Rabu, 09 Maret 2022

Cerita Tentang Dapur


The Kitchen is the heart of the home

Dapur ini menyimpan cerita tentang perjuangan, makanya saya membuat tulisan ini untuk sekedar mengenangnya. Mungkin sekaligus mengingatkan pada diri sendiri, hey...kamu itu masih mampu lho untuk mewujudkan apa-apa yang kamu inginkan.

Hanya saja mungkin perlu waktu..

Perlu waktu.

Dulu saya punya bayangan seperti apa dapur yang saya inginkan hehe, hobi berselancar di pinterest desain- desain dapur yang sungguh menarik hati, kemudian saya simpan di satu folder tersendiri. Walaupun pada saat itu, untuk mewujudkannya entah kapan. Terkadang suka atau tidak suka, banyak hal dalam hidup ternyata memerlukan kemampuan finansial yang cukup untuk menjadikan rencana-rencana untuk mewujud. Mungkin itulah penting mempunyai perencanaan keuangan ya.

Dan cerita tentang dapur ini bermula ketika saya “nekad” untuk merenovasi rumah. Awalnya masih ada sisa tanah di belakang rumah yang pada saat itu saya ingin memaksimalkan lahan agar rumah sedikit lebih luas. Dapur lama di rumah sangat sempit, mungkin sekitar 2 x 3 meter saja. Rumah ini saya beli dari orang yang awal membangunnya, jadi saya harus terima desain rumah apa adanya. Jadi proses renovasi lahan belakang (dan akhirnya merembet ke teras depan) adalah ruangan yang dari awal mendapat “sentuhan” desain ala ala saya hehe.

Proses renovasi dimulai pada akhir tahun 2019, dengan pikiran yang “sangat polos” waktu itu.

“Kan hanya nambah ruangan saja, kasih sekat sekat,’cukuplah uang tabungan,” begitu pikir saya. Makanya saya nekad manggil tukang untuk merenovasi. Tapi begitu saya minta kalkulasi perkiraan biaya renovasinya, senyum saya langsung kecut haha…di depan tukangnya saya masih berlagak sok cool, tapi dalam hati terkaget kaget juga.

Dari biaya kalkulasi perkiraan pak tukang itu, saya paling hanya punya tabungan 1/3 nya saja waktu itu. Ya ampun, saya memang clueless soal bangun atau renovasi rumah. Apalagi bapak sudah tidak ada, alhasil tidak ada “laki-laki” yang bisa diminta pertimbangan atau bisa ditanya tanya. Jadinya pernekadan terjadilah hehe.

Metamorfosis dapur

Jadi dapur ini memang menyimpan cerita perjuangan banyak hal. Setiap sisi bercerita tentang beberapa projek penelitian yang saya garap agar ada pemasukan lebih, ada insentif publikasi dari institusi, dan kerjaan sabet sana sini hehe. Dapur yang saya pilih sendiri desain dan materialnya, sampai granit dan motif dinding dapurnya. Saya masih ingat harus membawa keramik dinding dapur dengan sepeda motor, karena nanggung pas mau di go-car kan. Beberapa kali harus ke gudang stok granit, mengambil granit yang saya beli, dan nampak krik krik di antara para laki-laki di gudang granit tersebut.

            “ Suaminya lagi kemana mbak?” tanya pegawai di gudang stok granit waktu itu. Mungkin dilihatnya aneh, perempuan “nyasar” ke gudang stok granit.

Suaminya belum direncanakan mas! Wkwkwk..eh enggak gitu lah jawabnya. Saya hanya menjawab dengan senyuman saja. Waktu itu saya belum menikah.

Dapur ini pada prosesnya memerlukan waktu untuk sedikit demi sedikit mewujud seperti bayangan saya. Dari akhir Tahun 2019 dan renovasi selesai sekitar Bulan Agustus 2020, masih seadanya. Kemudian proses demi proses akhirnya di awal Tahun 2022 saya bisa memandangi dapur versi “yang saya mau” sejak dulu. Ada kepuasan di situ, ada rasa pencapaian terselip di antaranya.


“ih, cuma dapur gitu aja kok”
 mungkin ada yang berpikir begitu, haa ya biarkan karena memang dapurnya ya hanya gitu aja kok hihi.

Tapi cerita di baliknya, yang membuat saya ingin mengenang dengan menuliskannya.

Pergantian waktu malam nanti, usia saya bertambah lagi. Terkadang dengan makin “matangnya” usia (makin tua maksudnya buuu), terkadang kita jadi semakin kecil hati untuk mempunyai mimpi ataupun rencana-rencana. Apakah karena jadi semakin mudah merasa lelah ya? Entahlah.

Energi pun seringkali terasa berbeda dibanding kala usia masih lebih muda. Saya saat ini juga seorang ibu, yang terkadang sering dihinggapi beraneka macam rasa dan beraneka peran yang harus dijalani.

Tapi cerita tentang dapur ini, setidaknya mengingatkan pada saya bahwa perjuangan dan kerja keras (dan sedikit cerdas mungkin hehe), memang tidak selalu memastikan bahwa semua mau kita akan terwujud. Ternyata bukan itu.

Tapi lebih pada kebanggaan pada dirimu sendiri, bahwa kamu bersungguh-sungguh pada semua apa yang kamu upayakan.  Mungkin memang manusia dicukupkan untuk berupaya ranah itu, karena soal hasil ada tangan-tangan Tuhan yang tak perlu kita ragukan. Tak perlu kita risaukan. Iya kan?

Sekian cerita saya soal dapur yang membuat tulisan saya ngelantur hehe,

Salam


Senin, 10 Januari 2022

Arsyanendra, Cinta tak bersyarat itu


Hujan di luar jendela menderas, malam pun sudah cukup larut, sementara saya sesekali menengok ke samping memastikan si kecil masih tertidur. Akhirnya mau ditidurkan juga, setelah sedari siang nemplok terus begitu posesif pada bundanya.

Jangan tanya rasanya badan, pegel-pegel nggak jelas. Yang saya ingat terakhir tidur nyenyak ya saat sebelum lahiran. Sejak menjadi ibu baru, badan lungkrah kurang tidur, kadang mood berubah ubah nggak pasti hehe. Tapi jangan tanya juga rasa bahagianya, tak bisa terejakan kata kata.

Arsyanendra Radeva Pramadana, nama yang kami sematkan padanya. Nama yang sudah dipilih mungkin sejak bulan ke delapan usia kehamilan saya. Laki laki yang berpengetahuan, pembawa kebahagiaan, berkedudukan tinggi dan dermawan. Itulah arti nama yang semoga serupa doa doa kami untuknya,

Ketika ia dilahirkan, saya pun dilahirkan sebagai ibu. Yang memulai hidup baru, yang begitu berubah dan berbeda dengan hidup sebelumnya. Fase kehamilan saya rasanya tidak terlalu banyak drama, hanya mual mual sedikit meriang di awal-awal kehamilan, tapi setelahnya tidak terlalu banyak keluhan yang berarti. Periode kehamilan saya lebih banyak dihabiskan untuk kerja dan kerja.

Tapi melewati proses persalinan dan kemudian anak saya terlahir rasanya begitu mengubah hidup. Beginikah rasanya menjadi ibu…

Melewati proses induksi karena ketuban rembes tapi belum ada pembukaan, sampai melalui fase pembukaan demi pembukaan yang rasanya sulit pula digambarkan kata kata. Sakit yang baru kali ini saya rasakan sebegitu tinggi kadarnya. Hingga proses persalinan sampai akhirnya ia lahir juga. Pecah tangisnya terngiang di telinga saya. Sementara saya rasanya masih mengawang-awang, ada perasaan lega, bahagia, sakit, lelah bercampur campur menjadi rasa yang beraneka.

Deva, begitu kami memanggilnya. Mahluk kecil itu merubah hidup saya. Hari ini tepat 4 minggu, ia telah menghiasi kehidupan kami. Menjadi orang tua ternyata proses belajar yang tiada henti. Semuanya terasa baru, kadang ada campuran rasa cemas, bingung, tapi ketika menatapnya lahir perasaan yang sulit saya ungkapkan.

Ada rasa cinta yang tak kukenali sebelumnya. Ada rasa ingin memberikan yang terbaik untuknya, ada rasa ingin menjagainya, namun ada kalanya menyelusup rasa bersalah saat rasanya saya belum bisa menjadi ibu yang baik. Ada campuran rasa yang pelan pelan saya perlu cerna dan terima

Arsyanendra, anakku. Terimakasih telah memilihku menjadi ibumu. Mari belajar bersama sama, Mungkin semuanya terasa baru tapi waktu demi waktu akan kita lewati bersama.

Bersama, Arsyanendra-ku.



Minggu, 30 Mei 2021

Satu Dekade Lalu




Tiba-tiba status saya 10 tahun lalu muncul di fitur "memories" di akun sosial media saya. Dan hal tersebut kembali membawa ingatan saya kembali pada masa itu. Saat saya akhirnya mendapatkan beasiswa studi ke luar negeri ke University of Edinburgh sesuai Letter of Acceptance yang saya terima.



Saat hidup terasa seperti penaklukan demi penaklukan, tentu dengan perjuangan panjang dan melelahkan. Tapi terasa sekali ketika saya kini menengok ke belakang, getar rasa itu masih membekas di ingatan. Sebuah awal dari perjalanan panjang studi PhD saya yang akhirnya di University of Glasgow, UK.

Sebuah episode panjang yang penuh dengan pembelajaran serta kenangan rupa-rupa rasanya baik manis, pahit, getir ataupun manis banget hehe. Saya bersyukur pernah ada episode tersebut dalam hidup saya. Glasgow, adalah saksi tapak kehidupan saya yang penuh perjuangan mewujudkan mimpi-mimpi. Ketika meraih PhD terasa seperti perjalanan yang penuh jatuh bangun. 

Ternyata mewujudkan impian itu seru ya! ketika menengok ke belakang, saya kembali tersadarkan akan hal itu. Beberapa hari lalu, sahabat saya Widya juga ngobrol di DM Instagram. Ketika saya membagikan foto lama ketika kami bertiga, saya, Widya dan Arif tengah berfoto di depan Vatikan, Roma.

    "Seru ya mbak cerita kita di masa muda dulu, rasanya pengen bisa ngulangin masa kejayaan-kejayaan itu!", kisahnya.

Masa kejayaan dia bilang haha! kalau dipikir iya juga sih. Kami dulu bersama kita belajar bahasa Italia di University per Stranieri di Perugia, sama-sama merupakan pengalaman pertama kali kuliah di luar negeri. Sungguh ketika mengenang masa-masa itu, getar energi masa muda dalam menaklukkan mimpi-mimpi itupun masih terasa.

Rasanya rindu merasai getar-getar rasa itu lagi hehe. Saat ini, tiga sahabat saya sedang dalam upaya untuk meraih beasiswa untuk menempuh studi PhD. Semoga diberikan kemudahan dan kelancaran, siapa tau saya dapat mengunjungi mereka nanti ya kan hehe..



Minggu, 24 Januari 2021

Greenwich dan Obrolan Ringan tentang Kebahagiaan



Kami berdua dengan berjalan santai menikmati siang yang cerah di Greenwich (dibacanya "Green-itch"). Entah sudah berapa kali kunjungan ke London, tapi saya belum pernah menyinggahi Greenwich. Maka, kunjungan "mudik" Tahun 2019 lalu, saya menyempatkan ke sana ditemani sahabat baik saya, Mita, yang masih menyelesaikan studi doktoralnya di Kings College. Area ini terletak di London Tenggara, sekitar 5,5 mil (8,9 km) timur-tenggara Charing Cross. 

Sebenarnya ada banyak objek wisata menarik di Greenwich, seperti Garis Meridian di Royal Observatory, Cutty Sark, National Maritime Museum, Old Royal Naval College termasuk Painted Hall yang luar biasa, kereta gantung London, Pasar Greenwich, Taman Greenwich, dan The O2 Arena. Tapi karena gaya jalan-jalan saya memang sekarang sudah lebih "selow" dan tidak ambisius seiring bertambahnya usia, ya hanya mengunjungi beberapa tempat saja. Usai menyaksi titik 0 derajat garis bujur di Royal Observatory, kami menuju ke Greenwich Park.

Hamparan luas rumput yang menghijau dengan latar belakang bangunan bersejarah, tempat yang nyaman untuk duduk-duduk santai setelah lumayan kaki lelah usai menjelajah Greenwich. Kami menggelar kain untuk duduk, lalu mengeluarkan perbekalan.


Lihatlah gambar di atas, kami manusia tropis milihnya gelar kain di tempat yang teduh, sementara orang-orang sini milihnya tempat yang bermandi matahari.
    
"Mbak, kok orang-orang di UK tuh kelihatan bahagia-bahagia yah?" lontar pertanyaan Mita mengudara. Sebuah pertanyaan yang lebih terasa seperti sebuah pernyataan.

" Hehe iya sih, Mit. Aku lihatnya juga gitu. Kayaknya orang-orang sini tuh lebih suka senyum, baik, kehidupan berasa tenang gitu. Apa karena semuanya terjamin yah?" sahutku.

Memang sih, selama saya tinggal di UK selama 4 tahun aura itu yang terasa. Ketika saya tinggal di Glasgow, beberapa hal yang saya rindui itu hal-hal yang sederhana. Sapaan manis supir bis, yang setiap kali kita naik apa di sapa
" Morning!", sapanya sambil tersenyum. Orang-orang sini juga mempunyai kebiasan-kebiasaan yang membuat hati terasa hangat. Orang-orang ketika akan turun dari bus, akan mengucapkan "Thank you" pada si supir bus. Kayak kita tuh ingin menyampaikan terimakasih sudah diantarkan sampai ke tujuan. Atau kalau kita ke kasir toko-toko makanan seperti di Tesco, Lidl, Sainsburry, sapaan kasir juga terasa menyenangkan. 

" Have a Good Day, Lovely!" duh, padahal itu sapaan dari orang-orang yang nggak dikenal. Mungkin mereka melakukan itu karena sudah semacam jadi SOP (standar operasional prosedur)-nya mereka ya, tapi entah ya, kok aku merasanya kayak tulus dan hangat. 

Kalau kita berpapasan jalan, orang-orang juga akan saling melempar senyuman. Apalagi kalau lagi jalan di taman tuh, orang-orang yang saya jumpai itu bahagianya terpancar. Seneng aja gitu liatnya. Ada lagi hal sederhana yang nampak biasa saja, yakni menahan pintu untuk mempersilahkan orang yang setelahnya untuk lewat itu jadi kebiasaan yang sampai saat ini pun masih terbawa. Hal-hal sederhana seperti itu lho yang bikin maknyes di hati.

Apa karena semua terjamin ya? lagi-lagi itu dugaan kami. Mungkin juga sih, ketika kebutuhan dasar terpenuhi, sistem kesehatan terjamin, dan aspek-aspek yang lain tercukupi, membuat orang-orang lebih merasa aman, tentram dan akhirnya menjadi lebih bahagia. Mungkin juga

Konon, Inggris merupakan negera pertama yang secara resmi mengamati tingkat kebahagiaan masyarakatnya yang dikenal dengan "indeks kebahagiaan". Nah untuk mengukur si indeks kebahagian ini ternyata meliputi beberapa aspek. Indeks Kebahagiaan mengukur kepuasan hidup, perasaan bahagia, dan kebahagiaan lainnya misalnya  domain: kesejahteraan psikologis, kesehatan, keseimbangan waktu, komunitas, dukungan sosial, pendidikan, seni. dan budaya, lingkungan, tata kelola, kesejahteraan materi, dan pekerjaan. 

Finlandia tercatat menjadi negara dengan indeks kebahagiaan tertinggi di dunia selama 3 tahun terakhir. Penasaran juga ya seperti apa suasana kehidupan di sana. Kalau dari situs world happiness report tuh, untuk menentukan ranking tersebut berdasarkan GDP per kapita, dukungan sosial, harapan kesehatan, kebebasan untuk membuat pilihan hidup, kebaikan.kemurahan hati  dan persepsi terhadap korupsi. 

Sementara, UK saya lihat ada di ranking 13. ya panteslah ya kalau masyarakatnya terlihat bahagia. Mungkin memang tidak dipungkiri ya, ketika kebutuhan-kebutuhan dasar terpenuhi, masyarakatnya menjadi lebih "tenang" dan tentram. Semoga sih Indonesia terus beranjak menuju kondisi tersebut.

Di kejauhan, kami melihat orang-orang yang sama-sama tengah menikmati suasana siang yang cerah di Greenwich Park. Ada rasa rindu untuk kembali merasakan seperti ketika saya tinggal di UK dulu, karena itulah ketika saya berkesempatan "mudik", saya selalu ingin menuntaskan rasa rindu pada daratan yang selalu saya sebut "rumah".


Salam baik,

Minggu, 27 Desember 2020

Luncurkan Website Akademis Sebagai Bentuk Kontribusi



Hi senang berjumpa lagi website ini!

Agak lama nggak posting di website ini, karena sebulanan terakhir saya sedang menggarap website baru saya. Aih, iya saya punya website baru yang lebih berisi akademis, berfokus pada artikel tentang studi lanjut ke luar negeri, beasiswa serta publikasi ilmiah. Hihi keliatannya serius banget ya! 

Sebenarnya hal ini berkaitan dengan beberapa komtemplasi saya akhir-akhir ini soal “ikigai”, seperti yang saya posting pada postingan saya sebelumnya. Saya berpikir bahwa ingin hidup saya harus mulai lebih terarah lagi, terlebih pada hal-hal yang saya senangi, dan siapa tau dapat memberikan kebermanfaatan pada banyak orang. Saya banyak berdiskusi dengan sahabat saya, dan akhirnya berkolaborasi untuk meluncurkan website official di https://siwiwijayanti.my.id/

Selama ini saya membuat dan menulis di website siwimars.com autodidak saja, dari coba sana sini jadi memang secara tampilan website dan fitur masih sederhana. Karena memang ini website personal, yang isinya gado gado segala macam rasa tulisan bisa muncul di website ini. Di website saya yang resmi yang bertajuk “Inspirator Akademia” itu, insyaAllah akan dikelola dengan lebih serius. Aih Inspirator Akademia itu tadinya semacam tajuk yang berat sekali untuk saya.

“hehe ya biar ada labelnya. Semacam personal branding gitu,” kata si sahabat yang membantu mengkonsep dan mengeksekusi tehnis website-nya. Ya sudah, saya manut saja haha.

Ternyata saya menikmati secara rutin menghidupi website baru saya itu, walaupun kalau nulis artikel baru agak lama, karena lebih pakai mikir dibanding mau ngepost di website ini. Karena di website tersebut, bahasa saya juga berbeda, topiknya juga tentu saja berbeda dengan di siwimars.com. Kalau di sini, saya bisa menulis aja saja, dengan gaya bahasa santai seperti sedang membicangi sahabat, sedangkan di https://siwiwijayanti.my.id/, saya harus menulis dengan gaya yang lebih semi-formal. Tapi saya seneng-seneng saja sih, karena membagikan beberapa informasi tentang studi lanjut di luar negeri, beasiswa serta publikasi ilmiah. Saya yakin ada banyak orang yang lebih kompeten, lebih berpengalam dan lebih-lebih lainnya, namun mungkin “tidak dituliskan”. Nah, maksud saya menghidupi website tersebut tentu mencoba share informasi-informasi yang saya ketahui atau berdasarkan pengalaman saya studi di luar negeri serta mempublikasikan jurnal ilmiah.

Sudah sekitar sebulan sejak diluncurkannya website tersebut, Alhamdulillah responnya cukup baik. Peringkat DA (domain authority) dan PA (Page authority)-nya sudah langsung 5 pada bulan pertama. Yang kata sahabat saya itu oke banget, hehe sebelumnya mana paham saya soal DA-PA begituan lah hehe. Ada pula banyak DM di IG saya yang mengucapkan terimakasih atas informasi-informasi yang saya berikan. Atapun menanyakan hal-hal yang ingin ia ketahui tentang studi lanjut. Dan itu menyelusupkan saya bahagia, bahkan terharu. Ih, saya berguna juga ya! Hahah gitu sih rasanya,

 “Ada kebahagiaan-kebahagiaan yang saya dapatkan dari menulis, dan itu tidak bisa ditukar”

Akhirnya saya sampai kembali pada pemahaman itu, bahwa panggilan hidup ada pada menulis. Doakan ya untuk terus konsisten menghidupi website saya tersebut. Silahkan mampir-mampir juga lho!

Kelak website ini juga akan dipermanis kok, biar saya tetap betah menulis di sini dan semoga kalian juga masih betah terkadang mampir ke mari. Karena website ini, tentu saja rasanya seperti rumah saya. Dimana saya saya bisa sharing perasaan, pemahamaan dan pengalaman saya. Terimakasih telah membersamai saya selama ini.

Salam cinta.

Sabtu, 17 Oktober 2020

Menemukan IKIGAI Dalam Diri





Kamu ke depan pengennya mau bagaimana? Maksudnya tuh kamu kelak ingin dikenal sebagai apa yang “bener benar kamu banget”?

Pertanyaan ini dilontarkan oleh seseorang, yang tiba-tiba menggugah kesadaran saya kembali. Selama ini seingat saya nggak ada yang tiba-tiba menanyakan hal itu. Bahkan saya pun lupa kapan terakhir kali saya bertanya hal itu pada diri saya sendiri.

Saya lupa, atau sebenarnya melupa.

"Kalau waktu dan energimu habis untuk melakukan yang nggak sesuai dengan apa yang mau kamu tuju atau apa yang kamu inginkan itu. Nanti kamu akan merasa tersesat,” tambahnya.

Rasanya aku makin “dihantam” oleh pernyataannya tadi itu.

Habis menghadapi pertanyaan seperti itu, saya jadi mikir haha. Beberapa tahun belakangan ini, saya lama sekali tidak mempertanyakan lagi apa yang benar-benar aku inginkan dalam hidup, atau istilahnya “the purpose of life” atau “a reason for being”  

Pembahasan tentang hal-hal seperti ini mungkin kadang terasa absurb, ataupun dibilang eksklusif, ataupun mungkin saja ada yang bilang “nggak ada guna”nya. Ya sudahlah hidup ya dijalani aja, nggak usah repot-repot mikirin a reason for being-kita. Sehingga ada banyak orang menjalani kehidupan dengan seadanya, dengan tanpa arah yang jelas.

Ada juga orang-orang yang paham bahwa itu sangat penting, tapi dalam pencariannya belum nemu-nemu juga. Nah itu saya! Haha..

Saya tuh kalau ditanya seperti itu masih bingung lho, apa sebenarnya a reason for being saya. Kalian pernah dengar IKIGAI?. Ada buku best seller yang ditulis oleh Hector Garcia dan Francesc Miralles yang berjudul “IKIGAI-The Japanese Secret To a Long and Happy Life” ini memang sangat menarik perhatian saya. Sampai saat ini, saya belum selesai membacanya, karena membaca bab demi bab rasanya perlu dicerna perlahan.

Kata Ikigai merupakan istilah bahasa Jepang untuk menjelaskan kesenangan, gairah dan makna kehidupan. Kata tersebut berasal dari iki, yang berarti kehidupan dan gai, yang artinya nilai. Dijelaskan pula bahwa Ikigai-lah yang dinilai dapat memberikan motivasi kuat yang menjalani hidup dengan bergairah dan semangat. 

Nah, untuk menemukan ikigai, para ahli merekomendasikan untuk memberi empat pertanyaan kepada diri sendiri, seperti :

·       Apa yang saya sukai?

·       Apa yang bisa saya lakukan dengan baik?

·       Apakah kemampuan saya itu layak mendapat bayaran?

·       Apa yang dibutuhkan dunia dari saya?

Dan pertanyaan dari teman diskusi saya tadi itu memantikkan kembali pertanyaan itu dalam diri saya. Dulu saya merasa menemukan kesenangan dan kebahagiaan lebih pada aktivitas menulis. Saya dulu rajin menghidupi blog ini karena passion saya pada menulis. Saya juga banyak berkenalan dengan orang-orang baru melalui tulisan-tulisan saya. Saya juga sepertinya lebih dikenal karena tulisan-tulisan saya. Tapi selama ini saya memang hanya menganggapnya hanya sebagai hobi semata. Sementara di sisi hidup yang lain, saya lebih banyak berkecimpung di dunia akademik, apalagi setelah saya menyelesaikan jenjang pendidikan S3. Waktu dan energi saya hampir semuanya tercurahkan untuk aktivitas pekerjaan saya sebagai akademisi. Mungkin karena itulah, saya tidak lagi “sempat” mempertanyakan lagi apa sebenarnya yang betul-betul saya maui.

Karena sebenarnya di dunia akademisi ini saya belum nemukan rasa "passion" yang sebenarnya. Saya bukan akademisi yang dengan penuh gairah meneliti pada suatu bidang yang membuat saya betul-betul tertarik. Tapi bukan berarti juga saya merasa menderita pada apa-apa yang tengah saya lakukan dan jalani. Saya cukup menikmati dan merasakan dinamika pekerjaan selama ini, jadi karir juga melaju cukup bagus. Oleh karena itu, ketika saya mendapati diri saya sudah "terlalu jauh" berjalan di dunia akademisi, jadi dalam pikiran saya kemarin-kemarin ya sudah dijalani saja. Rencana saya ke depan juga akhirnya tertuju pada titik yang dianggap pencapaian tertinggi dari seorang akademisi dosen, misal pengen jadi profesor.

Tapi akhir akhir ini saya berpikir : "apa sih arti jadi profesor buat saya?" . Ternyata bagi saya, hal itu tidak lebih dari sebuah gelar, seperti juga gelar-gelar pendidikan yang sudah saya raih. 

Sepertinya saya membutuhkan sesuatu yang lebih membuat saya "bergairah', menemukan passion. Menemukan Ikigai-saya sendiri. Sepertinya ada hal lain yang perlu ditemukan. Sepertinya ada sisi lain atau sisi lama yang justru itulah sesungguh-sungguhnya saya. Walaupun itu bukan berarti kemudian mengindahkan dunia akademisi yang telah lama saya jalani. Dunia yang telah memberikan penghidupan bagi saya, dan juga sarana  berbagi sedikit ilmu yang telah saya dapatkan pada generasi berikutnya. 

“Some people have found their ikigai, while others are still looking, though they carry it within them. Our ikigai is hidden deep inside each of us, and finding it requires a patient search.

Begitu yang tertulis di buku itu. Bahwa mungkin Ikigai itu bersembunyi ada dalam diri kita, dan menemukannya membutuhkan kesabaran dalam pencarian. Terkadang saya melihat orang-orang pada usia muda telah menemukan Ikigai-nya, namun ada juga yang terus mencari-cari. Mungkin perjalanan pencarian itu juga penting, seperti tagline-blog saya “Sebuah Catatan Perjalanan Ke Dalam Diri”.

Belum menemukan Ikigai, justru membuat saya lebih berkeinginan untuk lebih sering membicangi diri saya sendiri. Mencoba memahami rasa-rasa yang muncul dari aktivitas saya sehari-hari. Tergoda untuk mencobai  beberapa hal, untuk kemudian semoga menemukan apa Ikigai saya yang sebenarnya. 

Terus berjalan dalam pencarian. Terus menikmati setiap langkah-langkah penemuan.

Menemukan diri sendiri. ***

Purwokerto. 16 Oktober 2020. Tulisan di tengah gerimis yang membasahi sore ini. 

Jumat, 09 Oktober 2020

Membincangi Ego Diri


Mendung sudah mulai terlihat di luar jendela. Purwokerto hampir setiap sore kini diguyuri hujan. Sayang memang, karena itu artinya saya lagi-lagi tidak bisa jalan kaki sore di GOR, yang letaknya hanya di samping kantor kampus. Rutinitas jalan sore sudah hampir sebulanan ini merupakan kebiasaan baru yang ternyata nagih banget untuk dilakukan. Tepatnya semenjak badan saya mulai “protes” dengan terdeteksinya kadar tertentu di badan saya yang di atas normal. Fase-fase sakit kemarin cukup membuat saya down dan merasa tidak berdaya, karena selama ini saya merasa-nya sehat-sehat saja. Hanya saja, yang mungkin tidak disadari adalah saya terlalu memacu tubuh, pikiran dan energi saja di luar ambang batas keseimbangan.

“Iya sih memang sibuk banget…tapi kan sebenarnya semuanya hampir bisa dikatakan dapat terselesaikan dengan baik kan?”—dulu saya berpikir seperti itu.

Sampai akhirnya tubuh saya mengirimkan “warning” itu

Dan keadaan itu membuat saya banyak merenung dan berpikir. Sepertinya ada pola yang harus saya rubah. Yang berubah banget terutama pastilah pola makan saya agar berupaya untuk menormalkan kembali kondisi tubuh. Dan itupun ternyata tidak mudah, karena seringkali kita makan makanan tertentu sebagai “comfort food” yang setelah makan, mood kita terasa lebih baik. Mungkin itu yang sering kita dengar sebagai emotional eating, yakni dengan makan makanan tertentu untuk membuat perasaan ataupun mood kita menjadi lebih baik. Pernah nggak kalian kayak gitu?

Dulu ketika sudah seharian lelah bekerja ngerjain ini itu, pikiran pertama yang terlintas ketika hendak pulang ke rumah itu..”mau makan apa ya yang enak?” Waktu itu pembelaan yang ada di pikiran saya adalah hal itu sah dilakukan sebagai reward, kompensasi karena sudah bekerja dan berupaya keras seharian. Dan parahnya karena saking lelahnya, habis makan biasanya ketiduran. Mungkin pola ini yang lama-lama membuat tubuh saya protes. Kebanyakan kerjaan, energinya seringkali habis, bahkan mungkin sebenarnya defisit. Namun, ini tidak saya sadari.

Saya beberapa waktu lalu mendengarkan paparan Reza Gunawan, praktisi kesehatan hoslistik pendiri klinik True Nature Holistic Healing yang membahas tentang toxic success. Intinya sih “sukses beracun” itu terjadi ketika kita bisa menjadi sakit secara mental, jiwa, pikiran hingga fisik dikarenakan oleh proses perjuangan menuju sukses yang tidak sehat”.

Sepertinya itulah pesan yang tubuh saya sedang ingin sampaikan. Dulu, beberapa temen pernah mengatakan saya orangnya itu ambisius, dan selama ini saya menyangkalnya.

“Enggak ah, perasaan normal-normal saja. Saya memang orangnya high achiever, pekerja keras, kuat tekad mewujudkan apa yang ingin saya raih. Nggak salah juga kan?” itu sih dalam hati saya selalu menyangkalnya demikian.

Soalnya bagi saya ambisius itu terdengarnya negatif gitu. Hingga kemudian beberapa saat lalu saya berbincang dengan seseorang, dan iseng bertanya “memangnya aku terlihat ambisius ya?”

“Kalau aku, mengukur seseorang itu ambisius negatif atau tidak, ya pada poin keseimbangannya sih. Persepsi kebanyakan orang, ambisius itu punya keinginan sangat kuat untuk mencapai sesuatu tanpa mengindahkan prinsip-prinsip keseimbangan,”- begitu tutur seseorang itu.

Jleb nggak sih rasanya? Jawabannya itu memang tidak eksplisit bilang saya termasuk kategori ambius. Tapi kalimatnya itu membuat saya berpikir seketika bahwa kemungkinan saya memang mengindahkan prinsip prinsip keseimbangan itu. Terlalu banyak kerja, istirahatnya kurang, males olahraga, makan-nya nggak sehat.

Tapi memang susah sebenarnya ya kita mengukur keseimbangan? Selama ini saya merasanya sehat sehat saja, sampai suatu ketika tubuhnya merespon dan protes. Dan kemudian itu membuat saya berpikir.

“ Memang sih, PR terbesar orang hidup itu ya adil untuk membagi porsi pada hak dan kewajiban. Dan seringkali kita belum mengetahui berapa sebetulnya takaran porsi untuk adil itu, sebelum kita mengalami sesuatu yang nggak enak pada diri kita.” Tutur seseorang tadi itu.

Itu persis yang terjadi pada diri saya.

“ Setelah aku pelajari, ternyata dalam diri kita sendiri ada banyak entitas ego. Dimana kalau kita ngga bisa berkomunikasi baik dengan mereka, hidup kita isinya akan jadi ribet terus. Misalnya gini: ada entitas ego yang menginginkan kita sukses dalam karir. Maka dia akan memacu kita untuk terus bekerja sekeras mungkin untuk mencapai apa yang menurut kita menjadi sebuah standar sukses. Apa entitas ego ini salah? Nggak, karena memang di situlah peran dia. Tapi kelemahannya, dia nggak peduli bahwa kapasitas tubuh kita bisa mengimbangi nggak dengan ritme kerja kerasnya? Nah, sementara itu ada entitas ego yang lain yang menginginkan kita hidup seimbang, demi kesehatan tubuh. Di situlah konflik antar entitas ego bisa terjadi.”Begitu pendapat teman diskusi saya itu. Berat ya kalimatnya ya? Hehee ampun memang lah wkwk..

Tapi isinya jleb jleb..saya mungkin harus lebih banyak membicangi ego saya, untuk berupaya paling tidak agar lebih seimbang lagi memperlakukan jiwa, pikiran dan tubuh. Mungkin kalau tidak seperti ini, akan saya terus menjalani hidup dengan terus tidak mengindahkan keseimbangan. Memacu diri tanpa tahu batasannya.

Kadang-kadang hidup begitu ya, ada saatnya kita menjeda dan berpikir kembali tentang pola bagaimana kita menjalani hidup. Kalau saya pikir, hidup itu tentang terus belajar dan belajar tanpa henti. Belajar membincangi diri, termasuk ego-ego di dalam diri. Itulah yang sering saya lakukan akhir-akhir ini sembari melajukan langkah langkah kaki dalam rutinitas jalan sore. Dengan semilir angin, suara musik di earphone dan perbincangan perbincangan saya dengan diri sendiri.

Salam hangat dari sore-nya Purwokerto yang bergelayut mendung.