Selasa, 31 Maret 2009

Orkestra Derai Hujan dan Secangkir Kopi Panas


Derai hujan di luar menyanyikan orkestra alam yang biasanya terlewatkan dari pikiranku. Hening, damai, menenangkan. Secangkir kopi panas yang sudah tinggal setengah tetap setia menawarkan nyawanya padaku. Dan lenovitoku yang sampai kini masih mau hidup saat aku hidup, dan mati saat kuterlelap, kini masih saja memperdengarkan irama-irama klasik yang kembali membawaku ke negri nun jauh di sana. Ah, hidup. Sederhana saja rupanya bila kita membuatnya menjadi sederhana, dan rumit bila kita membuatnya rumit. Dan tentu saja, ingin ku menatanya sederhana saja. Tapi betapa rumitnya menjadi sederhana? Ah maafkan, lagi-lagi akrobat kata-kata.

Bila ada”kebodohan” di masa lalu, jika hanya kuingat kebodohan sikap saja tentulah hanya meninggalkan derak-derak jelaga suram masa lalu. Namun bila menganggapnya sebagai sebuah kemanusiawian dan membuatku belajar, kebodohanpun ternyata menawarkan tangga-tangga untuk naik kelas.

Ah, kembali kuseruput kopi yang hampir tak lagi panas. Petir di kejauhan membuat orkestra hujan terdengar dramatis.

Ternyata aku baik-baik saja, dengan hidupku, dengan rutinitas yang kadang membelitku, dengan rencanaNya yang tak kutahu.

Masih bertemu dengan muka-muka susah senyum, terkadang. Namun tetap saja masih ada senyum pak satpam tiap pagi menjelang masuk kantor. Walaupun terkadang kuamati betapa bosannya dia berada di koridor tanpa melakukan apapun. Masih bersapa dengan para sahabat, entah lewat dunia nyata, dunia maya ataupun dunia gaib hohoho...Masih ada yang memenuhi inbox hp dengan curhatan, jadwal konsul skripsi, dan inbox semu sms-sms yang tak tertekan tombol send padaku ehehe, gamang di antara send dan cancel.

Masih ada setumpuk buku yang kubeli di pameran buku lalu yang masih belum tersentuh. ”Uhmm..kau tidak ada waktu untukku?”, katanya mencibirku, merasa tersisihkan rupanya mereka. Ah, maafkan lagi-lagi rutinitas adalah racun.

Masih saja berhadapan dengan wajah-wajah mahasiswa di kelas, ataupun di meja kantor yang menghadiahiku setumpuk kerjaan yang harus kukoreksi :P. Ah, generasi-generasi masa depan bangsa ini, akankah tertempa dengan baik? Semoga.

Masih ada rekan sejawat yang akhir-akhir ini mencecariku pertanyaan-pertanyaan esensial hidup. Setelah kuliah lagi di luar negri, lalu apa?setelah kelak jadi professor atau guru besar, kemudian untuk apa?Bila saat ini kau ditawari untuk memilih pekerjaan apapun, apa yang kau mau?Pada akhirnya untuk apa hidupmu? Doohhh...

”Turunlah ke bumi suatu saat”, katanya dengan senyum pias di wajah keibuannya. Membuatku berpikir untuk kembali mengoreksi lagi obsesi, visi dan misi hidup.

Ah, kopi dingin di cangkirku hampir habis. Hari juga sudah menjelang petang. Pada titik ini, hanya ingin mengucap, Alhamdullillah!

Selamat menikmati hidup di antara dua helaan nafas, kawan!

Previous Post
Next Post

1 komentar:

  1. Setuju tuh, alhamdulillah sudah diberi kehidupan yang walaupun terkadang begitu membosankan dengan rutinitas yang sama hampir setiap harinya

    BalasHapus