Sabtu, 13 Agustus 2011

Keber(Tuhan)anku, Spiritualitas-ku- “Sebuah Tanya”

Sebuah Surat Kepada Aku-Manusia dalam diriku

Selamat sore, diriku

Aku// seperti biasa// ingin membincangimu// diriku

Mari sore ini sambil menunggu buka puasa kita berdua bicara tentang keberTuhanan, Sebuah perjalanan spiritualitas yang telah kita jalani selama hampir 30 tahun. Waktu yang tidak sebentar bukan?

Kini, kita bersama sepotong sore yang tenang, sejenak angin melintasi kita lalu pergi lagi, sore yang sempurna untuk berbincang bukan?

Ehehe mari kita bicara bahasan yang kemarin-kemarin membuat kepalamu meloncat-loncat, ehehe tabrakan terjadi, sampai kepalamu rasanya penuh. Mungkin itu terjadi karena kau harus menjuri 87 cerpen yang bahasanya begitu terasa eksklusif, berdesing-desing di telingamu kata-kata” akhi, antum, jazakumullah”. Kemudian kau menemukan jawaban pertanyaan tentang kecanduan/ketergantungan energi di wawasan ke 8 Celestine Phophecy yang membuatmu lupa waktu dan baru tertidur saat jam 2 pagi, dan tentu saja telat sahur. Baru-baru ini pula kau membacai Kitab Ihya Ulumudin –Imam Al Ghazali yang dibawa sahabatmu, sampai terbersit pertanyaan : mengapa baru ketemu kitab keislaman yang kayak gini sekarang?. Aku paham mengapa kau bertanya demikian, aku kenal kau. Mana mempan kau membaca buku-buku keislaman jenis-jenis formal dan humm..aku tak tahu jenis yang bagaimana itu. Kau akan bilang,

Aku tidak perlu repot menghitung-hitung pahala, berapa kali lipatnya, aku tidak sedang berdagang denganNya, aku juga tidak perlu merasa rugi bila surga atau neraka tidak ada, kenapa untuk mencintaiNya menjadi begitu rumit?”

Ahaha aku kenal kau, aku tau kau, bandel, nakal, susah dibilangin, tapi aku suka kau mau belajar dan mau bertanya. Jadi kau tak hanya diam dan menerima apa saja yang dibilang orang-orang itu. Masa kau mau terima saja cerita orang tentang TuhanMu dan menerimanya dengan mentah sebagai sebuah kebenaran?

Yang aku tahu kau selalu lebih memilih buku Tasaro GK (Muhamad-Lelaki Penggenggam Hujan) untuk mengenali Muhammad-Nabimu yang selama ini masih terasa asing bagimu. Luhur, mulia, Al Amin, yang dipercaya, tapi terasa tak terjangkau, tak kaukenali karena selama ini belum kaucobai untuk kaukenali secara pribadi. Tapi setelah “pertemuanmu” dengan buku itu, kini dengan hasrat yang membuncah rasanya ingin kau kenali dia lagi dan lagi. Kemarin kau cari “Menatap punggung Muhammad”-nya Fadh Djibran di Gramedia namun belum kautemukan. Sabarlah menahan rindu untuk mengenalinya (Muhammad) lagi

Semalam juga sehabis tarwih, engkau mengaji. Mengaji lewat kata-kata Fadh Djibran, dalam buku “Yang Galau Yang Meracau”, mendengar racauannya tentang tuan setan, dosa, cinta, dan pencarian Tuhan tentu saja. Membacai kupasannya yang cergas tentang pencarian Tuhan, mulai dari teori Marx, Freud, kelompok ateisme kontemporer, agnostik sampai pak ustadz.

Masih dalam minggu yang sama, kau baca “Madre”nya Dee dan beberapa artikel di blognya yang membuatmu tertohok-tohok secara spiritualitas. Tentang ke-esaan Tuhan, Agama dan Tuhan, hingga kemanusiaan manusia. Lalu kau juga membacai Brida-Paulo Coelho yang berisi tradisi matahari dan tradisi bulan, tentang pencarian pasangan jiwa –(yang kausangka jodoh-tapi ternyata -jiwa reinkarnasi).

Hadeeeeh..bisa kubayangkan betapa kepalamu penuh ahaha..campur-campur. Kau bacai buku Gede Prama yang berarus Hindu, Dee-yang mengusung Budha, Paulo Coelho yang berbau kekristenan, dan membacai pemikiran Quraish Shihab, Al Ghazali, Tasaro, Fadh yang mengenalkanmu keislaman. Dan kau kemudian kelelahan, kemudian memilih untuk tidur seusai salat subuh, mensyukuri dingin yang semakin menggigiti tulang. Dan untungnya pagi tadi, tak ada yang iseng menanyaimu “sudah mandi belum?” ehehe…

Ah, mengingatnya, kau jadi ingat saling komen ia dan dirimu di FB. Dalam facebook pula kau bisa mengaji, bisa berdoa, bisa merapat padaNya. Karena kau selalu melihat statusNya—online--

*.itu kitab bagus lho..sangat2 bagus...cocok dibaca saat bulan ramadhan ini...biar semakin sholehah.. :)

Begitu komennya saat kau bicara tentang kitab Ihya Ulumudin itu.

*kata semakin sholelah terasa geli di kupingku..lebih nyaman dengan..semakin merasa menjadi manusiaNya, dan semakin menyadari keberTuhan-anku.

Kaubalas begitu,

Kenapa kau lebih memilih pilihan kata lain untuk menyebut Sholehah? Kenapa kau lebih sering menyebut Tuhan, daripada Allah,? Kenapa masih terasa aneh di kupingmu saat mendengar “ antum, akhi, jazakumullah”? kau mengerti artinya, tapi kenapa terasa aneh dan jarang menggunakannya? Apa dengan begitu kau bukan seorang muslim yang baik? Apa karena begitu keberTuhananmu menjadi dangkal? Ehehe kau selalu terlalu banyak bertanya.

Karena bertanya membuatmu untuk mencari jawab. Mencari itu mencobai berbagai jalan, kau mengenal Tuhan-Tuhan orang lain juga. Tuhan-Tuhan orang lain, memangnya Tuhan ada berapa? Ah biarlah sifat ketunggalanNya itu kau sendiri yang mengalaminya.

Yang kuingat kau mengenali Tuhan kali pertama dari orang tuamu, kemudian dari guru ngajimu. Kata mereka Tuhan begini, Tuhan itu begitu. Dan kehidupan membawamu ke banyak jalur-jalur hidup. Kadang bersama Tuhan, kadang tidak terlalu (walau kurasa belum pernah tidak sama sekali), terkadang menyadari kau semakin rapat denganNya saat kau ditimpa derita, galau, ragu, gundah, resah, cemas, khawatir. Kenapa Tuhan lebih mudah bisa kautemui saat dirimu sedang dalam kondisi begitu?

Lalu bertahun-tahun kau membacai berpuluh buku, banyak teori, banyak nama-nama asing, nama Tuhan-Tuhan lain. Seperti kata Fadh dan Dee-kepercayaan bisa lahir dari pengetahuan, pemahaman. Lalu kau mencobai mengetahui, dengan akalmu, memahami dengan hatimu. Pengetahuan dan pemahamanmu membawaimu dalam pengalaman keberTuhanmu (ilahiyah). Seberapa sering pengalaman langsung dan pribadi engkau dan Tuhanmu?

Tuhan itu ada saat kau merasa bersamaNya,

Tuhan itu tiada saat kau tak merasa bersamaNya..

Ada dan tiada, terkadang adalah tentang rasa.

“ Aku seperti sangkaan hambaKu. Jika ia mencari dan mengingatku, Aku bersamanya begitu tertulis dalam sebuah firmanNya.

Maka diriku, mari terus bersamaNya. Walau terkadang dalam doa, saat kau berbincang denganNya, seperti tadi malam itu. Kau bingung, kenapa kau tidak bisa berdoa dengan doa yang seharusnya –demikian pikir akalmu, al aql-

Lalu dalam bincang itu, kau melontarkan kalimat,

“ Karena ternyata aku tak bisa bohong padaMu. Biarkan aku berdoa begini dulu.”

Kau terkesiap, sekaligus merasakan kelegaan luar biasa. PadaNya, kau bisa berbincang menjadi manusia-manusia saja. Tanpa tameng, tanpa label. Utuh, seorang manusiamu yang utuh.

Sudah, diriku, maghrib akan segera tiba. Mari kita mengingatNya saat menyantapi makanan yang tersaji.Untuk itu mungkin kenapa kita disuruh berdoa sebelum makan, untuk mengingatNya, dan makanan itu akan mengalirkan energi untuk kita.

Sudah dulu diriku, kapan-kapan akan kusapa dan kubincangi lagi dirimu.

Hidupku memang terus berjalan, karena tidak ada kata “sudah” ataupun “berhenti” sebelum aku terhenti dengan alami (mati), tapi aku mengenal kata “jeda sejenak”. Untuk menyapamu, membincangimu, mengenali perubahanmu, agar aku tidak hilang dalam hidup.

Selamat berbuka,

dan mari kita nikmati pengalaman setiap detiknya bersamaNya. Tuhanmu, Tuhanku, Tuhan yang kita kenali, Tuhan yang kita kenali dengan pengalaman-pengalaman kita. Dia itu Tuhan kita. Tuhan yang seperti sangka kita ***

12 August 2011. Di sebuah sore yang baru, karena hidup selalu baru.

Previous Post
Next Post

0 Comments: