Jumat, 31 Juli 2020

Mengunjungi Tapak Sejarah Shakespeare di Stratford Upon Avon


Udara pagi Birmingham yang sejuk mengiringi langkah-langkah kaki menuju stasiun kereta, yang akan membawa saya ke Stratford Upon Avon. Tadinya tidak ada rencana sama sekali akan mengunjungi kota kecil ini saat menyusun rencana perjalanan selama dua minggu di UK. Tapi karena saya memutuskan untuk tinggal di Birmingham selama 2 hari, sementara sahabat saya, Mbak Isnia sibuk ikut seminar, jadinya daripada saya krik-krik di Birmingham, akhirnya saya memutuskan untuk ke Stratford Upon Avon.

Kereta yang membawa saya dari Birmingham ke Stratford Upon Avon tidak terlalu penuh, sehingga saya dengan leluasa menikmati suasana di balik jendela kereta. Saya selalu suka mengamati pemandangan di luar jendela ketika dalam perjalanan. Hijaunya ladang-ladang, domba domba lucu yang asyik merumput serta kincir angin di kejauhan. Rasanya tenang, indah dan damai. Hal inilah salah satu yang selalu saya rindukan untuk mengulang kembali suasana ketika saya masih tinggal di UK. 
Selama empat tahun tinggal di UK dari Tahun 2011 hingga 2016 awal, saya tidak pernah saya jalan-jalan ke luar kota sendirian. Pasti biasanya dengan teman-teman bareng-bareng atau paling enggak berdua. Tapi kali ini berkelana sendirian memang terasa berbeda rasanya. Setelah sekitar 1 jam perjalanan dari Birmingham, saya tiba di stasiun Stratford yang sedang direnovasi, suasana terasa sepi, mungkin karena weekday juga. Stratford terletak di wilayah Warwickshire, sekitar 22 mil (35 km) sebelah tenggara Birmingham. Salah satu yang membuat terkenal kota ini tentu saja karena daya pikat William Shakespeare. Siapa yang nggak tau Shakespeare ya kan?

Walaupun secara pribadi, saya nggak favorit-favorit banget karya-karyanya Shakespeare, tapi tentu saja pengen juga dong mumpung sedang di UK, untuk melancong mencari jejak sejarahnya Shakespeare. Jadi memang tujuan wisata ke Stratford ini ya demi melihat tempat tinggalnya penulis besar Inggris tersebut hehe.

Saya langsung melangkahkan kaki menuju rumah tinggal Shakespeare tersebut, dengan bantuan google maps. Saya tidak berencana untuk  membeli paket tiket bis karena rencananya hanya jalan-jalan sekenanya saja, tanpa ada target-target tertentu. Menikmati suasana di sepanjang jalan, dengan bentuk bentuk bangunan yang khas memanjakan mata. Sekitar 20 menit jalan kaki dari stasiun kereta api, saya sampai di area rumah tempat lahir Shakespeare. Terletak di Henlet Street, rumah yang diyakini dimana William Shakespeare lahir di sana pada Tahun 1564 dan menghabiskan masa kecilnya. 


                                                                               Rumah lahir Shakespeare

Sebenarnya rumahnya terlihat sederhana, tapi katanya untuk rumah abad-16 itu dianggap hunian yang cukup besar. Secara artitektur juga biasa saja, tapi melihar sejarah ada di depan mata sungguh istimewa. Bisa melihat sendiri rumah lahir Shakespeare dan lingkungan sekitarnya jadi kebayang seperti apa kehidupan dulu saat Shakespeare masih hidup. Kotanya kecil tapi menyenangkan, kumpulan turis kebanyakan terpusat di sekitar area rumah tinggal Shakespeare karena di sekitar situ banyak cafe, charity shop dan museum shakespeare centre. Saya memuaskan diri menjelajah ke toko oleh oleh khas shakespeare yang berisi pernak pernik lucu tentang sang penulis itu. Untuk kenang-kenangan saya membeli magnet kulkas yang bergambar rumah lahir Shakespeare itu. Yah, ringan di kantong dan ringan untuk dibawa. 



Saya kemudian menghabiskan waktu berjalan jalan di daerah sekitar situ, asik melihat melihat di Charity shop dan membeli beberapa barang barang lucu. Saya memang gemar banget lihat lihat ke Charity shop, semacama toko barang second dalam kondisi yang masih bagus. Soalnya sering nemu barang barang lucu dan harganya terjangkau.  Dan sebenarnya yang bikin saya seneng juga suasananya, soalnya kebanyakan Charity Shop itu dilayani oleh orang orang yang volunteer bekerja disitu. Jadi entah kenapa ya...auranya itu bikin hepi,

"Owh this is so lovely, isn't?" komentar seorang perempuan yang sudah berumur 60 tahunan yang bertugas di kasir, sambil menimang hiasan rumah yang saya beli. 
Begitulah, senyum..kalimat yang bikin adem, lalu dapat barang kece dengan harga yang murah. Kombinasi yang pas untuk hunting-hunting barang kece di UK. 

Saya kemudian menghabiskan waktu berjalan jalan ke daerah sekitar kanal, duduk duduk di rumput menikmati kanal yang tenang serta turis-turis yang tengah menanti jadwal kapal yang akan membawa mereka menikmati kanal. Saya sebenarnya pengen juga naik kapal dan berkeliling, tapi krik krik juga sendirian dan takut jadwal keretanya mepet. Memang yah, jalan jalan sendirian itu terkendala nggak ada yang leluasa motretin haha, sementara saya suka foto foto gitu. Akhirnya saya banyak foto foto suasana kotanya saja. 


Cantik kan kotanya, so kalau kamu punya waktu bisa banget untuk singgah di kota kecil ini. Mengunjungi tapak tapak sejarah Shakespeare. ***

Catatan perjalanan Agustus-September 2019


Senin, 25 Mei 2020

Cerita Tentang Rumah Mint


“Iya bu, tapi kalau harus bener-bener nyicilnya maksimal 1/3 dari penghasilan emang kudu yang cicilan sekitar 15 tahun,” begitu curhat seorang kawan yang tengah mencari rumah--Mencari tanah untuk membangun rumah, lebih tepatnya.

Dari curhatnya itu, saya kembali sadar bahwa mempunyai rumah pada saat ini memang tidak mudah dan butuh perjuangan. Punya cicilan selama 15 tahun nggak kebayang sih capeknya kayak apa, walaupun nilai uang cicilannya akan terus turun. Tapi pengalaman pernah punya cicilan tiap bulan itu rasanya nggak enak, kayak punya tanggungan gitu. Tapi di sekitar kita, banyak yang mengambil cara ini untuk memiliki rumah, biar nggak numpang sama mertua ataupun karena keinginan ingin mandiri. Saya pun membeli dengan cicilan kok.

Saya dulu belum terlalu “kenal” dengan financial planning. Jadi pengelolaan keuangan lebih ke asal-asalan saja, asal aman.Tujuan finansial juga nggak begitu jelas, mungkin karena masih sendiri jadi belum menganggap perencanaan keuangan itu penting. Tapi ada satunya sih nggak saya amati, kok dulu belajar ekonomi di sekolah nggak pernah diajari gini-gini ya? Coba gitu diajari financial planning, how to spending, how to saving ataupun investasi. Karena ternyata pengetahuan tentang hal hal tersebut sangat berguna untuk kehidupan kita.

Dulu, tujuan finansial saya paling-paling buat travelling. Karena saya suka jalan-jalan, dan menganggap pengalaman menjelajah itu hal yang berarti dalam hidup. Lalu sekitar 1 tahun sebelum saya pulang ke Indonesia, ada teman yang menawari saya rumah. Dia mau pindah ke lain kota karena mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di sana. Waktu ditawari rumah, saya merasa belum kepikiran memiliki rumah.
            
Nantilah, masih sendiri juga”-mungkin ini yang membuat saya merasa belum perlu. Ditambah juga, waktu itu saya belum memantapkan hati untuk tinggal di Purwokerto.

Tapi akhirnya saya pun memutuskan membeli rumah--bukan rumah temen saya yang nawari itu sih. Tapi yang tidak banyak tahu bahwa saya menghabiskan tabungan saya agar memperbesar DP rumah sehingga cicilan yang harus saya tanggung nggak terlalu banyak. And then, kejutan setelahnya adalah saya nggak dapat beasiswa perpanjangan Dikti untuk menyelesaikan S3 saya di Glasgow. Itulah yang membuat saya jualan tempe, bakso, sate, bolak balik Glasgow-Edinburgh tiap minggu pas Ramadan untuk jualan, agar saya tetap survive.

Ada satu momen yang masih terus saya ingat, ketika saya ikut bazar Ramadan di Glasgow. Seorang teman dari Indonesia yang order masakan saya mengabarkan nggak bisa ke bazar karena anaknya masih tidur. Makanya saya mengantarkan ke rumahnya seusai kegiatan bazar. Dengan membawa orderan, saya ke rumah teman Indonesia tersebut. Sampai di pintu, saya serahkan orderan masakannya…tapi si mbaknya malah mrebes mili,

Lalu saya yang tadinya biasanya saja, jadi tertular ikut mrebes mili. Ah, kami yang hidup di negeri jauh dari Indonesia, mungkin memang tahu betul perjuangan masing masing dari kami. Cerita-cerita itulah yang membuat saya cinta sama rumah yang saya sebut Rumah Mint itu.

Sekarang, rumah mint sedang direnovasi karena pengen nambah dapur yang lebih luas di belakang. Karena saya suka masak dan dapur sebelumnya cuma secuil hehe. Sebenarnya soal finansial, saya termasuk pemain aman, tapi kok ya nekadan. Saya bingung juga menyebutnya tipe apa kalau baca di Buku-nya Mbak Prita Ghozie, perencana keuangan favortit saya. Saya tipe no-utang utang club untuk soal konsumtif-dan renovasi rumah bukan kebutuhan urgent, jadi jelas saya mengambil biaya renovasi dari tabungan. Oke itu sifat pemain aman-nya ya. Tapi nekadan-nya itu ketika udah hire tukang dan tau perkiraan biaya renovasinya yang bikin tercengang hahah..

Ternyata ya bikin bangunan jaman now mantep banget ya biayanya. Akhirnya rada ngebut juga kerjanya agar ada pemasukan pemasukan tambahan, dan Alhamdulillah masih aman sampai sekarang. Tapi perencanaan keuangan itu penting banget sih, sama punya tujuan finansial biar hidup lebih tertata rasanya. Dan, hidup dengan situasi finansial yang aman itu juga membawa ketenangan hati juga lho. Saya banyak mendengar permasalahan keuangan, bahkan katanya soal finansial juga berpengaruh pada kehidupan rumah tangga. Ada satu kalimat dari mbak prita ghozie yang saya suka banget, intinya bahwa kita hidup itu sesuai dengan kemampuan finansial kita. Dengan slogannya Live a Beautiful Life!
Kapan kapan saya review bukunya Mbak Prita ya.


Rabu, 20 Mei 2020

London : Sepenggal Cerita Tentang Kembali



London, Akhir Agustus 2019


Akhirnya saya menemukan koper besar saya setelah sekian lama menanti di tempat pengambilan koper Etihad di Bandara Heathrow, London. Hati saya rada deg-degan selama di pesawat, mikirin gimana nanti ke Flat Mita, sahabat saya dimana saya akan tinggal selama 2 hari di London. Biasanya saya selalu memesan tiket langsung ke Glasgow ketika mau “mudik”. Tapi kali ini saya memutuskan untuk memesan tiket ke London, alasan utamanya pasti karena harga tiket PP Jakarta-London lebih murah dibandingkan saya langsung PP Jakarta-Glasgow. Memang perjalanan ini ada sebagian yang menggunakan dana riset saya, karena ada tujuan akademik yang berhubungan dengan riset yakni presentasi di IMAV (International Meeting on Arbovirus) di Glasgow. Tapi saya juga modus memanfaatkan momen itu untuk mengambil cuti selama 2 minggu untuk “kembali” ke UK dan berencana untuk jalan-jalan di beberapa kota. Dan tentunya, ya merogoh kocek sendiri dong dari tabungan. Makanya tetep berhemat termasuk juga untuk tiket pesawatnya. Kedua, saya juga berencana untuk ke Birmingham, ketemu dengan sahabat saya mbak Isnia yang juga ikut konferensi di sana. Jadi okelah ya rute-nya dari London ke Birmingham, baru ke Glasgow.

Masalahnya, saya belum pernah ke London sendirian hihi. Kalau terbang pulang pergi ke Glasgow ya sering selama studi dulu, dan Glasgow itu rasanya sudah seperti rumah. Sudah terbiasa sesampainya bandara Glasgow yang kecil dan tidak terlalu ramai tinggal naik taksi atau ngebis. Sudah familiar dengan tempat dan rute-rutenya. Tapi London? Ish…hati saya agak-agak ciut.

Aku selalu males lewat London, ngantri keluar bandaranya panjang banget. Ribet pula,” kata salah satu sahabat saya. Hummm okee..dududu

Dan bener juga sih, karena Heathrow itu bandaranya gede banget jadi memang harus sabar mengantri. Di imigrasi sih mulus-mulus saja, mungkin karena visa saya tipe yang business (academic) ya jadi nggak ditanya macem-macem. Begitu keluar, yang pertama kali saya lakukan itu beli paket data, ganti nomer UK sementara. Soalnya saya butuh banget akses internet untuk cari informasi gimana menuju flatnya Mitha. Memang sih udah diancer-ancerin, naik subway ini, pindah ke jalur itu..habis itu jalan kaki. Awalnya membayangkan udah bikin hati ketar ketir. Karena saya itu nyasaran, trus..tau dong jalur subway-nya London..hadeww runyam. Kalau di Glasgow itu cuman lingkaran doang jalurnya, kalau London mah ampun.Tapi bagaimanapun saya harus mengumpulkan tekad, lha mau gimana lagi?

Begitu saya ganti kartu, minta tolong diaktifkan, dan tersambung ke internet kemudian whatapps aktif, hati saya agak lega. Saya kirimkan pesan ke Mitha kalau saya sudah sampai di Heathrow dan hendak mencari jalan menuju flatnya. Saya pun mengirimkan pesan-pesan pada keluarga dan orang terdekat kalau saya sudah sampai dengan selamat. Saya jadi kepikir sih, orang tua saya (yang sekarang tinggal ibu) tuh ajaib sih. Hampir nggak pernah lho cemas nanya-nanya…nanti kamu gimana? Naik apa…bla bla blaa..enggak!

Yang penting saya komunikasikan saya mau kemana, dimana, dan selalu kasih kabar via whataps ataupun telpon or  videocall. Udah. Saya bersyukur untuk itu sih..

Dengan bertanya ke petugas, saya mencari jalur dari di Bandara Heathrow yang ke arah akses subway/underground dan harus turun naik. Walaupun ada tangga berjalan, tetep aja ya koper segede gaban dan tas punggung bikin tarik nafas panjang-panjang. Tapi ternyata London memberi sambutan hangat, ketika saya tengah kerepotan dengan koper saya ketika di tangga. Dengan serta merta lho, ada orang yang bantu ngangkatin. Saya cuma bengong, dengan gesture bilang  “Udah nggak usah, itu berat”. Tapi dianya selow-selow aja dan bilang “ no problem” sambil senyum.
Hati rasanya menghangat dong kalau dapat kebaikan-kebaikan dari orang nggak kenal kayak gitu. Ya karena orang membantu tanpa syarat, tanpa pretensi apa apa. Dia bantu ya karena pengen bantu aja. Dan ternyata itu terasa banget bikin hati hangat. Dan mungkin juga karena tadinya saya nggak berharap banyak. Sejak dulu sebenarnya dari dulu saya nggak terlalu suka London. Ke London itu mirip rasanya kalau saya ke Jakarta, pengen cepet-cepet balik hihi. Apa yaa…kesan saya London itu kaku, dingin, orang orangnya sibuk nggak ramah. Eh tapi agenda mudik kali ini disambut dengan ramah.

Setelah men-top up kartu Oyster yang masih saya simpen, saya kemudian naik subway sesuai jalur yang sudah disebutkan Mitha. Seingat saya, harus sekali pindah jalur kemudian dari stasiun terdekat dengan flat Mitha harus jalan kaki. Dan Alhamdulillah dong, saya nggak nyasar dan nggak seserem yang saya bayangkan sebelumnya. Dari stasiun (lupa dong apa namanya haha)- saya jalan kaki ke arah flat Mitha. Saya pakai google map jadi lumayan banget menolong untuk sampai ke flat Mitha. Walaupun lumayan juga ya, geret geret koper dan tas punggung…setelah perjalanan dari Purwokerto-Jakarta; Jakarta-Abu Dhabi, dan Abu Dhabi-London. Rasanya badan udah campur aduklah haha..tapi pemandangan di kanan kiri kembali membuat saya mengenang nostalgia. 

Ada Tesco di pinggir jalan, lalu bis-bis berwarna merah khas London yang membuat saya seperti disambut kembali ke tanah Inggris Raya. Udara akhir bulan Agustus juga belum terlalu dingin, dan memang London tidak sedingin Glasgow. Membuat jalan kaki dari stasiun ke arah Flat Mita yang sekitar 20 menitan itu terasa nyaman. Kali ini Mitha tinggal di Zona 1, dulu banget pas saya mengunjunginya Tahun 2017 awal, dia masih tinggal di Zona 3 yang daerahnya agak kurang nyaman. Kali ini daerahnya terasa nyaman banget, dan akhirnya saya sampai dong di Flat Mitha dengan lancar selamat. Berasa prestasi gitu hahah..

Saya tiba di Flat Mitha dan rasanya udah pengen mandiiiiii. Sambil cerita ke sana kemari, dia menawari makan. Ada ayam goreng dan sayur, tentu menu yang istimewa di London. Saya bersyukur bisa punya tempat untuk numpang tinggal dan akan menemani saya jalan jalan selama di London. Thank you, Mitha!

Dari sepenggal cerita ringan ini, saya belajar sih bahwa berbuat baik dengan tulus itu akan terasa lho di hati orang lain. Dan kebaikan itu ternyata bahasa universal yang mampu menyentuh hati semua orang.***

-Cerita perjalanan saya ke UK Agustus-September 2019 lalu yang belum sempat tertulis-

Menepi di Tengah Pandemi



Suasana di luar jendela lenggang, sepi. Hanya nampak sesekali ada lalu lalang orang yang mau bekerja di sawah sebelah rumah. Seperti beginilah memang suasana sehari-hari di sekitar rumah. Salah satu yang membuat saya jatuh cinta pada lingkungan daerah rumah ini..suasananya yang damai dan tenang. Sementara ladang jagung dan sawah di sebelah samping rumah itu layaknya bonus pemandangan yang setiap hari dapat saya nikmati dari teras atau sekarang dari balik jendela dapur. Udaranya masih segar dan bersih, apalagi saat membuka jendela pagi hari. Sungguh, ritual pagi yang selalu menyenangkan.
Saat ini dunia masih dilanda pandemi Covid-19 sejak kemunculannya Desember 2019 lalu. Dan sejak pertengahan Maret 2020, kampus sudah menerapkan kebijakan wfh/work from home. Bagi saya, situasi ini sungguh sangat tidak pas karena pada saat yang sama saya sedang renovasi rumah yakni menambah dapur di bagian belakang rumah. Sebelum wfh saya tidak merasa terganggu karena hampir pasti jam 8 pagi saya sudah bersiap ke kampus, hanya ngobrol ngobrol sebentar ketika ada hal yang perlu dibicarakan soal bangunan *yang seringnya saya nggak ngerti juga haha* tapi tetep harus mikir harus bagaimana :D

Kemudian saya seharian di kampus dan baru pulang ke rumah menjelang maghrib saat tukang-tukang sudah pulang. Jadi gangguan kericuhan dan keramaian di rumah sangat minimal. Tapi semenjak wfh, saya struggle untuk menghadapi kondisi bahwa saya harus stay di rumah, tetap harus ngerjain pekerjaan macem macem via online di tengah riuh rendah bunyi bunyian pekerjaan tukang. Setengah bulan belakangan akhirnya saya memilih untuk ke kampus untuk "melarikan diri". Pikir saya, paling tidak kampus merupakan tempat yang aman karena sepi, di ruangan juga sendiri dan sangat minimal berinteraksi dengan orang lain. 

Mulai kemarin tukang sudah mulai libur menjelang lebaran, jadi saya menikmati wfh full di rumah. Yah memang, kondisi pandemi ini banyak menggubah keadaan. Tetap saja, saya rindu untuk beraktivitas normal bekerja seperti biasa, bisa berinterasi dengan rekan rekan kerja serta para sahabat yang menceriakan hari. Saat ini, interaksi dengan orang lain menjadi sangat minimal. Memang masih bisa via whataps, google meet, zoom dan sarana sarana online lainnnya. Namun tetap saja terasa berbeda ya? tapi mau tidak mau, kita harus menerima kondisi seperti ini.

Kangen piknik..jalan jalan? banget. saya biasanya pasti secara rutin mengagendakan jalan jalan walaupun nggak jauh-jauh agar bisa menjaga ritme kewarasaan dan kebahagiaan. Kalau sekarang? memandangi sawah dari jendela dapur, merasakan hembusan angin mengayun-ngayunkan tanaman padi aja sudah bikin hati adem. Tapi kan tetep kangen menjelajah dunia! hehe

Situasi ini mengingatkan saya pas lagi ngejar submission thesis S3 waktu studi di Glasgow. Saya memutuskan untuk bekerja dari rumah, dibandingkan harus pergi ke lab untuk menulis. Saya ingat, waktu itu rekan seflat saya sedang pulang ke negaranya jadi saya praktis sendirian. Saya pernah merasakan nggak ngobrol langsung ketemu sama orang lebih dari semingguan. Karena di Glasgow, nggak setiap hari kita bisa ketemu temen-temen sesama Indonesia. Paling kalau ada acara pengajian, PPI atau ada acara khusus lainnya. Sementara di tahun terakhir, sahabat sahabat dekat sudah semakin sedikit yang masih stay di Glasgow. Jadi rutinitas saya ya nulis, masak...kemudian agak siangan, pergi ke LIDL atau toko daging, sayur sekedar jalan jalan atau membeli bahan bahan makanan. Jadi ngobrolnya ya interaksi pas di kasir doang. Untuk seorang introvert seperti saya, yaaa oke oke saja sih ternyata ketika harus melewati kondisi yang seperti itu. 

Namun kondisi pandemi seperti ini terasa berbeda, karena mobilitas kita juga terbatas. Kalau nggak penting-penting amat, diusahakan tidak kemana mana. Mungkin saatnya untuk menepi sejenak dari hiruk pikuk rutinitas biasanya yang selalu berkejar kejaran. Walaupun pekerjaan di masa wfh ini juga ya terus berkejaran hehe...

Tapi sekarang saya punya waktu untuk memasak mempersiapkan menu berbuka puasa, menata nata rumah lagi. Memang masih belum selesai juga renovasi rumah mint karena ternyata bener kata orang "rumah tuh kalau diturutin nggak ada selesai-selesainya" hehe. Setelah dapur, saya pengen merenovasi teras depan juga biar bisa untuk nongkrong nongkrong dengan nyaman. Tapi so far, saya puas dengan hasilnya..seperti foto di atas itu pojok bar rumah mint setelah renovasi yang tadinya gudang yang jarang sekali dibuka. Sementara dapurnya sudah berfungsi walaupun belum ada kitchen set-nya. Nunggu ada rejeki berikutnya hehe..

Semoga kalian semua tetap sehat ya di tengah pandemi ini.***

Jumat, 13 September 2019

Glasgow dan Perubahan


Bus menuju London hanya tinggal beberapa jam lagi meninggalkan Glasgow. Saya sudah merapikan koper dan barang-barang yang jadi beranak pinak. Dan sibuk berusaha menentramkan hati saya yang rasanya tengah tak menentu.

Antara ingin segera pulang, menemui senyum ibu di rumah dan meninggalkan Glasgow. Glasgow yang..entahlah!

Glasgow yang sama dengan kehangatan dan ramah senyum sapa orang orangnya. Yang masih saja dengan cuacanya yang seringkali berubah ubah. Gloomy yang menghiasi hari, namun kebaikan orang orangnya membuat hati selalu menghangat. Yang selalu menyambut dengan tangan terbuka tiap kali saya pulang padanya.

Tapi Glasgow juga tak lagi sama, karena tiada lagi sahabat sahabat, orang orang yang dulu bersama sama sekehidupan selama saya di Glasgow. Semuanya berubah, tak lagi sama. Tanpa mereka, ada rasa yang hilang. Ada sebuah lubang kehilangan yang besar. Bahwa saya datang sebagai outsider, bukan lagi sebagai penghuni seperti dulu. Yang selama empat tahun telah menganggap tempat ini sebagai rumah. Bahwa jalan jalan seperti Byres road, Greatwestern Road atau kawasan city centre begitu diakrabi. Ketika berbelaja ke Tesco, Sainburry atau Lidl kembali mengingatkan akan kebiasaan waktu dulu.

Bahwa pernah kujalani kehidupan di sini, ketika berjuang menyelesaikan studi S3 di University of Glasgow. Masa masa yang tak mudah, tapi juga masa masa yang sungguh menyenangkan. Mungkin itulah yang membuat perasaan saya tak menentu. Ketika selintas demi selintas kenangan hadir di ingatku. 

Lalu saya diingatkan kembali..
Bahwa hidup harus terus berjalan..yah harus terus berjalan. Kembali ke rutinitas pekerjaan. Perjalanan ke UK selama 2 minggu ini rasanya cukup lama. Dari perjalanan Purwokerto-Jakarta kemudian terbang ke Abu Dhabi- lalu tiba di London. London kemudian bergeser ke Birmingham, pergi ke Stratford Upon Avon kemudian baru ke Glasgow. Rasanya lama kutinggalkan meja kerja dan kampus bersama rutinitas harian yang biasanya padat merayap. Pergi pagi pulang sore ataupun bahkan malam untuk urusan pekerjaan.

Rindu juga dengan canda tawa teman teman sekantor saya. 
Sayapun rindu rumah. Selain tentu saja rumah orang tua saya di Kebumen, saya rindu rumah saya di Purwokerto yang kosong selama saya pergi. Semenjak punya rumah, memang saya cepat rindu pulang.
Saya ingin kembali menata lagi rumah mint saya.

Ya, Glasgow memang salah satu rumah hati saya.. yang selalu menyimpankan rindu. Tapi hidup saya ada di Indonesia kini. Semoga jetlag fisik dan rasa tidak terlalu lama sehingga saya bisa segera ngebut kerja lagi..hehe

Lantai 9, Euro Hostel Glasgow. 12 Sept 2019

Rabu, 11 September 2019

Cerita dari Birmingham Coach Station




Dari ruang tunggu Birmingham Coach Station saya mengamati orang-orang yang berlalu lalang, sibuk dengan tujuan mereka masing masing. Terminal, stasiun, bandara seringkali merupakan tempat yang tepat untuk mengamati orang orang. Baru saja nampak di depan saya melangkah bapak paruh baya, dengan senyumnya yang tersungging, dengan gerak bahunya yang kentara bahwa dia tengah bahagia. Sementara ketika saya menyalangkan mata ke arah depan. 

Perhatian saya tertuju pada seorang laki-laki yang tengah mengamati jadwal keberangkatan. Mata saya tertuju pada kruk kanan kiri yang nampak menyangga tangannya. Tas punggung besar nampak dipikulnya. Kemudian pandangan saya turun kearah bawah, dan seketika hati saya terkesiap menyadari bahwa kaki-nya hanya satu. Celana panjang sebelah kirinya diikat. Nampak dari kejauhan, dia kemudian berjalan dengan kruk-nya menuju tempat duduk.

Melihat pemandangan tadi, seketika membuat saya berpikir..dan merasa beruntung anggota badan saya masih lengkap. Tadi pagi dengan perjuangan saya menggeret koper dari penginapan saya, Ibis Budjet Birmingham ke Birmingham Coach station. Sudah jamak kalau disini kemana mana jalan kaki. Maka dengan beberapa kali berhenti sembari melihat google map, saya menyeret koper dan membawa tas punggung. Beberapa hari di UK, membiasakan kembali kemana-mana jalan kaki. Pegel? Iyaa banget. Karena kebiasaan di Indonesia yang kemana-mana naik motor, atau ada Gojek, Grab dll. Saya sih membayangkan, dengan kedua kaki yang masih normal saja saya ngos ngosan sampai Birmingham Coach Station. Bagaimana si mas mas dengan satu kaki tadi? Namun dia nampak baik baik saja, bepergian sendiri tanpa bantuan orang lain.

Kadang-kadang kita ternyata kurang bersyukur ya dengan apa yang kita punya. Maunya banyak ini itu, merasa belum lengkap..belum bahagia kalau belum meraih ini itu. Namun terkadang ini diingatkan dengan hal-hal sederhana seperti yang saya temui hari ini.

Saya ada di Birmingham menunggu jadwal perjalanan menuju Glasgow. Yang mungkin saja beberapa orang juga ingin merasakan bagaimana rasanya menginjakkan kaki di Britania Raya. Tuhan, kembali lagi bermurah hati membuat saya merasakan lagi kesempatan pulang di negeri ini.

Mungkin ada banyak hal yang belum saya raih..tapi hari ini saya diingatkan lagi untuk bersyukur dengan apa yang saya punyai. Berkah Tuhan yang selalu melimpah untuk saya. Terimakasih.***
  
Birmingham coach station-4 September 2019


Jumat, 30 Agustus 2019

Secangkir Kopi di Abu Dhabi




Secangkir coffee latte kupesan dari gerai kopi Costa yang kujumpai di Terminal 3 Abu Dhabi International Airport. Sembari menunggu jadwal penerbangan berikutnya menuju London yang masih beberapa jam lagi. Sayang memang, setelah kutanya pada petugas ternyata tidak memungkinkan untuk membuat visa transit untuk keluar jalan-jalan sebentar memanfaatkan fasilitas free tour airport. Harusnya memang sebelumnya diurus dulu. Ah perjalanan kali ini memang tanpa perencanaan yang jelas hehe. Himpitan jadwal kerjaan menjelang berangkat membuat persiapan ala kadarnya banget. Nggak sempet nyari oleh oleh khas Indonesia untuk supervisor saya di Glasgow nanti. Baru ngeh juga saya ternyata nggak bawa sambungan charger colokon 3. Printilan-printilan seperti itu terlewatkan karena persiapan yang ala kadarnya. Ah ya sudahlah, dinikmati saja segala keseruan keseruan yang ada.
Di tengah membalas satu-satu pesan yang masuk dari beberapa orang, ada satu pertanyaan dari sahabat saya yang menggelitik,
“Eh, kan sering pergi-pergi gini, biasanya gimana cara move on ketika masa transisi dari satu momen ke momen yang lain?” begitu tanyanya,
Ealaah, pertanyaannya berat. Tapi membuat saya berpikir juga sih. Salah satu kesulitan manusia itu memang living in the momentLiving in the now. Bagaimana untuk hidup pada saat ini, fokus pada masa sekarang yang terjadi. Selalu ada tarikan tarikan perasaan dan memang ketika dalam bepergiaan, fluktuasi perasaan perasaan seperti itu memang lebih terasa.
      Dalam perjalanan saya ke Gambir saja, masih ada beberapa telpon dan whataps-whataps urusan  pekerjaan. Dan yang tidak saya menyangka justru di situ saya merasa bahwa saya merindukan pekerjaan dan orang-orang yang biasa bekerja dengan saya. Di momen itu saya tiba tiba merasa beruntung. Mungkin saja banyak di luar sana yang menganggap pekerjaan itu beban berat atau hal yang tidak menyenangkan. Saat itu saya merasa beruntung karena walaupun sering ngeluh karena kebanyakan kerjaan, tapi saya  tetap menikmatinya. Menikmati segala lelah, rusuh, dan penatnya kerjaan yang sering kali datang bertubi menghampiri. Dan satu lagi yang membuat saya merasa beruntung, yakni pada saat itu juga saya menyadari, lebih tepatnya kembali menyadari bahwa saya punya rekan rekan kerja yang asik dan menyenangkan. Ini membuat ketika deraan pekerjaan datang, walau lelah namun tetap terasa tidak terlalu memberatkan.
        Ketika pergi, entah mengapa kita menjadi lebih jelas untuk mengerti perasaan perasaan kita sendiri. Lebih banyak mengamati orang-orang, dan mengamati diri kita sendiri. Dalam pergi ke tempat tempat yang jauh, ada jeda yang istimewa di sana. Yang sering luput kita dapat dalam rutinitas sehari-hari yang rasanya sering berlarian. Waktu cepat berlalu, namun makna sering kali terluput. Dan mungkin dengan pergi dan mengambil jeda, serupa memberikan waktu bagi jiwa untuk kembali lebih mengamati diri sendiri.
          Kembali ke pertanyaan sahabat saya, “bagaimana caranya untuk move on dari satu momen ke momen yang lain?" Apalagi ketika kita merasai momen yang istimewa, kemudian harus kembali menjalani kehidupan yang lain lagi. Iya bayangkan hanya selang beberapa jam, hidup bisa langsung berubah. Berada di tempat antah berantah, sendirian. Tentu saja hidup berubah, mengadaptasi perubahan demi perubahan. Mungkin itulah mengapa terkadang kita butuh perjalanan. Bagaimana caranya move on? Pertanyaan itu mungkin salah jika dialamatkan ke saya. Saya pun masih kesusahan menghadapi ketika kadang perasaan masih ditarik-tarik oleh momen momen di masa belakang yang tetap hadir di masa kini. Lha Glasgow aja selalu narik narik pulang..seperti saat ini. Membuat saya mengerahkan tabungan dan energi untuk mengurus perjalanan saya pulang ke Glasgow.
Ah pulang, bukankah sebuah kata yang istimewa?
Semoga saya menemukan pulang.
Perjalanan kali ini saya tidak langsung menuju Glasgow. Tapi melalui London, karena ini berjumpa dengan Mita, sahabat saya plus jalan-jalan di London. Lalu lanjut ke beberapa kota sebelum pulang pada Glasgow.
        Daripada  mempertanyakan bagaimana caranya move on dari satu momen ke momen lain yang cepat berganti, saya cenderung untuk lebih banyak belajar menerima. Termasuk menerima ketika beberapa momen enggan pergi dari hati. Biarkan..kalau memang seperti itu adanya. Mungkin memang ada momen momen istimewa yang terus terpatri dalam hati. Ah biarkan saja…
Ada sebuah kalimat yang saya lupa kubaca dimana “ketika kita menyangkal suatu perasaan tertentu, maka perasaan itu akan semakin mengekal’.
Dan ternyata, belajar menerima pun tidaklah mudah. Apalagi ketika belajar menerima hal hal yang tidak kita rencanakan, tidak kita sukai, atau yang tidak kita inginkan. Tapi kadang hidup, membuat kita harus belajar menerima hal hal tersebut. 
Coffee lattee saya sudah mulai mendingin, orang orang di depan saya berlalu lalang dengan urusan dan tujuannya masing masing. Saya masih di sini, bersama secangkir kopi dan pikiran pikiran saya sendiri. ***

Abu Dhabi International Airport, 30 Agustus 2019

Kamis, 11 April 2019

Cerita dari Kedai Kopi



Hujan belum lagi reda, saya masih bersama alunan samar musik di kedai kopi yang akhir-akhir ini menjadi tempat pindah kerja usai dari kampus. Ritme kerja memang berubah jauh sejak mendapat tugas tambahan sebagai Sekretaris Jurusan akhir januari lalu. Seharian bisa ngerjain ini itu, tapi di akhir hari berasanya nggak ngerjain apa apa. Karena yang dikerjakan biasanya hal-hal administrasi, rapat, urusan panitia ini itu. Habis waktunya untuk mengerjakan yang bukan “kerjaan sendiri”.
Pekerjaan yang semenjak pulang dari kuliah di Glasgow sudah padat, sekarang sudah semakin padat merayap. Tapi mungkin  kondisi seperti itulah yang saya butuhkan saat ini.
Makanya, seringkali saya mampir ke kedai kopi ini usai dari kampus untuk menyelesaikan kerjaan saya sendiri. Seperti nulis manuscript artikel jurnal yang susah sekali mencari waktu ketika berada di kampus. Selain kadang waktunya memang nggak sempat, juga distraksinya banyak. Bila di sini, lumayanlah cukup produktif, dan hasil artikel yang terbit pun mulai bertelur satu per satu. Saya tidak ingin pekerjaan tambahan menjadi sekjur membuat publikasi ilmiah saya macet. Banyak orang ketika terjebak dalam tugas tambahan, akhirnya melupakan atau tak sempat waktu untuk menulis publikasi.
Saya sendiri, tidak menyangka ketika saya pada akhirnya memutuskan untuk bersedia untuk duduk dengan tugas tambahan. Semenjak jadi dosen, saya tidak pernah berpikir untuk mau ataupun berkeinginan ke arah situ. Saya menilai diri sendiri sebagai pribadi yang tidak terlalu bagus jiwa kepemimpinannya. Saya dulu yang pernah bertanya pada teman-teman semasa kuliah S1 :
            “Kerjaan apa ya yang nggak usah ketemu atau ngobrol dengan banyak orang?”
Begitu lontaran pertanyaan saya. Mencerminkan betapa payahnya kemampuan interpersonal saya dengan orang lain. Dan rasa rasanya berinteraksi dengan orang lain membutuhkan energi yang banyak dan melelahkan.
            “Pegawai perpus tuh, nggak usah ketemu sama orang banyak” jawab sahabat saya dulu sewaktu jaman kuliah S1.
Tapi hidup terus berubah, mungkin saya juga banyak berubah. Walaupun secara pribadi, saya masih saja pribadi yang introvert, yang kadang habis energi ketika banyak berinteraksi dengan orang, kemudian butuh waktu sendiri untuk mencharge energi. Tapi kehidupan berubah, dan saya harus mencoba melenturkan diri pada perubahan.
Pada akhirnya saya bersedia untuk menjajal untuk bekerja dengan tugas tambahan, dengan risiko pekerjaan akan tambah banyak, nggak bisa "ngilang-ngilang", dan waktunya akan banyak tersita untuk urusan pekerjaan. Satu hal lagi, risiko nya adalah nggak bisa apply post-doc dikti atau program lain yang mengharuskan meninggalkan kampus dalam jangka waktu yang agak lama selama periode dengan tugas tambahan. 
Jadinya ketika melihat pengumuman Dikti untuk tawaran post doc 3 bulan tahun ini saya cuma melihat dengan nanar *risiko harus diterima 😁
Kadangkala, kita harus menjajal untuk keluar dari zona nyaman. Mungkin saatnya untuk melemparkan lagi titik yang harus saya kejar. Beberapa tahun belakangan, saya tidak punya titik yang saya kejar. Dulu saya selalu melemparkan titik ke depan, dan membiarkan diri saya untuk berupaya mewujudkannya.
Sudah agak lama, saya tidak punya titik itu lagi. Saya kebingungan ketika akan melempar titik itu...mau ngapain lagi? mau mengejar apa lagi? Kali ini, saya menemukan titik yang ingin saya tuju.
Karena itulah, saya sering ada di kedai kopi ini, agar mempunyai lebih banyak waktu dan energi untuk menulis publikasi-publikasi ilmiah dan hal-hal lainnya.
Karena saya ingin membiarkan diri saya menapaki jalan untuk menuju titik yang saya lempar itu.
Mungkin ini untuk seseorang yang pernah berkata pada saya
“ Seeing you grow up and jump as high as possible is my happiness”

Atau mungkin ini untuk diri saya sendiri.***



Society, 11 April 2019



Selasa, 05 Februari 2019

Glasgow dan Sepenggal Cerita Hidup




“ Kita cenderung mengingat hal-hal yang indah yang pernah terjadi dalam hidup kita. Mungkin itulah yang membuat kita kuat untuk menghadapi kehidupan selanjutnya”


Kalimat itu saya dengar di serial drama korea “Encounter” yang baru-baru ini saya lihat. Mungkin benar juga kalimat tersebut.
Kita cenderung mengingat hal-hal yang indah, dibandingkan ketika menghadapi masa masa sulit. Itulah kenapa, ingatan tentang Glasgow hampir selalu tentang kenang yang indah. Tiap kali melihat postingan beberapa akun IG yang saya follow tentang Glasgow, ada desir rindu itu. Rindu mengenang segala macam kehidupan yang pernah terjadi. Juga rindu untuk mengunjungi tempat itu lagi.

Padahal masa-masa itu, bisa dibilang merupakan saat saat yang banyak kesulitan. Saya sering dihadapkan pada kondisi yang serba tidak pasti. Terutama yang berurusan dengan studi saya hihi..
            “ Please send me asap (as soon as possible-red)”
            “ Could you finish it soon..
Kalau udah membaca email dari supervisor semacam ini. Deg! Saya harus siap sedia. Kuliah di luar negeri memang tekanannya berbeda. Karena lingkungan dan bahasa yang berbeda. Seringkali saya merasa “bego” banget, trus mau nanya-nanya rasanya gimanaa gitu. Stress-nya lumayan nampol pokoknya. Apalagi kalau berurusan dengan kerjaan lab hehe. Ketika harus presentasi untuk seminar internal atau eksternal, haduuuuh rasanya deg degan dan mulesnya berhari hari haha..
Beda banget sih sama kalau kerja di sini. Ibaratnya semua kerjaan di kampus sini masih dalam tataran “ I can handle it!” cuma butuh kerja lebih keras ataupun lebih lama kalau banyak yang harus dikerjain.
Tapi selama studi di Glasgow, rasanya seringkali harus menghadapi situasinya yang saya nggak tau bisa apa enggak. Mewek malem malem begitu baca email supervisor.. pernah, terus jalan ke lab sambil nangis.. pernah. Ataupun diam diam ke toilet lab karena pengen nangis nggak ketauan pun pernah.

Padahal supervisor saya sebenarnya baik. Baik banget malahan..cuma agak rewel hehe. Saya semakin merasa supervisor saya baik banget itu bahkan ketika saya sudah back for good ke Indonesia. Dia masih ngirimi external hardisk berpasword, nanyain kabar kalau ada berita bencana di Indonesia, bahkan nanyain gimana cara memberikan sumbangan untuk korban bencana. Pengalaman mendengar banyak cerita cerita “menyeramkan” dari beberapa temen yang juga studi PhD membuat saya bersyukur punya supervisor yang baik.

Tapi tetap aja ya, hubungan student-supervisor yang hampir 4 tahun tetep aja ada masa-masa kala dia sensi dan marah. Tapi lagi lagi kalau sekarang lebih terkenang banyakan yang baik-baiknya.
Saya masih ingat, betapa melegakannya saat saat jam pulang dari lab. Lab saya pindah ke daerah Garscube setelah saya menginjak tahun ke-empat studi. Bus nggak ada yang sampai ke sana. Jadi tiap hari setidaknya saya harus jalan kaki 2 kali 30 menit untuk pulang dan pergi. Dan letak lab saya itu hampir kayak antah beratah, semacam daerah pinggiran Glasgow yang jarang pemukiman. Ketika jam pulang dari lab, berjalan kaki menuju bus stop rasanya pikiran saya sudah senang. Bahkan rencana untuk mampir ke Morrison –Salah satu nama supermarket di Glasgow-aja bawaannya udah happy!. Mampir ke Morrison untuk beli buah, atau kadang memburu ikan yang harganya lagi diskon. Salah satu supermarket favorit saya di Glasgow!

Sayangnya waktu tahun 2017 lalu kembali ke Glasgow, saya tidak sempat ke Morrison dekat bus stop ke arah lab saya. Waktu itu 2 minggu rasanya singkat dan terlalu banyak yang ingin saya lakukan.
Saya tidak tahu kenapa masih saja ada rindu itu.
Padahal hidup saya di Glasgow adalah barisan hari hari yang sederhana
Rutinitas yang biasa saja. Memasak seusai pulang lab, berkumpul bersama teman-teman, ataupun jalan jalan di akhir pekan.
Iya saya rindu.




Untukmu yang Menggangap Hidupnya “Begini gini Aja” #10yearschallenge


Kalian pernah nggak merasa “hidupku kok begini gini aja ya”? hayoo pernah enggak? hehe jangan khawatir, saya juga kok pernah merasa begitu.

Terkadang melihat kehidupan teman-teman seangkatan yang sudah begini sudah begitu..jadi rasanya kok saya begini gini aja.  Apalagi dengan era sosial media sekarang ini, semuanya berseliweran tiap harinya yang menyebabkan benih-benih “comparing to others” itu mudah sekali menggejala.

Itulah mengapa kita sering merasa “kok hidupku begini gini aja ya”. Apalagi kalau tidak terjadi perubahan perubahan signifikan dalam hidup di permukaan. Maksud saya di permukaan itu yang terlihat jelas seperti lulus kuliah, mendapat pekerjaan, menikah, punya anak, punya rumah dan hal hal yang membuat perubahan hidup bisa terlihat dengan jelas.

Sebagian besar orang yang fokus melihat pada perubahan perubahan di permukaan ini. Saya pun terkadang begitu.

Mari lihat ke dalam. Lihat ke dalam..
Satu-satunya yang tahu pasti perubahan dalam hidup adalah dirimu sendiri. Namun seringkali kita lebih sering berfokus pada hal-hal di permukaan dibandingkan perjalanan ke dalam diri.

Look at the details,
Kita sering lupa mengapresiasi diri sendiri, terhadap keberanian-keberanian yang pernah kita buat dalam mengambil keputusan dalam hidup. Terhadap kerja keras yang telah kita upayakan. Terhadap upaya upaya kita untuk menerima kehidupan yang terjadi. Saya, bukan lagi saya 10 tahun yang lalu. Tentu saja kalian juga.

Beberapa waktu lalu sempat menjadi trend 10 years challlenge, yang menampilkan foto 10 tahun yang lalu dibandingkan dengan foto sekarang. Kita kebanyakan lebih banyak menilik seberapa orang berubah secara penampilan, soalnya yang nampak memang hanya gambar dalam foto. Tapi perjalanan selama 10 tahun terakhir yang persis tau pasti adalah diri kita sendiri. Ini yang seringkali kita lupa.

Kalau saya melihat foto di atas, yang sebelah kiri itu ketika saya sedang short course bahasa Italia di Perugia. Foto tersebut diambil seusai kuliah di salah satu gedung Universita per Stranieri di Perugia. Saya masih nampak polos dan kurus di foto tersebut, tapi senyumnya nampak masih sama dengan foto sebelah. Yang berbeda dan tidak orang lain lihat adalah..senyum sebelah kiri adalah semacam senyum penaklukan mimpi mimpi, kemenangan atas perjuangan tak kenal lelah..dan kebanggaan. I proud of myself. Gampang sekali untuk mencintai diri sendiri waktu itu. Kalian mungkin pernah juga ada dalam tahap itu.

Tapi senyum sebelah kanan, adalah semacam senyum yang mengatakan betapapun hidup memberikan banyak jalan sulit, kehilangan orang orang tercinta, bahkan kehilangan harapan..tapi hidup terus berjalan dan dihadapi dengan senyuman. Dan senyum itu adalah upaya belajar untuk bisa mencintai diri sendiri kembali.  Mungkin juga kalian pernah ada dalam tahap betapa sulitnya kembali mencintai diri sendiri lagi. Iyah, hidup terkadang berjalan tidak sepenuhnya seperti yang kita inginkan. Tidak seperti yang kita rencanakan.

Tetaplah berjalan..Tetaplah hadapi. Lalu mungkin.. di sepanjang jalan ke depan, kita akan menemukan harapan lagi.***