Minggu, 18 Maret 2012

Memori Sambel Terasi : Sebuah Potret Peradaban

Sore yang lengang, dengan udara yang sedikit gerah, aku melangkahkan kaki menyusuri jalanan desaku. Usai mengantar hantaran arisan keluarga ke seorang saudara yang rumahnya terletak tak jauh dari rumah, aku mengambil jalan memutar. Iseng saja, sambil mengamati perubahan, lama rasanya aku tak mengamati desaku ini. Yang telah sekian tahun, rasanya tak banyak perubahan berarti. 
Memandangi lapangan rumput tempat dulu saat SD aku dan kawan-kawan bermain kasti saat pelajaran olahraga. Kini, lapangan itu rumputnya tak terurus, nampak di kejauhan kandang-kandang sapi hasil PNPM Mandiri yang dikelola desaku. Tapi denyut nadi desa ini terasa sepi. Lalu kembali kulangkahkan kaki, dan menyalangkan pandangan mata pada sebuah rumah di sebelah gardu itu. Kupandanginya lama-lama. Tak asing, karena tak terlalu banyak berubah seperti dulu aku biasanya mengunjunginya hampir tiap hari, sekitar 25 tahun lalu. Lama waktu berjalan ternyata, hidup telah berubah, tapi cerita masih segar dalam ingat.
Tiap pagi, yah hampir tiap pagi sebelum berangkat sekolah saat aku masih duduk di bangku SD, aku menyambangi rumah itu terlebih dulu. Setelah ibuku selesai menyuapiku, dengan lauk yang biasanya tak banyak berubah, yakni nasi, daun kecipir hasil ladang, atau menu paling poool adalah telur. Juga setelah kepangan rambutku sudah selesai rapi jali, karena biasanya ibuku akan membuat kepangan dari bagian kepala atas sampai ujung rambutku yang panjang. Aku sejak kecil, tak pernah punya bakat protesan, maka walaupun aku tak terlalu suka didandani ala perempuan, aku tak pernah protes dan membiarkan ibuku bereksprimen tiap hari mendadani anak perempuannya. Namun paling jauh jangka waktu dandanan hasil jerih payah ibuku itu adalah sampai gardu, karena dengan segera kuobrak obrik kepangan rambutku dan membiarkannya lurus, kadang lalu kuikat sekenanya, atau kubiarkan terurai. Entah mengapa aku tak suka didandani seperti perempuan,
Atau, ada naluri yang mengatakan,
            “ aku tak suka menjadi perempuan, apalagi bila didandani menjadi lebih cantik, karena akan menyiksa. Aku lelah dengan tingkah kakak kelas yang hampir setiap saat menguntitiku dan mengatakan suka padaku, lelah dengan ece-ecean kakak kelas. Jadi mungkin menjadi cantik menjadikan hidup tidak sederhana”
Ahaha..mungkin itu salah satunya, yang membuatku selalu mengobrak abrik dandanan ibuku dan lebih memilih bertingkah menjadi seperti laki-laki.
Cukup pembahasan itu, mari lanjutkan tentang rumah itu, yang selalu kusinggahi di pagi hari sebelum berangkat sekolah. Aku segera masuk rumahnya, yeaap setiap pagi begitu, menghampiri seorang teman yang hampir tiap pagi berangkat ke sekolah SD bersama, dan pulang juga bersama. Namanya aku masih ingat, Yuli Riana. Bila kuhampiri, kadang dia tengah bersiap-siap mengenakan dasi merahnya. Aku segera duduk di atas balok separuh kepala kering di dekat tungku masak. Belum ada kompor minyak, apalagi kompor gas waktu itu. Lalu ibunya akan menyiapkan sarapan, yang hampir tiap pagi juga sama, nasi hangat dan sambel terasi bakar, kadang ditemani sayur. Itu saja, hampir tiap pagi itu saja. Terasi itu dibakar di tungku kemudian diulek di atas ulekan kayu bersama cabai, garam dan bawang. Kemudian setelah nasi panas-panas diambil dari kukusan bambu, dan diletakkan di atas piring seng, ibunya segera menyuapi temanku itu. Dan menyuapiku juga, jadi hampir tiap pagi aku selalu sarapan dua kali ehehe..
Sambel terasi itu, memori itu selalu kuingat, simbolisasi betapa sederhana dan kurang gizinya kami-kami ini jaman dahulu kala. Dibandingkan dengan anak-anak sekarang yang serba berkecukupan. Kala istirahat, aku dan teman-teman kadang nggragas menggasak daun-daun mangga muda yang dimakan dengan garam. Mau tak mau aku harus tersenyum bila mengenangnya. Kami, anak-anak kampung yang sampai sekarangpun jalan akses menuju kampungku masih memprihatinkan.
Bila mengenang Yuli, aku seperti melihat Arai di Tetralogi laskar pelangi. Otaknya pintar brilian, aku dan dia..hanya bergonta ganti saja menjadi ranking 1 dan 2 sejak kelas 1 sampai kelas 6 SD, kalau bukan aku pasti dia. Tapi sayang, akhirnya dia bernasib seperti pemuda pemudi lain di desa ini. Usai menamatkan SMKnya, ia ke jakarta untuk mengadu peruntungan sebagai pekerja pabrik, seperti juga hampir semua pemuda pemudi di desaku.
Kini aku berpikir, mungkin karena dalam pikiran mereka, tak pernah membayangkan bagaimana cara hidup selain itu. Karena cara itulah yang ditempuh banyak orang lainnya, pendahulu-pendahulunya. Cerita-cerita yang didengarnya, rencana-rencana hidup yang dicanangkan orang-orang  di sekitarnya juga.
Aku merasa beruntung lahir dari keluarga “guru”, jadi setidaknya cerita dan model yang kudengar dan kulihat adalah sosok guru dan pendidik, jadilah aku  juga seperti mereka, hanya saja aku mengajar di perguruan tinggi.
Imaginasi, cakupan mimpi-mimpi memang berkadang menjadi kunci. Ah andaikan dari kecil, anak-anak kampung sudah dicekoki mimpi-mimpi, bahwa masih banyak cara lain untuk hidup, banyak jalan-jalan ajaib lain yang bisa ditempuh. Aku jadi teringat cerita mahasiswiku saat berKKN dulu,
            “ Ibu, kasian lho anak-anak di sana, Pas disuruh menuliskan di kertas mimpi, mereka dengan penuh semangat menuliskan mimpi-mimpinya dan mewarnainya dengan beraneka warna, untuk ditempel di rumah. Tapi banyak orang tua mereka yang melarang untuk menempelnya, orang tua mereka berkata “ kita ini orang kecil, orang desa..tidak usah ngimpi-ngimpi besar, jauh dari kenyataan, nanti kecewa”
Aku yang kala itu mendengar ceritanya, merasa seperti ditohok, sakit. Berapa banyak anak-anak bangsa yang sudah ditebasi keberaniannya untuk bermimpi?bahkan oleh orang tuanya sendiri yang takut bermimpi, yang nrimo nasib, hingga tak heran bagaimana  kualitas hidup bangsa ini bisa meningkat? Ah...jadi teringat update status FB dosen eksentrik saat pelatihan di Malang dulu, kali ini aku harus setuju 107% akan tulisannya ini, biarlah untuk menghormati beliau kukutip tulisannya disini :

Ambillah contoh pemuda desa yg tumbuh besar di pegunungan kapur tandus; ladang ayahnya hanya ditumbuhi ilalang dan palawija yg tak menjanjikan kemakmuran. Adakah dia punya keinginan menggapai hari depan yg manusiawi, tinggal di rumah mewah, kerja kantoran, bersenang-senang, ke luar negeri, pelesiran? Belum tentu. Kenapa? Seumur-umur dia hidup melarat di tengah alam gersang dan otaknya tak mampu membayangkan, apalagi menyaksikan kehidupan yg lain itu.
 Jadi jangan heran kalau ada perawan desa menolak pinangan bos kaya dari kota dan dijanjikan kemewahan yg menyilaukan mata. Dia lebih suka hidup miskin di puaknya, di rumah beratap rumbia, berteman lampu pelita, dibelai desau angin yg menembus sela-sela anyaman bambu di bilik sempitnya. Alasannya sama: tradisi kemiskinan dan kebodohan itu tak memberi sedikit pun ruang bagi manusia seperti dia untuk bercita-cita. Baginya, hidup miskin, lapar dan diremehkan orang lain adalah pakem yg niscaya. Hatinya tenteram dan nyaman di sana, dan kenekadan untuk lepas dari rantai kemelaratan itu justru akan membawa celaka: dia akan merasa asing dan gamang di kota yg bergelimang kemewahan tapi congkak dan profan.
 Di sini saya memandang pentingnya PENDIDIKAN yg mencerahkan akal budi, membuka wawasan dan imajinasi manusia, menyalakan bara api harapan dan hasrat untuk memerangi belenggu nestapa. Walaupun ini bukan Hardiknas atau hari guru, ijinkan saya mengucap terimakasih pada semua guru, ustad dan dosen saya di masa lalu, juga hormat, salam takzim saya bagi semua kolega, dan para mantan mahasiswa yg kini tersebar di desa-desa, di balik kabut pegunungan, di pesisir, di rimba Kalimantan, Sumatra, Sumba, Papua, di mana saja. Jasamu sungguh tak terperikan: membuka mata hati dan pikiran anak bangsa menuju kehidupan yang lebih beradab sebagai manusia.

Dan siapapun yang membacai tulisanku ini, kita bisa berkontribusi bersama-sama, sesuai peran kita masing-masing untuk membuka mata hati dan pikiran anak bangsa untuk berani bermimpi dan mewujudkannya, untuk sebuah kehidupan yang lebih beradab sebagai manusia..***

#Tulisan yang lahir dari ingatan akan sambel terasi bakar itu...sebuah potret peradaban manusia yang masih jauh dari layak, tapi kita bisa berbuat sesuatu untuk sebuah hidup yang lebih baik.


--Your achivement is your contribution
Desaku, 18 March 2012. 23.11.

Revolusi Kita : Sebuah Transformasi

Revolusi Kita : Sebuah Transformasi
Jarak, seperti dua pohon yang hidup berdampingan, untuk saling tumbuh bersama dengan baik butuh jarak tertentu agar bisa saling menghidupi, memberikan ruang, serta memberikan hidup yang baik. Seperti juga jarak antara dua rel kereta api, harus ditata sedemikian rupa agar kereta yang melewatinya bisa berjalan dalam harmoni..
Kita juga,
Kita telah banyak bertransformasi, berjalan-jalan, tumbuh dan hidup dengan berbagai macam jarak. Pernah hilang, pernah keluar lintasan, mari kembali pulang.
Selamat pulang. Mari mengorbit (kembali) pada orbit kita masing-masing, untuk saling menjagai semesta kecil kita yakni semua orang-orang yang kita sayangi, seperti satelit-satelit yang senantiasa mengelilingi planetnya, menjagai sesuai dengan jarak orbitnya.
Untuk hidup ke depan, cukup lihatlah pada apapun yang kulakukan dengan hati, sebentuk karya, kepedulian untuk sesama, untuk Indonesia, untuk anak bangsa, dan kontribusi pada sebuah hidup, kau dapat melihat cinta saya padamu di situ.

18 March 2012. 1.21 am

Selasa, 13 Maret 2012

Koloni Milanisti : Sebuah Proyek Nekad



Dalam prioritas hidup, ada energi yang dialirkan ke hal-hal tertentu, yang secara sadar atau tidak, ternyata porsi satu hal mendapat porsi lebih deras dan banyak daripada hal lainnya. Dan bagiku, tentu saja dunia tulis menulis sudah semenjak lama menjadi salah satu prioritas dalam hidup. Dan kali ini, sepertinya lajunya harus dipercepat dengan sedikit senjata “nekad”.
Untuk buku yang menuliskan nama tunggal-ku di cover buku, sepertinya sudah saatnya mengalirkan energi yang agak ekstra. Tadinya aku memutuskan menggandeng penerbit Leutika Prio, untuk menerbitkan dalam paket reguler, dimana pemesan yang ingin membaca bukuku itu dapat memesan lewat website Leutika dan akan dikirim ke alamat. Namun, setelah melihat harga jual yang dipatok Leutika cukup mahal (Rp. 64.000 belum termasuk ongkir), jadi mikir-mikir apakah ada orang yang mau merogoh kocek sedalam itu, dan harus ribet login lewat web resmi Leutika untuk memesannya. Rasanya hanya sedikit orang yang mau melakukan hal tersebut, yang pastinya mungkin orang sudah yang jatuh cinta denganku,..maksudnya jatuh cinta dengan tulisanku ehehe ;p
Maka, lama pertimbanganku untuk akhirnya mengambil keputusan untuk cetak masal sebanyak 500 eksemplar, karena itulah jumlah minimal untuk cetak masal. Karena dengan begitu, harga jualnya menjadi jauh lebih murah, keuntungan lebih banyak dan penulis bisa mengatur sendiri cara penjualan. Tapi 500 eksemplar itu banyaaaaaak!!! Hadeeeh, sebenarnya ada rasa tidak pede, mikir-mikir banyak pertimbangan, sampai pada akhirnya nekad untuk melakukan cetak masal.
            “ Ini untuk salah satu hal yang berarti dalam hidupmu, masa sih nggak diupayakan dengan optimal?masih sih harus ragu untuk mengambil keputusan yang ini hal yang penting dalam hidupmu?” begitu pertanyaan yang didesakkan pada diri sendiri.
Iyalaaaah mikir, duitnya untuk modal cetak masal 500 eksemplar juga enggak sedikiiiiit..hihi...pastilah ada suara-suara di telinga hasil kekhawatiran diri sendiri : “kalo nggak kejual gimana? Kalo rugi? 500 eksemplar itu banyak lho..yakin nih? ahihihi...kalau enggak nekad, plus dorongan dari beberapa sahabat, enggak bakal akhirnya memutuskan untuk menelpon pihak penerbit dan minta cetak masal.

Aku dan Koloni Milanistiku

Mungkin di dalam hidup, ada beberapa hal yang berhak mendapat jatah kegilaan-kenekadan kita, dan aku sudah memilih salah satu dari hal tersebut. Maka jadilah aku yang sebelumnya tidak pernah memikirkan soal pemasaran, profit dan sebagainya dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan, mau dipatok harga berapa ni buku?gimana cara jual dan kirimnya? Gimana cara promosinya? Hadeeeh tepok jidat deh...
Dari dulu alasanku menulis jauh dari urusan duit, profit dan teman-temannya. Jadinya pas ada seorang temen yang chat berkomentar : waaa...enak di penerbitnya dong kalo royalti ke penulisnya cuma XX persen..” kaget juga dia berkomentar begitu, soalnya selama ini nggak kepikiran sampai situ ehehe..
So, jadinya kenekadan inipun menjadi banyak belajar, belajaran marketing, belajaran menanggung risiko, belajaran hal-hal baru. Termasuk merasai pegelnya jadi model ternyata, biasanya asal jepret-jepret, asal senyum manis tertangkap lalu urusan selesai. Tapi saat dibantuin foto untuk promosi oleh anak-anak mahasiswa...hadeeeeh, lelah..tapi seru juga. Ke depan, masih menunggu si Koloni Milanisti rampung cetak, dan segera mengirimkannya ke beberapa (buanyaaaak cieeeh gayaaaa) orang yang sudah pada pre-order duluan. Plus ada ide gila lagi untuk ngadain launching buku dengan menggelar acara bedah buku, karena sudah dikomporin sama anak-anak. So, kita lihat ke depan seberapa nekad dan seberapa gila pada akhirnya proyek Koloni Milanisti ini berjalan.
Entah seberapa nekadnya dan entah bagaimana hasilnya, tapi ada satu hal yang pasti, karena sudah melakukan semua hal itu, aku tersenyum pada diriku sendiri, sambil berkata pada diri sendiri :
ini untukku..untuk sebuah hal yang berarti dalam hidupkubila memikikan hal itu..semuanya menjadi terasa sederhana, sangat !
Kawan, kapan terakhir kali kalian melakukan hal-hal nekad dengan cukup bekal dan tekad dalam hidupmu? Ehehe selamat memikirkan hal itu...

# 13 March 2012. 22.14 di antara malam yang bisu, ditemani jus jambu kesukaanku.



Senin, 12 Maret 2012

Being 30 : Penuh Cinta

“Being 30, you should know : how to fall in love without losing yourself and Why people say life begins at 30 (Errin Kennedy)”


Menjadi 30, berusia dengan awalan tiga bagi seorang saya, apa artinya? Dulu, seorang sahabat menjadi begitu sensitifnya saat memasuki usia berawalan “tiga”setahun lalu, “ rasanya nggak jelas jeng” begitu curhatnya. Dengan statusnya yang masih saja single, dan belum juga menemukan seseorang, wajar saja bila dia curhat seperti itu.
Lalu aku? Ternyata setelah mengalaminya secara langsung...rasanya biasa saja, seperti pergantian hari lahir setiap tahunnya, walau kali ini ada beberapa hal yang terasa istimewa. Saya tidak merasa malu untuk mengakui berusia 30 dan belum menikah. Mungkin Tuhan memberikan kesempatan bagi saya di hal-hal lain yang harus saya optimalkan. Banyak di antara rekan seusia saya yang telah menjadi ibu. Saya, bisa kapanpun menjadi ibu, dan telah merasa menjadi ibu bagi banyak anak-anak. Saya mungkin adalah “ibu” bagi mereka, tempat untuk bicara hal-hal yang mungkin sulit dibicarakan dengan ibu mereka. Mungkin saya hanya menyediakan jembatan yang lebih mudah untuk dilewati bagi mereka untuk berkomunikasi tentang apapun, sehingga mereka mau berbagi kisah dan keluh kesah pada saya. Terimakasih untuk anak-anakku, yang memberitahu seperti apa rasanya menjadi seorang ibu.
Yang terasa istimewa dari Being 30 adalah saya disadarkan bahwa ternyata  ada banyak cinta dalam hidup saya. Baik dari keluarga, sahabat, kolega, anak-anak, ataupun orang-orang terkasih. Saya bukan termasuk orang yang pandai bergaul dengan banyak teman semenjak dulu. Saya (dulu) adalah perempuan yang sering kali minder, pemalu, selalu berada di balik layar, bersembunyi dari permukaan, dan menjadi tak terlihat. Tak percaya? Tanyalah siapa saya pada guru-guru SMP atau SMA saya, tak banyak yang masih ingat saya sebagai muridnya. Saya adalah tipe manusia tak terlihat, yang tak terbiasa untuk show off. Ditambah lagi, saya selalu kesulitan untuk ekspresif menunjukkan perasaan saya, tak biasa menunjukan rasa sayang, ataupun bentuk-bentuk ekspresif lainnya. Sepertinya itu semacam pelajaran fisika, kimia atau matematika yang sulit bagi saya. Tapi sepertinya saya mulai belajar dengan giat ehehe...
Lalu saya kini? Setelah menginjak 30? Setelah jatah umur saya makin berkurang..dimana perjalanan hidup saya di belakang sudah lumayan panjang dan kaya dengan banyak cerita, seperti apa saya?
Saya kini, mungkin masih terkadang seperti dulu, walau tentu banyak telah berevolusi. Setiap manusia berubah setiap waktunya, dan untuk itu dibutuhkan seumur hidup untuk mengenali seseorang, dan begitupun sebenarnya aku. Masih terus belajar mengenali diri sendiri, agar tak sering merasa asing pada diri sendiri.
Dan menginjak usia 30 tahun ini (dan anehnya saya tidak merasa tua ehehe), saya merasa sangat bahagia dengan banyaknya cinta dalam hidup saya. Lewat pukul 00.00 ada pesan BBM masuk, ucapan dari seorang sahabat baik dari Bali..membuat saya tersenyum bahagia, dan ucapan-ucapan di wall FBpun mengalir. Satu demi satu saya runtuti ucapan dan doa-doa mereka, sungguh terasa membahagiakan di hati saya, itu artinya paling tidak saya dianggap “ada” dalam hidup mereka. Sejujurnya saya tak mengira dengan begitu banyaknya orang-orang yang menyempatkan diri untuk menuliskan ucapan di wall FB saya. Ada sahabat-sahabat saya yang telah “hidup” dengan saya semenjak lama, melewati waktu bersama-sama. Mereka semua adalah energi-energi saya, dimana saya bisa “lari” pada mereka, baik dalam keterpurukan ataupun dalam kebahagiaan. Ada sahabat-sahabat baru yang seperlintasan hidup, kenalan-kenalan ajaib, dan orang-orang yang dianugerahkan Tuhan datang pada hidup saya. Tiba-tiba saja saya merasa, betapa banyak cinta sebenarnya yang selalu mengelilingi saya. Ada banyak orang-orang “baru” dalam hidup saya yang ternyata menyempatkan waktunya untuk memberikan ucapan, bahkan mengirimkan message lewat inbox. Di FB khusus mahasiswa juga banjir dengan ucapan-ucapan dari anak-anak. Saya merasa “hadir” dalam hidup mereka, mungkin saya bukan lagi “orang yang tak terlihat” seperti dulu, entahlah.
Kali ini, ulang tahun saya dirayakan bersama keluarga, dengan menggelar sebuah kenduri sederhana bersama para tetangga, sungguh momen menjadi 30 yang istimewa.
Keluarga, bisa jadi sebuah makna keluarga karena pertalian darah, ataupun keluarga karena sebuah silaturahim kehidupan. Seperti sebuah sms yang saya terima berikut :

Assalamualaikum, selamat ulang tahun ya mbak siwi...semoga semakin sukses dalam segala hal dan semua mimpinya dapat terwujud (Keluarga Malang)

Ah, bagaimana mungkin saya tak merasa terharu. Keluarga Malang adalah keluarga yang dulu saya sempat menginap saat pelatihan di Malang, karena jejaring sosial mengenalkan saya dengan seorang sahabat yang kini terasa sebagai adik saya sendiri, Nuning winaris yang kini tengah berada di Wageningen, Belanda. Ajaib kan hidup ini?
Hati saya menghangat, ternyata begitu banyak orang yang peduli. Cinta kalian semualah yang menjadi energi bagi saya untuk terus melangkah, memberikan cinta lebih banyak lagi untuk sesama.

Dan untukmu yang ada di hati saya, saya mungkin masih saja si pemalu yang terkadang menghindar bila bertatap muka denganmu dengan pipi merah bersemu, yang menggigiti plastik bungkus tahu bakso, atau memainkan kunci sepeda motormu untuk menghilangkan grogiku, saya yang jatuh di tangga kos gara-gara menerima kiriman mukena ungu-mu itu dulu, tapi saya tak perlu berkata berbusa-busa untuk menunjukkan  apa yang ada di hati saya padamu. Walau cinta yang kaubawa tidak sederhana, tapi sungguh sampai detik ini saya berterimakasih.
Terimakasih mewarnai hidup saya saat menginjak usia 30 dengan nyanyian Happy B-day dan doa-doa yang kau ucapkan,  saya merasa lengkap. Menjadi genap.

Ulang tahun bagi saya, sering kali berupa meluangkan waktu sejenak untuk refleksi diri, melihat lagi sudah sampai mana “hidup” berjalan, dan yang lebih penting “sebanyak atau seberapa” saya sudah bisa berkontribusi.
Menjadi 30, saya menjadi lebih berani lagi untuk menghadapi apapun dalam hidup, karena ada cinta kalian semua dalam hidupku...

Salam cinta dari hati saya untuk kalian semua yang hadir penuh keajaiban dalam hidup saya.


Kamis, 08 Maret 2012

Orang-orang Tak dikenal, Es Krim Kopi, dan Hujan Gerimisku

“Pekalah..pekalah pada alasan yang dititipkan Tuhan pada senyum orang tak dikenal yang tiba-tiba melengkung berbinar padamu, pada perhatian-perhatian orang terkasih yang menerbitkan semangatmu, atau mungkin pada seporsi es krim kopi yang menyapamu-- hai manisku, aku merindu binar matamu, dimana kulihat betapa berwarnanya hidupmu (Siwi Mars Wijayanti, 8 March 2012)


Hujan masih terus menderas di luar jendela kamarku, suaranya itu, mungkin salah satu suara yang selalu saja kurindui. Kini baru kutahu, ternyata salah satu yang membuatku rindu pada hujan adalah suaranya. Suara derai-derainya yang jatuh menimpa atap, menimpa daun-daun, ataupun permukaan lainnya mencipta sebuah melodi tersendiri, melodi hujanku.
Apa kabar hidup? Humm..masih di antara “peperangan” yang masih saja kuperpanjang, meragu mengambil keputusan. Bolak balik, maju mundur, ehehe...mungkin itulah yang membuat segala macam rasa masakan kehilangan rasa enak, dan membuat badanku mengurus seketika. Aku selalu berani memerangi apa dan siapa saja, segala macam tantangan mana saja, “medan peperangan meraih impian besar” apa saja, tapi ternyata menjadi begitu peragu saat berperang dengan diri sendiri. Aih, ini sejenis “peperangan” baru yang masih butuh banyak belajar untuk bagaimana mensikapinya. Dan karena itu pada sebuah kalimat kusampaikan padaNya :
“ Tuhanku, terimakasih atas kepercayaan dan kesempatanMu mencobaiku dengan ujian ini”

Dan sadar atau tidak, itu membuatku aku kehilangan binar. Mungkin hilang ditelan lelah dengan ritme bolak balik tak pasti itu, mondar mondir di kepalaku, dan hatiku, terkadang, sering. Saat semuanya tak lagi sederhana, upaya penyederhanaan terkadang mengarah pada upaya-upaya melarikan diri, menghindarkan diri, penundaan dan semacam pengalihan isu.

Kau pasti pernah hilang binar, pernah merasai masakan kehilangan rasa enaknya, dan menyadari bahwa rasa enak makanan itu bukan sepenuhnya kuasa lidah. Saat engkau meredup, dan seolah ingin menepi sejenak. Penyakit “redup” ini nampaknya hampir pasti pernah menghampiri setiap manusia, bahkan A Fuadi pada buku “Ranah Tiga Warna”nya pernah menuliskan di adegan setelah ia kehilangan harapan pada Raisa, gadis yang dicintainya :
“Beberapa minggu setelah wisuda itu, badanku rasanya masih lunglai. Aku masih sering terkejut-kejut sendiri setiap mengingat hari ini. Lama aku tidak tahu rasa rendang yang tidak enak”
Ehehe..tertawailah, tertawailah keredupanmu bila engkau masih sanggup untuk tertawa. Tapi hidup beberapa akhir ini mengajariku untuk peka. Pekalah, mungkin Tuhan mengirimkan seribu ataupun lebih alasanNya untuk mencipta lagi binarmu.
Alasan itu salah satunya kutemui pada seorang mahasiswa yang untuk kali pertama melihatku hadir kembali di kampus, ia nampak kaget, mungkin karena disangkanya aku masih di Glasgow. Jujur, aku tidak terlalu hapal namanya, tapi aku ingat wajahnya. Semula dia tengah duduk-duduk di sofa lobi kampus bersama mahasiswa-mahasiswa lainnya. Mahasiswa lain nampak hanya tersenyum menyapaku yang tengah melintas ke arah Bapendik untuk mengurusi surat ijin penelitianku. Tapi entah mengapa si anak itu –aku masih tidak ingat siapa namanya-tiba-tiba bangkit dari duduknya dan menghampiriku,
            “ Ibu apa kabarnya? Kapan pulang?” Tanyanya dengan muka yang nampak begitu berbinar, jelas terbaca dari raut mukanya. Aku segera menghentikan langkah dan menjawab sapaannya. Kujawab pertanyaannya, dan kemudian dengan begitu bersemangat ia banyak bertanya-tanya, terutama tentang studi di luar dan pengalamannya. Binar matanya itu berkilat-kilat, tak bisa kusangkal mempengaruhiku, menularkan binarnya padaku. Betapa jawaban-jawabanku membuatnya nampak begitu bersemangat, aku menjadi silau. Ironi terasa, tak tahukah wahai mahasiswaku yang sampai saat ini belum kuingat namanya itu, sebenarnya engkau terbalik saat berkata:
            “ Wah ibu membuat saya bersemangat, saya terinspirasi pengen kayak ibu, sekolah ke luar negeri, hebat” katanya dengan binar yang tak jua berubah.
Engkau terbalik sebenarnya, Engkaulah yang justru membuatku bersemangat, anak muda!!
Begitupun saat, kubuat status di FB, kala itu energiku sebenarnya sudah kedip kedip tanda lowbatt :
**Tuhan ternyata selalu punya cara utk membuat manusianya selalu punya alasan untuk melengkungkan senyuman, mencipta lagi binar, dan membuat terang keredupan..happy weekend, kawan :)
Lalu komen pertama dari seorang sahabat menuliskan :
“And u always help me to find te way to create that smile mba e...happy week end too! :)
Ajaib, bagaimana aku tidak merasa malu bila terus menerus meredup..??

Lalu mungkin juga Tuhan menitipkan alasan untuk mencipta lagi binarku pada orang-orang yang dengan ajaibnya menuliskan kalimat-kalimat yang terkadang terasa berlebihan bagiku :
“itulah rasanya setiap kali menikmati tulisan yang lebih mirip suplemen ini—(Blogku ini maksudnya)”
Es Krim Kopi Brazilku
Padahal sering kali tulisan-tulisanku hanya berupa curhatan efek katarsis untuk sebuah terapi gundah hati. Tapi ajaibnya, ada saja yang bisa membuat mereka betah untuk kembali lagi. Nah, bukankah Tuhan sudah terlalu banyak menitipkan alasan-alasanNya untuk membuatku berbinar lagi?
termasuk menitipkannya pada seporsi es krim kopi yang kunikmati sore ini. Sendiri di kursi toko es krim “Brazil” seperti biasanya, tak usah kulihat daftar menu langsung saja kupesan menu favoritku, yang nampaknya belum pernah berganti “ es krim kopi satu ya mba”, bila kuhitung entah berapa kali dalam hidup aku mengucapkan kalimat itu. Dan sebanyak itu pula, rasa es krim kopiku itu mampu mengalihkan semua gulanaku. Apalagi saat ia menyapaku, Manisku.. aku merindu binar matamu, dimana kulihat betapa berwarnanya hidupmu
Aku malu, lalu sedetik kemudian berkata pada dunia, “ Apakah kalian semua rindu binar-binarku? Di depan es krim kopi ini aku berjanji..karena kalian semualah, aku ingin berbinar..bersinar lagi!! pasti” (dalam hati..enggak teriak kenceng-kenceng di situ ;p)
Lalu iseng kubuka update status FB rekan-rekan melalui ponselku, dan kubacai status seorang sahabat
kalo lagi susah, sakit, gagal, sedih, apalagi rugi. inget aja kata Joker musuhnya Batman: "Why so Serious?" (•Ë†Ë†•)
Lalu diam-diam kubisik-bisik pada Tuhan, karena malu akan terdengar oleh si es krim kopi, “Tuhanku, iya...iyaaa...aku pahaaaam, dan siap bersinar lagi, bukti syukurku pada hidup yang kau hadiahkan padaku ***

--Hujan gerimis di luar jendela masih ritmis menemani malamku, mungkin suara dan derai-derainya yang indah itupun turut menyumbangkan alasan untuk membuatku melengkungkan senyuman dan berbinar lagi, terimakasih...
GBI, 8 Maret 2012. 23.18. dan tawa renyahmu di seberang tadi itupun juga sepertinya titipan Tuhan juga agar aku berbinar dan banyak makan lagi hihi..



Senin, 05 Maret 2012

Nomaden : Mencari Rumah

“ Kadang, kita menemukan rumah justru di tempat yang jauh dari rumah itu sendiri. Menemukan teman, sahabat, saudara. Mungkin juga cinta. Mereka-mereka yang memberikan rumah itu untuk kita, apapun bentuknya. Tapi yang paling menyenangkan dalam sebuah perjalanan adalah menemukan diri kita sendiri. Sebuah rumah yang sesungguhnya. Yang membuat kita tak akan merasa asing meski berada di tempat asing sekalipun (Windy Ariestanty, Life Traveler)



Hidup terasa mondar mandir akhir-akhir ini, setelah ngabur pulang dari Glasgow, aku harus segera menata hidup lagi, dari awal. Ternyata untuk hidup di suatu tempat dengan kualitas standar, minimal terpenuhinya sandang, pangan, papan, bukan sesuatu yang sederhana untuk dibayangkan, risiko hidup nomaden begini. Basic needs itu, membuatku harus menyempatkan beberapa hari ini menata lagi hidup sesuai dengan standar minimal ehehe. Ada terselip lelah di antaranya, tapi sudahlah. Memang beginilah risiko pilihanku.

Sebuah Rumah Sementara
Memulai hidup dari awal lagi, kembali ke kota ini, Purwokerto-ku..ku?sudahkah terasa kumiliki, kupunyai? Entahlah. Pengalaman pulangku telah memberiku jalan untuk menguji rasa. Pulang ke Kebumen, tanah kelahiranku, ke Purwokerto, kota tempatku bekerja, dan ke Jogya, kota yang kucinta. Perjalanan itupun menjawab, tentang rasa pulang yang kucari. Kebumen—memberiku rasa pulang akan rumah, rumah dalam artian keluarga, saudara-saudara, yang karena alasan sedarahlah kami menjadi dekat. Purwokerto—memberiku rasa rumah tatkala berjumpa lagi dengan rekan-rekan sejawat yang hangat menyambutku pulang, mungkin sedikit memberi penghiburan, aku bukan seseorang yang tak pernah dirindukan jiaaaah. Bahkan beberapa saat lalu, sudah kucari-cari rumah dalam artian sebenarnya, aku ingin segera berumah.
Pulang ke Jogya, tentu saja serasa pulang..pada cinta, pada luka, pada segala macam rasa, tapi tetap saja membuatku merasa pulang.
Sore itu, dengan sepeda motor kususuri jalanan jogya, dan dengan selintas dapat kulihat seorang perempuan berambut panjang bergelombang, dengan tas yang diselempangkan ke samping, mengenakan seragum putih abu-abu, berdiri di depan gerbang sekolah menanti angkutan kota. Lalu dengan jelas pula kulihat, seorang bapak-bapak paruh baya mengenakan pakaian adat jawa lengkap di pinggir jalan, pasti setelah menghadiri sebuah acara tradisional. Rasanya, semuanya bisa kulihat, mataku dan rasaku bisa melihat dan merasa, semuanya. Jogyaku, masih seperti yang dulu, walau banyak yang berubah seiring waktu, tapi tetaplah menjadi jogyaku.
Tapi rumah yang benar-benar tak pernah berubah, adalah rumah di dalam diri, tempat kita bisa pulang kapanpun. Sayangnya adakalanya, rumah dalam diri itu terasa asing, ada bagian-bagian dari kita yang tak lagi dikenali, mungkin karena tarikan-tarikan perbedaan yang tak bisa dihindari. Tapi, ingin kuajaki bagian diriku pulang, agar dimanapun aku berada, tak lagi merasa asing, entah di Glasgow, di Indonesia atau dimanapun, aku bisa selalu menemukan rumah. Rumah bagi diri***