Thai Girl Show, Tentang Manusia dan Batas Kesenangan.



Menghadiri konferensi dua hari berturut-turut membuat saya agak bosan, apalagi sendirian saja. Memang saya bertemu dengan bapak ibu dari Kemenkes, dari dinas provinsi dan beberapa akademisi dari UGM dan UTB saat acara welcome dinner. Tapi mereka bersama rombongan masing-masing, sementara saya sesuai konferensi balik lagi ke kamar hotel. Dan entah kenapa merasa sedikit bosan. Akhirnya saya memutuskan untuk jalan. Bermodal googling dan peta saya ke MBK, sebuah pusat perbelanjaan yang terkenal di Bangkok bila ingin mencari souvenir khas Thailand dengan harga yang lumayan murah.
Usai belanja dengan mengantongi kain sarong dan kaus Thailand, saya kembali ke hotel dengan fasilitas BTS. Mode transportasi yang menurut saya sangat nyaman dan harganya cukup terjangkau. Di lobi hotel saya melihat rekan-rekan dari Kemenkes dan Dinas Provinsi yang tengah bersantai ngobrol di lobi. Lalu saya menghampiri mereka dan ikut ngobrol-ngobrol hangat,
            “ Saya dapat alamat ini nih yang pertunjukan perempuan-perempuan nari-nari lho. Katanya belum ke Bangkok kalau belum lihat ini. Coba nonton yuk” kata salah seorang dari mereka. Humm perempuan nari-nari? Pikiran saya sudah menjurus ke pertunjukan yang “serem” ahaha, iya karena Thailand memang terkenal dengan pertunjukan yang rada “serem”.
Lalu yang lain menyambutnya dengan antusias lalu melihat selembar kertas dengan diberikan petugas hotel. Di selembar kertas itu hanya tertulis huruf-huruf thailand yang antah berantah nggak ngerti artinya.
            “ Aman nggak nih?” tanya lainnya lagi. Tentu saja kami harus mengecek keamanan tempat yang akan kita datangi. Jangan-jangan serem gitu hihi.
            “ Eh ini yang banci-banci itu bukan? Opo sih namanya itu, Lady boy atau perempuan beneran” tanya seorang lagi. Saya hanya diam menyimak. Sekilas teringat tulisan Windy Ariestanty di bukunya Life Traveler tentang pertunjukan di Thailand itu. Thai Girl Show, apa ini maksudnya. Saya tidak terlalu berniat ikut, karena “ngeri” juga rasanya menonton pertunjukkan seperti itu. Apa menyenangkannnya? Begitu batin saya. Saya tipe traveller yang suka mengunjungi tempat-tempat wisata seperti tempat-tempat budaya, pantai, taman, dan bila pun nonton pertunjukkan, saya suka nonton pertunjukkan tradisional seperti tari-tarian, opera, ataupun teater. Nonton pertunjukkan semacam itu pasti jauh di luar kebiasaan saya. Dan juga duit Bath saya sudah tipis sesuai belanja di MBK.
            “Ah gampang, saya bayari dulu” kata salah seorang bapak-bapak. Heuu akhirnya saya berpikir kilat, kalau sendirian nggak mungkin berani nonton pertunjukan seperti itu. Sebetulnya anggukan saya lebih kepada mengobati rasa penasaran saya pada show tersebut, dan saya pun berkeyakinan bahwa bapak ibu yang mengajak saya tersebut juga serupa. Sederhana saja logikanya, kalau si bapak-bapak itu mau melakukan hal yang “macem-macem” ngapain juga ngajakin kita-kita berombongan. Tinggal melangkah ke sepanjang Sukhumvit Soi 22 itu sudah berderet-deret pijat yang plus-plus ditawarkan, tanpa seorangpun tahu.
Akhirnya kami berlima naik taksi di luar hotel, dan saat ditunjukkan alamat dengan bahasa Thailand itupun si bapak sopir taksi pun dengan cepat mengerti lokasinya. Bahkan dia menawarkan untuk menunggu kami dan mengantarkan kami kembali ke hotel. Dan saat ditawar ongkos taksinya 150 bath dianya mau. Kami pun sempat terheran-heran dengan ongkos semurah itu padahal tempatnya jauh. Namun baru paham sepertinya supir taksi akan mendapat jatah sendiri dari tempat show tersebut. Sama halnya dengan si abang-abang becak yang menawarkan mengantarkan ke tempat oleh-oleh bakpia di jogya dengan harga super murah.
Kami tiba di tempat setelah perjalanan naik taksi sekitar 30 menit. Tempatnya tidak istimewa, tidak ada plang-plang nama. Bahkan kami tidak tahu di daerah mana itu. Heuu agak berasa serem juga saat masuk ke tempat itu. Hanya ruangan yang menghubungkan ke ruangan berikutnya dan disitu ada bapak-bapakn seperti engkong tua dijaga oleh dua orang berbadan besar dan bertampang sangar yang menjual tiket.
            “ 800 bath per orang” kata si engkong tua itu. What? 800 bath..phewww mahal amat. Itu duit bisa untuk beli souvenir banyak. Ahaha dasar, malah bandingin sama souvenir.
Tapi akhirnya salah seorang bapak dari kami mengulurkan biaya tiket untuk kami berlima, dan segera masuk ke ruangan show. Saya memang menghindari menyebutkan nama ya, untuk menghindari hal-hal yang mungkin tidak etis. Saat masuk ruangan tersebut saya agak berasa serem juga, dan menggandeng si ibu yang memakai jilbab. Iya sih, pasti berasa aneh kan perempuan berjilbab masuk-masuk ke tempat beginian.
            “ No camera” kata si lelaki bodyguard di bagian ticketing tersebut. Tidak boleh memotret, dan kami hanya mengangguk.
Musik menghentak dan di lampu redup, hanya lampu yang berkerlap kerlip di panggung yang sudah ada seorang perempuan tengah beraksi. Kami mengambil tempat duduk di depan panggung namun tidak terlalu dekat. Saya mengamati pertujukan di panggung, dan anehnya saya merasa tidak terlalu kaget. Perempuan yang (maaf) hanya mengenakan bra dan CD tersebut berlenggak lenggok menari di atas panggung. Anehnya tak ada ekspresi apapun di muka perempuan itu, dingin dan tawar. Gerakan tariannya pun tidak ritmis, tidak menyatu dengan musik. Dan tidak ada kesan menggoda, centil ataupun aksi-aksi binal yang dulunya saya kira ada pada pertunjukan macam itu. Dan satu-satunya yang membuat saya agak kaget adalah kemampuannya yang dipertontonnya itu sungguh tak biasa. Hingga saya menilai bahwa pertunjukkan ini lebih cocok sebagai atraksi, karena perempuan yang saling bergantian naik ke atas panggung memang hanya untuk beraktraksi. Hanya saja atraksinya itu yang bikin geleng kepala. Si ibu di sebelah saja menyebut bahwa pertunjukkan itu seperti atraksi keahlian vagina. Maaf bila tulisan saya menyebut beberapa hal yang terlalu vulgar.  Iya karena atraksinya itu seperti membuka botol coca cola, menggambar, memasukkan bola ke dalam keranjang dengan vagina, lalu keluar seperti rantai rantai berwarnai warna dan beberapa hal lainnya yang membuat saya mengerutkan kening.
Apa menariknya dari pertunjukkan seperti ini? Dibilang seksi, enggak. Beneran, tubuh di perempuan itu nggak seksi-seksi amat. Ada yang terlalu gendut, ada yang terlalu tipis. Bahkan perempuan yang menampilan menggambar menggunakan vagina terlihat sudah tua. Cantik? Nggak cantik-cantik banget juga. Biasa saja, bahkan yang perempuan tua itu seharusnya sudah duduk tenang di rumah sambil bermain dengan cucu-cucunya.
Saya yang perempuan bisa menilai bahwa pertunjukkan ini nggak sensual sama sekali. Murni atraksi. Entah dari sudut pandang laki-laki. Dengan iseng saya nanya ke bapak-bapak yang serombongan dengan saya.
            “ Nggak terangsang sama sekali lah, Malah ngeri lihatnya.” begitu jawab si bapak-bapak itu. Dan saya percaya mereka bicara sebenarnya.
Interaksi dengan penonton pun  seadanya. Hanya saat si perempuan yang menunjukan kemampuannya membuka botol coca cola dengan vaginanya, dia meminta beberapa penonton mengecek tutup botolnya bahwa memang tertutup rapat. Kali ini perempuan itu meminta tolong pada seorang bapak berkacamata yang duduk dekat dengan panggung untuk memegang botol tersebut. Ah, itu bapak-bapak yang saya lihat makan di KFC kompleks MBK tadi sore. Sepertinya bapak-bapak pengusaha dari Indonesia. Bapak itu terlihat kikuk memegang botol aqua, mukanya cemas-cemas bingung, dan bluup saat tutup botol itu terlepas si bapak itu kaget bukan kepalang. Malah ekspresi bapak itu yang lebih menghibur dibanding pertunjukan di atas panggung. Tapi pintar juga si perempuan itu memilih penonton yang kira-kira tidak “nakal”. Tapi sialnya, usai perempuan itu turun panggung, dia menghampiri bapak berkacamata itu dan meminta uang. Hayaaakk ahaha.
Ada pula si perempuan yang marah-marah saat atraksi saat melihat salah seorang bule yang mengambil foto saat mereka beraktraksi. Segera ia memberi kode ke rekan-rekannya untuk memeriksa kamera dan memastikan gambar tersebut terdelete.
Hampir sekitar 1 jam pertunjukan berlangsung, dan sistemnya berputar. Jadi ternyata pertunjukkan sama saja setelah sekali putaran aktraksi. Begitu si perempuan pertama yang niak panggung dan akan menampilkan atraksi yang serupa pada awal acara, kami pun memutuskan untuk menyudahi tontonan kami. Lah bosen kan?
Kami pun keluar dengan rasa penasaran yang terjawab dan dengan muka yang biasa-biasa saja. Nggak seheboh beritanya. Hanya saya dengan melihat pertunjukkan tersebut, saya berpikir. Kenapa ya ada orang yang terpikir untuk membuat pertunjukan macam itu? Dan mau-maunya si perempuan-perempuan itu melakoni pekerjaan tersebut? Dan terpikir pula dengan batas kesenangan manusia. Sampai mana batasnya? Kadang-kadang banyak hal yang saya lihat jauh di luar akal saya. Pertunjukan Thai Girl show macam inipun menguakkan pertanyaan, bila kesenangan manusia diikuti mungkin memang tak akan ada batasnya.
Tempat pijat yang berderet-deret di Sukhumit Soi 22, perempuan-perempuan yang berjajar di jalan dengan terang terangan menggoda, pertunjukkan Thai girl Show menunjukkan sisi lain dari Bangkok. Dan mungkin juga menyadarkan tentang hal-hal yang mungkin tak pernah kita bayangkan. Manusia dan batas kesenangannya yang mungkin tak berbatas itu.
Saya sendiri tidak bisa menikmati pertunjukkan seperti itu, kesenangan bagi saya lebih pada menikmati pertunjukkan budaya, mencobai pakaian tradisional thailand, dan merasai kuliner lokal. Ah kadang dunia itu mengerikan ya, ah mari nikmati saja yang indah-indah di Bangkok seperti indahnya Grand Palace!
           
Cerita dari Bangkok. Oktober 2013.

2 Komentar

  1. Seperti di ibukota jawa wilayah timur ya, deretan pijat plus2 bahkan ada etalase yg memajang "barang dagangannya"----kata buku yg baru-baru ini kubaca sih

    BalasHapus
  2. wah masa di Indo juga sudah terang terangan gitu in

    BalasHapus