Sabtu, 29 Agustus 2009

Deru yang Tak Pernah Senyap


Haec Olim Meminisse luvabit (Someday we’ll back on this and smile)

Sebuah bab di bagian buku “Divortiare”-nya Ika Natassa, yang setelah melihat terjemahan kalimat di atas jadi ngeh arti nama blog temenku yang mengambil kalimat yang persis sama..maklum nggak ngerti bahasa latin.

Yap, setiap hari kita membuat sejarah pada masing-masing hidup kita. Bila menengok ke belakang, bukan main banyaknya lembaran-lembaran kisah dengan berbagai warna. Kanvas yang tercorat coret warna warni, bagaimana gambaran yang terbentuk tentu saja itu semua tergantung pada persepsi kita masing-masing. Bukan tidak mustahil kita akan menertawakan hal yang pahit di masa lalu, kekonyolan, kebodohan sikap dan rona-rona masa lalu. Dan titik ini, detik ini pun bila suatu saat masih diberikan waktu untuk melihat titik ini kita juga mungkin akan tersenyum. Entah tersenyum kecut, tersenyum penuh rona kebahagiaan atau penuh kegetiran. Perjalanan itu mengalir seiring perubahan, ia berkelok-kelok, menikung tajam, menanjak ataupun turunan terjal. Hidup tetap saja sebuah detik yang berlalu yang tak pernah sama. Sekian tahun kuhabiskan di bangku sekolah dan kuliah, lalu kemudian hidup beralih dalam dunia pekerjaan yang kadang menyita sebagian besar waktu, lalu proses-proses lain yang akan terjadi pada hidup. Apa sih yang sebenarnya kita cari?

Ada sebuah artikel yang ditulis Gede Prama yang menjadi favoritku, karena pada artikel tersebut aku menemukan jawaban. Judul artikelnya ” Menemukan harta karun termahal”, sering kali kubaca lagi saat-saat senggang dan saat berefleksi. Isinya selalu menarikku kembali bila pikiran, keinginan dan impian sudah bergerak nakal kemana-mana menuruti nafsu kemanusiaanku. Penuturannya sederhana tapi mengena, tentang apa yang dicari manusia dengan kehidupannya. Kebanyakan orang bekerja keras dan berupaya untuk menjadi sukses, terkenal, kaya, bahagia, sejahtera. Kutub percarian masing-masing orang tentu saja berbeda. Ada yang merasa puas dengan karirnya yang selangit, atau hartanya yang berlimpah, ataupun bahkan ada yang memilih jalur-jalur anti duniawi dengan menghabiskan hidupnya hanya untuk bergerak di jalur vertikal. Yah, kita semua mempunyai kutub pencarian masing-masing, dan sasaran pencarian pun mungkin terus berubah seiring pertumbuhan diri manusia.

Ada kalimat yang menyentuh hatiku yang ditulis beliau :

Entah sampai di tataran pemahaman mana perjalanan Anda sejauh ini, tetapi semakin saya selami dan selami, semakin saya tahu kalau hidup adalah perjalanan ke dalam diri. Berbeda dengan harta karun yang harus kita cari, dan membawa kemungkinan terbukanya sebuah penemuan, harta karun kehidupan ada pada proses belajar. Bukan pada tujuan akhirnya. Ini penting untuk dipahami dan didalami, karena perjalanan ke dalam diri adalah sejenis perjalanan yang tidak mengenal garis finish

Semenjak hidupku berbenturan dengan buku-buku Gede Prama, Zen, diri ini semakin sadar tentang perjalanan. Kesadaran sampai pada taraf mana diri ini bergerak dalam tataran mengerti, memaknai hidup. Seiring proses belajar yang terus kujalani, ada sering kata ”oh ternyata itu yang Engkau maksudkan”, ataupun pertanyaan-pertanyaan ”kenapa Engkau menakdirkan aku di sini, pekerjaan ini, dan pertanyaaan yang terdengar nakal lainnya”. Tapi sampai pada titik pemahamanku sekarang, diri menyadari bahwa Tuhan yang mencipta hidup selalu memberikan makna pada sebuah peristiwa, walau butuh waktu untuk mencernanya. Bukan menyetir ungkapan klise ”ada makna di balik peristiwa”, tapi merasainya. Merasainya, membuat hidup terasa daya hidupnya. Seperti cinta, yang bukan pada angan tapi ada pada tataran pengalaman.

Aku pernah menulis tentang belajar untuk bergerak ke titik pusat, tidak lagi banyak terguncang di pinggiran kala roda kehidupan turun naik. Tapi diri ini masihlah ”kencur” yang masih saja sering terhempas ke pinggiran, tapi perjalanan untuk mencapai titik pusat ini rasanya menyenangkan dilakukan. Tidak pernah merasa tergesa untuk sampai, tidak pernah merasa ada deadline waktu, dan tidak ada seorangpun yang mengejar dan bukan berarti pula menjadikan malas belajar. Perjalanan ke dalam diri tidak membuat kita berkompetisi dengan hidup orang lain. Mencari sumber-sumber kebahagiaan dari dalam yang tidak lagi mempunyai keterikatan, uhmm..mungkin diri ini masih sangat jauh dari tataran itu.

Aku masih merasa betapa sulitnya memeluk dualitas kehidupan dengan sama mesranya. Orang akan memilih sukses di atas gagal, senang di atas sedih, mudah di atas susah. Tapi bukankah hidup tidak pernah lepas dari kegagalan, kesedihan, kemalangan, kesusahan?

Bukankah kita menjadi lebih banyak belajar dari kesedihan, mempunyai semangat tak kenal menyerah yang kita dapat dari tempaan kegagalan-kegagalan yang kita alami, dan menjadi kuat karena kesusahan-kesusahan yang terjadi pada hidup? Tidakkah bila dipikirkan kembali kedua dualitas yang nampak bersebrangan tadi pada intinya sama, berasal dari satu sumber.

Dengan menerima dualitas tersebut dengan sama bukankah akan melepaskan manusia dari keterikatan? Entahlah, itu hanya pemikiranku saja.

Diri sadar terkadang orang menghormati karena label yang tersemat, karena pekerjaan dan profesi, memuji karena (mungkin) ada prestasi. Pernah terpikir apakah kita akan diperlakukan dengan cara yang sama tanpa itu semua? Aku menyadari diri ini masih sering terikat.

“Kenapa mesti gembira bila dipuji dan sedih bila dimaki? Ada orang yang sudah bisa terlepas dari keterikatan, orang jenis ini memang langka ditemukan”

Oh, sungguh saat pertama kali mengerti gagasan ini aku sungguh terpesona dan mengagumi betapa beliau sungguh telah jauh berjalan ke dalam diri.

Mungkin perjalananku masih tak seberapa, tapi perjalananku telah dimulai karena aku ingin terus menapakinya, melihat petanya, dan merasakan perjalanan ini sebagai harta karun hidup.

Aku tidak pernah melarang diriku untuk jatuh cinta berkali-kali dengan orang yang sama.. begitulah kucintai hidup yang menawarkan perubahan dalam setiap detiknya.

Dan akupun ingin mencintai kehidupan dan kematian sebagai dualitas hidup...menikmati iramanya seperti deru yang tak pernah senyap ***

Purwokerto menjelang tengah malam. 29 agosto’09


Previous Post
Next Post

0 Comments: