Selasa, 09 Juni 2009

Conversation With X


Kompromi, berdamai dengan keadaan. Kata itu sering mampir di telinga saat idealisme bertarung dengan realitas, dan pada suatu titik, kompromilah yang menjadi pemenang. Apakah dengan kompromi dengan keadaan yang kita ambil serta merta menghapuskan idealisme kita?

Idealisme, mimpi, prinsip hidup itu gratis dan bebas untuk dimiliki oleh setiap manusia. Lalu apa yang salah dengan terus menggengam eratnya?. Seorang sahabat yang baru saja diterima kerja dalam suatu departemen, beberapa waktu lalu menulis status di facebooknya

**** bagaimana mesti bertahan? mesti mengedepankan ego dan idealisme, atau membuat kompromi? mestikah keputusan ekstrim kembali kupilih?

Perkiraanku ia tengah dihadapkan pada sistem, cara kerja dan rekan kerja baru yang sepertinya banyak yang bertentangan dengan prinsip dan idealisme yang ia bangun.

Akupun merasa gatel untuk berkomentar, karena memang sepertinya para pengguna facebook ini berlomba-lomba menulis status yang mengundang teman-temannya untuk berkomentar (termasuk aku tentu saja..jiaahhh)

” kompromi saja dulu, tapi tetap bergerilya untuk mempertahankan idealisme kita, kalo itu sih rumusku ehehe”

Tentu saja setiap orang berhak penuh atas rumus hidupnya masing-masing. Itulah mengapa manusia merupakan laboratorium hidup yang tak pernah habis penelitian yang sanggup menjangkau menyibak misterinya.

Suatu sore yang senyap dengan kopi yang tersisa, pikiranku berkelebat akan hidupku yang kini dihadapkan pada pilihan-pilihan yang datang, namun bukan pilihan yang aku inginkan. Tersenyum sekilas mengingat sebuah obrolan pendek via facebook dengan seorang sahabat yang lebih terasa sebagai kakak (beuhh..enaknya ya punya kakak whihi).

” Posisiku sekarang adalah dihadapkan oleh banyak pilihan yang tidak aku inginkan, dan mengejar pilihan yang mungkin sedikit peluang untuk bisa mewujudkannya”

(obrolan yang sebenarnya kuedit hihihi..pokoknya intinya begitulah).

Setelah puas menertawaiku, obrolan berlanjut seperti biasa. Namun obrolan tadi membuatku bercakap-cakap dengan diriku sendiri. Hingga pada sesapan kopi terakhir di cangkirku, aku berkata pada diriku :

Me : Aku tidak akan pernah menyerah dengan menghabiskan waktu hanya dengan pilihan yang ada, tapi ingin mengejar pilihan yang kuinginkan. I deserve to get what I want!

X : Tapi pilihan itu belum tentu sama menurut Tuhan!


Me : Urusanku bukan mencari tahu kehendak Tuhan atasku. Tapi pada titik ini aku tahu apa yang aku inginkan, mempunyai tekad untuk memperjuangkannya, dan bersedia berpeluh dalam perjalanan mewujudkannya. Dan manakala takdir jatuh, penerimaan atas kuasaNya lah proses yang memanusiakanku.


Hihi..tiba-tiba saja aku suka dengan penyataan terakhirku. Yap, Banzai! Tersenyum sekilas dan menyadari hari telah petang. Waktu terus bergulir dan setiap nafas berhembus berhak atas pilihan kebahagian yang selalu kuambil. Selamat hidup, kawan..

Previous Post
Next Post

0 Comments: