ini, memang kudu siap mental, kuping dan hati untuk tetap waras, sehat, dan bahagia dengan segala macam tekanan-tekanan seperti itu hihi. Saya sudah merasakan kejamnya lidah-lidah tak bertulang ahahah, 
         " Owh, cuma tinggal beberapa tahun aja tuh untuk bisa punya anaknya," gitu dong bilang seseorang di depan muka pas ulang tahun tahun lalu. Hahah sabaar sabaar..
Yang saya perhatikan tuh, beberapa orang merasa perlu "menjatuhkan" orang lain untuk membuat diri mereka feels good.  
              " Belum jadi nyonya ya belum lengkap," begitu sih sering saya denger. 
Dan berbagai komentar-komentar lainnya, mulai dari yang halus, sedang ataupun halus tapi sadisss. Jadi saya kerasa banget kalau ada stigma "perempuan tuh belum sukses dan bahagia kalau belum menikah dan punya anak" di masyarakat indo. Setinggi apapun pendidikanmu, sekeren apapun prestasimu, kalau kamu masih lajang...kamu tuh belum sukses, belum bahagiaa saudaraaaa. Begitu labelnya..
Halo barisan perempuan kece yang belum nikah, bener nggak yang saya bilang? eheheh..iya kok, saya lihat kalian ngangguk ngangguk ;p

Kadang-kadang kesel, baper wajarlah kalau harus menghadapi komentar-komentar semacam itu. Belum lagi yang ngejudge-ngejudge sok tahu,
             "Karir mulu sih yang dipikirin"
Ini sih judgement paling favorit yang sering banget didengar. Beberapa teman, sahabat yang belum menikah dan merasakan hal yang sama juga sering curhat mengalami hal seperti ini, dijudge kalau carier-minded woman. 
Padahal tuh, coba deh ditelaah..dengan masih adanya waktu yang lebih banyak dibanding perempuan yang sudah menikah, apalagi punya anak, maka perempuan lajang memang terlihat fokus ke karir, lha belum ada yang wajib diurus. Kalau saya sih, mumpung masing banyak waktu memang memaksimalkan potensi untuk mencobai hal-hal yang saya sukai, pergi ke tempat-tempat yang belum saya kunjungi. Ya mumpung gitu lho, masih banyak waktu dan lebih bebas..bukan karena gila kerja. Dari beberapa ngobrol dengan rekan yang senasib, ternyata konklusinya hampir sama, mereka memaksimalkan fokus perhatian dan energi mereka ke karir karena memang belum punya keluarga yang mengharuskan mereka berbagi waktu dan energi. 

"Kamu sih pilih-pilih, sudahlah nggak ada orang yang sempurna" 
eh eh..sering nggak denger kalimat ini..hehe seems familiar ya?. Terus siapa pula yang nyari orang yang sempurna? lha memang enggak ada orang yang sempurna kan. Kalau soal pilih-pilih, lha jelas dong milih..masa memilih pasangan hidup enggak milih?

"Jangan sekolah ketinggian, nanti lelaki pada takut mendekat" 
Ini juga sering didengar kan? terus perempuan nggak boleh sekolah tinggi-tinggi gitu? enggak begitulah. Perempuan itu nantinya kalau diberi amanah, akan jadi madrasah pertama anak-anaknya, jadi harus banyak ilmunya. Perempuan dengan pendidikan yang tinggi, atau wanita karir katanya seringkali dibilang "mengancam" ego laki-laki yang memang alamiahnya itu superior. 

Mungkin ada banyak laki-laki yang merasa ego-nya terancam dengan perempuan yang pendidikannya lebih tinggi, karir-nya oke dll. Tapi ada lho laki-laki spesial yang tidak merasa "terancam" dengan hal tersebut, justru merupakan her biggest supporter untuk meraih impian-impian si perempuan, dan juga "impian mereka bersama". Jadi menurut saya, nggak ada yang salah dengan pendidikan tinggi perempuan, karir dll asalkan bisa menempatkan diri bahwa memang laki-laki itu alamiahnya adalah imam bagi si perempuan. Saya banyak melihat pasangan-pasangan yang "saling" membaikkan, meninggikan. Suka banget lihat pasangan-pasangan yang demikian. Jadi nggak usah risau dibilang standarnya ketinggian lah, itulah..inilah..dan begitulah, risiko hidup di Indonesia yang memang kebiasaan hobi kepo urusan orang lain hihih..ingatlah kalimat di bawah ini deh :

Oh yes, you need a man with bigger hands!
Ada sih rasa nggak fair, bahwa seringkali pencapaian-pencapaian hasil kerja kerasnya "nggak dianggap", nggak ada apa-apanya dibanding "pencapaian" perempuan yang sudah menikah, apalagi yang sudah punya anak.  Itu sih yang dirasakan banget, kadang nyesek ahay. Makanya konsep kesuksesan itu apa, kebahagiaan itu apa, dan pencapaian itu apa, bagi diri sendiri itu penting banget untuk menghadapi badai nyinyiran ahaha.
Kalau masih direndahkan gara-gara belum menikah, ya monggo. Kalau dianggap belum sukses dan belum bahagia gara gara belum menikah ya silahkan. Toh kita (eh saya ding, kok ngajak-ngajak pakai kita) punya konsep sendiri tentang kesuksesan, kebahagiaan..harusnya nggak ngaruh dong dinyinyiran orang gimana. Iya sih, tapi manusiawi lah kalau kadang kadang kezeeeell #curhat haha. Eh ada lho artikel yang menyoal fenomena itu, yang judulnya "Marriage is not an accomplishment" di link ini.

" It’s time for society as a whole to re-evaluate what aspect of women’s lives we put the most value on. “

Weh, ternyata ada juga yaah yang merasakan hal yang sama, bahkan yang menulis artikel ini dari luar negeri, kirain cuma di Indo saja yang hobi nyinyiran.


Memang tidak mudah sih menghadapi tekanan sana sini, peer pressure..society pressure apalagi kalau sudah family pressure. Kudu banyak sabarnya ya teman-teman. Yang penting memaksimalkan potensi dan waktu untuk melakukan hal-hal yang positif. We have our own choice! Kita tidak menikah karena tuntutan sosial, tapi karena ingin bersama seseorang yang "compatible" untuk bersama-sama mengisi hidup dengan banyak karya, bahagia dan cinta (eh kok kita..sayaa ;p). 

Yuk ah, daripada energi habis buat orang yang nyinyir, lebih oke produktif melakukan banyak hal yang positif :)